2021 - 2022
Jl. Cihampelas No.8, Tamansari, Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40116
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Bab 1 Pendahuluan..................................................................................2
Bab 3 Penutup.........................................................................................11
Daftar Pustaka………………………………………………………………………..12
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Pandangan Islam Tentang Perceraian
b. Bagaimana Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam
c. Bagaimana Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui Pandangan Islam Tentang Perceraian
b. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam
c. Untuk mengetahui Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam
3
BAB II
PEMBAHASAAN
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut
istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan
tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan
oleh syara’.1
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq berarti
membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang
merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum
dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh
suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami.2
Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan
antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti
mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga
kedua belah pihak.3
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain:
karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya
putusan Pengadilan.4
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi
suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di
antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk
bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu
1
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h.
175
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.
Liberti, 2004), h. 103
3
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan
Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001 h.7
4
Lihat, Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam
4
rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar
berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah
sangat membenci perceraian tersebut.5
Salah satu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 KHI adalah karena talaq.
Talaq
Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak (țalaq),14 Kata Țalaq diambil dari kata
ițlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan,6 semakna dengan kata talak itu, adalah al-
irsȃl atau tarku, yang berarti melepaskan dan menanggalkan. 7 yaitu melepaskan tali
perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri; atau secara harfiah berarti membebaskan
seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam
mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian, jika terdapat
alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan
yang mendesak.8 Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah
tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi; Sebagaimana HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Țalaq, adalah merupakan perkara halal yang
paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).9)
Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, țalaq adalah:“Țalaq menurut bahasa yaitu membuka
ikatan, yang diambil dari kata ițlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”10
Menurut Wahbah Zuhaily, țalaq ialah: “Țalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau
melepaskan”11
5
Lihat, Hadis yang dikemukakan oleh Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al- ‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah,
Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974,
h.158
6
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 9
7
Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin,
Ciputat, Lembaga penelitian UIN, Jakarta, 2008
8
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 8
9
Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar,
Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
10
Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3, h. 168
11
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik, Dar alFikr, 1989), juz. VII, h. 356
5
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa țalaq itu dapat dipahami sebagai berikut: “Țalaq
menurut istilah syara’ ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan”12 Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya
hubungan suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan țalaq kepada isterinya.
Memperhatikan beberapa pengertian țalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat
diambil dipetik pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan țalaq adalah melepaskan atau
mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
ditetapkan. Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau dilepaskan, maka isteri tidak halal lagi
bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan țalaq ba’in. Tapi apabila suami
melaksanakan țalaq raj’i maka hak țalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami
memiliki hak menjatuhkan țalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan menjadi satu. Dengan
kata lain țalaq raj’i adalah mengurangi pelepasan ikatan perkawinan
12
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. (Bandung: al-Ma’arif, 1998), jilid 8, h. 9
13
Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
14
Lihat Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
15
Pembedaan antara cerai thalaq dan cerai gugatan ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 14 sampai dengan pasal 36. Pasal 14
sampai dengan pasal 18 adalah mengatur tentang cerai thalaq, sementara pasal 20 sampai dengan pasal 36 adalah
mengatur tentang cerai gugatan. (hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan Penjelasan atas PP No. 9 Tahun
1975).
6
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, lalu setelah
bercerai para pihak diharuskan untuk hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
Akibat Terhadap Hubungan Suami-Istri
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau
melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat)
bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a).
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b).
serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk
dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak.
Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita
lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
7
Akibat Terhadap Anak
Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-
anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai
dengan kedudukan suami.
Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya berdasarkan kepentingan anak.
Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak-anaknya.
Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang
memikul biaya anak-anak.
Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan
khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang
Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-
masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang
ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila
terjadi perceraian.
Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta
bersama apabila terjadi perceraian.
8
Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum
yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada.
Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian:
1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum
yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-
masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka
mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut
dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam
menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.
Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya
tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah.
Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai
biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang
selama 90 (sembilan puluh) hari.
Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi.
Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumahsuaminya andaikata ia
masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya.
Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal
dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya
penghidupan.
9
Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai
jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak
dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dan apabila bekas istri tidak
mempunyai mata pencarian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan
biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.
10
BAB III
KESIMPULAN
Ketiga, selanjutnya akibat perceraian sudah diatur pada Pasal 41 UU tentang Perkawinan
yang diantaranya; Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Bapak yang bertanggung-jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut; Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, lalu setelah bercerai para pihak
diharuskan untuk hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Akibat lain dari perceraian adalah
menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang
ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
11
DAFTAR PUSTAKA
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina
Imam, 1993
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,
1974
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, Bandung : Pustaka Setia, 1999, Cet. I
Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1996
Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Bandung: Pustaka Dahlan, 1987, jilid 3
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik, Dar alFikr, 1989, juz. VII
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. Bandung: al-Ma’arif, 1998,
jilid 8
12