Berdasarkan telaah sejarah terbentuk nya Undang-undang Dasar Tahun 1945, Mr.
Muhammad Yamin dialah sosok yang pertama kali merencanakan konsep pemerintahan
daerah dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam sidang itu, Mr. Moh. Yamin
melampirkan rancangan UUD yang memuat tentang pemerintahan daerah yang berbunyi:2
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dibentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Kemudian, dalam rapat BPUPKI lain nya pada tanggal 15 Juli 1945, Soepomo selaku
Ketua Panitia Kecil Perancang UUD juga ikut turut mendengungkan tentang Pemerintahan
Daerah. Pada saat itu juga, awalnya UUD 1945 tidak mempunyai penjelasan resmi, tetapi
oleh Soepomo dirumuskan suatu penjelasan umum dan pasal demi pasal berdasarkan uraian
penjelasannya tersebut.
3
Dapat disimpulkan bahwa esensi yang terkandung dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945 4
yang merupakan dasar konstitusi lahir nya pemerintahan daerah diantaranya:
1. Adanya daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ber asas
kan desentralisasi;
2. Satuan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya
dilakukan dengan memandang dan mengingat pada dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara; dan
3. Pemerintahan Daerah harus disusun serta diselenggarakan dengan memandang dan
mengingat hak-hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa.
Periode I (1945-1948)
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan
Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI.
Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI hanya
menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala
daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Secara umum, pada saat itu wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-
tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai
oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam
melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan
bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan
demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum
mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat
pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang
kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut.
Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:
1. Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)
2. Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3. Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia
Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente)
4. Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5. Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6. Desa (disebut Ku oleh Jepang)
4
https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945, pasal 18 UUD 1945.tentang pemerintahan daerah
5
Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada
tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota
otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali
daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan
membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Periode II (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan
kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua
jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut
dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan
dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Walaupun UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem otonomi material, tetapi justru
didukung dengan struktur pemerintahan daerah yang relatif demokratis dibanding dengan UU
No.1 Tahun 1945. Terpisahnya organ legislatif (DPRD) dengan eksekutif daerah (DPD) serta
diposisikan nya DPRD sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan daerah
dengan wewenang yang luas dibanding dengan BPRD.6
UU No. 22 Tahun1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada
mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang
tersisa yaitu:7
1. Wilayah Sumatra meliputi: Aceh, Sumatra Utara bagian barat, Sumatra
Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.
2. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa
Timur bagian barat (daerah Mataraman)
7
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_daerah_di_Indonesia#Periode_II_(1948-1957)
1. Eksekutif, Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
2. Legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Periode IV (1965-1974)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan
Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5
tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara
umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi
menjadi tiga tingkatan daerah.
Periode VI (1999-2004)
8
Otonomi daerah,prof.dr.hrt.sri soemantri m., sh.
9
Pokok-pokok hukum pemerintahan daerah, prof.dr.h.andi pangerang moenta sh,mh,dfm
2. Kepala daerah tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkata
wakil kepada daerah;
3. Dalam hal kekosongan jabatan, maka wakil kepala daerah secara otomatis
menggantikan nya (kepala daerah);
4. DPRD memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal kekosongan
jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan; dan
5. Dalam hal terjadi nya kekosongan jabatan, apabila wakil kepala daerah belum
dilantik sebagai kepasa daerah yang menggantikan, maka wakil melaksanakan
tugas sehari-hari kepala daerah, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan yang
bersifat strategis. Contoh nya aspek keuangan, kelembagaan, perizinan, dan lain-
lain.
Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada beberapa peraturan perundangundangan yang
berlaku, antara lain pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah, Pasal 1 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk memperluas pemahaman Anda, di samping ketiga asas tersebut di atas, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, juga dikenal asas Vrijbestuur (free act of
administration).