Ditulis dalam rangka untuk menyelasikan tugas mata kuliah Hukum Pidana Internasional
Nama : Moch.Zabbaar.S
NPM : 18.4301.314
Kelas : C
Dosen : Dasuki,S.H.,M.H.
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-
Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaiaan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak,
akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun tentu saja masih terdapat banyak
kekurangan. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaiaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa mendatang.
A. Pendahuluan
Genosida merupakan sebuah kejadian tragis yang sangat menarik perhatian para
masyarakat dunia. Dalam hal ini genosida merupakan sebuah usaha suatu etnik untuk
menghancurkan suatu etnik lainnya dengan cara pembunuhan massal. Kasus ini merupakan
pelanggaran HAM yang sangat berat dalam yurisdiksi International Criminal Court, karena
hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dengan cara pembunuhan massal atau disebut juga
sebagai pembantaian.
Bukan hanya pemusnahan terhadap suatu etnik tertentu, tetapi juga dilakukan
terhadap penguasa-penguasa otoriter dan diktator terhadap para mahasiswa, politisi, dan
semua yang kritis terhadap pemerintah, menghilangkan lawan-lawan politik pemerintah,
kebijaksanaan apartheid yang menghina dan menderitakan sejumlah besar manusia, dan
sebagainya dengan cara yang berbeda-beda.
Kasus genosida ini banyak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Namun,
penanganannya tidak dilakukan secara tuntas. Salah satu faktornya karena hukum
internasional yang terkait masalah tersebut pun baru didirikan pada tahun 2002, padahal aksi
tindakan pembantaian atau genosida ini telah terjadi di abad sebelum masehi.
Menurut rentetan sejarahnya, genosida muncul oleh pembantaian kaum yahudi terhadap
bangsa Kanaan di abad sebelum masehi, kemudian disusul oleh pembantaian bangsa Helvetia
yang dilakukan oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM, kemudian pembantaian suku bangsa
Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia pada abad ke-7, serta berbagai
kejadian genosida besar lainnya seperti Nazi terhadap Yahudi serta Rwanda.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas. Maka, penulis dalam
makalah ini akan membahas topik mengenai Genosida dan penjelasannya yang akan
diuraikan dengan jelas.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan mengenai hal yang telah diuraikan di atas, sehingga kami dapat memberikan
rumusan masalah mengenai Materi Genosida sebagai tujuan yang digunakan untuk acuan
dalam makalah ini.
Rumusan masalah antara lain:
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama
dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan
mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam
kelompok ke kelompok lain.
Genosida merupakan salah satu jenis pelanggaran berat yang menarik perhatian dunia
internasional. Karena genosida telah menjadi sebuah ancaman yang melanggar berat Hak
Asasi Manusia terhadap suatu kelompok yang menjadi korban pembantaian. Pelanggaran ini
juga termaktub dalam yurisdiksi International Criminal Court bersamaaan dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
2. Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972
4. Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.
5. Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.
6. Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika
terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan
Palestina.
Kejadian-kejadian diatas tidak pernah diproses secara hukum, baik melalui pengadilan
nasional ataupun International Court of Justice (ICJ). Namun dalam perkembangannya, ada
beberapa kasus yang kemudian diadili oleh badan peradilan internasional baik permanen
maupun adhoc1, yaitu :
1. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan
oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap
suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama
sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat
dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan
dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR
dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.
3. Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau
yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada
tahun 2007.
Dari berbagai peristiwa genosida diatas, dapat dikatakan bahwa peran mahkamah
pengadilan hukum internasional tidak menjalankan pencegahan serta pengadilan yang adil
terhadap kasus genosida. Alasannya karena beberapa negara menolak amnesti yang diberikan
oleh mahkamah pengadilan bagi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka
menilai bahwa mengadili pelaku kejahatan tidak menjamin akan terulangnya kejadian yang
serupa di masa depan.
1
Adhoc adalah sementara, namun dalam bahasa latin ialah untuk tujuan tertentu
dapat dilangkahi oleh perjanjian yang ditandatangani negara tersebut. Seperti dijelaskan Pasal
27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, “salah satu pihak tidak boleh menggunakan
ketentuan hukum nasionalnya sebagai justifikasi atas kegagalannya menaati sebuah
perjanjian.” Beberapa konvensi yang diberlakukan diantaranya adalah konvensi jenewa 1949,
konvensi genosida, dan konvensi penyiksaan. Konvensi-konvensi tersebut diberlakukan
untuk pemberian amnesti terhadap orang-orang yang memiliki kriteria sesuai definisi dalam
konvensi tersebut yang dinegosiasikan dalam konteks perang dingin, jadi konvensi tersebut
diberlakukan hanya dalam situasi tertentu saja.
Para negara yang menandatangani konvensi Jenewa ini memiliki hak untuk
menyelidiki, mengadili serta menghukum para pelanggar HAM berat tersebut, kecuali
mereka menyerahkan hak tersebut kepada pihak negara lainnya. Commentary to the
Conventions, merupakan bukti yang mewajibkan untuk mengadili para pelaku pelanggar
HAM tersebut dan bersifat mutlak memberikan imunitas atau amnesti dari pengadilan
terhadap pelanggaran berat. Namun, kewajiban untuk mengadili tersebut terbatas untuk
konteks konflik bersenjata internasional.
perlu ada jumlah kekerasan yang amat besar untuk bisa disebut sebagai konflik
bersenjata, untuk membedakannya dari gangguan dengan tingkat lebih rendah seperti
kerusuhan atau pertempuran sporadis yang terisolir.
Konvensi Genosida
Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 12 Januari 1952 dan telah diratifikasi oleh
banyak negara. Dalam konvensi ini, telah memberikan kewajiban mutlak untuk mengadili
pelaku yang bertanggung jawab atas terjadinya tindakan genosida. Namun, dalam konvensi
ini juga terdapat persyaratan untuk mewajibkan negara-negara dalam konvensi ini dalam
mengadili kejahatan genosida, yaitu:
konvensi tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk
menghancurkan sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran.
para korban harus merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan dalam Konvensi
Genosida, yaitu nasional, etnik, rasial atau religius.
Konvensi Penyiksaan
Konvensi ini berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 dan disahkan oleh 79 negara. Dalam
konvensi ini mensyaratkan kepada semua negara yang menandatangani konvensi ini untuk
menjadikan semua tindakan penyiksaan sebagai pelanggaran hukum domestiknya,
menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran tersebut apabila tersangka pelaku adalah
warga negara tersebut, dan bila negara tidak mengekstradisi tersangka penyiksaan, Konvensi
mewajibkannya untuk menyerahkan kasus tersebut pada otoritas yang kompeten untuk proses
pengadilan.
Dalam konvensi ini, berbeda dengan konvensi-konvensi yang telah disebutkan diatas.
Konvensi umum HAM ini meliputi kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik,
Konvensi Eropa untuk perlindungan HAM dan kebebasan mendasar tidak memiliki
kewajiban untuk mengadili para pelaku pelanggaran terhadap hal tersebut, tetapi memang
dalam konvensi-konvensi tersebut mewajibkan negara-negaranya untuk melindungi dan
menjamin HAM atas masyarakatnya.
Beberapa kriteria yang terdapat dalam hukum ini yang dapat dikatakan sebagai
genosida adalah, antara lain:
Mensyaratkan bahwa tindakan tidak manusiawi tersebut tersebar luas atau sistematis,
bukan hanya tindakan terisolir atau random.
Kejahatan terhadap kemanusiaan dibatasi pada tindakan tidak manusiawi yang
dilakukan terhadap warga sipil, bukan anggota angkatan bersenjata.
Mencakup tindakan yang dilakukan atas dasar politik, menunjukan perbedaan penting
antara kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum kebiasaan internasional dan
Kejahatan genosida yang oleh konvensi genosida dibatasi di luar “kelompok politik.”
Dilihat dari pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka
unsur-unsur kejahatan genosida secara umum adalah:
1. Korban berasal dari bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu,
2. Pelaku berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis,
ras atau agama tertentu.
Selanjutnya, bila melihat dari setiap kata dalam pengertian genosida yang tercantum
dalam Statuta Roma pasal 6, maka dapatdiketahui adanya beberapa unsur khusus di
dalamnya. Unsur-unsur khusus tersebut yakni:
4. Mencegah kelahiran.
Unsur yang didapat dari kalimat ini adalah pelaku memaksakan tindakan yang
dimaksudkan untuk mencegah kelahiran tersebut. Tindakan-tindakan tersebut mencakup
tindakan: sterilisasi, aborsi paksa, pemisahan pria dan wanita, dan menghambat perkawinan.
Sejalan diberlakukannya kedua konvensi itu, muncul beberapa instrumen yang lain
dan hadir seperti:
Konsep mengenai genosida sendiri telah dilegalkan dalam dokumen formal pasal 6 (c)
dari piagam Nuremburg pada 8 Oktober 1945. Beberapa pelaku pelanggaran berat
mendapatkan pengadilan dan dituduh melakukan tindak genosida, yaitu ‘the extermination of
racial and national groups, against the civilian populations of certain occupied territories in
order to destroy particular races and classes of people and national, racial or religious
groups’. Hal ini menyebabkan Majelis Umum PBB secara bulat mengeluarkan resolusi yang
mengatakan bahwa Genosida merupakan kejahatan yang melanggar hukum internasional.
Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc committee on
Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida. Konvensi ini disetujui
oleh Majelis Umum PBB 8 bulan kemudian setelah diajukan.
Dalam konvensi genosida juga telah menyatakan bahwa genosida merupakan suatu
kejahatan internasional yang dapat dihukum, baik ia melakukan di waktu perang maupun
damai.
(1) Diadili didepan pengadilan negara yang di wilayahnya telah dilakukan tindakan
genosida tersebut.
(3) Pelaku tindakan genosida dapat diajukan ke badan-badan PBB yang berwenang.
Dalam hukum internasional, genosida merupakan masalah yang harus dicegah dan harus
diadili sesuai dengan hukum yang telah diciptakan. Dalam yurisdiksi International Criminal
Court, genosida merupakan pelanggaran HAM berat. Namun, ternyata pengadilan yang
akan diberikan kepada para pelanggar kejahatan kemanusiaan tidak mudah diberikan,
karena dalam konvensi-konvensi hukum internasional terdapat beberapa syarat yang
menyebutkan kasus kejahatan tersebut termasuk dalam kejahatan genosda atau tidak.
Aplikasi hukum internasional terhadap kasus genosida ternyata belum efektif walau
masalah ini telah banyak termuat dalam banyak konvensi baik yang diratifikasi oleh PBB
maupun instrumen-instrumen lainnya. Ternyata Mahkamah Internasional tidak memiliki
kekuatan yang besar dalam menegakkan keputusannya mengenai hukum internasional dan
tidak semua negara memberlakukan hukum internasional di dalam negaranya. Sehingga
negara-negara hanya memberlakukan hukum internasional berdasarkan kemauan maupun
kehendak dari negara masing-masing.
Kedaulatan negara merupakan faktor yang kuat yang dapat memperlemah hukum
internasional. Bahkan setelah PBB mensahkan Konvensi Genosida tahun 1948, hukum
internasional tersebut berlaku tergantung negara-negara yang menyetujuinya atau negara-
negara yang ingin meratifikasi konvensi tersebut ke dalam negaranya sendiri. Hal inilah yang
masih menyulitkan berlakunya konvensi ini dan mempersulit penegakan hukumnya, dalam
hal ini masalah pencegahan maupun pengadilan terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan
(genosida).