Anda di halaman 1dari 7

Transformasi Pemerintahan Daerah

Pentingnya transformasi tersebut, karena implementasi manajemen pemerintahan di


Daerah tidak dapat dilepaskan dari kepolitikan (sistem politik) global dan nasional. Sebagai
suatu proses pembangunan politik, transformasi manajemen pemerintahan di daerah berkaitan
dengan sejarah sistem Pemerintahan Daerah yang selama ini cenderung bergerak antara
politik sentralisasi dan politik desentralisasi, sebagai contoh adalah perubahan dari UU No 5.
Tahun 1974 ke UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan di Daerah. UU No. 5 Tahun
1974 yang semula bernuansa pembaharuan sebagaimana tuntutan yang berkembang sejak
tahun 1966, dalam implementasi selanjutnya menjadi sangat sentralistis sebagaimana tuntutan
politik demokrasi Pancasila melalui dua pendekatannya, yaitu pendekatan keamanan dan
pendekatan kesejahteraan.

Fenomena ini berubah ketika diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah, DPRD sebagai lembaga representasi rakyat daerah memilih langsung
Kepala Daerahnya tanpa ada pengaruh Pusat. Pemberlakuan otonomi daerah pada Daerah
Kota dan Kabupaten sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 1999 ini memberikan
nuansa demokrasi yang relatif lebih partisipatif, dengan kata lain terjadi proses demokratisasi
di daerah khususnya dalam pemilihan Kepala Daerah yang tidak ditemukan pada periode
pemilihan Kepala Daerah sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada kasus pemilihan Kepala
Daerah (PILKADA), tampak terjadi proses "transformasi" dari model PILKADA yang
mengikuti kehendak Pusat ke model PILKADA yang "murni" kehendak rakyat Daerah
melalui DPRD.1

Berdasarkan telaah sejarah terbentuk nya Undang-undang Dasar Tahun 1945, Mr.
Muhammad Yamin dialah sosok yang pertama kali merencanakan konsep pemerintahan
daerah dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam sidang itu, Mr. Moh. Yamin
melampirkan rancangan UUD yang memuat tentang pemerintahan daerah yang berbunyi:2

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dibentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Kemudian, dalam rapat BPUPKI lain nya pada tanggal 15 Juli 1945, Soepomo selaku
Ketua Panitia Kecil Perancang UUD juga ikut turut mendengungkan tentang Pemerintahan
Daerah. Pada saat itu juga, awalnya UUD 1945 tidak mempunyai penjelasan resmi, tetapi
oleh Soepomo dirumuskan suatu penjelasan umum dan pasal demi pasal berdasarkan uraian
penjelasannya tersebut.

Pemerintahan Daerah menurut Soepomo yang disampaikan di hadapan sidang PPKI,


beliau menyatakan:3
“Di bawah pemerintahan pusat ada pemerintahan daerah. Tentang pemerintah daerah
di sini hanya ada satu pasal yang berbunyi: pemerintah daerah diatur dalam undang-
undang. Hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus
dipakai untuk pemerintah daerah, artinya pemerintahan daerah harus juga bersifat
permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat…..”.
1
Transformasi Manajemen Pemerintahan (Samugyo Ibnu Redjo)
2

3
Dapat disimpulkan bahwa esensi yang terkandung dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945 4
yang merupakan dasar konstitusi lahir nya pemerintahan daerah diantaranya:
1. Adanya daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ber asas
kan desentralisasi;
2. Satuan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya
dilakukan dengan memandang dan mengingat pada dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara; dan
3. Pemerintahan Daerah harus disusun serta diselenggarakan dengan memandang dan
mengingat hak-hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa.

Ketentuan dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945 sebagai dasar pembentukan


pemerintahan daerah menegaskan bahwa permusyawaratan/perwakilan tidak hanya terdapat
pada pemerintahan tingkat pusat saja, melainkan juga pemerintahan tingkat daerah dalam
susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan/harus memiliki
badan perwakilan tingkat daerah.

Dasar Hukum Pemerintahan Daerah


Pemerintahan Daerah di Indonesia telah mengalami perubahan bentuk lebih kurang
delapan tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini. Setiap fase ataupun
periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan
aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. 5

Periode I (1945-1948)
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan
Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI.
Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI hanya
menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala
daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Secara umum, pada saat itu wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-
tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai
oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam
melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan
bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan
demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum
mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat
pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang
kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut.
Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:
1. Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)
2. Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3. Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia
Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente)
4. Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5. Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6. Desa (disebut Ku oleh Jepang)

4
https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945, pasal 18 UUD 1945.tentang pemerintahan daerah
5
Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada
tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota
otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali
daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan
membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
Periode II (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan
kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua
jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut
dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan
dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:

Tingkatan Daerah Nomenklatur Daerah Nomenklatur Daerah Otonom


Otonom Otonom Biasa Khusus
Tingkat I Provinsi Daerah Istimewa Setingkat Provinsi
Tingkat II Kabupaten/Kota Besar Daerah Istimewa Setingkat Kabupaten
Desa, Negeri, Marga, atau
Tingkat III Daerah Istimewa Setingkat Desa
nama lain/Kota Kecil

Walaupun UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem otonomi material, tetapi justru
didukung dengan struktur pemerintahan daerah yang relatif demokratis dibanding dengan UU
No.1 Tahun 1945. Terpisahnya organ legislatif (DPRD) dengan eksekutif daerah (DPD) serta
diposisikan nya DPRD sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan daerah
dengan wewenang yang luas dibanding dengan BPRD.6
UU No. 22 Tahun1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada
mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang
tersisa yaitu:7
1. Wilayah Sumatra meliputi: Aceh, Sumatra Utara bagian barat, Sumatra
Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.
2. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa
Timur bagian barat (daerah Mataraman)

Periode III (1957-1965)


Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan
1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44
Tahun 1950. 
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik
III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami
perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketata negaraan
Republik IV. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6
Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:

7
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_daerah_di_Indonesia#Periode_II_(1948-1957)
1. Eksekutif, Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
2. Legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat


I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat
tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari
luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa
jabatan DPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat
diberhentikan karena keputusan DPRD.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang
berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik
Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah
Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama
dengan Kepala Daerah Istimewa.
BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota
DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang
ditetapkan Mendagri dan Otda.
Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun
1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRD-GR) dan Sekretariat
Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala Daerah karena jabatannya adalah
Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah dan BPH disesuaikan dengan masa
jabatan DPRD-GR.

Periode IV (1965-1974)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan
Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5
tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara
umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi
menjadi tiga tingkatan daerah.

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom


Tingkat I Provinsi/Kotaraya
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
Tingkat III Kecamatan/Kotapraja

Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun


1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi
biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka
dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk
Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah
Indonesia.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik
IV. Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak
lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha
menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal
88. Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-
Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Perubahan konstelasi politik yang terjadi
sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah
dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan.
Periode V (1974-1999)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang
dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi
satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah
Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Tingkatan dan Nomenklatur Wilayah Administratif Menurut UU No. 5 Tahun 1974,


diantaranya:
1. Provinsi/Ibukota negara
2. Kabupaten/Kotamadya
3. Kota Administratif
4. Kecamatan

Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979


tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah
Desa (LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat
Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala
Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena
jabatannya adalah Sekretaris LMD.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur


mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan
tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri
atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-
kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.

Periode VI (1999-2004)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5
Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan
mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta,
dan Yogyakarta[15] dan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah
Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah
otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Jelasnya, kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan
Pemerintah Daerah Kota adalah sama, yaitu seluruh bidang pemerintahan, kecuali lima
kewenangan yang ditentukan. Demikian kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah Provinsi ternyata diatur dalam Pasal 9 UU No.22/1999, yang terdiri atas tiga ayat
yang bunyinya:
1. Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan dan bersifat lintas Kabupaten dan Kota…;
2. Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Kota;
3. Kewenangan Provinsi sebagai wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku
Pemerintah (Pusat)
Dengan adanya pengaturan tentang pembagian kewenangan antara Provinsi dengan
Kabupaten dan Kota dalam Undang-undang secara jelas dan tegas, maka akan dicegah
terjadinya tumpeng tindih kewenangan.8
Pemerintahan Daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 terdiri dari Badan Legislatif
Daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Badan Eksekutif Daerah yaitu
pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD sebagai
badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.

Periode VII (2004-2014)


Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU
ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain
itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah
yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi Republik
VI pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali
dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2005)
dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah
Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali
dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.[31] Provinsi Papua tetap diatur
dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi
Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi
khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008).
Periode VIII (2014-sekarang)
Pada periode ini, berlaku UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan daerah. Perubahan secara signifikan terhadap UU
Pemerintahan Daerah ini bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, dan keadilan suatu daerah dalam sistem NKRI.9
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan aturan yaitu berlakunya UU No. 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kesimpulan perubahan undang-undang tersebut, diantaranya:
1. Eksistensi wakil kepala daerah ditingkatkan;

8
Otonomi daerah,prof.dr.hrt.sri soemantri m., sh.
9
Pokok-pokok hukum pemerintahan daerah, prof.dr.h.andi pangerang moenta sh,mh,dfm
2. Kepala daerah tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkata
wakil kepada daerah;
3. Dalam hal kekosongan jabatan, maka wakil kepala daerah secara otomatis
menggantikan nya (kepala daerah);
4. DPRD memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal kekosongan
jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan; dan
5. Dalam hal terjadi nya kekosongan jabatan, apabila wakil kepala daerah belum
dilantik sebagai kepasa daerah yang menggantikan, maka wakil melaksanakan
tugas sehari-hari kepala daerah, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan yang
bersifat strategis. Contoh nya aspek keuangan, kelembagaan, perizinan, dan lain-
lain.

Asas pemerintahan daerah yang dijadikan dasar untuk penyelenggaraan pemerintahan


daerah di Indonesia pada hakikatnya terdiri dari 3 asas:
1. Asas desentralisasi.
2. Asas dekonsentrasi.
3. Asas tugas pembantuan.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada beberapa peraturan perundangundangan yang
berlaku, antara lain pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah, Pasal 1 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk memperluas pemahaman Anda, di samping ketiga asas tersebut di atas, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, juga dikenal asas Vrijbestuur (free act of
administration).

Anda mungkin juga menyukai