Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKIBAT HUKUM TERJADINYA

PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam Lanjut

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2021 - 2022
Jl. Cihampelas No.8, Tamansari, Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40116

Dosen Pengampu Dr. Sofyan Mei Utama, Drs., M.Si.

Disusun Oleh:

Kelompok 4

204301016 Adis Sendi Supraja


204301015 Moch. Nasa A
204301021 Dhea Amalia
204301057 Rizaldy K. Y
204301048 Anisa Meilani F
204301065 Ghizka Andhini
204301033 Novita Agustini
204301018 Sandhy Gerald
DAFTAR ISI
Daftar Isi .................................................................................................1

Bab 1 Pendahuluan..................................................................................2

1.1 Latar Belakang .....................................................................2

1.2 Rumusan Masalah ................................................................3

1.3 Tujuan ...................................................................................3

Bab 2 Pembahasan .................................................................................4

2.1 Pengertian Perceraian dan Dasar hukum Perceraian.............4

2.2 Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam.........5

2.3 Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam...................6

Bab 3 Penutup.........................................................................................11

3.1 Kesimpulan .......................................................................................11

Daftar Pustaka………………………………………………………………………..12

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hakikat perkawinan adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin atau kesejahteraan
materil immateril bagi segenap anggota keluarga yang terdiri dari suami isteri anak dan
segenap keluarga besar suami isteri. Unifikasi laki-laki dan perempuan dalam lembaga
perkawinan diharapkan akan mewujudkan bangunan keluarga yang kokoh, tenteram, penuh
cinta kasih dan sejahtera (Esposito 1982, 16). Bangunan keluarga yang kokoh merupakan
syarat bagi terwujudnya masyarakat yang berkualitas dan sejahtera. Apabila bangunan
keluarga retak kemudian roboh dan bercerai berai maka akan sulit untuk mewujudkan tatanan
masyarakat yang tenteram dan berkualitas.
Kondisi ideal terwujudnya bangunan keluarga seperti itu merupakan harapan semua
orang yang terlibat dalam perkawinan ketika sedang prosesi akad ijab qabul. Seiring dengan
perjalanan waktu dan perkembangan dinamika bahtera rumah tangga, ditemukan banyak
rintangan dan gangguan dalam mewujudkan atau menguatkan hakekat perkawinan. Suami
dan isteri mengambil keputusan untuk mengakhiri perkawinan dengan menanggung segala
akibat yang ditimbulkan dari perceraian tersebut. Bangunan rumah tangga telah runtuh dan
perceraian merupakan pilihan terakhir suami isteri.
Perceraian di dalam hukum Islam atau fiqh munakahat dikenal dengan istilah thalak dan
khuluk. Thalak dan khuluk ini dipahami sebagai perbuatan hukum yang berakibat pada
lepasnya ikatan perkawinan suami isteri dengan tata cara yang makruf atau sesuai adat
istiadat yang baik. Perceraian ini merupakan tindakan hukum yang halal atau boleh akan
tetapi merupakan perbuatan yang paling dibenci oleh Tuhan Yang Maha Esa. Islam mengatur
konstruksi konseptual perceraian berikut akibat hukum yang ditimbulkannya di dalam nash al
Quran dan nash hadis dengan prinsip-prinsip keadilan dan penuh cinta kasih.
Masalah perceraian ini pada implementasinya terkadang menimbulkan pemahaman yang
sangat berbeda dengan substansi konstruksi perceraian dalam Islam. Berdasarkan apa yang
dikemukakan di atas, penulis mencoba merumuskan tentang akibat hukum terjadinya
perceraian dalam hukum islam

2
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Pandangan Islam Tentang Perceraian
b. Bagaimana Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam
c. Bagaimana Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui Pandangan Islam Tentang Perceraian
b. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam
c. Untuk mengetahui Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam

3
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 Pengertian Perceraian dan Dasar hukum Perceraian

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut
istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan
tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan
oleh syara’.1

Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq berarti
membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang
merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum
dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh
suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami.2

Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan
antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti
mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga
kedua belah pihak.3

Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain:
karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya
putusan Pengadilan.4

Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi
suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di
antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk
bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu

1
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h.
175
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.
Liberti, 2004), h. 103
3
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan
Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001 h.7
4
Lihat, Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam

4
rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar
berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah
sangat membenci perceraian tersebut.5

2.2 Pertanggungjawaban Perceraian Dalam Hukum Islam

Salah satu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 KHI adalah karena talaq.

Talaq

Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak (țalaq),14 Kata Țalaq diambil dari kata
ițlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan,6 semakna dengan kata talak itu, adalah al-
irsȃl atau tarku, yang berarti melepaskan dan menanggalkan. 7 yaitu melepaskan tali
perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri; atau secara harfiah berarti membebaskan
seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam
mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian, jika terdapat
alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan
yang mendesak.8 Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah
tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi; Sebagaimana HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Țalaq, adalah merupakan perkara halal yang
paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).9)

Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, țalaq adalah:“Țalaq menurut bahasa yaitu membuka
ikatan, yang diambil dari kata ițlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”10

Menurut Wahbah Zuhaily, țalaq ialah: “Țalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau
melepaskan”11
5
Lihat, Hadis yang dikemukakan oleh Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al- ‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah,
Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974,
h.158
6
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 9
7
Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin,
Ciputat, Lembaga penelitian UIN, Jakarta, 2008
8
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 8
9
Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar,
Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
10
Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3, h. 168
11
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik, Dar alFikr, 1989), juz. VII, h. 356

5
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa țalaq itu dapat dipahami sebagai berikut: “Țalaq
menurut istilah syara’ ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan”12 Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya
hubungan suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan țalaq kepada isterinya.

Memperhatikan beberapa pengertian țalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat
diambil dipetik pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan țalaq adalah melepaskan atau
mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
ditetapkan. Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau dilepaskan, maka isteri tidak halal lagi
bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan țalaq ba’in. Tapi apabila suami
melaksanakan țalaq raj’i maka hak țalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami
memiliki hak menjatuhkan țalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan menjadi satu. Dengan
kata lain țalaq raj’i adalah mengurangi pelepasan ikatan perkawinan

2.3 Akibat Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam

Secara yuridis, perceraian telah diatur dalam UU tentang perkawinan. Didalamnya


dijelaskan bahwa “putusnya suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian,
dan putusan Pengadilan”.13 Kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan
karena perceraian (cerai talak), adalah berbeda halnya dengan putusnya perkawinan karena (cerai
gugat) atau karena kematian. Ditegaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak. 14 Dan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, 15 hal ini dimaksudkan agar dapat
membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal 38 undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat putusnya


perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut :

12
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. (Bandung: al-Ma’arif, 1998), jilid 8, h. 9
13
Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
14
Lihat Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
15
Pembedaan antara cerai thalaq dan cerai gugatan ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 14 sampai dengan pasal 36. Pasal 14
sampai dengan pasal 18 adalah mengatur tentang cerai thalaq, sementara pasal 20 sampai dengan pasal 36 adalah
mengatur tentang cerai gugatan. (hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan Penjelasan atas PP No. 9 Tahun
1975).

6
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

 Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, lalu setelah
bercerai para pihak diharuskan untuk hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
 Akibat Terhadap Hubungan Suami-Istri

Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan


ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian
yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-istri terputus jika
terjadi putusnya hubungan perkawinan.

Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau
melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat)
bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a).

Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b).

serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk
dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak.

Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita
lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.

7
 Akibat Terhadap Anak

Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah erjadi perceraian, bukan berarti


kewajiban suami istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir.

Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-
anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai
dengan kedudukan suami.

Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak


tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.

Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya berdasarkan kepentingan anak.

Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak-anaknya.

Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang
memikul biaya anak-anak.

 Akibat Terhadap Harta Bersama

Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan
khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang
Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.

Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-
masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.

Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang
ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila
terjadi perceraian.

Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta
bersama apabila terjadi perceraian.

8
Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum
yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada.
Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian:

1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum
yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;

2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;

3. Atau hukum-hukum lainnya.

Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-
masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka
mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut
dapat dilaksanakan.

Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam
menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.

 Akibat Terhadap Nafkah

Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya
tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah.

Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai
biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang
selama 90 (sembilan puluh) hari.

Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi.

Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumahsuaminya andaikata ia
masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya.

Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal
dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya
penghidupan.

9
Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai
jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak
dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.

Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang


Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi :

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dan apabila bekas istri tidak
mempunyai mata pencarian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan
biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.

10
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan di atas, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan,


Pertama, dalam Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab
bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tetapi
bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam
memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang
halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.

Kedua, tentang pertanggungjawaban perceraian dalam Islam bahwa yang dimaksud


dengan țalaq adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri
dengan ucapan atau dengan tata cara yang ditetapkan. Setelah ikatan perkawinan itu diangkat
atau dilepaskan, maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami
melaksanakan țalaq ba’in. Tapi apabila suami melaksanakan țalaq raj’i maka hak țalaq berkurang
bagi suami, yang pada awalnya suami memiliki hak menjatuhkan țalaq tiga kali, maka sekarang
menjadi dua dan menjadi satu.

Ketiga, selanjutnya akibat perceraian sudah diatur pada Pasal 41 UU tentang Perkawinan
yang diantaranya; Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Bapak yang bertanggung-jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut; Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, lalu setelah bercerai para pihak
diharuskan untuk hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Akibat lain dari perceraian adalah
menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang
ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

11
DAFTAR PUSTAKA

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina
Imam, 1993

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun


1974, Yogyakarta: PT. Liberti, 2004

Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian


Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001

Kompilasi Hukum Islam

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,
1974

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, Bandung : Pustaka Setia, 1999, Cet. I

Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994

Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1996

Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3

Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Bandung: Pustaka Dahlan, 1987, jilid 3

Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik, Dar alFikr, 1989, juz. VII

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. Bandung: al-Ma’arif, 1998,
jilid 8

UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

PP No. 9 Tahun 1975

12

Anda mungkin juga menyukai