Anda di halaman 1dari 7

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH 2.

7
“Pemerintahan Daerah Pada Negara Federal-Kesatuan dan Konsep Legal Otonomi”

Nama :Khairunisa
No. BP 2110113089

A. Pemerintahan daerah pada Negara Federal


Model Negara Federal beranhkat dari suatu asumsi dasar bahwa ia dibentuk
oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang mana sejak awal memiliki
kedaulatan atau semacam pada dirinya masing-masing. Negara-negara itu yang
kemudian sepakat untuk membentuk sebuah federal. Dengan kata lain, negara atau
wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua
kekuasaan yang kemudian diserahkan kepada pemerintahan federal. Pemerintahan
federak ini diberikan kekuasaan dibidang moneter, pertahanan, peradilan, dan
hubungan luar negeri.
Defenisi dari Negara Federal bahwa negara federal itu merupakan negara yang
tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri kemmudiaan negara-negara
itu mengadakan ikatan kerjasama yang efektif, namun negara-negara itu masih ingin
mempunyai wewenang-wewenang yang dapat diurus sendiri. Jadi, semua urusan itu
tidak diserahkan kepada pemerintah gabungannya atau pemerintah federal, tetapi
masih ada beberapa urusan tertentu yang tetap harus disurus sendiri.1

B. Pemerintahan daerah pada Negara Kesatuan


Dalam Negara Kesatuan, formasi Negara Kesatuan itu dideklarasi saat
nkemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seleuruh wilayahnya
sebagai bagian dari satu negara. dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-
daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh
Pemerintah Pusat untuk mengurusi berbagai kepentingan masyarakatnya.
Di Indonesia sendiri daerah-daerah itu disebut dengan provinsi. Provinsi inilah
yang akan diberi kedaulatan untuk mengurus rumah tangganya sendiri untuk hal-hal
yang sudah ditentukan oleh pemerintahan pusat. Disini diasumsikan bahwa negaralah
yang menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan daerha itu pada dasarnya adalah
kekuasaan pustay yang disentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah
otonom. Jadi snagat jelas bahwa otonomi daerah merupakan wujud dari kekuasaan.2

C. Urgensi dan Alasan Dilaksanakan Pemrintahan Daerah


Pengaturan tentang Perda dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
antara lain ditemui dalam Pasal 136, yang mementukan bahwa Perda ditetapkan oleh
kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Materi muatan Perda
meliputi: pertama, penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan
tugas
1
Indah Sari, “FEDERAL VERSUS KESATUAN: SEBUAH PROSES PENCARIAN TERHADAP BENTUK
NEGARA DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Vol. 5, No. 2
(2015), hlm. 44-46
2
Ibid. hlm. 43-44
pembantuan. Kedua merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah bahwa Perda merupakan isntrumen
penting untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah. Karena dengan prinsip
otonomi luas dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka hampir semua urusan
pemerintahan menjadi urusan pemerintah daerah, kecuali bidang yang secara khusus
tidak diserahkan kepada daerah, yaitu :
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama
Dengan semakin luasnya kewenangan dareah, maka sebanyak itu pula urusan
yang perlu diatur dalam Perda. Selain itu Perda juga dibentuk sebagai penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.3

D. Desentralisasi, Otonomi Daerah, Dekonsentrasi dan Medebewind


1. Desentralisasi
Ada beberapa pemaknaan tentang desentralisasi dari masing-masing
pakar:
a. Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dan kewenangan;
b. Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan;
c. Desentarilassi sebagai pembagian, peneybaran, pemencaraan, dan
oembagian kekuasaan dan kewenangan serta;
d. Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pemebntukan
daerah pemerintahan.
Secara garis besar desentralisasi merupakan pelimpahan kekuasaan dan
kewenangan dari pusat kepada daerha dimana kewenangan yang bersifat
otonomdiberi kewenangan dapat melaksanakan pemerintahannya sendiri tanpa
intervensi dari pusat.4
Desentralisasi pada dasarnya terjadi setelah sentralisasi melalui asas
dekonsentrasi tidak dapat melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dalam
arti pemerintahan gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis.
Suatu pemerintahan yang mampu mengakomodasikan unsure-unsur yang
bersifat kedaerahan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah. Oleh karena itu
urusan pemerintahan yang merupakan wewenang pemerintah (pusat) sebagian
harus diserahkan kepada organ Negara lain yang ada didaerah (pemerintah
daaerah), untuk diurus sebagai rumah tangganya. Proses penyerahan sebagian

3
Maryati, “URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH”, hln. 68-69.
4
Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011) h. 17-18
urusan pemerintahan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya
inilah yang disebut desentralisasi.5
Desentralisasi itu berasal pada sentralisasi yang tidak mampu lagi
menyesuaikan n dengan kondisi suatu Negara kesatuan yang memiliki wilayah
yang luas dengan jumlah penduduk yang besar, yang terdiri dari berbagai
suku, adat istiadat dan agama, dengan kondisi demikian sentralisasi
menghadapi tantangan berupa tuntutan-tuntutan daerah karena pemerintahan
yang sentralistik dilaksanakan berdasarkan kebijakan pusat, konsekuaensi dari
luas wilayah, keragaman suku, adat istiadat, dan agama adalah daerah
memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda sehingga diperlukan
suatu pemerintahan yang mampu mengakomodasi kepentiusangan yang
berbeda setiap daerah.
Tujuan desentralisasi adalah agar penyelenggaraan pemerintahan
didaerah lebih disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan
merupakan kebalikan dari sentralisasi.Dalam sistem sentralisasi, kewenangan
pemrintah baik dipusat maupun didaerah, dipusatkan dalam tangan pemerintah
pusat.Pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah
pusat. Dalam sistem desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat
dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.

2. Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang pusat kepada
daerah yang bersifat menjalankan peraturan-peraturan dan keputusan-
keputusan pusat lainya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat
berprakarsa menciptakan peraturan dan/ atau membuat keputusan bentuk
lainya untuk kemudian dilaksanakan sendiri. Pendelegasian dalam asas
dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat dipemerintahan
pusat kepada petugas perorangan pusat dipemerintahan.6

3. Medebewind (Tugas Pembantuan)


Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat
diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind).
Tugas pembantuan dalam pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut
melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
tingkat atasnya.
Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam
“terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas
pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada
penyerahan penuh. Bidang tugas pembantuan seharusnya bertolak dari:

5
Titik Triwulan, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Prestasi pustaka, 2010). h. 122
6
Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011)
1) Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dengan
demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai penyeleng-
garaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang
bersangkutan.
2) Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur
otonomi (walaupun terbatas pada cara melaksanakan), karena
itu daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
cara- cara melaksanakan tugas pembantuan.
3) Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung
unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen).
Perbedaannya, kalau otonomi adalah penyerahan penuh
sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.

4. Otonomi Daerah
Otonomi daerah seluas luasnya muncul sebagai bentuk tuntuntan
masyarakat terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh
tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam
pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintahan maupun masyarakat
daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat
tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah
daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan tidak
ada perencanaan murni dari daerah karena pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi. Kebijakan otonomi daerah seluas luasnya lahir ditengah
gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama
25 tahun pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya. Semua
mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum orde baru
berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas
politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi orde baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh
dari rakyat.
Baru setelah reformasi 1998 kemudian otonomi daerah yang seluas
luasnya diterapkan dengan harapan dapat lebih menjamin kreativitas, inovasi
dan partisipasi masyarakat daerah dalam negara kesatuan dengan
ditetapkannya Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Hal ini merupakan sebuah jawaban atas tuntutan yang menguat atas
pemerintahan daerah yang lebih otonom, sehingga masalah-masalah
terselesaikan pada tingkat lokal, juga akan memberi kemampuan yang besar
bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah-masalah besar yang
berskala nasional.
Namun dalam perjalannya format otonomi daerah pada era reformasi
ini telah mengalami perubahan substansif dengan dilakukan amandemen
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 karena dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini kembali mengalami
perubahan, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan daerah. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
pergeseran politik desentralisasi ke arah resentralisasi atau dengan kata lain
menyimbangkan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi.
Format Otonomi Daerah yang seluas luasnya ini sesungguhnya
merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk
membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi
hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh
kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah.
Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun
daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundangundangan.7

E. Ajaran Rumah Tangga Daerah


1. Ajaran Rumah Tangga Materiil
Pengertian rumah tangga materiil atau ajaran rumah tangga materiil
(materiele huishoudingsleer) adalah suatu sistem dalam penyerahan urusan
rumah tangga daerah. antara pemerintah pusat dan daerah terdapat undang-
undang yang diperinci secara tegas di dalam undangundang pembentukannya.
Di dalam ajaran ini ada yang disebut taak verdeling antara pusat dan daerah.
Jadi, apa yang tidak tercantum dalam rincian itu tidak termasuk kepada urusan
rumah tangga daerah. Daerah tidak mempunayai kewenangan untuk mengatur
kegiatan di luar yang sudah diperinci atau yang telah ditetapkan.
Bila ditinjau secara seksama, akan kelihatan bahwa isi dan luas
otonomi itu akan sangat terbatas. Daerah yang bersangkutan tidak dapat
melakukan sesuatu yang tidak tersebut dalam undang-undang
pembentukannya. Segala langkah kerja daerah itu tidak dapat keluar dari
ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam undang-undang. Daerah itu
tidak dapat secara leluasa bergerak dan mengembangkan inisiatifnya. kecuali
rumah tangganya, menurut tingkatan dan ruang lingkup pemerintahannya. Di
dalam literatur Belanda ada ajaran yang disebut sebagai de drie kringenleer
yang menganjurkan ditetapkannya secara pasti mana soal-soal yang masuk
lingkungan negara, lingkungan propinsi, dan lingkungan gemeente. Dengan
demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk berprakarsa dan
mengembangkan potensi wilyah di luar urusan yang tercantum dalam undang-
undang pembentukannya. Padahal, kebebasan untuk berprakars, memilih
alternatif dan mengambil keputusan justru merupakan prinsip dasar dalam
mengembangkan otonomi daerah. Karena kelemahan yang terdapat dalam
ajaran rumah tangga materiil ini, orang cenderung untuk memilih ajaran
rumah tangga formal.

7
Andi Azikin, “MAKNA OTONOMI DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
DAERAH PADA ERA REFORMASI”, Jurnal MP (Manajemen Pemerintahan) Vol. 5, No. 1/ Juni 2018: 35 –
41.
2. Ajaran Rumah Tangga Formal
l (formele huishoudingsleer), tidak ada perbedaan sifat antara urusan-
urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan oleh daerah-daerah
otonom. Yang dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang satu pada
prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Bila
dilakukan pembagian tugas, hal itu semata-mata didasarkan atas pertimbangan
rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu tidak karena materi yang diatur
berbeda sifatnya, tetapi sematamata karena keyakinan bahwa kepentingan-
kepentingan daerah itu dapat lebih baik dan lebih berhasil diselenggarakan
sendiri oleh setiap daerah daripada oleh pemerintah pusat. Jadi, pertimbangan
efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu dan bukan disebabkan
perbedaan sifat dari urusan-urusan yang menjadi tanggungan masing-masing
(Rachmat Soemitro, 1983:34).
Secara positif sistem rumah tangga formal sudah memenuhi kriteria
keleluasaan berprakarsa bagi daerah untuk mengembangkan otonomi
daerahnya. Di lain pihak, sistem ini kurang memberi kesempatan kepada
pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyerasikan dan
menyeimbangkan pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan
potensinya tidak sama. Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah berinisiatif
sendiri, tanpa melihat kondisi dan potensi riil daerah masing-masing. Bagi
daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan, keleluasaan dan inisiatif
daerah akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat.
sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan potensinya kurang menguntungkan
(minus, miskin, terpencil, dan sebagainya), keleluasaan dan prakarsa
dihadapinya. Oleh karena itu, intervensi pemerintah pusat untuk pemerataan
dan memelihara keseimbangan laju pertumbuhan antar daerah, dipandang
perlu.

3. Ajaran Rumah Tangga Riil


tangga formal, dengan tidak melepaskan prisip sistem rumah tangga
formal. Konsep rumah tangga riil bertitik tolak dari pemikiran yang
mendasarkan diri kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata mendasarkan
diri kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata untuk mencapai keserasian
antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik yang ada pada daerah
sendiri maupun di pusat. Dengan demikian, pemerintah pusat memperlakukan
pemerintah daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pusat.
d control depends largely on the capability of the local authorities. Di
dalam sistem rumah tangga riil dianut kebijakan bahwa setiap undang-undang
pembentukan daerah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga daerah
yang dinyatakan sebagai modal pangkal dengan disertai segala atributnya,
berupa kewenangan, personil, alat perlengkapan dan sumber pembiayaan.
Dengan modal pangkal itu, setiap saat urusan-urusan tersebut dapat ditambah
sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Cara
ini menurut Tresna telah ditetapkan sejak zaman Belanda, misalnya dalam
Instekkingsodonantie Provincie West Java (S. 1925-378).
Ada beberapa keuntungan apabila ajaran rumah tangga riil ini
diterapkan. Pertama, sistem rumah tangga riil memberikan kesempatan kepada
daerah yang beraneka ragam (heterogeneous) untuk menyesuaikan faktor-
faktor otonomi itu dengan keadaan daerahnya masing-masing. Kedua, sistem
ini berlandaskan kepada faktor-faktor yang nyata di daerah dan
memperhatikan keadaan khusus (local spesific) daerah. Ketiga, sistem ini
mengandung fleksibilitas tanpa mengurangi kepastian sehingga daerah bebas
berprakarsa mengembangkan modal pangkal yang sudah ada, dengan
memperoleh bimbingan/pembinaan tanpa melepaskan pengawasan pusat.
Keempat, sampai seberapa jauh pusat melakukan pembinaan dan campur
tangan terhadap daerah tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah itu
sendiri. Kelima, prakarsa untuk mengembangkan urusan di luar modal pangkal
juga bisa dilakukan, asal tidak bertentangan dengan atau belum/tidak diatur
oleh pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi. Keenam, sistem ini
memperhatikan keseimbangan pertumbuhan antar-daerah.

Anda mungkin juga menyukai