Anda di halaman 1dari 12

Makalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Ditulis dalam rangka untuk menyelasikan tugas mata kuliah Hukum Pidana Internasional

Nama : Moch.Zabbaar.S
NPM : 18.4301.314
Kelas : C
Dosen : Dasuki,S.H.,M.H.

Sekolah Tinggi Hukum Bandung

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-
Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaiaan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak,
akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun tentu saja masih terdapat banyak
kekurangan. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaiaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa mendatang.
A. Pendahuluan
Genosida merupakan sebuah kejadian tragis yang sangat menarik perhatian para
masyarakat dunia. Dalam hal ini genosida merupakan sebuah usaha suatu etnik untuk
menghancurkan suatu etnik lainnya dengan cara pembunuhan massal. Kasus ini merupakan
pelanggaran HAM yang sangat berat dalam yurisdiksi International Criminal Court, karena
hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dengan cara pembunuhan massal atau disebut juga
sebagai pembantaian.

Bukan hanya pemusnahan terhadap suatu etnik tertentu, tetapi juga dilakukan
terhadap penguasa-penguasa otoriter dan diktator terhadap para mahasiswa, politisi, dan
semua yang kritis terhadap pemerintah, menghilangkan lawan-lawan politik pemerintah,
kebijaksanaan apartheid yang menghina dan menderitakan sejumlah besar manusia, dan
sebagainya dengan cara yang berbeda-beda.

Kasus genosida ini banyak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Namun,
penanganannya tidak dilakukan secara tuntas. Salah satu faktornya karena hukum
internasional yang terkait masalah tersebut pun baru didirikan pada tahun 2002, padahal aksi
tindakan pembantaian atau genosida ini telah terjadi di abad sebelum masehi.
Menurut rentetan sejarahnya, genosida muncul oleh pembantaian kaum yahudi terhadap
bangsa Kanaan di abad sebelum masehi, kemudian disusul oleh pembantaian bangsa Helvetia
yang dilakukan oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM, kemudian pembantaian suku bangsa
Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia pada abad ke-7, serta berbagai
kejadian genosida besar lainnya seperti Nazi terhadap Yahudi serta Rwanda.

Berawal dari tindakan rasisme suatu kelompok kemudian menjadi sebuah


pembantaian besar-besaran terhadap suatu kelompok, ras, suku, maupun agama karena
dianggap tidak pantas untuk lebih berkuasa daripada kaum yang melakukan penindasan
tersebut, dapat dikatakan kaum yang melakukan penindasan tersebut merupakan kaum
superior. Hal ini menimbulkan kerugian yang sangat besar karena menyebabkan pembunuhan
terhadap orang yang tidak bersalah serta melanggar hak mereka atas kebebesan terutama
untuk hidup. Kekerasan genosida ini telah menjadi perbincangan dunia sejak pertengahan
tahun 1940-an dan masuk dalam pembahasan hukum internasional karena merupakan sebuah
tindak pelanggaran HAM serta merupakan permasalahan dunia karena benar-benar
merugikan banyak kelompok yang tertindas dan juga mengancam perdamaian dunia.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas. Maka, penulis dalam
makalah ini akan membahas topik mengenai Genosida dan penjelasannya yang akan
diuraikan dengan jelas.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan mengenai hal yang telah diuraikan di atas, sehingga kami dapat memberikan
rumusan masalah mengenai Materi Genosida sebagai tujuan yang digunakan untuk acuan
dalam makalah ini.
Rumusan masalah antara lain:

a. Bagaimana sejarah mengenai Genosida?


b. Jelaskan mengenai unsur-unsur Genosida sehingga dapat dikualifikasikan sebagai
kejahatan Internasional?
c. Seperti apa bentuk penegakan pada tindak kejahatan Genosida?
A. Sejarah Genosida
Genosida berasal dari dua suka kata Yunani dengan “Genos” artinya suku dan “cide”
adalah pembunuhan, yang berarti merupakan pembunuhan suku. (Raphael Lemkin: 1993).

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama
dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan
mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam
kelompok ke kelompok lain.

Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide


(CPPCG), genosida didefinisikan sebagai:

“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in


part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring
about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”

Genosida merupakan salah satu jenis pelanggaran berat yang menarik perhatian dunia
internasional. Karena genosida telah menjadi sebuah ancaman yang melanggar berat Hak
Asasi Manusia terhadap suatu kelompok yang menjadi korban pembantaian. Pelanggaran ini
juga termaktub dalam yurisdiksi International Criminal Court bersamaaan dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Menurut hukum internasional dalam pasal II konvensi, genosida merupakan sebuah


kejahatan yang menurut hukum internasional harus dicegah dan dihukum yang berdasarkan
dengan kesepakatan meraka dalam Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide (CPPCG) tanggal 9 Desember 1948.

Dalam pencegahan dan penghukuman yang tertuang dalam konvensi genosida


tersebut, dalam konvensi menyetujui suatu pengadilan internasional yang mempunyai
yurisdiksi untuk mengadili individu-individu yang melakukan genosida, dapat dibentuk di
negara-negara peserta kelak, namun pasal itu juga mengharuskan pengadilan yang berwenang
dari negara-negara yang ikut serta dalam konvensi untuk menyetujui yurisdiksi atas
pelanggaran sebelum adanya pengadilan internasional, apabila kejahatan itu dilakukan di
wilayahnya. Demikianlah genosida dianggap sebagai kejahatan dalam hukum internasional
yang menarik yuridiksi universal dan norma ius cogens.
Beberapa kejadian yang dianggap sebagai tindakan genosida adalah :
1. Pembunuhan massal terhadap etnis Kurdi oleh Turki di wilayah Dersim pada tahun
1937-1938;

2. Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972

3. Pembunuhan massal oleh Khmer Merah di Kamboja pada pertengahan 1970

4. Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.

5. Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.

6. Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika
terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan
Palestina.

7. Invasi Uni Soviet terhadap Afghanistan selama tahun 1979-1989.

Kejadian-kejadian diatas tidak pernah diproses secara hukum, baik melalui pengadilan
nasional ataupun International Court of Justice (ICJ). Namun dalam perkembangannya, ada
beberapa kasus yang kemudian diadili oleh badan peradilan internasional baik permanen
maupun adhoc1, yaitu :

1. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan
oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap
suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama
sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat
dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan
dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR
dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.

2. Konflik bersaudara di Darfur (Sudan), yang diadili oleh ICC.

3. Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau
yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada
tahun 2007.

Dari berbagai peristiwa genosida diatas, dapat dikatakan bahwa peran mahkamah
pengadilan hukum internasional tidak menjalankan pencegahan serta pengadilan yang adil
terhadap kasus genosida. Alasannya karena beberapa negara menolak amnesti yang diberikan
oleh mahkamah pengadilan bagi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka
menilai bahwa mengadili pelaku kejahatan tidak menjamin akan terulangnya kejadian yang
serupa di masa depan.

Beberapa sumber kewajiban untuk mengadili terdapat dalam konvensi internasional


yang menyatakan bahwa Hak negara untuk memberikan amnesti terhadap suatu kejahatan

1
Adhoc adalah sementara, namun dalam bahasa latin ialah untuk tujuan tertentu
dapat dilangkahi oleh perjanjian yang ditandatangani negara tersebut. Seperti dijelaskan Pasal
27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, “salah satu pihak tidak boleh menggunakan
ketentuan hukum nasionalnya sebagai justifikasi atas kegagalannya menaati sebuah
perjanjian.” Beberapa konvensi yang diberlakukan diantaranya adalah konvensi jenewa 1949,
konvensi genosida, dan konvensi penyiksaan. Konvensi-konvensi tersebut diberlakukan
untuk pemberian amnesti terhadap orang-orang yang memiliki kriteria sesuai definisi dalam
konvensi tersebut yang dinegosiasikan dalam konteks perang dingin, jadi konvensi tersebut
diberlakukan hanya dalam situasi tertentu saja.

 Konvensi Jenewa 1949

Dalam konvensi ini, telah mengkodifikasi aturan internasional tentang perlakuan


terhadap tawanan perang dan warga sipil di wilayah konflik. Dalam konvensi ini memuat
pernyataan spesifik tentang pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan perang di bawah hukum
internasional yang memiliki liabilitas individual dan wajib diadili oleh negara. Pelanggaran
berat tersebut mencakup pembunuhan, penyiksaan dan segala perlakuan tidak manusiawi.

Para negara yang menandatangani konvensi Jenewa ini memiliki hak untuk
menyelidiki, mengadili serta menghukum para pelanggar HAM berat tersebut, kecuali
mereka menyerahkan hak tersebut kepada pihak negara lainnya. Commentary to the
Conventions, merupakan bukti yang mewajibkan untuk mengadili para pelaku pelanggar
HAM tersebut dan bersifat mutlak memberikan imunitas atau amnesti dari pengadilan
terhadap pelanggaran berat. Namun, kewajiban untuk mengadili tersebut terbatas untuk
konteks konflik bersenjata internasional.

Kemudian dalam memberikan amnesti terhadap pelanggar HAM tersebut, dalam


konvensi Jenewa terdapat kriteria yang mewajibkan negara-negara yang menandatangani
konvensi ini sebagai berikut:

 perlu ada jumlah kekerasan yang amat besar untuk bisa disebut sebagai konflik
bersenjata, untuk membedakannya dari gangguan dengan tingkat lebih rendah seperti
kerusuhan atau pertempuran sporadis yang terisolir.

 kekerasan di negara-negara tersebut tidak memiliki karakter internasional seperti yang


dimuat dalam Konvensi Jenewa.

 Konvensi Genosida

Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 12 Januari 1952 dan telah diratifikasi oleh
banyak negara. Dalam konvensi ini, telah memberikan kewajiban mutlak untuk mengadili
pelaku yang bertanggung jawab atas terjadinya tindakan genosida. Namun, dalam konvensi
ini juga terdapat persyaratan untuk mewajibkan negara-negara dalam konvensi ini dalam
mengadili kejahatan genosida, yaitu:

 konvensi tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk
menghancurkan sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran.
 para korban harus merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan dalam Konvensi
Genosida, yaitu nasional, etnik, rasial atau religius.

 Konvensi Penyiksaan

Konvensi ini berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 dan disahkan oleh 79 negara. Dalam
konvensi ini mensyaratkan kepada semua negara yang menandatangani konvensi ini untuk
menjadikan semua tindakan penyiksaan sebagai pelanggaran hukum domestiknya,
menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran tersebut apabila tersangka pelaku adalah
warga negara tersebut, dan bila negara tidak mengekstradisi tersangka penyiksaan, Konvensi
mewajibkannya untuk menyerahkan kasus tersebut pada otoritas yang kompeten untuk proses
pengadilan.

Menurut pengamat, konvensi penyiksaan ini tidak memberikan kewajiban mutlak


terhadap pelanggaran HAM dan tidak secara eksplisit mewajibkan terlaksananya pengadilan,
apalagi pemberian sanksi hukuman, karena konvensi penyiksaan hanya mewajibkan negara
untuk memberikan kasus yang berkaitan dengan tuduhan penyiksaan kepada otoritas yang
mampu memproses kasus tersebut dalam pengadilan dan hanya mewajibkan negara untuk
menjadikan penyiksaan itu dapat dihukum dengan sanksi yang tepat sesuai sifat
kejahatannya.

 Konvensi umum HAM

Dalam konvensi ini, berbeda dengan konvensi-konvensi yang telah disebutkan diatas.
Konvensi umum HAM ini meliputi kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik,
Konvensi Eropa untuk perlindungan HAM dan kebebasan mendasar tidak memiliki
kewajiban untuk mengadili para pelaku pelanggaran terhadap hal tersebut, tetapi memang
dalam konvensi-konvensi tersebut mewajibkan negara-negaranya untuk melindungi dan
menjamin HAM atas masyarakatnya.

 Hukum Kebiasaan Internasional

Beberapa pendapat menyatakan bahwa tindakan kejahatan merupakan tindakan


pelanggaran terhadap HAM yang sangat berat dan dalam hukum ini terdapat kewajiban untuk
mengadili para pelanggar HAM tersebut dan memberikan amnesti karena hal itu merupakan
pelanggaran hukum internasional.

Beberapa kriteria yang terdapat dalam hukum ini yang dapat dikatakan sebagai
genosida adalah, antara lain:

 Membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari tindakan yang tidak melanggar


hukum (seperti pemenjaraan atau deportasi) yang dilakukan setelah keputusan hukum
atau administratif yang valid setelah proses yang lengkap dan adil.

 Mensyaratkan bahwa tindakan tidak manusiawi tersebut tersebar luas atau sistematis,
bukan hanya tindakan terisolir atau random.
 Kejahatan terhadap kemanusiaan dibatasi pada tindakan tidak manusiawi yang
dilakukan terhadap warga sipil, bukan anggota angkatan bersenjata.

 Mencakup tindakan yang dilakukan atas dasar politik, menunjukan perbedaan penting
antara kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum kebiasaan internasional dan

 Kejahatan genosida yang oleh konvensi genosida dibatasi di luar “kelompok politik.”

B. Unsur-Unsur Tindak Kejahatan Genosida


Genosida diatur di dalam Statuta Roma bersamaan dengan peraturan tentang
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dalam pasal 6
Statuta Roma disebutkan bahwa genosida merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara
sistematis dengan tujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa,
etnis, ras, atau kelompok, seperti:
1. Membunuh anggota kelompok,
2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok,
3. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik keseluruhan atau sebagian,
4. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam suatu
kelompok,
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

Dilihat dari pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka
unsur-unsur kejahatan genosida secara umum adalah:
1. Korban berasal dari bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu,
2. Pelaku berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis,
ras atau agama tertentu.

Selanjutnya, bila melihat dari setiap kata dalam pengertian genosida yang tercantum
dalam Statuta Roma pasal 6, maka dapatdiketahui adanya beberapa unsur khusus di
dalamnya. Unsur-unsur khusus tersebut yakni:

1. Melakukan pembunuhan terhadap anggota kelompok.‛


Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku membunuh satu orang atau lebih
dengan niat menyebabkan kematian.

2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat.


Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku menyebabkan luka fisik yang
tampak pada anggota tubuh dan juga luka mental yang serius terhadap satu orang atau lebih.
ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) menjelaskan bahwa penderitaan yang
berat terhadap fisik dan mental tidak perlu bersifat permanen dengan tujuan agar ancaman
ketika interogasi juga masuk dalam unsur ini.
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara
fisik.
Unsurnya yakni; pelaku menibulkan kondisi kehidupan terhadap satu orang atau lebih dan
kondisi tersebut dapat diperhitungkan akan mendatangkan kehancuran fisik terhadap
kelompok tersebut, seluruhnya atau sebagian. Segala jenis tindakan yang mengakibatkan
meninggalnya orang secara perlahan juga dapat dikategorikan dalam hal ini. Contoh dari
unsur ini adalah perkosaan, membuat penduduk kelaparan, kurangnya fasilitas tempat
berteduh yang layak, dipaksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun mental,
mengurangi pelayanan kesehatan sampai di bawah minimum, dan pengusiran paksa.

4. Mencegah kelahiran.
Unsur yang didapat dari kalimat ini adalah pelaku memaksakan tindakan yang
dimaksudkan untuk mencegah kelahiran tersebut. Tindakan-tindakan tersebut mencakup
tindakan: sterilisasi, aborsi paksa, pemisahan pria dan wanita, dan menghambat perkawinan.

5. Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain.‛


Unsur yang didapat dari pengertian ini adalah; pelaku memindahkan secara paksa satu
atau lebih anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain. Anak-anak yang dimaksud di
sini adalah korban yang berusia di bawa 18 tahun dan pelaku mengetahui bahwa korban
berusia di bawah 18 tahun. Pemindahan anak-anak secara paksa tersebut dapat berakibat
serius terhadap masa depan dan kelangsungan terhadap suatu kelompok. ICTR menjelaskan
bahwa tindakan ini juga mencakup tindakan ancaman atau trauma yang dapat mengarah pada
pemindahan anak-anak secara paksa.

C. Penegakan Tindak Kejahatan Genosida


Untuk menjamin HAM setelah kejadian genosida tersebut, akhirnya PBB berhasil
membuat International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International
Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 1966 yang
mengikat anggota-anggota negara PBB. Dalam konvensi tersebut telah mengatur berbagai hal
hak-hak manusia secara sama dalam hukum.

Sejalan diberlakukannya kedua konvensi itu, muncul beberapa instrumen yang lain
dan hadir seperti:

 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide

 Convention relating to the Status of Refugees

 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

 Convention on the Elimination of Discrimination against Women

Kemunculan instrumen-instrumen tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar dalam


pencegahan pelanggaran HAM, seperti kejahatan genosida maupun pelanggaran berat
terhadap HAM lainnya. International Criminal Court (ICC), dalam hal ini sebagai wadah
untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang didirikan berdasarkan Rome Statue
tahun 1998. Dalam Rome Statute tersebut disebutkan bahwa “the most serious crimes of
concern to the international community as a whole”, yang mencakup kejahatan genosida
(genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); kejahatan perang
(war crimes); dan agresi (agression).

Konsep mengenai genosida sendiri telah dilegalkan dalam dokumen formal pasal 6 (c)
dari piagam Nuremburg pada 8 Oktober 1945. Beberapa pelaku pelanggaran berat
mendapatkan pengadilan dan dituduh melakukan tindak genosida, yaitu ‘the extermination of
racial and national groups, against the civilian populations of certain occupied territories in
order to destroy particular races and classes of people and national, racial or religious
groups’. Hal ini menyebabkan Majelis Umum PBB secara bulat mengeluarkan resolusi yang
mengatakan bahwa Genosida merupakan kejahatan yang melanggar hukum internasional.
Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc committee on
Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida. Konvensi ini disetujui
oleh Majelis Umum PBB 8 bulan kemudian setelah diajukan.

Dalam konvensi genosida juga telah menyatakan bahwa genosida merupakan suatu
kejahatan internasional yang dapat dihukum, baik ia melakukan di waktu perang maupun
damai.

Konvensi genosida telah memiliki 4 mekanisme untuk mengadili pelaku tindak


genosida ini, yaitu:

(1) Diadili didepan pengadilan negara yang di wilayahnya telah dilakukan tindakan
genosida tersebut.

(2) Pelaku tindakan genosida diajukan didepan pengadilan internasional.

(3) Pelaku tindakan genosida dapat diajukan ke badan-badan PBB yang berwenang.

(4) Diajukan kedepan mahkamah pengadilan internasional.


D. Kesimpulan
Genosida muncul pada abad ke-1 SM oleh bangsa Helvetia dan berbagai negara lainnya
setelahnya dan mulai diperbincangkan pada pertengahan tahun 1940-an karena telah
merugikan banyak orang yang menjadi korban dan menggangu stabilitas perdamaian dunia.
Dalam hal ini, PBB berhasil mendirikan Universal Declaration of Human Right (1948) untuk
menegakkan perlindungan HAM di dunia serta beberapa konvensi lainnya seperti
International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International
Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Yang didalamnya
termaktub hak atas perlindungan dari penyiksaan dan hak untuk hidup.

Dalam hukum internasional, genosida merupakan masalah yang harus dicegah dan harus
diadili sesuai dengan hukum yang telah diciptakan. Dalam yurisdiksi International Criminal
Court, genosida merupakan pelanggaran HAM berat. Namun, ternyata pengadilan yang
akan diberikan kepada para pelanggar kejahatan kemanusiaan tidak mudah diberikan,
karena dalam konvensi-konvensi hukum internasional terdapat beberapa syarat yang
menyebutkan kasus kejahatan tersebut termasuk dalam kejahatan genosda atau tidak.

Aplikasi hukum internasional terhadap kasus genosida ternyata belum efektif walau
masalah ini telah banyak termuat dalam banyak konvensi baik yang diratifikasi oleh PBB
maupun instrumen-instrumen lainnya. Ternyata Mahkamah Internasional tidak memiliki
kekuatan yang besar dalam menegakkan keputusannya mengenai hukum internasional dan
tidak semua negara memberlakukan hukum internasional di dalam negaranya. Sehingga
negara-negara hanya memberlakukan hukum internasional berdasarkan kemauan maupun
kehendak dari negara masing-masing.

Kedaulatan negara merupakan faktor yang kuat yang dapat memperlemah hukum
internasional. Bahkan setelah PBB mensahkan Konvensi Genosida tahun 1948, hukum
internasional tersebut berlaku tergantung negara-negara yang menyetujuinya atau negara-
negara yang ingin meratifikasi konvensi tersebut ke dalam negaranya sendiri. Hal inilah yang
masih menyulitkan berlakunya konvensi ini dan mempersulit penegakan hukumnya, dalam
hal ini masalah pencegahan maupun pengadilan terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan
(genosida).

Anda mungkin juga menyukai