Anda di halaman 1dari 15

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme1


Diterjemahkan oleh: Joash Tapiheru
Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan perhatian lebih
dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan, ketika para analis banyak meminjam dari
berbagai model pengambilan-keputusan dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana
dikembangkan oleh para ahli administrasi publik dan organisasi bisnis. 2 Pada pertengahan tahun
1960-an, diskusi tentang pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan
seputar model rasional dan model inkremental.3 Model rasional dipilih sebagai model tentang
bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental digambarkan sebagai
model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam pemerintahan.4 Kenyataan ini, pada
dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya untuk mengembangkan berbagai model
pengambilan keputusan alternatif dalam berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini
diarahkan untuk mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain termasuk
model pengambilan-keputusan yang disebut garbage-can berfokus pada berbagai elemen
rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative selain rasionalisme dan
inkrementalisme.5
Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk bergerak lebih jauh lagi dari tiga
model yang umum dipakai tersebut dan mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih
1 Diterjemahkan dari Michael Howlett dan M. Ramesh, (1995), Studying Public Policy: Policy
Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, chap. 7, Public Policy DecisionMaking Beyond Rationalism, Incrementalism and Irrationalism.
2 Anthony Cahill & E. Sam Overman, The Evolution of Rationality in Policy Analysis dalam
Stuart S. Nagel (ed.). Policy Theory and Policy Evaluation. New York: Greenwood, 1990;
Herbert A. Simon, Proverbs of Administration, Public Administration Review, 6, 1 (1946): 5367; Herbert A. Simon, A Behavioral Model of Rational Choice, Quarterly Journal of
Economics 69, 1 (1955): 99-118; Herbert A. Simon, Administrative Behavior: A Study of
Decision-Making Processes in Administrative Organization. New York: Macmillan, 1957;
Herbert A. Simon, Models of Man, Social and Rational: Mathematical Essays on Rational
Human Behavior in a Social Setting. New York: Wiley, 1957.
3 David Braybrooke & Charles Lindblom, A Strategy Of Decision: Public Evaluation As A
Social Process. New York: Free Press Of Glencoe, 1963; Robert A. Dahl & Charles E. Lindblom,
Politics, Economics And Welfare: Planning And Politico-Economic Systems Resolved Into
Basic Social Process. New York: Harper And Row, 1953; Charles E. Lindblom, The Science Of
Muddling-Through, Public Administration Review 19, 2 (1959); 79-88.

4 Yehezkel Dror, Public Policymaking Re-Examined. San Fransisco: Chandler


Publishing Co., 1958; Amitai Etzioni, Mixed-Scanning: A Third Approach To DecisionMaking, Public Administration Review 27, 5 (1967): 385-92; S. Kenneth Howard,
Analysis, Rationality, And Administrative Decision-Making Dalam Frank Marini (Ed.),
Toward A New Public Administration: The Minnowbrook Perspective. Scranton:
Chandler, (1971): 285-301.
5 M. Cohen, J. March & J. Olsen, A Garbage Can Model Of Organizational Choice,
Administrative Science Quarterly 17, 1 (1972): 1-25, Dan James G. March & Johan P.
Olsen, Oraganizational Choice Under Ambiguity, Dalam J.G. March & J.P. Olsen
(Eds.), Ambiguity And Choice In Organization, 2nd Ed. Bergen: Universitets-Forlaget,
1979.

bernuansa terhadap berbagai proses yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan
kebijakan publik.6 Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam
pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab
ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam
pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan signifansi
subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita membicarakan siklus kebijakan.
BERBAGAI ISU KONSEPTUAL
Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam
kebijakan publik sebagai:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang
mungkin muncul dalam masalah yang diestimasiTahap ini adalah tahap yang paling
bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus
dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya,
pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak
memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai
pada keputusan tentang yang paling baik.7
Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap pengambilan-keputusan dalam
pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan bukanlah sebuah tahap yang berdiri
sendiri, atau sebuah sinonim bagi keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah
tahap spesifik yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan
tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan
dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah masalah publik. Kedua, definisi
ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah
sebuah hal teknis, tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa
keputusan kebijakan pulbik menciptakan pemenang dan pecundang, bahkan jika keputusan
yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status quo.
Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun tentang signifikansi, arah yang
berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari pengambilan keputusan publik. Untuk menangani
isu-isu ini, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di
pemerintahan sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat.
Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka juga memiliki
beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor kebijakan yang relevan semakin
berkurang seiring dengan berjalannya proses kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan
sejumlah besar aktor-aktor negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor
yang relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat yang
menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan kebijakan publik
melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini menyisihkan seluruh aktor non-negara,
termasuk mereka yang berasal dari level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan
6 Gilbert Smith & David May, The Artificial Debate Between Rationalist And Incrementalist
Models Of Decision Making, Policy And Politics 8, 2 (1980): 147-61.

7 Garry Brewer & Peter Deleon, The Foundations of Policy Analysis. Homewood:
Dorsey, 1983: 179.

pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area
permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini.8
Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam pemerintahan modern derajat
kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang
mengatur jabatan-jabatan politik dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan
para pemegang jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai
mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui berbagai undangundang dan regulasi.9 Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya menentukan keputusan-keputusan
apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan maupun pejabat pemerintah, tetapi juga
mengatur prosedur yang harus diikuti untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh
Allison dan Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan actionchannels bagi para pengambil keputusan seperangkat prosedur yang teregularisasi untuk
menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu.10 Aturan dan SOP ini menjelaskan mengapa proses
pengambilan keputusan dalam pemerintahan menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. 11
Sementara aturan dan SOP ini membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa
diskresi yang cukup besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian
mereka tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Keputusan
tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang dianggap terbaik bervariasi
sebagai hasil tarik menarik antara pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil
keputusan ini beroperasi.
Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang
struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem
politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih
dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif
untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada
kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris,
Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan
terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang
harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang
berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang
yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti
ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem
8 Joel D. Aberbach, Robert D. Putnam & Bert A. Rockman, Bureaucrats And
Politicians In Western Democracies. Cambridge: Harvard University Press, 1981.
Tentang Legitimasi Dan Otoritas Lihat Max Weber, Economy And Society: An Outline
Of Interpretive Sociology. Berkeley: University Of California Press, 1978.

9 John Markoff, Governmental Bureaucatizations: General Processes And An Anomalous


Case, Comparative Studies In Society And History 17, 4 (1975): 479-503; Edward C. Page,
Political Authority And Bureaucratic Power: A Comparative Analysis. Brighton, Sussex:
Wheatsheaf, 1985).
10 Graham T. Allison & Morton H. Halperin, Bureaucratic Politics: A Paradigm And Some
Policy Implications, World Politics 24 (Supplement, 1972): 40-79.
11 Lihat Richard R. Nelson & Sidney G. Winter, An Evolutionary Theory of Economic Change.
Cambridge: Harvard University Press, 1982. Untuk review literatur yang bagus lihat Evert
Lindquist, What Do Decision Models Tell Us About Information Use?, Knowledge In Society
1, 2, 1988: 86-111

presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan
kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya
persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal
dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana
mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. 12 Pengambil
keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan
memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama
atau hampir sama.
Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan
proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara
satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini
adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu.
Model-model Pengambilan Keputusan
Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan kebijakan publik biasanya disebut
dengan nama model rasional dan model inkremental. Model yang pertama pada dasarnya adalah
sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di arena publik, sementara
model yang kedua adalah sebuah model politik yang diaplikasikan dalam kebijakan publik.
Model-model yang lain berusaha untuk mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism
dengan komposisi yang berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan modelmodel yang mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses
pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan sebaai
sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya irasional) yang
didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan yang telah menjadi ritual.
Model Rasional
Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari seorang
individu rasional yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1. Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2. Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3. Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan

munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.


4. Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan

masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.13


Model rasional adalah rasional daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi
berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling
efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran
pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan
yang berusaha untuk
mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. 14 Ide-ide
12 Ralph K. Huitt, Political Feasibility dalam Austin Rannay (Ed.), Political Science And
Public Policy. Chicago: Markham Publishing Co., 1968.
13 Diadaptasi Dari Michael Carley, Rational Techniques In Policy Analysis. London
Heinemann, 1980: 11.
14 Bruce Jennings, Interpretation And The Practice Of Policy Analysis dalam Frank Fischer &

ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan
melalui cara yang ilmiah dan rasional, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan
dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. 15 Tugas
analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian
menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. 16 Pembuat kebijakan diasumsikan
sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah
dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah
tersebut. Karena berorientasi pada pemecahan masalah maka pendekatan ini sering juga disebut
sebagai pendekatan ilmiah, rekayasa atau manajerialis.
Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk
membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai
elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti
Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat.
Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri
batu bara di Prancis menjelang abad XX,17 Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model
yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB
yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka
melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan,
Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana.18 Pengambilan keputusan atas
suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan
biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan.
Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk
pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif
yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan
diambil ini disebut model pengambilan keputusan rational comprehensive. 19 Penekanan baru
terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasanbatasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam
membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan
tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian
opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan,
bahkan ada yang menganggapnya mendekati sesat.
Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang
dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi
John Forester (Eds.), Confronting Values In Policy Analysis: The Politics Of Criteria. Newbury
Park: Sage, 1987: 128-52; Douglas Torgerson, Between Knowledge And Politics: Three Faces
Of Policy Analysis, Policy Sciences 19, 1, 1986: 33-59.
15 Carol H. Weiss, Research For Policys Sake: The Enlightenment Od Social Science
Research, Policy Analysis 3, 4, 1977: 531-45.
16 John Elster, The Possibility of Rational Politics, dalam David Held (Ed.), Political Theory
Today. Oxford: Polity, 1991: 115
17 Henry Fayol. Studies In The Science of Administration. 1985.
18 Luther Gullick, Notes On the Theory of Organizations, dalam Luther Gullick & Lyndal
Urwick (Eds.), Papers On The Science of Administration. New York: Institute Of Public
Administration, 1937.
19 Ward Edwards, The Theory Of Decision-Making, Psychological Bulletin 51, 4, 1954: 380417.

publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat
dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan
para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam
keputusan-keputusan mereka.20 Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan
pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka
terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika
demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan
ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka
terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para
pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil,
yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan
diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan
upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Karena opsi
yang sama bisa jadi efisien atau tidak-efisien tergantung dari situasinya, maka tidaklah mungkin
bagi pengambil keputusan untuk sampai pada kesimpulan mutlak tentang alternatif mana yang
lebih baik daripada alternatif lain.
Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada
prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri
dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. Satisfying criterion ini adalah sesuatu yang
nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas.
Model Inkremental
Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa pada usaha
untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat dalam
memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong
munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai
sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara berbagai
pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-keputusan yang
dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan.
Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan
publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University, Charles Lindblom. 21 Ia
merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-strategi yang saling
mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus. Strategi-strategi itu adalah:

Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiarhanya


sedikit berbeda dari status quo;

20 Herbert A. Simon, A Behavioral Model Of Rational Choice, Quarterly Journal Of


Economics 69, 1, 1955: 99-118; Herbert A. Simon, Models Of Man, Social And Rational:
Mathematical Essays On Rational Human Behavior In A Social Setting. New York: Wiley,
1957.
21 Robert A. Dahl & Charles E. Lindblom, Politics, Economics And Welfare: Planning And
Politico-Economic Systems Resolved Into Basic Social Processes. New York: Harper And Row,
1953; Charles E. Lindblom, Bargaining. Los Angeles: Rand Corporation, 1955; Charles E.
Lindblom, The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19, 2, 1959: 7988; Charles E. Lindblom, Policy Analysis, American Economic Review 48, 3, 1958: 298-312.

Sebuah analisis tujuan kebijakan yang berjalinkelindan dan nilai-nilai dengan berbagai
aspek empiris dari masalah yang dihadapi

Sebuah strategi yang mengedapankan analisis untuk mencari masalah yang ingin
diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar;

Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang;

Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensikonsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan;

Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan (setiap
partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain).22

Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai kebijakan


melalui sebuah proses membuat perbandingan terbatas yang berurutan dengan kebijakan
sebelumnya, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti dikemukakan
dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, The Science of Muddling Through, para
pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus menerus terbangun dari
situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam derajad yang kecil.23 Keputusan
yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-keputusan yang sudah ada; dengan
kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental.
Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda dengan status
quo.24 Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber daya yang terbatas
di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan pola distribusi yang
sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara radikal. Keuntungan dan
kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para aktor kebijakan, berbeda
dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru, yang membuat kesepakatan
untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang memiliki kemungkinan lebih besar
untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya perubahan kecil dari status quo.
Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu penjuru seluruh sistem birokrasi
cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau kontinyuitas praktek-praktek yang
sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai opsi, metode dan kriteria untuk dipilih
seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat inovasi dan hanya mengulang tatanan yang
sudah ada.
Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan antara
tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada batasan
waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat kebijakan
tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm berpendapat bahwa
di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara, dan tujuan apa yang
dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut.
Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para pengambil keputusan
menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan
22 Charles E. Lindblom, Still Muddling, Not Yet Through, Public Administration Review 39, 6,
1979: 517.
23 Lindblom, The Science Of Muddling Through: 81.
24 Harold Gortmer, Julianne Mahler & Jeanne Bell Nicholson. Organization Theory: A Public
Perspective. Chicago: Dorsey Press, 1987: 257.

yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena membuat kesepakatan
menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan kebijakan yang hanya sedikit
berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu.
Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis yang
berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai tujuan
jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah
ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua cara
yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang
familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya bahwa
sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan.
Dalam tulisan sebelumnya, Lindbolm dan para koleganya berkeyakinan bahwa kemungkinan
pengambilan keputusan secara inkremental sangat mungkin ada-bersama dengan upaya-upaya
untuk mencapai keputusan secara lebih rasional. Dengan demikian, Braybrooke dan Lindbolm
berpendapat bahwa empat tipe pengambilan kuputusan bisa digunakan tergantung pada
pengetahuan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, dan seberapa besar perbedaan
alternatif kebijakan dengan kebijakan yang sudah ada. 25 Ini memunculkan matix yang ditunjukan
sebagai berikut:
Empat Tipe Pengambilan Keputusan
Tingkat pengetahuan yang ada

Perbedaan yang ada antara Tinggi


kebijakan alternatif dan
yang terdahulu
Rendah

Tinggi

Rendah

Revolusioner

Analitis

Rasional

Inkremental,
pisah
incremental)

terpisah(disjointed

Sumber: diadaptasi dari David Braybrooke dan Charles Lindblom, A Strategy of Decision:
Policy Evaluation as a Social Process, New York, Free Press of Glencoe, 1963
Dalam pandangan ini, sebagian besar keputusan nampaknya diambil secara incremental,
melibatkan perubahan yang sangat kecil dalam situasi di mana hanya tersedia sedikit informasi
dan pengetahuan. Tetapi, ada tiga kemungkinan lain, model rasional muncul sebagai salah satu
kemungkinan bersama-sama dengan dua tipe yang definisinya tidak terlalu jelas revolusioner
dan analitis dan tidak terlalu sering digunakan sebagai alternatif pengambilan-keputusan.
Dalam perjalanan karir selanjutnya, Lindblom berpendapat bahwa ada spektrum style
pengambilan keputusan. Spektrum ini terentang dari kutub synoptic atau komprehensif rasional
sampai pada blundering, yang artinya hanya mengikuti perkiraan-perkiraan tanpa ada upaya riil
yang sistematis untuk menganalisa berbagai strategi alternatif. Spektrum itu diilustrasikan sbb.:

25 David Braybrooke & Charles Lindblom. A Strategy Of Decision: Policy Evaluation As A


Social Process. New York: Free Press Of Glencoe, 1963.

Sebuah Spetrum Berbagai Style Pengambilan Keputusan

Meskipun menerima berbagai kemungkinan teoritis bagi berbagai styles pengambilan keputusan,
Lindbom dalam karya-karyanya yang kemudian menolak seluruh alternatif lain bagi model
incremental berdasarkan alasan-alasan praktis. Ia berpendapat bahwa setiap analisis sinotik yang
berusaha untuk mencapai keputusan-keputusan berdasarkan berbagai kriteria berorientasi
maksimalisasi akan berakhir dengan kegagalan, dan seluruh pengambilan keputusan didasarkan
pada, apa yang disebutnya sebagai, analisis yang tidak lengkap dan tergeneralisasi (grossly
incomplete analysis). Lindblom berpendapat, esensi dari inkrementalism adalah untuk
mensistematisasikan berbagai ekputusan yang dicapai melaui cara ini, dengan menekankan pada
pentingnya mencapai kesepakatan politik dan belajar dari trial-and-error, ketimbang hanya
berkutat dengan keputusan-keputusan secara acak.26
Jika model inkremental mungkin bisa memberikan deskripsi yang akurat yang mana klaim ini
juga debatable tentang bagaimana keputusan kebijakan publik seringkali dibuat, para kritikus
ternyata juga menemukan beberapa kesalahan sebagai implikasi dari alur penelaahan yang
disarankan model ini.27 Pertama, model ini dikritik karena sangat kurang memperhatikan
orientasi tujuan. Sebagaimana dilontarkan oleh Fosters, inkrementalisme akan membuat kita
melintasi berbagai persimpangan berulang-ulang tanpa mengetahui kemana kita tujuan kita. 28
Kedua, model ini dikritik karena kecenderungan inherennya pada konservatisme, terlalu pesimis
terhadap perubahan bersekala besar dan inovasi. Ketiga, model ini dikritik karena dianggap tidak
demokratis, karena membatasi pengambilan keputusan hanya pada tawar menawar sekelompok
kecil orang-orang pilihan, para pembuat kebijakan senior.29 Keempat, dengan tidak
memperhatikan analisis dan perencanaan yang sistematik dan, sedikit banyak, menegasi
kebutuhan untuk mencari alternatif-alternatif baru, model ini dianggap mendorong munculnya
keputusan-keputusan berdasarkan perhitungan jangka-pendek, yang dikawatirkan akan
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif jangka panjang. Sebagai tambahan, model ini
juga dikritik karena hanya memiliki kemampuan analitis yang sempit. Yehezkel Dror, contohnya,
mencatat bahwa inkrementalism hanya bisa bekerja ketika ada kontinyuitas problem dalam
jangka waktu yang cukup panjang, yang mana problem ini berusaha diselesaikan melalui suatu
kebijakan tertentu. Model ini juga mensyaratkan cara yang dibutuhkan untuk menjalankan
kebijakan tersebut hampir selalu bisa dipakai. Pada kenyataannya, syarat-syarat ini jarang sekali
terpenuhi. 30 Inkrementalisme juga memiliki karakteristik sebagai model pengambilan keputusan
26 Charles E. Lindblom & D.K. Cohen. Usable Knowledge: Social Science And Social Problem
Solving. New Haven: Yale University Press, 1979.
27 Review tentang kritik terhadap model inkremental lihat Andrew Weiss & Edward
Woodhouse, Reframing Incrementalism: A Constructive Response to Critics, Policy Sciences
25, 3 (1992): 255-73.
28 John Forester, Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through, Public
Adminstration Review 44, 1 (1984): 23.
29 Louis Gawthrop. Administrative Politics and Social Change. New York: St. Martins Press,
1971.
30 Yehezkel Dror, Muddling Through-Science or Inertia, Public Administration Review 24,
3 (1964): 154-7.

dalam sebuah lingkungan yang relatif stabil, dan agak sulit untuk diaplikasikan pada situasisituasi tidak biasa, seperti krisis.31
Model Tong Sampah
Limitasi model rasional dan incremental membawa para ahli pembuat kebijakan publik mencari
alternatif-alternatif baru. Amitai Etzioni memngembangkan pemindaian gabungan model
mixed scanning untuk menjembatani berbagai kekurangan, baik model rasional maupun
incremental, dengan mengkombinasikan elemen-elemen keunggulan keduanya.32 Model
gabungan seperti ini memberikan ruang yang lebih luas untuk inovasi daripada model
incremental, tanpa terlalu dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis dari model
rasional. Etzioni mengatakan lebih lanjut bahwa pengambilan keputusan seperti inilah yang lebih
sering terjadi dalam realitas pengambilan keputusan kebijakan publik. Adalah lazim ketika
seringkaian keputusan-keputusan incremental diikuti oleh sebuah sebuah keputusan yang secara
substansial berbeda, karena adanya sebuah permasalahan yang sama sekali bereda dari masalah
yang dihadapi sebelumna. Karena itu, pemindaian gabungan dipandang sebuah sebuah model
yang bersifat preskriptif dan juga desktriptif.
Tetapi, pendekatan ini dan berbagai pendekatan lainnya sebagian besar tetap berada dalam
kerangka yang dibangun oleh model rasional dan incremental. Pada dekade 1970-an, sebuah
model yang sama sekali berbeda menyuarakan bahwa minimnya penggunaan rasionalitas adalah
sesuatu yang inheren dalam prose pengambilan keputusan. March dan Olsen menawarkan model
tong-sampah/garbage can yang menyangkal adanya penggunaan rasionalitas dalam pengambilan
keputusan, bahkan dalam derajad kecil sebagaimana dipaparkan dalam model inkremental. 33
Mereka memulai dengan asumsi bahwa model-model yang lain mempertahankan asumsi adanya
intensionalitas, pemahaman masalah, dan prediktibilitas relasi-relasi antar berbagai aktor yang
pada kenyataannya sama sekali tidak diemui. Dalam pandangan March dan Olsen, pengambilan
keputusan adalah sebuah proses yang sangat ambigu dan tak-terprediksi, dan kecil sekali
kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. March dan Olsen, sembari
menolak instrumentalisme yang menjadi karakter sebagian besar model-model lain, berpendapat
bahwa pengambilan keputusan adalah:
Sebuah tong sampah kemana berbagai masalah dan solusi dilemparkan oleh para partisipan
proses pengambilan keputusan. Campuran sampah dalam sebuah tong sebagian ditentukan
oleh berbagai label yang ditempelkan pada tong-tong yang lain; tetapi sebagian lagi
ditentukan oleh sampah seperti apa yang dihasilkan pada saat itu, pada campuran tong-tong
yang tersedia, dan seberapa cepat sampah bisa dikumpulkan dan dibuang.34
March dan Olsen sengaja menggunakan metafora tong sampah untuk menghilangkan aura ilmiah
dan rasional yang diatributkan pada proses pengambilan keputusan oleh para teoritisi
sebelumnya. Mereka berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat
31 D.C. Nice, Incremental and Nonincremental Policy Responses: The States and the
Railroads, Polity 20 (1987): 145:56.
32 Amitai Etzioni, Mixed Scanning: A Third Approach to Decision-Making, Public
Administration Review 27, 5 (1967): 385-92.
33 James March & Johan Olsen, Organization Choice Under Ambiguity Dalam James March &
Johan Olsen (Eds.). Ambiguity And Choice In Organizations.
34 Michael Cohen, James March, Dan Johan Olsen, People, Problems, Solutions, And The
Ambiguity Of Relevance dalam March & Olsen (Eds.). Ambiguity And Choice In
Organizations: 26.

kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan mereka, begitu juga hubungan kausal antara problem dan
tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen, para aktor hanya
mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses
kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi.
Beberapa studi kasus35 telah membuktikan proposisi bahwa keputusan publik seringkali dibuat
dengan cara yang sangat ad-hoc dan acak. Andersson, misalnya, pernah berpendapat bahwa
bahkan keputusan-keputusan yang terkait dengan krisi Rudal Kuba sekalipun, diakui sebagai
sebuah isu paling kritis selama perang dingin, dibuat dalam pilihan-pilihan simplistik pertanyaan
dengan jawaban ya/tidak dalam berbagai proposal yang muncul selama pembahasan kebijakan
terkait krisis tersebut.36
Katakanlah demikian, model tong sampah mungkin dianggap sebagai upaya yang terlalu
membesar-besarkan fakta yang terjadi. Sementara tujuan utamanya mungkin bisa dikatakan
cukup memberikan deskripsi yang akurat tentang bagaimana seringkali organisasi membuat
kebijakan-kebijakannya, dalam contoh-contoh yang lain mungkin akan lebih masuk akal jika kita
mengharapkan sesuatu yang lebih masuk akal. Terlepas dari itu semua, kekuatan utama dari
model ini adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari perdebatan lama antara rasional vs.
incremental, dan memberikan kesempatan untuk melakukan studi-studi pengambilan keputusan
dalam konteks institusional yang lebih bernuansa.
SEBUAH MODEL SUBSISTEM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK
Pada awal dekade 1980-an, semakin jelas bagi para pengamat bahwa perdebatan lama antara
para pendukung rasionalisme dan inkrementalisme menghambat karya emperis dan
pengembangan teoritis dari subyek tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Smith dan May,
Sebuah perdebatan tentang keunggulan relatif model rasionalis dan inkremental telah
mendominasi studi ini selama bertahun-tahun dan meskipun berbagai terma yang 37muncul dalam
perdebatan ini telah diketahui oleh banyak orang, tetapi hampir sama sekali tidak memberikan
efek bagi riset empiris di area kebijakan maupun administrasi publik. Ketimbang melanjutkan
perdebatan ini, pengarang berpendapat bahwa:
Kita memerlukan lebih dari satu model untuk menjelaskan berbagai faset kehidupan
organisasional. Permasalahannya bukanlah mendamaikan berbagai perbedaan yang ada antara
model rasional dan incremental, tetapi membangun alternatif ketiga yang menggabungkan
keunggulan dari masing-masing model tersebut. Problem yang ada adalah untuk menpertautkan
keduanya, dalam arti mempertautkan realitas sosial sesungguhnya yang direpresentasikan oleh
masing-masing model.38
Saat ini, beberapa langkah maju telah dicapai kea rah yang disarankan oleh Smith dan May.
Meskipun ada sebagian kecil orang yang menginginkan untuk kembali ke sebuah model rasional
komprehensif, atau sepenuhnya menolak inkrementalisme paling tidak sebagai sebuah deskripsi
tentang sebagian besar pengambilan keputusan kebijakan publik actual, sebagian besar
berpendapat bahwa pemikiran Braybrooke dan Lindblom tentang multiple-decision-making35 Lihat studi kasus dalam March & Olsen (Eds.). Ambiguity And Choice In Organizations.
36 Paul Anderson, Decision Making By Objection And The Cuban Missile Crisis,
Administrative Science Quarterly 28 (1983): 201-22.
37 Gilbert Smith & David May, The Artificial Debate Between Rationalist And Incrementalist
Models Of Decision-Making, Policy And Politics 8, 2 (1980): 147.
38 Smith & May, The Artificial Debate: 156.

styles adalah pilihan yang tepat dan adalah penting untuk menjelaskan secara cermat dalam
kondisi seperti apa berbagai model pengambilan keputusan cenderung untuk diadopsi.39
Salah satu perkembangan yang paling menarik di sini bisa kia temukan dalam karya-karya John
Forester. Ia berpendapat bahwa setidaknya ada enam model pengambilan-keputusan yang terkait
dengan enam perangkat kondisi kunci.40 Menurutnya apa yang rasional bagi untuk dilakukan
oleh para administrator tergantung pada berbagai situasi di mana mereka bekerja. 41 Model
pengambilan keputusan yang dibuat oleh para pengambil keputusan bervariasi menurut isu dan
konteks institusional yang melingkupinya. Pada tahun 1984 dia menulis dalam artikelnya:
Sebuah strategi bisa dipandang sebagai sesuatu yang praktis dan berguna atau sia-sia tergantung
dari kondisi yang sedang dihadapi. Dalam waktu, keahlian, data dan permasalahan yang
terdefinisikan dengan jelas, kalkulasi teknis mungkin bisa menjadi sesuatu yang berguna; tetapi
jika waktu, data, definisi, dan kalkulasi tidak terdefinisi dengan jelas, kalkulasi semacam itu akan
menjadi sesuatu yang sia-sia. Dalam lingkungan organisasional yang kompleks, ketika muncul
kebutuhan akan informasi, jejaring intelijen akan sama penting, atau bahkan lebih penting,
daripada dokumen. Dalam sebuah lingkungan konflik antar-organisasi, tawar menawar dan
kompromi menjadi sesuatu yang sangat penting. Strategi-strategi administratif hanya menjadi
strategi yang efektif dalam sebuah konteks politik dan organisasional.42
Forester berpendapat bahwa agar pengambilan keputusan menurut model rasional maka syaratsyarat berikut ini harus dipenuhi.43 Pertama, jumlah agen (pengambil keputusan) harus dibatasi,
bila perlu sesedikit mungkin. Kedua, tatanan organisasional bagi keputusan harus seerhana dan
tertutup dari pengaruh aktor-aktor kebijakan lain. Ketiga, permasalahan yang dihadapi harus
terdefinisi dengan jelas; dengan kata lain, scope, horizon, dimensi nilai, dan rantai konsekuensi
harus betul-betul diketahui dan dipahami. Keempat, informasi harus sesempurna mungkin
diketahui, dengan kata lain lengkap, aksesibel, dan bisa dipahami. Terakhir, tidak boleh ada
desakan untuk mengambil keputusan secepat mungkin; yaitu, waktu yang tersedia bagi
pengambil keputusan harus tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga mereka bisa
mempertimbangkan seluruh kontingensi yang mungkin terjadi beserta konsekuensi yang sedang
maupun akan dihadapi. Ketika syarat-syarat ini bisa dipenuhi secara sempurna, pengambilan
keputusan yang rasional bisa kita harapkan.
Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, yang mana menjadi kasus yang paling sering muncul
dalam praktek, Forester berpendapat bahwa kita akan menemukan model-model pengambilan
keputusan yang lain. Dengan demikian jumlah agen bisa bertambah sampai jumlah yang tidak
terbatas; tatanan yang ada bisa mencakup berbagai organisasi yang berbeda dan relatif terbuka
bagi pengaruh-pengaruh eksternal; permasalahan yang dihadapi akan bersifat ambigu atau
multitafsir; informasi tidak lengkap, menyesatkan atau secara sengaja dimanipulasi dan waktu
yang tersedia bisa jadi terbatas atau juga sengaja dimanipulasi. Bagan berikut menggambarkan
berbagai parameter pengambilan keputusan.
39 Ian Lustick, Explaining The Variable Utility Of Disjointed Incrementalism: Four
Propotitions, American Political Science Review 74, 2 (1980): 342-53.
40 John Forrester, Bounded Rationality And The Politics Of Muddling Through, Public
Administration Review 44, 1 (1984): 23-31; John Forrester. Planning In The Face Of Power.
Berkeley: University Of California Press, 1989.
41 Forrester, Bounded Rationality: 23.
42 Forrester, Bounded Rationality: 25.
43 Forrester, Bounded Rationality: 25.

Berbagai parameter pengambilan keputusan


Variabel

Dimensi

Agen

Tunggal Banyak

Setting

Tunggal, tertutup Banyak, terbuka

Permasalahan

Terdefinisi dengan jelas Multitafsir, ambigu

Informasi

Sempurna dikontestasikan

Waktu

Tak terbatas dimanipulasi

Sumber: diadaptasi dari John Forester: Bounded Rationality and the Politics of Muddling
Through. Public Administration Review 44, 1 (1984);26
Dari perspektif ini, Foreseter berpendapat bahwa ada lima kemungkinan model pengambilan
keputusan: Optimalisasi, Satisfycing, Pencarian (Search), Tawar-menawar (Bargain), dan
Organisasional. Optimilasisi adalah strategi yang digunakan ketika syarat-syarat model rasional
komprehensif, seperti dipaparkan di atas, sepenuhnya terpenuhi. Prevalensi model-model lain
bergantung pada seberapa banyak syarat yang tidak terpenuhi. Ketika limitasi-limitasi yang ada
bersifat kognitif, untuk berbagai alasan yang dikemukakan sebelumnya, nampaknya akan lebih
baik jika kita menggunakan model satisfycing. Model-model lain yang disarankan oleh Forester
saling tumpang-tindih sehingga sulit untuk membedakan dan memaparkannya satu persatu.
Model Pencarian adalah salah satu model yang bisa digunakan ketika problem yang dihadapi
tidak terdefinisi dengan jelas. Sementara, model tawar-menawar adalah model yang bisa
ditemukan ketika berbagai aktor harus mengambil keputusan dalam situasi ketiadaan informasi
yang lengkap dan waktu yang mendesak. Model organisasional melibatkan berbagai setting dan
aktor, yang meskipun sumberdaya waktu dan informasi tersedia, tetapi dihadapkan pada
permasalahan yang beragam. Pendek kata, model-model pengambilan keputusan ini melibatkan
jumlah aktor yang lebih banyak, setting yang lebih kompleks, permasalahan yang lebih beragam
dan kabut, informasi yang tidak lengkap dan terdistorsi, dan waktu yang terbatas dan mendesak.
Meskipun pemikiran Forester menjadi sebuah langkah maju penting dalam memberikan
klasifikasi dan taksonomi, dan tentu saja memberikan alternatif pilihan yang berguna, selain
model rasional, inkremental dan garbage-can, tetapi apa yang dilakukannya hanyalah langkah
awal dalam membangun sebuah model pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebuah masalah
besar dalam taksonomi yang dibangunnya adalah keterputusannya dari argument-argumennya
sendiri. Sebuah penelaahan yang tertutup dari pembahasannya tentang berbagai faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan44 mengungkapkan bahwa orang akan berharap untuk
menemukan lebih dari satu model yang mungkin muncul dari lima pilihan model kombinasi dan
permutasi variabel-variabel yang dikemukakannya. Meskipun berbagai kategori, dalam
prakteknya, tidak bisa dipilah-pilah dan, dalam berbagai kesempatan, tidak terlalu berguna bagi
tujuan analitis, alasan mengapa seseorang harus menggunakan salah satu model yang
dikemukakannya tetap merupakan sesuatu yang tidak jelas.

44 Lihat daftar tabel, Forrester, Bounded Rationality: 26.

Kita bisa mengembangkan model Forester dengan mendesain ulang variabel-variabelnya. Studi
tentang agen dan setting bisa disempurnakan dengan berfokus pada subsistem kebijakan,
sementara pemikiran tentang permasalahan, informasi dan waktu bisa dilihat sebagai
pemikiran yang terkait dengan tipe-tipe konstrain yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan.
Dengan demikian, dua variabel utama di sini adalah (1) kompleksitas subsistem kebijakan yang
menangani permasalahan yang ada dan (2) seberapa besar konstrain yang harus dihadapi.
Kompleksitas subsistem kebijakan mempengaruhi kemungkinan keberhasilan mencapai
kesepakatan atau opisisi terhadap suatu pilihan dalam subsistem tersebut. Beberapa pilihan
dianggap sejalan dengan nilai-nilai utama yang dipegang oleh anggota subsistem sementara
sebagian yang lain tidak, sehingga kompleksitas subsistem ini menstrukturkan keputusankeputusan dalam kategori pilihan-pilihan keras atau lunak.45 Mirip dengan itu, pengambilan
keputusan relatif dibatasi oleh informasi dan waktu, dan juga kejelasan masalah. 46 Bagan berikut
menggambarkan empat model dasar pengambilan keputusan. Empat model ini muncul sebagai
basis dari dua dimensi yang dipaparkan dalam analisis ini: kompleksitas subsistem dan derajat
konstrain.
Model Dasar PengambilanKeputusan
Derajat konstrain
Tinggi
Rendah

Kompleksitas subsistem kebijakan


Tinggi
Rendah
Incremental adjustment
Satisfying Search
Optimizing adjustment
Rational Search

Sumber: dimodifikasi menurut Martin J. Smith, Policy Networks and State Autonomy, dalam
Political Influence of Ideas: Policy Communities and the Socieal Sciences, eds. S. Brooks dan
A.-G. Gagnon. New York: Praeger, 1994.
Dalam model ini, subsistem kebijakan yang kompleks akan cenderung memunculkan strategistrategi penyesuaian (adjustment) daripada strategi pencarian (search). Situasi tingginya derajat
konstrain cenderung menghasilan suatu pendekatan tawar menawar dalam pengambilan
keputusan, sementara situasi di mana derajat konstrain rendah cenderung memunculkan aktifitas
opmtimalisasi atau rasional.
Jika digabungkan, kedua variabel ini menghasilkan empat model dasar pengambilan keputusan.
Penyesuaian inkremental gaya Lindblom cenderung muncul dalam situasi ketika subsistem yang
ada bersifat kompleks dan derajat konstrain yang tinggi. Dalam situasi semacam itu kita bisa
perkirakan bahwa akan jarang muncul keputusan-keputusan bersekala besar dan beresiko tinggi.
Pada skenario sebaliknya, ketika subsismtem kebijakan yang ada sederhana dan derajat konstrain
rendah, pendekatan pencarian rasional dan perubahan besar sangat mungkin untuk dilakukan.
Ketika ada sebuah subsistem yang kompleks dan derajat konstrain yang rendah, maka akan ada
kecenderungan untuk memunculkan strategi penyesuaian, tetapi kali ini ditujukan untuk
45 Phillip H. Pollock III, Stuart A. Lillie, dan M. Elliot Vittes, Hard Issues, Core Values and
Vertical Constrain: The Case of Nuclear Power, British Journal of Political Science 23, 1
(1993): 29-50.
46 Pada tarikan ini lihat Evert A. Lindquist, What do Decision Model Tell Us about Information
Use?, Knowledge in Society 1, 2 (1988): 86-111; David A. Rochefort & Roger W. Cobb,
Problem Definition, Agenda Access and Policy Choice, Policy Studies Journal 21, 1 (1993):
56-71; David J. Webber, The Distribution and Use of Policy Knowledge in the Policy Process,
dalam W.N. Dunn & R.M. Kelly (ed.). Advances in Policy Studies Since 1950. New Brunswick,
NJ: Transaction Publishers, 1992.

mencapai optimalisasi. Terakhir, ketika derajat konstrain tinggi, tetapi kompleksitas subsistem
rendah, strategi-strategi satisfycing akan menjadi kecenderungan yang umum terjadi.
KESIMPULAN
Karakter esensial dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik sama seperti tahaptahap lainnya dalam proses kebijakan. Sama halnya dengan tahapan sebelumnya dalam proses
kebijakan publik, tahap pengambilan keputusan bervariasi menurut sifat alami dari subsistem
kebijakan yang terlibat dalam proses itu dan derajat konstrain yang dihadapi oleh para
pengambil-keputusan. Sebagaimana dirangkum oleh John Forester, apa yang rasional bagi para
administrator dan politisi ditentukan oleh situasi di mana mereka bekerja. Didesak untuk segera
memberikan rekomendasi, maka para pengambil keputusan ini tidak bisa melakukan studi yang
mendalam. Ketika dihadapkan pada persaingan dan kompetisi organisasional, maka adalah
sangat rasional jika para pengambil keputusan ini menjadi lebih tertutup. Apa yang rasional
untuk dilakukan ditentukan oleh konteks yang dihadapi, baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam administrasi publik.47
Bacaan Pendukung
Cahill, Anthony & E. Sam Overman, The Evolution of Rationality in Policy Analysis,
hlm. 11-27 dalam Stuart S. Nagel (ed.). Policy Theory and Policy Evaluation. New
York: Greenwood, 1990.
Cohen, M., J. March & J. Olsen, A Garbage Can Model of Organizational Choice,
Administrative Science Quarterly, 17, 1 (1972): 1-25.
Etzioni, Amitai, Mixed-scanning: A Third Approach to Decision-Making, Public
Administration Revew 44 (1984): 23-30.
Forrester, John, Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through, Public
Administration Review 44 (1984): 23-30.
Lindblom, Charles, The Science of Muddling Through, Public Administration Review
19 (1959): 79-88.
MacRae, Duncan Jr., & James A. Wilde. Policy Analysis for Public Decisions. Lanham,
MD: University Press of America, 1985.
Simon, Herbert, A Behavioral Model of Rational Choice, Quarterly Journal of
Economics 69, 1 (1955): 99-118.
Smith, Gilbert & David May, The Artificial Debate Between Rationalist and
Incrementalist Models of Decision-Making, Policy and Politics 8 (1980): 147-61.

47 Forrester, Bounded Rationality: 23.

Anda mungkin juga menyukai