7
“Pemerintahan Daerah Pada Negara Federal-Kesatuan dan Konsep Legal Otonomi”
Nama :Khairunisa
No. BP 2110113089
3
Maryati, “URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH”, hln. 68-69.
4
Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011) h. 17-18
urusan pemerintahan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya
inilah yang disebut desentralisasi.5
Desentralisasi itu berasal pada sentralisasi yang tidak mampu lagi
menyesuaikan n dengan kondisi suatu Negara kesatuan yang memiliki wilayah
yang luas dengan jumlah penduduk yang besar, yang terdiri dari berbagai
suku, adat istiadat dan agama, dengan kondisi demikian sentralisasi
menghadapi tantangan berupa tuntutan-tuntutan daerah karena pemerintahan
yang sentralistik dilaksanakan berdasarkan kebijakan pusat, konsekuaensi dari
luas wilayah, keragaman suku, adat istiadat, dan agama adalah daerah
memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda sehingga diperlukan
suatu pemerintahan yang mampu mengakomodasi kepentiusangan yang
berbeda setiap daerah.
Tujuan desentralisasi adalah agar penyelenggaraan pemerintahan
didaerah lebih disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan
merupakan kebalikan dari sentralisasi.Dalam sistem sentralisasi, kewenangan
pemrintah baik dipusat maupun didaerah, dipusatkan dalam tangan pemerintah
pusat.Pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah
pusat. Dalam sistem desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat
dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
2. Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang pusat kepada
daerah yang bersifat menjalankan peraturan-peraturan dan keputusan-
keputusan pusat lainya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat
berprakarsa menciptakan peraturan dan/ atau membuat keputusan bentuk
lainya untuk kemudian dilaksanakan sendiri. Pendelegasian dalam asas
dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat dipemerintahan
pusat kepada petugas perorangan pusat dipemerintahan.6
5
Titik Triwulan, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Prestasi pustaka, 2010). h. 122
6
Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011)
1) Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dengan
demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai penyeleng-
garaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang
bersangkutan.
2) Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur
otonomi (walaupun terbatas pada cara melaksanakan), karena
itu daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
cara- cara melaksanakan tugas pembantuan.
3) Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung
unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen).
Perbedaannya, kalau otonomi adalah penyerahan penuh
sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.
4. Otonomi Daerah
Otonomi daerah seluas luasnya muncul sebagai bentuk tuntuntan
masyarakat terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh
tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam
pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintahan maupun masyarakat
daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat
tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah
daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan tidak
ada perencanaan murni dari daerah karena pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi. Kebijakan otonomi daerah seluas luasnya lahir ditengah
gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama
25 tahun pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya. Semua
mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum orde baru
berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas
politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi orde baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh
dari rakyat.
Baru setelah reformasi 1998 kemudian otonomi daerah yang seluas
luasnya diterapkan dengan harapan dapat lebih menjamin kreativitas, inovasi
dan partisipasi masyarakat daerah dalam negara kesatuan dengan
ditetapkannya Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Hal ini merupakan sebuah jawaban atas tuntutan yang menguat atas
pemerintahan daerah yang lebih otonom, sehingga masalah-masalah
terselesaikan pada tingkat lokal, juga akan memberi kemampuan yang besar
bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah-masalah besar yang
berskala nasional.
Namun dalam perjalannya format otonomi daerah pada era reformasi
ini telah mengalami perubahan substansif dengan dilakukan amandemen
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 karena dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini kembali mengalami
perubahan, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan daerah. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
pergeseran politik desentralisasi ke arah resentralisasi atau dengan kata lain
menyimbangkan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi.
Format Otonomi Daerah yang seluas luasnya ini sesungguhnya
merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk
membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi
hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh
kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah.
Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun
daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundangundangan.7
7
Andi Azikin, “MAKNA OTONOMI DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
DAERAH PADA ERA REFORMASI”, Jurnal MP (Manajemen Pemerintahan) Vol. 5, No. 1/ Juni 2018: 35 –
41.
2. Ajaran Rumah Tangga Formal
l (formele huishoudingsleer), tidak ada perbedaan sifat antara urusan-
urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan oleh daerah-daerah
otonom. Yang dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang satu pada
prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Bila
dilakukan pembagian tugas, hal itu semata-mata didasarkan atas pertimbangan
rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu tidak karena materi yang diatur
berbeda sifatnya, tetapi sematamata karena keyakinan bahwa kepentingan-
kepentingan daerah itu dapat lebih baik dan lebih berhasil diselenggarakan
sendiri oleh setiap daerah daripada oleh pemerintah pusat. Jadi, pertimbangan
efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu dan bukan disebabkan
perbedaan sifat dari urusan-urusan yang menjadi tanggungan masing-masing
(Rachmat Soemitro, 1983:34).
Secara positif sistem rumah tangga formal sudah memenuhi kriteria
keleluasaan berprakarsa bagi daerah untuk mengembangkan otonomi
daerahnya. Di lain pihak, sistem ini kurang memberi kesempatan kepada
pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyerasikan dan
menyeimbangkan pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan
potensinya tidak sama. Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah berinisiatif
sendiri, tanpa melihat kondisi dan potensi riil daerah masing-masing. Bagi
daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan, keleluasaan dan inisiatif
daerah akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat.
sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan potensinya kurang menguntungkan
(minus, miskin, terpencil, dan sebagainya), keleluasaan dan prakarsa
dihadapinya. Oleh karena itu, intervensi pemerintah pusat untuk pemerataan
dan memelihara keseimbangan laju pertumbuhan antar daerah, dipandang
perlu.