Anda di halaman 1dari 153

5

proposal penelitian
1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas Pelaksanaan Pemerintahan Daerah

Kekuasaan negara kesatuan terletak pada pemerintah pusat dan

tidak pada pemerintah daerah, walaupun dalam implementasinya, negara

kesatuan bisa berbentuk sentralisasi, yang segala kebijaksanaan

dilakukan secara terpusat dan berbentuk desentralisasi yang segala

kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan)

dipencarkan. Strong mengemukakan, bahwa negara kesatuan merupakan

bentuk negara, di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada

satu badan legislatif nasional atau pusat.

Bentuk pemerintahan desentralisasi dalam negara kesatuan adalah

sebagai usaha mewujudkan pemerintahan demokrasi, dimana

pemerintahan daerah dijalankan secara efektif, guna pemberdayaan

kemaslahatan rakyat. Kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah, meliputi kewenangan membuat perda-perda (zelfwetgeving) dan

penyelenggaraan pemerintahan (zelfbestuur) yang diemban secara

demokratis. Pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan

dalam konstitusinya, melainkan disebabkan oleh hakekat negara kesatuan

itu sendiri. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang

tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah

5
proposal penelitian
1
pemerintah pusat (central government), tanpa adanya gangguan oleh

suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah

(local government).1

Pengaturan pelaksanaan kekuasaan negara mempunyai dua

bentuk, yaitu dipusatkan atau dipencarkan. Jika kekuasaan negara

dipusatkan terjadi sentralisasi, demikian pula sebaliknya jika kekuasaan

negara dipencarkan, maka terjadi desentralisasi. Dalam berbagai

perkembangan pemerintahan, dijumpai arus balik yang kuat kearah

sentralistik, yang disebabkan faktor-faktor tertentu. Sementara, yang lain

berpandangan, bahwa negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka

dan berdaulat, yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang

mengatur seluruh daerah. Adanya kecenderungan perkembangan kearah

sentralisasi dalam suatu negara kesatuan, bentuk desentralisasi masih

tetap perlu dilakukan.

Perbedaan antara asas sentralisasi dan asas desentralisasi adalah

terletak pada wewenang memutuskan tentang masalah urusan negara

serta diantara jabatan-jabatan yang ada. Wewenang untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh

pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan

pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam satuan territorial maupun

1
Kewenangan “zelfwetgeving” diberikan batasan pengertian sebagai kewenangan daerah
membentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Kewenangan “zelfbestuur” diartikan sebagai
salah satu usaha pemerintah dalam mengambil tindakan buat melayani kesejahteraan umum,
bahwa “Zelfbestuur” adalah kewenangan untuk melakukan pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan
sentralisasi dan desentralisasi.

proposal penelitian 52
fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan

dibiarkan mengatur sendiri sebagian urusan pemerintahan.

Kekuasaan pemerintah pusat tidak terganggu dengan adanya

kewenangan pada daerah otonom yang diberikan otonomi yang luas dan

tidak bermakna untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat.2

Pemberian sebagian kewenangan (kekuasaan) kepada daerah

berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem

desentralisasi), tetapi pada tahap akhir, kekuasaan tertinggi tetap di

tangan pemerintah pusat. Jadi, kewenangan yang melekat pada daerah

tidaklah berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat sebab

pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di tangan

pemerintah pusat. Hubungan pusat dengan daerah dalam suatu negara

kesatuan yang gedecentraliseerd, pemerintah pusat membentuk daerah,

serta menyerahkan sebagian dari kewenangannya kepada daerah.

1. Penerapan Asas Desentralisasi.

Pemaknaan asas desentralisasi menjadi perdebatan dikalangan

pakar dalam mengkaji dan melihat penerapan asas ini dalam pelaksanaan

pemerintahan daerah. Perdebatan yang muncul diakibatkan oleh cara

pandang dalam mengartikulasikan sisi mana desentralisasi diposisikan

dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Dari pemaknaan asas

desentralisasi masing-masing pakar tersebut dapat diklasifikasi dalam

beberapa hal, diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan


2
Bahwa suatu Otonomi Daerah memiliki ciri-ciri : (1) adanya bidang-bidang fungsi tertentu
yang menjadi tanggungjawabnya; (2) adanya pejabat-pejabat politis yang dipilih oleh rakyat; (3)
adanya kewenangan menarik pajak dan sumber-sumber pendapatan lain; (4) memiliki kewenangan
membuat keputusan-keputusan menyangkut norma-norma rumah tangganya.

proposal penelitian 53
kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan

kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian,

penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan;

serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan

pembentukan daerah pemerintahan.

Pertama, pandangan pakar yang menganggap bahwa

desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan dan kewenangan dapat

dilihat dari pandangan yang sama antara Hazairin,3 Kartasapoetra,4

Koswara,5 Seligman,6 Van den berg, yang menganggap bahwa

desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan (urusan) pemerintah pusat

kepada daerah. Sementara, De Ruiter7 berpandangan bahwa penyerahan

kekuasaan atau wewenang ini terjadi bukan dari pemerintah pusat, tetapi

dari badan yang lebih tinggi kepada badan yang lebih rendah. Dalam arti

ketatanegaraan, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah

penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat

atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Pemaknaan desentralisasi dibedakan dalam empat hal; (1)

kewenangan untuk mengambil keputusan diserahkan dari seorang pejabat


3
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia,
(Yogyakarta, Liberty, 1967), hlm.109.
4
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Penyerahan urusan ini, bertujuan untuk mencegah pemusatan
kekuasaan, keuangan serta sebagai pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan
rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
5
E. Koswara, Otonomi Daerah : Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, (Jakarta,
Yayasan PARIBA, 2001), hlm. 17. Desentralisasi, “sebagai proses penyerahan urusan-urusan
pemerintahan yang semula termasuk wewenang pemerintah pusat kepada badan atau lembaga
pemerintahan daerah, agar menjadi urusan rumah tangganya, sehingga urusan tersebut beralih
kepada dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah”.
6
Ermaya Suradinata, Kebijaksanaan Pembangunan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Bandung, Ramadan, 1993, hlm. 46.
7
Ateng Syafruddin, Pasang Surut Otonomi Daerah, (Bandung, Binacipta, 1985), hlm. 4.

proposal penelitian 54
administrasi/pemerintah kepada yang lain; (2) penjabat yang

menyerahkan itu mempunyai lingkungan pekerjaan yang lebih luas

daripada penjabat yang diserahi kewenangan tersebut; (3) penjabat yang

menyerahkan kewenangan tidak dapat memberi perintah kepada penjabat

yang telah diserahi kewenangan itu, mengenai pengambilan/pembuatan

keputusan atau isi keputusan itu; serta (4) penjabat yang menyerahkan

kewenangan itu tidak dapat menjadikan keputusannya sendiri sebagai

pengganti keputusan yang telah diambil/dibuat, tidak dapat secara bebas

menurut pilihan sendiri sebagai pengganti keputusan yang telah diserahi

kewenangan itu dengan orang lain, tidak dapat menyingkirkan penjabat

yang telah diserahi kewenangan itu dari tempatnya.

Kedua, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi

merupakan pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dapat dilihat dari

pandangan Logemann dan Litvack bahwa desentralisasi adalah sebagai

pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi Litvack lebih jauh

memaknai pelimpahan karena juga bisa kepada sektor swasta. G. Shabbir

Cheema, John R. Nellis, dan Dennis A Rondinelli memandang bahwa

pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah itu berkisar pada

perencanaan dan pengambilan keputusan.

Sementara, Ateng menjadikan sarana dekonsentrasi sebagai

pelimpahan kewenangan dalam rangka desentralisasi. Menurut Ermaya,

bahwa didesentralisasi meliputi ambtelijke decentralisatie, staatskundige

decentralisatie. Gie berpandangan bahwa desentralisasi di bidang

proposal penelitian 55
pemerintahan diartikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintah pusat

kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan

segenap kepentingan setempat dari kelompok yang mendiami suatu

wilayah. Irawan Soejito membedakan desentralisasi dalam wujud

territorial, fungsional dan administratif. Sementara Bagir Manan,

desentralisasi adalah bentuk dari susunan organisasi negara dan menurut

Koesoemahatmadja, desentralisasi ketatanegaraan adalah pelimpahan

kekuasaan perundangan.8

Desentralisasi politik merupakan pelimpahan kewenangan untuk

pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah,

mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di

dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur

desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan

mengimplementasikan kebijakan secara independen, tanpa intervensi dari

tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Adanya pelimpahan

kewenangan kepada pemerintah daerah tidak sebagai sesuatu yang

harus ditakuti oleh pemerintah pusat karena pemberian kewenangan

tersebut tidak akan terlepas dari kordinasi dan pengawasan pemerintah

pusat.

Pemberian otonomi kepada daerah hanya sebagai salah satu

usaha untuk lebih melancarkan tugas dan tanggungjawab pemerintah

pusat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan

8
Ateng Sjafruddin, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, (Bandung : Sumur Press, 1973),
hlm. 8-9.

proposal penelitian 56
pelayanan masyarakat disetiap daerah. Konsensus yang tercipta

berkenaan dengan pendirian NKRI adalah negara kesatuan yang

berdasar pada paham negara hukum, demokrasi (kedaulatan rakyat), dan

desentralisasi pemerintahan, sampai pada pemerintahan tingkat terendah.

Hal ini merupakan amanat tertulis dan tidak tertulis dalam penyusunan

dan perancangan konstitusi (hukum dasar) pendirian negara sehingga

penyelenggaraan negara (pemerintahan) senantiasa berpijak pada

kesejahteraan seluruh rakyat.

Ketiga, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi

merupakan pembagian, penyebaran, pemencaran, pemberian kekuasaan,

dan kewenangan dapat dilihat dari pandangan Duchacek, Maryanov, dan

Mawhood, bahwa masalah desentralisasi berujung pada pembagian

kekuasaan atau kewenangan dalam suatu pemerintahan. Sementara,

Hofman memberi istilah administrative decentralization yang merupakan

langkah dalam menyebarkan kewenangan untuk menjalankan urusan-

urusan pemerintahan, yang pada masa lalu disentralisasikan atau

dipusatkan pada pemerintah pusat.

Disisi lain, Tresna berpandangan bahwa desentralisasi diartikan

sebagai pemberian kekuasaan mengatur diri kepada daerah-daerah

dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi, di dalam

pemerintahan negara. Sedangkan Soehino9 berpandangan bahwa,

desentralisasi kedaerahan memberi wewenang kepada alat perlengkapan

suatu lembaga hukum untuk membentuk aturan hukum in-abstracto dan


9
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, (Yogyakarta, Liberty, 1984), hlm.183-184.

proposal penelitian 57
pemberian delegasi kepada alat perlengkapan dari lembaga hukum publik

untuk membentuk aturan hukum in-concreto. Lain dengan Mustamin, yang

memaparkan bahwa desentralisasi berarti pemencaran atau penyebaran

wewenang dari pusat kebagian-bagian organisasi di bawahnya, baik

secara territorial, fungsional, tekhnis maupun kultural.

Keempat, pandangan pakar yang menganggap bahwa

desentralisasi merupakan sarana dalam pembagian dan pembentukan

daerah dapat dilihat dari pandangan Aldelfer, bahwa desentralisasi adalah

pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan

bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan

pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Jadi, desentralisasi

menyangkut pembentukan daerah otonom dengan dilengkapi

kewenangan-kewenangan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu.

Sementara, Smith berpandangan bahwa pendelegasian kekuasaan

dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah dalam hierarkhi territorial

itu mencakup dua elemen, yaitu : Pertama, syarat pembatasan wilayah

(the limitation of areas) karena adanya pembagian-pembagian territorial

negara (... that decentralization involves one or mare division of the state’s

territory) yang mengandung pengertian adanya proses pendahuluan

berupa pembentukan daerah otonom. Kedua, syarat penyerahan

wewenang (the delegation of authorithy). Desentralisasi merupakan the

legal conferring of powers to discharge specified or residual function upon

proposal penelitian 58
formally constitued local authority. Secara singkat, desentralisasi

menciptakan local self government.

Lain lagi pandangan Maddick, yang ditafsirkan oleh Benyamin

Hoessein dalam dua elemen pengertian pokok, yaitu pembentukan daerah

otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani

bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang

dirumuskan secara umum. Jadi menurut Bhenyamin Hoessein,10

desentralisasi mencakup, baik unsur pembentukan daerah otonom

maupun penyerahan wewenang. Dengan kata lain, kekuasaan daerah

otonom diperoleh melalui pembentukan daerah otonom dan penyerahan

wewenang.

Selain pemaknaan desentralisasi secara harfiah di atas, dapat juga

dilihat pandangan beberapa pakar berkenaan dengan penerapan asas

desentralisasi dalam rangka pelaksanaan pemerintahan daerah,

diantaranya: Gie berpandangan bahwa desentralisasi hanya terbatas

pada desentralisasi territorial atau desentralisasi ketatanegaraan, yang

dapat mewujudkan pemerintahan daerah dengan segenap aparatur

kepegawaian dan keuangan sendiri yang menyelenggarakan

pemerintahan dalam wilayahnya masing-masing.

Turner & Hulme berpendapat bahwa desentralisasi akan

mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih baik sehingga bisa

lebih efisien dan efektif dalam hal locally specific plans, inter-

10
Benyamin Hoessein, 1999, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan
Pemerintahan Daerah, Artikel, Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 1/Vol. I.

proposal penelitian 59
organizational coordination, experimentation and innovation, motivation of

field-level personnel, workload reduction.11 Mendevolusikan sumber daya

kepada pemerintah daerah yang dipilih melalui proses pemilihan lokal

akan meningkatkan keselarasan antara kombinasi pelayanan yang

disediakan oleh sektor pemerintah dengan preferensi penduduk lokal.

Sementara, dalam kajian Hukum Tata Negara, pemerintah yang

berdasarkan desentralisasi disebut staatskundige decentralisatie atau

desentralisasi politik, dimana rakyat melalui wakil-wakilnya turut serta

dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Pelimpahan kewenangan

(delegation of authority) dalam staatskundige decentralisatie akan

berakibat beralihnya kewenangan pusat secara tetap kepada daerah. 12

Pandangan Burns sejalan dengan gagasan Hatta, bahwa otonomisasi

tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong

berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai

kepentingan masyarakat sendiri.

Desentralisasi dalam paham demokrasi diharapkan dapat

mewujudkan daerah-daerah otonom yang memiliki kewenangan

menentukan nasib sendiri, yaitu membuat peraturan dan menjalankannya,

serta menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi.

Sementara, Yamin13 meletakkan desentralisasi sebagai syarat demokrasi

11
Mark Turner & David Hulme, “Governance, Administration and Development”, (New York,
MacMillan Press Ltd., 1997), hlm. 72.
12
Dany Burns et.al, The Politic of Decentralisation revitalising local democracy, 1st,
(Houndmills, Published The Mcmillan Press Ltd. 1994), hlm. 4. Lihat Jon Pierre dan B.Guy Peters,
Governance, Politics and the State, 1st, (New York, Published Martin’s Press, 2000), hlm. 1.
13
Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (cet.IV), (Jakarta, Djambatan, 1960),
hlm. 168.

proposal penelitian 60
karena konstitusi disusun dalam kerangka negara kesatuan harus

tercermin kepentingan daerah, melalui aturan pembagian kekuasaan

antara badan-badan pusat dan badan-badan daerah secara adil dan

bijaksana sehingga daerah memelihara kepentingannya dalam kerangka

negara kesatuan.

Lebih lanjut Yamin, berpandangan bahwa susunan yang demokratis

membutuhkan pemencaran kekuasaan pemerintahan di tingkat pusat dan

pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Di sinilah diketengahkan

asas desentralisasi dan dekonsentrasi yang dapat membendung arus

sentralisasi. Bayu14 berpandangan bahwa desentralisasi merupakan

perwujudan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Rakyat secara

lansung mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaran

pemerintahan di daerahnya. Desentralisasi dibedakan menjadi

desentralisasi teritorial (territoriale Decentralisatie), yang merupakan

penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri, dalam batas pengaturan daerahnya dan desentralisasi fungsional

(functionale Decentralisatie), yang merupakan pelimpahan kekuasaan

untuk mengurus dan mengatur fungsi tertentu, dalam batas pengaturan

jenis fungsinya.

Jadi, desentralisasi menyangkut sistim tatanan hukum yang

berkaitan dengan wilayah negara. Tatanan hukum desentralisasi

menunjukkan berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada wilayah

14
Bayu Surianingrat, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu
Analisis, Jilid I, (Jakarta, Dewaruci Press, 1981), hlm. 6-7.

proposal penelitian 61
yang berbeda. Kaidah yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara

disebut kaidah sentral (central norms) dan yang berlaku pada wilayah

disebut kaidah desentral atau kaidah lokal (decentral norms or local

norms). Tatanan hukum desentralisasi yang dikaitkan dengan wilayah

(territorial) sebagai tempat berlakunya kaidah hukum secara sah disebut

sebagai konsepsi statis dari desentralisasi. Konsep statis ini tidak

mencerminkan kewenangan daerah untuk membuat aturan-aturan sendiri

untuk mengatur rumah tangganya sebab kaidah hukum yang berlaku sah

di wilayah yang berbeda dapat ditetapkan oleh pemerintah pusat, lain

dengan konsepsi dinamis yang berkaitan dengan badan yang membentuk

kaidah hukum.

Dari beberapa pandangan pakar di atas, dengan jelas menafsirkan

bahwa dimensi makna desentralisasi melahirkan sisi penyerahan

kewenangan, pembagian kekuasaan, pendelegasian kewenangan, dan

pembagian daerah dalam struktur pemerintahan di negara kesatuan.

Penyerahan, pendelegasian dan pembagian kewenangan dengan

sendirinya menciptakan kewenangan pada pemerintah daerah dalam

pelaksanaan pemerintahan di daerah, yang didahului pembagian daerah

pemerintahan dalam bingkai daerah otonom.

2. Penerapan Asas Dekonsentrasi.

Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat

menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-

proposal penelitian 62
keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat

berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk

lainnya untuk kemudian dilaksanakannya sendiri pula. Pendelegasian

dalam dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat di

pusat kepada petugas perorangan pusat di daerah.

Maddick memaparkan bahwa dekonsentrasi merupakan “the

delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to

staff a central departement who are situated outside the headquarters”.

Secara singkat, dekonsentrasi menciptakan local state government atau

field administration. Jadi, dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran

atau pemancaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di

wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat.

Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat

menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-

keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat

berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk

lainnya untuk kemudian dilaksanakannya sendiri pula. Konsep

pelaksanaan desentralisasi bisa bersifat administratif dan politik.

Sifat administraitif disebut dekonsentrasi yang merupakan delegasi

wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal dan sifat politik

merupakan devolusi, yang berarti bahwa wewenang pembuatan

keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan

kepada pejabat-pejabat regional dan lokal. Dekonsentrasi merupakan

proposal penelitian 63
penyerahan sebagian dari kekuasaan pemerintah pusat pada alat-alat

pemerintah pusat yang ada di daerah.

Pada hakekatnya, alat-alat pemerintah pusat ini melakukan

pemerintahan sentral di daerah-daerah. Penyerahan kekuasaan

pemerintah pusat kepada alatnya di daerah karena meningkatnya

kemajuan masyarakat di daerah-daerah. Sementara, Bayu mengartikan

dekonsentrasi sebagai desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie),

bahwa pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan

dengan kepegawaian atau jabatan (ambt) dengan maksud untuk

meningkatkan kelancaran kerja. Dekonsentrasi merupakan salah satu

jenis desentralisasi, dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi tetapi

desentralisasi tidak selalu berarti dekonsentrasi. Stroink berpendapat

bahwa dekonsentrasi merupakan perintah kepada para penjabat

pemerintah atau dinas-dinas yang bekerja dalam hirarki dengan suatu

badan pemerintah untuk mengindahkan tugas-tugas tertentu dibarengi

dengan pemberian hak mengatur dan memutuskan beberapa hal tertentu

dengan tanggungjawab terakhir tetap berada pada badan pemerintah

sendiri.15

Silverman mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bentuk

desentralisasi yang paling umum yang digunakan di dalam sub-sektor

kependudukan. Di dalam sistim demikian, fungsi yang telah diseleksi

diserahkan kepada unit-unit sub-nasional di dalam departemen sektoral

15
Ateng Syafruddin, Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II dan
Perkembangannya, (Bandung, Mandar Maju, 1991), hlm. 4.

proposal penelitian 64
atau badan nasional yang sektoral. Menurut Kartasapoetra, dekonsentrasi

ialah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau

juga kepala instansi vertikal tingkat atas kepada pejabat bawahan di

daerah. Devolusi adalah pelimpahan wewenang yang merupakan tugas

jabatan yang diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi,

kabupaten dan kotamadya dan kepada badan atau perusahaan sebagai

“public coorporation”.

Bulthuis, mengartikan dekonsentrasi sebagai : (1) kewenangan

unutk mengambil keputusan yang diserahkan dari penjabat

administrasi/pemerintah yang satu kepda yang lain; (2) penjabat yang

menyerahkan kewenangan itu mempunyai lingkungan pekerjaan yang

lebih luas daripada penjabat yang kepada siapa kewenangan itu

diserahkan; (3) penjabat yang menyerahkan kewenangan itu (betul) dapat

memberikan perintah kepada penjabat yang diserahi kewenangan

mengenai pengambilan/pembuatan keputusan itu dan isi dari yang akan

diambil/dibuat itu; (4) penjabat yang menyerahkan kewenangan itu (betul)

dapat mengganti keputusan yang pernah diambil oleh penjabat yang

diserahi kewenangan itu dengan keputusan sendiri, dan penjabat yang

menyerahkan kewenangan itu dapat mengganti penjabat yang diserahi

kewenangan dengan yang lain menurut pilihan sendiri dengan bebas.

Dalam kajian Hukum Tata Negara, pemerintah yang berdasarkan

asas dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie

van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan

proposal penelitian 65
negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan

tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak

kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan

tugas atas nama pemerintah pusat. Suatu delegatie van bevoedgheid

bersifat instruktif. Pemaknaan asas dekonsentrasi berdasarkan dengan

UU pemerintahan daerah yang pernah berlaku dan berlaku positif sampai

sekarang ini, antara lain UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948,

UU No. 1 Tahun 1957, Penpres RI No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun

1965 tidak menegaskan secara jelas dan eksplisit dalam batang tubuhnya,

sedangkan UU No.5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32

Tahun 2004 menegaskan secara jelas bahwa dekonsentrasi sebagai

pelimpahan wewenang pemerintahan. Jadi, dimensi makna yang tercipta

adalah adanya pelimpahan kewenangan yang secara fungsional dari

pejabat atasan (dari pejabat pusat kepada pejabat di daerah).16

3. Penerapan Asas Tugas Pembantuan (Medebewind)

Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat “membantu” dan

tidak dalam konteks hubungan “atasan-bawahan”, tetapi dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk

menolak. Hubungan ini timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum

atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan


16
UU No.5 Tahun 1974 menegaskan dalam Bab I Pasal 1 hurp “f” bahwa Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan Bab I
Pasal 1 hurup (f) Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004
menegaskan dalam Pasal 1 point 8 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu. Jadi dimensi makna yang tercipta adalah adanya pelimpahan kewenangan yang
secara fungsional dari pejabat atasan (dari pemerintah pusat kepada pejabat di daerah).

proposal penelitian 66
adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih

tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan,

termasuk yang diperintahkan dalam rangka tugas pembantuan.

UU No. 22 Tahun 1948, menyatakan bahwa daerah diserahi untuk

menjalankan kewajiban pusat di daerah, maupun daerah yang lebih atas

kepada daerah yang tingkatannya lebih rendah”.17 UU No. 1 Tahun 1957

menyatakan, tugas pembantuan adalah sebagai menjalankan peraturan

perundang-undangan”.18 UU No. 18 tahun 1965 menyatakan, tugas

pembantuan sebagai pelaksanaan urusan pusat atau daerah yang lebih

atas tingkatannya.19

UU No.5 Tahun 197420 menegaskan, tugas pembantuan adalah

tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang

ditugaskan kepada pemerintah desa oleh pemerintah atau pemerintah

daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan

kepada yang menugaskannya. Sementara, UU No. 22 Tahun 1999

menegaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari

pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.21

17
Lihat makna yang termaktub dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UU No. 22 Tahun 1948.
18
Lihat makna yang termaktub dalam Pasal 32 UU No. 1 Tahun 1957.
19
Lihat makna yang termaktub dalam Pasal 48 UU No. 18 Tahun 1965.
20
Lihat makna yang termaktub dalam Pasal 1 Hurup (d) UU No. 5 Tahun 1974.
21
UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan dalam Bab I Pasal 1 hurup g bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa
untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanaya dan mempertanggung jawabkannya
kepada yang menugaskan. UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan dalam Bab I Pasal 1 point 9
bahwa Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu..

proposal penelitian 67
Dari paparan pengertian tugas pembantuan yang termaktub dalam

UU tersebut diatas, hanya UU No. 1 Tahun 1957 yang dengan tegas

menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah untuk menjalankan

peraturan perundang-undangan (yang lebih atas tingkatannya). UU No. 5

Tahun 1974 memuat dua hal penugasan dan pertanggungjawaban yang

bisa mengandung pemahaman kaidah dekonsentrasi, yang menyiratkan

adanya hubungan atasan-bawahan, yang secara yuridis pendekatannya

tidak sesuai dengan kaidah tugas pembantuan. Jadi menurut kajian

hukum, maka yang lebih tepat adalah kaidah tugas pembantuan yang

diketengahkan dalam UU No. 1 Tahun 1957, karena menyiratkan bahwa

hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam tugas

pembantuan semata-mata karena ditentukan atau berdasarkan ketentuan

hukum atau peraturan perundang-undangan.22

Tugas pembantuan dari pengertian yang ditegaskan dalam UU No.

5 Tahun 1974,23 mengandung unsur : a) ada urusan pemerintahan dari

satuan pemerintahan tingkat lebih atas yang harus dibantu

pelaksanaannya oleh pemerintah daerah; b) bantuan tersebut dalam

22
Lihat makna yang termaktub dalam UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 12 ayat (1) dan (2)
disebutkan bahwa : a) dengan peraturan perundang-undangan, pemerintah dapat menugaskan
kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan; b) dengan praturan
daerah, pemerintah Dati I dapat menugaskan kepada pemerintah Dati II untuk melaksanakan tugas
pembantuan.
23
Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974, menyebutkan : bahwa tidak semua urusan pemerintahan
dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan
pemerintahan masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat. Akan tetapi adalah berat sekali
bagi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang
masih menjadi wewenang dan tanggungjawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat
terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari segi
dayaguna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan
pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu
akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya
berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya pemerintah daerah
yang bersngkutan.

proposal penelitian 68
bentuk penugasan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan; c)

pemerintah daerah yang membantu harus mempertanggungjawabkan

kepada yang dibantu. Tugas pembantuan dapat dijadikan sebagai terminal

menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada daerah atau tugas

pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada

penyerahan penuh. Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan

desentralisasi dalam melihat hubungan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, seharusnya bertolak dari : (1) tugas pembantuan adalah bagian

dari desentralisasi. Jadi, pertanggung- jawaban mengenai

penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggungjawab daerah yang

bersangkutan; (2) tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas

pembantuan, karena dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi,

karena daerah punya cara-cara sendiri melaksanakan tugas pembantuan;

serta (3) tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang

mengandung unsur penyerahan, buka penugasan, yang dapat dibedakan

secara mendasar bahwa kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka

tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.

B. Konsepsi Otonomi Daerah dan Daerah Otonom

Analisis kajian otonomi daerah dikalangan pakar, sering terjadi

perbedaan penafsiran, baik pengertian otonomi itu sendiri maupun prinsip-

prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan

esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun dalam

perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zelfwetgeving

proposal penelitian 69
(membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). Van

Der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding

(menjalankan rumah tangga sendiri).

Otonomi adalah pemberian hak kepada daerah untuk mengatur

sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam

penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Selain itu,

bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan

zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah, untuk mengatur dan

mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang

boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi

tanggungjawab satuan pemerintahan yang lebih rendah. Kebebasan dan

kemandirian merupakan hakekat isi otonomi.

Porsi otonomi daerah tidak cukup dalam wujud otonomi daerah

yang luas dan bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan dalam format

otonomi daerah yang seluas-luasnya. Format otonomi yang seluas-

luasnya mengundang perdebatan dikalangan pakar. Di satu sisi, konsep

otonomi daerah yang seluas-luasnya berkonotasi untuk membangun

image bakal munculnya ide negara bagian dalam negara federasi (federal

state), sementara sisi lainnya menganggap bahwa hal tersebut beralasan

karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, rakyat

cenderung tidak lagi membayangkan negara federal. Konsep otonomi

yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk menghindari ide

negara federal.

proposal penelitian 70
Di sisi lain, Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi

seluas-luasnya bermakna, penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada

daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sementara, Nasroen

berpandangan bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa

batas sehingga meretakkan negara kesatuan. Otonomi daerah berarti

berotonomi dalam negara.

Otonomi daerah tidak boleh meretakkan apalagi memecah belah

negara kesatuan. Teramat pentinglah dasar kesatuan ini dalam

mendudukannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Kaitan antara

negara kesatuan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, Nasroen

lebih jauh berpendapat bahwa teramat pentinglah dasar kesatuan ini

dalam mendudukkannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi

seluas-luasnya, tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar

kesatuan dan dasar kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh

melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. Tentulah yang akan

dicari dan ditetapkan ialah sesuatu perseimbangan antara dasar kesatuan

dan dasar otonomi seluas-luasnya di daerah.24

Sementara, Tresna berpendapat janganlah perkataan seluas-

luasnya diartikan sebagai suatu yang tidak berujung. Di dalam negara

kesatuan, seluas-luasmya sistem otonomi, dibatasi oleh kekuasaan

pemerintah negara kesatuan. Negara kesatuan (eenheidstaat) tidak dapat

meniadakan otonomi daerah, namun betapapun luasnya otonomi daerah,

24
Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, (Yokyakarta, Liberty, 1980), hlm 50. M.
Nasroen, Masalah-Masalah Sekitar Otonomi Daerah, (Jakarta, Wolters, 1951), hlm. 28.

proposal penelitian 71
tidaklah dapat menapikan wadah negara kesatuan. Makna otonomi yang

seluas-luasnya menjadikan pemerintah pusat hanya akan mengatur hal-

hal dan masalah-masalah yang harus diatur pemerintah pusat itu sendiri

dan segala sesuatu yang tidak termasuk keharusan itu, pada pokoknya

harus diatur oleh pemerintah daerah.

Agar tidak terdapat pelbagai penafsiran otonomi yang seluas-

luasnya dalam sistem ketatanegaraan, selayaknya dalam undang-undang

pemerintahan daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan

defenisi yang sah bahwa mengurus dan mengatur rumah tangga otonomi

yang seluas-luasnya, meliputi segala sesuatu kepentingan umum

(openbare belangen) masyarakat di daerah, sepanjang tidak termasuk

atau ditarik ke dalam pengurusan pemerintahan pusat atau daerah yang

lebih atas. Prinsip otonomi daerah dalam sejarah perkembangan

ketatanegaraan di Indonesia didasari pada landasan hukum yang

berbeda-beda. Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno (orde lama) lain

dengan pada masa pemerintahan Soeharto (orde baru), demikian pula

pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid dan

Megawati Soekarnoputri (masa transisi dan reformasi).

Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan 3

(tiga) hal, yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan

bangsa; harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah

pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan; harus dapat

menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Jika dirangkaikan

proposal penelitian 72
secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan pemerintahan di

Indonesia bersendikan sistim desentralisasi. Sistim tersebut diyakini

sebagai salah satu sumber pelaksanaan pemerintahan demokratis, yang

secara langsung melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk turut serta

berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan rakyat

dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar

karena kedudukan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara.

Hatta salah satu the founding fathers berpendapat, bahwa dasar

kedaulatan rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang

tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada

tiap daerah. Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat autonomi

(membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur

(menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini

menjadi penting, karena keperluan tiap tempat dalam satu negeri tidak

sama, melainkan berbeda-beda. Menurut Amrah, bahwa otonomi berarti

pemerintahan sendiri, dengan mengacu pada akar kata “Auto” diartikan

“sendiri” dan “nomes” diartikan “pemerintahan”.25

Jadi pemerintahan disini secara dogmatis dalam arti luas atau

fungsi, membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik yang

merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang

menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi

badan-badan politik di daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah

25
Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, Jilid I, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), hlm.
103. Amrah Muslimin, Ikhtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1978, (Jakarta, Djambatan,
1960), hlm. 15, 16.

proposal penelitian 73
tertentu (sama desentralisasi territorial), fungsional (sama yang lain) dan

kebudayaan diartikan sebagai pemberian hak pada golongan-golongan

kecil dalam masyarakat melaksanakan kebudayaannya sendiri. Otonomi

(autonomie) sebagai mengatur sendiri (berasal dari bahasa yunani) dalam

lingkup bebas bertindak bukan karena diperintah dari atas melainkan

karena atas kehendak dan inisiatif sendiri untuk kepentingan daerah

sendiri yang harus diatur dan diurus.

Otonomi dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang

menganut paham demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi

negara bukan lagi demokrasi namanya, melainkan menjadi otokrasi. Jadi,

dalam negara kesatuan, pemerintahan daerah otonom merupakan ciri

negara demokrasi yang mengedepankan aspek kebebasan. Kata

desentralisasi dan otonomi dalam pemaknaannya sangat berbeda karena

makna desentralisasi bersentuhan dengan “proses” dalam arti

pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kekuasaan

(urusan pemerintahan) untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan

perundang-undangan, sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat

dan hasil dari proses pembentukan daerah otonom. Pembentukan daerah

otonom berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau

pemerintahan daerah.

Pemerintahan lokal (daerah) adalah sendi dari sistem

pemerintahan, baik negara kesatuan maupun federal (local government

also was the cornerstone of the governmental system). Pemerintahan

proposal penelitian 74
lokal mempunyai satu dari dua arti, yaitu (1) pemerintahan dari semua

bagian dari negara dengan memakai alat-alat lokal yang disetujui dan

bertanggungjawab hanya kepada pemerintah sentral, jadi ini merupakan

bagian dari sistim sentralisasi, disebut pemerintahan negara local dan (2)

pemerintahan oleh badan-badan lokal, dipilih secara bebas dan tunduk

kepada supremasi pemerintah nasional, ditopang dalam beberapa

kehormatan dengan kekuasaan, kebijakan dan tanggungjawab, yang bisa

mereka lakukan tanpa pengawasan pemerintah yang lebih tinggi.

C. Kepemerintahan yang Baik

Sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan kesejahteraan

masyarakat, Pemerintah wajib menjalankan fungsinya sebagaimana yang

diharapkan oleh rakyat, baik secara langsung maupun secara tidak

langsung. Secara langsung dalam artian bahwa pemerintah melakukan

perbuatan atau tindakan dalam bentuk nyata, seperti mengirim bantuan

kepada masyarakat yang tertimpa bencana. Secara tidak langsung,

pemerintah membuat regulasi dan atau aturan-aturan administratif.

Tata
Kepemerintahan yang baik merupakan isu sentral yang paling

mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Sadu

Wasistiono mengemukakan bahwa tuntutan akan good governance timbul

karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dari nilai

demokratis sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk

menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya

proposal penelitian 75
pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula. Tuntutan untuk

mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran

dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan

pemerintahan negara dan pembangunan dapat diwujudkan dengan

mempraktekkan good governance. 26

Kasman Abdullah mengemukakan, dalam penyelenggaraan

pemerintahan, good governance sesungguhnya bukanlah suatu formula

yang baru, melainkan suatu asas atau prinsip yang telah berusia ratusan

tahun dan yang seharusnya menjadi sendi-sendi pemerintahan dalam

negara demokrasi modern, yaitu bagaimana penyelenggaraan

pemerintahan tersebut mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi,

dan akuntabilitas, serta membuka ruang bagi keterlibatan warga

masyarakat. 27

Lembaga Administrasi Negara memberikan pengertian

governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam

melaksanakan penyediaan public goods and services (kebutuhan barang


28
dan jasa pelayanan publik). Dengan demikian, istilah governance atau

kepemerintahan tidak hanya berarti suatu cara atau metode, tindakan,

kegiatan, atau prose, dan system, tetapi juga berarti cara kekuasaan

digunakan, penggunaan otoritas/kewenangan ekonomi, politik dan

26
Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Bandung: Fokus Media, Hal. 23
27
Kasman Abdullah. 2002. Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Konsep Good
Governance, Jurnal Meritokrasi Vol. 1 No. 1, Makassar: Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, hal. 65.
28
Lembaga Administrasi Negara, 2008, Manajemen Pemerintahan Daerah, LAN RI, Jakarta

proposal penelitian 76
administratif sebagai instrumen kebijakan publik dan proses interaksi

social politik. Dengan kata lain, governance adalah proses dengan cara

apa lembaga Negara, entitas bisnis dan kelompok warga masyarakat

mengungkapkan kepentingan, melaksanakan hak dan kewajiban, dan

menengahi perbedaan mereka. Juga, governance bukanlah seuatu yang

dilakukan Negara (pemerintah) terhadap warga masyarakatnya, namun

cara masyarakat itu sendiri dan individu di dalamnya mengatur semua

aspek kehidupan bersama mereka.

Upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan secara

benar (good-governance) dan bersih (clean-government) termasuk

didalamnya penyelenggaraan pelayanan publik memerlukan unsur-unsur

mendasar antara lain adalah unsur profesionalisme dari pelaku dan

penyelenggara pemerintahan dan pelayanan publik. Terabaikannya unsur

profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi

pemerintahan akan berdampak kepada menurunnya kualitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Profesionalisme

disini lebih ditujukan kepada kemampuan aparatur dalam memberikan

pelayanan yang baik, adil, dan inklusif dan tidak hanya sekedar

kecocokan keahlian dengan tempat penugasan. Sehingga aparatur

dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian untuk memahami dan

menterjemahkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kedalam kegiatan

dan program pelayanan.

Ganie-Rochman sebagaimana dikutip Joko Widodo menyebutkan bahwa :


konsep “governance” lebih inklusif daripada “government”. Konsep

proposal penelitian 77
“government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan
kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Konsep governance
melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara tapi juga peran berbagai
aktor di luar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat
juga sangat luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Governance adalah
mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang
melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam
suatu kegiatan kolektif. 29

UNDP dalam Lalolo Krina menjelaskan bahwa:

Governance
diterjemahkan menjadi tata pemerintahan yaitu penggunaan
wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-
urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh
mekanisme, proses dan lembagalembaga dimana warga dan kelompok-
kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan
hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-
perbedaan diantara mereka. 30

Pengertian governace yang dikemukakan UNDP ini didukung tiga

pilar yakni politik, ekonomi dan admnistrasi. Pilar pertama yaitu tata

pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses- proses

pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik, baik dilakukan

oleh birokrasi sendiri maupun oleh birokrasi-birokrasi bersama politisi.

Pilar kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-

proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di

dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Sedangkan

Pilar ketiga yaitu tata pemerintahan di bidang administrasi, adalah berisi

29
Joko Widodo, 2001, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Surabaya, Insan Cendekia, Hal.
18
30
Lalolo Krina. 2003, Indikator dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Transparansi dan
Partisipasi, Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang
Baik, Jakarta: BAPPENAS. Hal 6

proposal penelitian 78
implementasi proses, kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi

politik.31

Sedangkan Lembaga Admnistrasi Negara (LAN) mengartikan

governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam

menyediakan public good dan service. LAN menegaskan dilihat dari

functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah

berfungsi efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah

digariskan atau sebaliknya. 32

Good dalam good governence menurut LAN mengandung dua

pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau

kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan

rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian

pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek aspek

fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan

tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Berdasarkan

pengertian ini, LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance

berorientasi pada dua hal yaitu, Pertama orientasi ideal negara yang

diarahkan pada pencapaian tujuan nasional dan Kedua aspek-aspek

31
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
2000, Akuntabilitas Dan Good Goverenance” Jakarta, Lembaga Admnistrasi Negara dan
Badan Penagwas Keuangan dan Pembangunan, Hal.5
32
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Op.Cit.Hal.5

proposal penelitian 79
fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan

tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut.

Selanjutnya berdasarkan uraian tersebut LAN menyimpulkan

bahwa good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara

yang solid dan bertanggungjawab serta efisien, dengan menjaga

“kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain- domain negara,

sektor swasta dan masyarakat.

Konsep mengenai good governance dapat ditemukan juga dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan

Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, dalam penjelasan Pasal 2 (d)

mengartikan kepemerintahan yang baik sebagai kepemimpinan yang

mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme,

akuntabilitas, transparasi, eplayanan prima, demokrasi, efisiensi,

efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh

masyarakat.33

Governance mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana

tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan

pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal

tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui dalam

masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja

33
Legal Searching. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan
dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Legal Searching BKD Jawteng. 2007

proposal penelitian 80
pada tingkat yang berbeda. Menurut UNDP, governance atau tata

pemerintahan memiliki tiga domain yaitu: 34

1. Negara atau tata pemerintahan (state);

2. Sektor swasta atau dunia usaha dan (private sector;)

3. Masyarakat (society).

Ketiga domain dalam Governance tersebut berada dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sektor

pemerintahan lebih banyak memainkan peranan sebagai pembuat

kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak

berkecimpung dan menjadi penggerak aktifitas di bidang ekonomi.

Sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari

sektor pemerintahan maupun swasta. Karena di dalam masyarakatlah

terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. 35

Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses

sosial, governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random

atau tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai

aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya

wewenang yang dijalankan oleh negara. Dalam konsep governance

wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan

melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh

sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan

34
Ibid, Hal . 6
35
Sadu Wasistiono, Op.Cit, Hal.31

proposal penelitian 81
dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku diluar pemerintah harus

memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi

wewenang yang dibentuk secara kolektif.

Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan

antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah

karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan

dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi

untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan

kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu

masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya

system demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya

pluralisme.

Membangun
good governance adalah mengubah cara kerja state,
membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku- pelaku di luar
negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat
secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan
yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah
karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. 36

Sebuah governance dikatakan baik (good and sound) apabila

sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan

efiien dan merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat.52 Keraf

dalam Rewansyah mengartikan good governance sebagai keberadaan

dan berfungsinya beberapa perangkat kelembagaan publik sedemikian

36
Lalolo Krina. Op.Cit. Hal. 7

proposal penelitian 82
rupa sehingga memungkinkan kepentingan masyarakat bisa terjamin

dengan baik. 37

Jika dielaborasi lebih jauh bahwa perangkat kelembagaan itu

mencakup:

1. Adanya birokrasi yang bersih dan efisien;

2. Adanya legislatif yang aspiratif dan tanggap terhadap kepentingan

masyarakat serta menhjadi alat control yang baik dan konstruktif bagi

birokrasi pemerintahan;

3. Adanya sistem penegakan hukum yang dapat dipercaya termasuk di

dalamnya aparat penegak hukum yang mempunyai integritas yang baik;

4. Adanya masyarakat civil (civil society) yang kuat untuk memperjuangkan

kepentingan warga masyarakat serta mengontrol lembaga pemerintah;

5. Adanya distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling mengontrol secara

konstruktif.

Menurut Bank Dunia (World Bank), Good Governance merupakan

cara kekuasaan yang digunakandalam mengelola berbagai sumber daya

social dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat. Sedangkan

menurut UNDP (United Nation Development Planning, Good Governance

merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai

urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif

ringan.38

37
Asmawi Rewansyah, 2010. Reformasi Birokrasi dalam rangka Good Governance. Jakarta:
CV. Yusaintanas Prima, hlm 91
38
Asmawi Rewansyah, 2010. Reformasi Birokrasi dalam rangka Good Governance. Jakarta:
CV. Yusaintanas Prima, hlm 91

proposal penelitian 83
Dalam perkembangannya, United Nation Development Programme

(UNDP) sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara

mengajukan prinsip good governance sebagai berikut: 39

1) Participation. Setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan


keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2) Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3) Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
4) Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk
melayani setiap “stakeholders”.
5) Consensus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan
yang lebih luas baik dalam hal kebijakan- kebijakan maupun prosedur-
prosedur.
6) Equity. Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7) Effectiveness and Efficiency. Proses-proses dan lembaga- lembaga sebaik
mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
8) Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta
dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-
lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan
sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan
internal atau eksternal organisasi.
9) Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good
governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan
apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

UNDP dalam artikel Bappenas merekomendasikan beberapa

karakteristik governance, yaitu: legitimasi politik, kerjasama dengan

institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan partisipasi,

akuntabilitas birokratis dan keuangan (finansial), manajemen sektor publik

39
Adisasmita. 2011. Manajemen Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Graha ilmu

proposal penelitian 84
yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil

dan dapat dipercaya.

UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan

dibangun dari indikator-indikator yang komplek dan masing-masing

menunjukkan tujuannya. Tata Pemerintahan yang baik (good governance)

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 40

1. Mengikutsertakan semua;

2. Transparan dan bertanggung jawab;

3. Efektif dan adil;

4. Menjamin adanya supremasi hukum;

5. Menjamin prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan

konsensus masyarakat;

6. Memperhatikan kepentingan masyarakat yang paling miskin dan

lemah dalam pengambilan keputusan menyangkut alokasi

pembangunan.

Bank Dunia dalam Artikel Bappenas mengungkapkan sejumlah

karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil yang kuat dan

partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi;

eksekutif yang bertanggungjawab; birokrasi yang profesional; dan aturan

hukum.

Karakterisik yang dimaksud Bank Dunia memiliki perbedaan

dengan UNDP. Bank Dunia menghindari pernyataan mengenai sistem

40
Bappenas. Artikel: Pemikiran Tentang Good Governance.ha1.1.www.Bappenas.go.id

proposal penelitian 85
politik dan hak-hak, dan lebih mengacu kepada manajemen ekonomi

suatu negara, sumber-sumber sosial untuk pembangunan, dan kebutuhan

untuk kerangka kerja aturan dan institusi yang dapat diperhitungkan dan

jelas (terbuka). Hal demikian banyak ditempatkan untuk manajerial

pemerintah dan kapabilitas kebijakan, serta sebagai sumbangan penting

terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Meskipun demikian, Bank

Dunia juga memberikan catatan terhadap kebutuhan untuk masyarakat

sipil yang kuat dan partisipatoris dan pelaksanaan terhadap aturan hukum.

Dalam perspektif Bank Dunia, governance adalah sifat dari

kekuasaan yang dijalankan melalui manajemen sumber ekonomi dan

sosial negara yang digunakan untuk pembangunan. Bank Dunia

mengidentifikasi tiga aspek yang terkait dengan governance, yaitu bentuk

rejim politik (the form of political regime); Proses dimana kekuasaan

digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi

kegiatan pembangunan; Kemampuan pemerintah untuk mendesain,

memformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi-

fungsinya. 41

Nurcholish Madjid memandang jauh kebelakang mengenai

penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan memberikan

perbandingan pada kondisi objektif kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Menurutnya, tata pemerintahan yang baik sudah mulai ada dengan

diperkenalkannya konsep-konsep penting seperti partisipasi, konsensus,

41
Ibid. Hal 4

proposal penelitian 86
keadilan, dan supremasi hukum oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau

membangun Madinah tahun 622 M. Kata Madinah bermakna sebuah

tempat yang didiami orang-orang yang taat peraturan dan saling

memenuhi perjanjian yang diciptakan (disebut al- uqud). 42

Faktor-faktor penting yang perlu diupayakan untuk mencapai tata

pemerintahan yang baik, yaitu: masing-masing pelaku menaati

kesepakatan yang telah disetujui bersama. Tiap manusia mempunyai hak

mendasar seperti yang diutarakan Nabi Muhammad SAW dalam pidato

perpisahan Nabi Muhammad SAW (disebut khutbah al-wada), yaitu: hak

atas hidup, hak atas milik dan kehormatan. Ditekankan juga bahwa

manusia dianugerahi oleh Tuhan kebebasan, hanya akan bertahan bila

ada sistem hukum, dimana pemimpin dan masyarakat saling bertanggung

jawab. Hal ini dapat diwujudkan Indonesia bila ada konsensus mengenai

tata pemerintahan yang baik. 43

Azas-azas umum Kepemerintahan Yang Baik.

Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang

baik perlu menetapkan pijakan ataupun dasar bagi gerak Langkah

mereka dalam melakukan kegiatan pemerintahan. Norma hukum

menjadi landasan yang tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di

Negara demokrasi, agar setiap kebijakan yang dibuat tetap

berdasarkan kehendak masyarakat atau rakyat. Kepastian hukum

menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah


42
Ibid. Hal 4
43
Ibid. Hal 5

proposal penelitian 87
daerah untuk tetap menjamin keutuhan hak dan kewajiban masyarakat

didaerahnya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik terdapat

asas-asas umum pemnyelangaraan pemerintahan yang baik, hal ini

menjadi suatu dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan oleh

pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.

Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung

tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas

umum pemerintahan yang baik berfungsi sebagai pegangan bagi

pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan

alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi

negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan

gugatan bagi penggugat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme, ditetapkan tujuh asas penyelenggaraan Negara yang

baik, yaitu:

1. Asas kepastian hukum, yaitu asas yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggara Negara;

2. Asas tertib penyelenggaraan negara yaitu asas yang mengutamakan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian dan

penyelenggaraan Negara;

proposal penelitian 88
3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan

kesejahteraan umum dengan yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara;

5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara;

6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

7. Asas akuntabilitas, yaitu asas dimana setiap kegiatan dan hasil akhir

dari kegiatan penyelenggaraan Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun di dalam hukum Indonesia, asas-asas umum

pemerintahan yang baik diatur dalam Undang-Undang Nomor 30

tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 10

ayat (1), yaitu:

1. Kepastian hukum;

2. Kemanfaatan;

3. Ketidakberpihakan;

proposal penelitian 89
4. Kecermatan;

5. Tidak menyalahgunakan wewenang;

6. Keterbukaan;

7. Kepentingan umum; dan

8. Pelayanan yang baik.

Dalam penjelasan UU Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud

dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggaraan pemerintahan.

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah manfaat yang

harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang

satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu

dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat

asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan

kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan

Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan

kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan

ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan Wanita.

Yang dimaksud dengan “asas ketidak berpihakan” adalah asas

yang mewajibkan Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam

menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dengan

mempertimbangkan kepentingan para pihak dan tidak diskriminatif.

proposal penelitian 90
Yang dimaksud dengan “asas kecermatan” adalah asas yang

mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus

didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung

legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan

sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan

dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut

ditetapkan dan/atau dilakukan.

Yang dimaksud dengan “asas tidak menyalahgunakan

kewenangan” adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk

kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan

tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak

menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang

melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh

informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan

pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi

pribadi, golongan, dan rahasia negara.

Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah asas

yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara

yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.

Yang dimaksud dengan “asas pelayanan yang baik” adalah asas

yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang

proposal penelitian 91
jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Adapun asas-asas lain yang tidak diatur dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur dalam

Pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Asas-asas umum lainnya di

luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan

sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan

Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun di dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan disebutkan beberapa asas pokok dalam AUPB, namun

tidak menutup kemungkinan penggunaan asas-asas lain yang belum

ditulis di dalam Undang-undang tersebut.

D. Kewenangan Daerah Di Negara Kesatuan dan Federal

Bentuk negara (forms of state) berbeda dengan bentuk

pemerintahan (forms of government) dalam implementasinya, terkadang

bentuk negara sama, tetapi bentuk pemerintahannya berbeda.

Perkembangan zaman modern membuat banyak pilihan mengenai kajian

dan penerapan bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Strong, dalam

kajiannya memasukkan kategori negara konstitusional modern dalam

bentuk kesatuan (unitary state; eenheidstaat) atau negara federal (federal

state; bondsstaat; bundesstaat) serta negara konfederasi (confederation;

staattenbund).

proposal penelitian 92
Susunan negara kesatuan dengan federal dari syarat

pembentukannya terdapat perbedaan, seperti yang dikemukakan oleh

Strong, antara lain: pertama, pada negara kesatuan terdapat rasa

kebangsaan (nation) yang erat karena didasari kebersamaan dari awal

kesatuan-kesatuan politik yang bergabung sebelum terbentuknya negara,

sementara pada negara federal sebelumnya tidak terikat dalam

kebersamaan semacam itu dan tunduk pada kedaulatan bersama dalam

negaranya sebelum terbentuknya federal. Kedua, pada pembentukan

negara federal kesatuan dari negara yang berdaulat menghendaki hanya

persatuan tetapi bukan kesatuan, sementara pada negara kesatuan yang

menjadi utama adalah kesatuan nation yang ada dalam mewujudkan

persatuannya dibingkai dalam suatu negara.

Sementara, Juan J. Linz44 berpendapat bahwa ada dua fungsi

utama dalam memberlakukan konstitusi federal. Pertama, menyatukan

dalam sebuah negara tunggal yang semula merupakan kesatuan-

kesatuan politik yang terpisah, yang berkeinginan untuk menyisihkan

beberapa kekuasaan sebagai kondisi untuk bergabung dalam negara

yang lebih besar. Kedua, mempertahankan kepentingan-kepentingan yang

berbeda dalam batas-batas suatu negara dengan jaminan otonomi yang

dipertahankan secara konstitusional, sebab apabila tidak demikian, maka

44
Juan J. Linz, “Democracy, Multinationalism, and Federalism”, Makalah yang disampaikan dalam
International Conference yang diterima Towards Structural Refores for Democratization in
Indonesia, Problems and Prospects, diselenggarakan oleh Center for Democracy, Jakarta: 12-14
Agus 1998, hlm. 9

proposal penelitian 93
akan timbul permasalahan bagi keabsahan negara dan penindasan

negara terhadap kesatuan-kesatuan politik.

Hal ini tercermin dari bentuk negara yang dianut, apakah bentuk

negara kesatuan (unitary state) atau negara federal (federalism state).

Secara prinsip terdapat perbedaan pembagian kekuasaan atau

kewenangan antara negara kesatuan dan negara federal. Pada negara

federal, kekuasaan atau kewenangan berasal dari bawah atau dari

daerah/negara bagian yang bersepakat untuk menyerahkan sebagian

kewenangannya kepada pemerintah federal, yang biasanya secara

eksplisit tercantum dalam konstitusi negara federal. Kewenangan

pemerintah pusat akan menjadi terbatas atau limitatif, dan daerah memiliki

kewenangan luas (general kompetence).

Sedangkan pada negara kesatuan, kewenangan pada dasarnya

berada atau dimiliki oleh pemerintah pusat yang kemudian diserahkan

atau dilimpahkan kepada daerah. Penyerahan atau pelimpahan

kewenangan di negara kesatuan biasanya dibuat secara eksplisit (ultra

vires), dengan kata lain, daerah memiliki kewenangan terbatas atau

limitatif. Pola general competence dan ultra vires digunakan pada negara

kesatuan dan federal, bahkan dalam perkembangan dewasa ini, pada

negara-negara berkembang dan maju, pola ultra vires cenderung terdesak

oleh general competence. Menurut Mawhood, kalau dikaji pelimpahan

kewenangan dalam konteks negara kesatuan, pada dasarnya berada di

tangan pemerintah pusat. Jadi, hubungan daerah dengan pusat adalah :

proposal penelitian 94
decentralized government, as we have defined it, is a semi-dependent

organization. It has some freedom to act without refeming to the center for

approval, but its status is not comparable with that of a sovereign state.

The local authority power, and even its existence, flow from a decision of

the national legislature and can be cancelled when that legislature so

decides.45

Prinsip pembagian kewenangan pada negara kesatuan adalah :

pertama, kewenangan pada dasarnya milik pemerintah pusat, daerah

diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian

kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Dalam hal

ini, terjadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua,

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis komando

dan hubungan hierarkhis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah

pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi dan

mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal. Ketiga, kewenangan

yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu,

dimana daerah tidak mampu menjalankan dengan baik, maka

kewenangan yang dilimpahkan dan diserahkan tersebut dapat ditarik

kembali ke pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan tersebut.

Berdasarkan konsepsi negara kesatuan, apapun metode yang digunakan

baik ultra vires maupun general competence, keberadaan peran pusat

45
Philip Mawhood (ed), Local Government in tthe Third World : The experience of Tropical
Africa, London-UK. Wiley, Chichester, .

proposal penelitian 95
tetap dibutuhkan untuk mengawasi dan mengendalikan pemerintahan

secara menyeluruh.

Kedudukan hukum (legal standing) dalam pembagian kewenangan

dalam negara kesatuan dan federal, dapat dilihat dalam hal berikut ini.

1. Pada negara federal, umumnya pembagian kewenangan diatur dalam

konstitusi, sedangkan pada negara kesatuan jarang ditemukan.

2. Pada negara federal, masalah pemerintahan daerah diserahkan, baik

secara eksplisit maupun residual kepada unit formatif (state, province,

lander).

3. Walaupun pada negara kesatuan fungsi atau urusan yang menjadi

kewenangan daerah jarang diatur dalam konstitusi, tetapi prinsip

pemerintahan daerah seringkali diatur dalam konstitusi.

4. Pada negara kesatuan, prinsip umum dan daftar urusan ada juga yang

mencantumkan dalam konstitusinya, seperti Afrika Selatan dan Italia

(yang diatur adalah kewenangan provinsi).

5. Formatif unit di negara federal dapat memiliki konstitusi sendiri,

sehingga mereka memiliki prinsip pemerintahan daerah, dan kadang-

kadang juga pembagian urusan dicantumkan dalam konstitusi tersebut.

Pembagian kewenangan antara pemerintah federal dengan

pemerintah negara bagian dengan dua. Pertama, dalam konstitusi federal

kekuasaan pemerintah dirinci, sedangkan sisanya yang disebut reserve of

powers dimiliki oleh negara bagian. Cara ini dianut oleh negara Amerika

Serikat. Kedua, dalam konstitusi federal, kekuasaan negara bagian dirinci,

proposal penelitian 96
sedangkan reserve of powers berada di pemerintah federal, cara ini dianut

oleh Kanada. Lebih jauh Strong berpendapat, jika cadangan kekuasaan

ada di tangan pemerintah federal, maka pendekatan konstitusi bergerak

menuju kepada semua negara kesatuan dari pada jika berada di negara-

negara bagian. Jadi, dapat dilihat tiga ciri khas dari negara federal, yaitu

terdapatnya konstitusi federal, terdapatnya distribusi kekuasaan antara

negara federal dengan negara bagian, dan terdapatnya kekuasaan

tertinggi yang bertugas menyelesaikan konflik (sengketa) yang timbul

antara negara federal dengan negara bagian.

Kewenangan antara negara federal dengan negara bagian satu

sama lainnya tidak saling membawahi, tetapi senantiasa berkoordinasi.

Pembagian kedaulatan dalam negara federal berlawanan dengan paham

dan sifat kedaulatan itu sendiri. Kedaulatan berada di tangan negara

bagian dan bukan di negara federal. Negara federal tidak mempunyai

wujud negara, tetapi merupakan pelaksanaan kerja sama di antara

berbagai negara yang masing-masing tetap berwujud negara. Negara

bagian yang tergabung dalam negara federal tetap memegang

kedaulatannya sendiri, dan tidaklah mungkin terdapat dua negara

berdampingan dan sama-sama berdaulat, berdiri di suatu latar.

Dua kriteria untuk membedakan antara negara federal dan negara

kesatuan berdasarkan hukum positif. Pertama, negara bagian dalam

ikatan negara federal memiliki pouvoir constituant, yaitu wewenang

membentuk UUD sendiri dan wewenang dalam mengatur bentuk

proposal penelitian 97
organisasi sendiri dalam rangka konstitusi federal, sedangkan kesatuan

pemerintahan sub-nasional (daerah) dalam negara kesatuan tidak

memiliki pouvoir contituant dan organisasinya secara garis besar

ditetapkan oleh pembuat undang-undang di pemerintah pusat. Kedua,

dalam negara federal, wewenang pembentuk UU federal ditetapkan

secara rinci dalam konstitusi federal. Sementara, dalam negara kesatuan,

wewenang pembentuk UU pusat diatur secara umum, sedangkan

wewenang pembentuk UU dalam arti materil dari pemerintahan sub-

nasional (daerah) tergantung pada badan pembentuk UU pusat.

Perbedaan sisi lainnya dapat dilihat pada sistem parlemen negara

yang bersangkutan. Negara kesatuan, parlemennya tidak selalu menganut

sistem dua kamar (bicameral), sedangkan dalam negara federal, selalu

dianut sistem dua kamar. Walaupun dalam representase dari sistem

keterwakilan rakyat (negara bagian), ada yang seragam (equal

representation) dan ada yang bersifat proporsional, sesuai dengan jumlah

penduduk negara bagian yang bersangkutan. Begitu pula dalam

pembedaan antara negara federal dengan konfederasi negara.

Konfederasi merupakan suatu ikatan dari beberapa negara berdaulat yang

dibentuk berdasarkan perjanjian internasional di antara negara-negara

yang berdaulat.

Untuk itu, dalam negara kesatuan, derajat sentralisasi sangat besar

dibanding dengan bentuk konfederasi dan federal. Perkembangan

sekarang ini, khususnya dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah,

proposal penelitian 98
memperlihatkan adanya bentuk campuran antara negara kesatuan

dengan negara federal, yang sebagian besar wilayah di bawah negara

kesatuan, namun dengan pertimbangan tersendiri (tertentu), sebagian

wilayah lainnya diberi otonomi khusus dalam konstitusi sehingga dalam

wewenang dewan perwakilan rakyat setempat dapat membentuk UU,

menjalankan pemerintahan, dan memiliki pemerintahan sendiri.

Prinsip pembagian kewenangan ultra vires yang dinamis berbeda

dengan prinsip pembagian kewenangan di negara federal yang dibentuk

atas kesepakatan antar unit-unit asal (negara-negara bagian) karena

dalam negara federal, negara bagian merupakan penentu lebih tinggi

serta menentukan kewenangan apa yang akan diselenggarakan di tingkat

federal dan kewenangan tersebut tetap dipegang oleh negara-negara

bagian, yang secara eksplisit tercantum dalam konstitusi. Negara

kesatuan seperti Indonesia, desentralisasi merupakan pengalihan atau

pelimpahan kewenangan secara teritorial atau kewilayahan yang berarti

pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah di dalam negara.

Sementara, menurut Jimly Asshiddiqie, negara Indonesia adalah

negara yang berbentuk unitary state. Kekuasaan asal berada di

pemerintah pusat, namun kewenangan (authorithy) pemerintah pusat

ditentukan batas-batasnya dalam UUD dan UU, sedangkan kewenangan

yang tidak disebutkan dalam UUD dan UU ditentukan sebagai

kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan pengaturan

konstitusional yang demikian itu, berarti NKRI diselenggarakan dengan

proposal penelitian 99
federal arrangement. Daniel Dhakidae berpandangan bahwa bentuk

negara federal bukan sesuatu yang aneh di dunia ini. Kalau defenisi

federalisme itu dilonggarkan sedikit, maka sedikitnya bisa dibedakan tiga

jenis federalisme: negara dengan sistem federal murni; negara dengan

bentuk federal arrangement; dan negara dengan bentuk negara dan

pemerintahan yang disebut associated states. 46

Pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab,

memberikan pemahaman bahwa daerah secara leluasa mengurus rumah

tangganya sendiri, baik secara politik lokal, kemandirian administrasi

pemerintahan daerah maupun keuangannya. Sedangkan otonomi nyata

adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan

pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan

serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sementara, otonomi

yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban

sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah

dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam

mencapai tujuan pemberian otonomi daerah

Desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu pembentukan

daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

dan atau bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan

desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk

46
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, (Jakarta, The Habibie
Center, 2001), hlm. 28.

10
proposal penelitian
0
mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat,

tetapi tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara yang dapat

mendorong lahirnya negara. Dalam pelaksanaan desentralisasi, NKRI

dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota, yang senantiasa

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam UU. Kebijakan

desentralisasi dilakukan oleh pusat, sedangkan pelaksanaan otonomi

dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Konsep ini memberikan pemahaman bahwa pembagian kekuasaan

pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip pokok, yaitu kewenangan

pemerintahan yang secara absolut tidak diserahkan kepada daerah

karena bersangkut paut dengan kepentingan kehidupan bangsa dan tidak

ada kewenangan pemerintahan yang diserahkan seratus persen atau

sepenuhnya kepada daerah, kecuali kewenangan pemerintahan yang

menyangkut kepentingan masyarakat setempat. Penguatan otonomi

menciptakan keseimbangan antara penyerahan dan pelimpahan

kewenangan kepada pemerintah daerah dan menjaga keutuhan

kehidupan NKRI. Tanpa adanya keseimbangan itu, maka cita-cita para

pendiri negara akan semakin terpinggirkan dalam penyelenggaraan

negara. Harapan dan cita-cita para pendiri negara adalah wujud

pemerintahan yang berdasar atas hukum, dijiwai paham demokrasi dalam

pemerintahan serta penguatan pemerintahan di daerah dengan sendi

desentralisasi.

D. Teori Pelimpahan dan Penyerahan Kewenangan

10
proposal penelitian
1
Salah satu permasalahan yang penting untuk dipecahkan dalam

proses pelaksanaan pemerintahan di daerah adalah perbedaan persepsi

yang luas mengenai kewenangan (authority) dan urusan (functions).47

Hingga kini belum terdapat rumusan pengertian urusan pemerintahan.

Urusan pemerintahan berkenaan dalam konteks pembagian tugas antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara secara konseptual

istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan istilah urusan, karena

kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan/atau kewajiban untuk

menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan,

perencanaan, pengorganisasian, pengurusan dan pengawasan) atas

suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintahan.

Ferrazzi memberikan pandangan bahwa pengertian urusan dan

kewenangan belum memiliki ukuran yang jelas secara internasional.

Namun, dia mencoba memberikan batasan, yaitu urusan cenderung

diartikan sebagai bidang pemerintahan atau sektor atau bagian lebih kecil

dari bidang atau sector, sedangkan kewenangan adalah suatu pendekatan

yang menambah kerincian dan ketepatan terhadap urusan itu sendiri.

Kewenangan merupakan hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi

manajemen yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi),

pengurusan (administrasi), dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan

tertentu.

47
Robert J. Bennett (ed), Decentralization Local Governments and Markets, (Oxford,
Clarendom, 1990).

10
proposal penelitian
2
Rod Haque & Martin Harrop48 menjelaskan bahwa dalam suatu

negara kesatuan, kewenangan yang menjadi tanggungjawab pemerintah

pusat adalah (1) kontrol atas pembuatan peraturan (legislation), termasuk

dalam hal menghapus atau mengubah kewenangan pemerintah daerah;

(2) menyediakan sebagian besar kebutuhan pengeluaran pemerintah

daerah; (3) membuat standar administrasi penyediaan pelayanan; dan (4)

menangani urusan-urusan yang bersifat nasional. Sedangkan yang

menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah (1) kontrol atas

implementasi kebijakan; (2) penyediaan pelayanan masyarakat, seperti

kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan; (3) pengelolaan sumber-

sumber penerimaan tertentu; (4) kewenangan untuk memilih dan

mengangkat perangkat pemerintah daerah.

Disisi lain, menurut Wolman kriteria yang dapat digunakan sebagai

dasar pembagian urusan, yaitu (1) aspek efesiensi (efficency value),

meliputi ada tidaknya manfaat dari skala ekonomi (economic scale), ada

tidaknya eksternalitas, baik positif maupun negatif, disparitas ekonomi dan

kapasitas administrasi, variasi preferensi masyarakat terhadap public

goods, pemeliharaan stabilitas ekonomi makro dan (2) aspek pengelolaan

pemerintahan (governance value), meliputi kepekaan dan akuntabilitas,

kemajemukan sosial budaya, patisipasi politik. Demikian pula menurut

Leach dan Davis,49 dalam melakukan pembagian urusan, harus mengacu

48
Rod Haque, Martin Harrop, Comparative Government and Politics An Introduction, 5th, (New
York, Palgrave, 2001).
49
Steve Leach, Howard Davis, Enabling or Disabling Local Government, (Philadelphia,
Buckingham, 1996).

10
proposal penelitian
3
pada tujuan dan peran pemerintah daerah, karena ini akan mempengaruhi

rancangan pembagian.

Terdapat tiga dimensi pilihan strategis dalam menetapkan tujuan

dan peran pemerintah daerah dimasa yang akan datang, yaitu (1) dimensi

kepemerintahan (governance); (2) pasar (market); dan (3) komunitas

(communities). Jadi, pada dasarnya urusan-urusan pemerintahan yang

diserahkan atau dilimpahkan kepada pemerintah daerah tentunya

memerlukan (membutuhkan) suatu kewenangan atau kekuasaan untuk

melaksanakannya. Menurut pengertian yang diberikan oleh Logemann,50

hukum tata negara menyelidiki (1) jabatan-jabatan apa yang terdapat

dalam suatu negara; (2) siapa yang membentuknya; (3) bagaimana

mengisinya dengan pemangku jabatan; (4) apa fungsi dan lingkungan

pekerjaannya; (5) apa kewenangannya; (6) bagaimana hubungannya satu

sama lainnya; serta (7) dalam batas-batas mana organisasi negara (serta

bagiannya) menjalankan tugas dan wewenangnya.

Penafsiran dalam suatu kaidah bunyi pasal dalam suatu peraturan

perundang-undangan dapat dikaji melalui penafsiran gramatikal (bunyi

makna pasal), penafsiran historis (sejarah lahirnya pasal atau peraturan),

doktrin yang dapat berupa pendapat dan keputusan lembaga peradilan,

dan konvensi ketatanegaraan (dapat berupa kebiasaan-kebiasaan yang

berupa hukum tidak tertulis dalam praktek ketatanegaraan). Peraturan

pelaksanaan (UU/PP) yang secara nyata, tegas dan jelas diperintahkan


50
Defenisi J.H.A. Logemann sebagaimana terpetik dalam Harun Alrasid, Masalah Pengisian
Jabatan Presiden (Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesoa 1945 sampai Sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993), Disertasi Ilmu Hukum, (Jakarta, Univ. Indonesia, 1993),
hlm. 6.

10
proposal penelitian
4
pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan tingkat atasan

(melalui atribusi dan pendelegasian).

Negara Republik Indoensia sebagai negara hukum (arti luas), salah

satu unsur utama pelaksanaan pemerintahannya berdasarkan hukum. Ini

dapat dilihat dalam penjelasan UUD 1945, mengenai sistim pemerintahan

negara yang tegas menentukan bahwa negara Indonesia berdasar atas

hukum (rechstaaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machsstaat) dan pemerintahan berdasarkan atas sistim konstitusi (hukum

dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Melalui

landasan hukum, diatur dan dijamin hak-hak dan kewajiban dasar warga

negara (daerah) serta pembagian kekuasaan negara, sehingga fungsi

hukum disandarkan bukan saja sebagai kaidah, tetapi juga sebagai

sarana pembangunan. Untuk mencapai tujuan pendirian negara, maka

aktifitas aparatur sangat berpengaruh dalam menjalankan fungsinya.

Implementasi fungsi dan peran aparat ini tentunya didasarkan pada aspek

legimasi dan legalitas mengenai kewenangan dan kekuasaan yang

dimilikinya. Untuk itu, hukum administrasi negara menjadi landasan bagi

administratur negara dalam menjalankan fungsi serta dapat dijadikan

sarana dalam melindungi warga negara terhadap sikap tindak administrasi

negara dan juga melindungi negara itu sendiri.51

51
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung,
Binacipta, 1986), hlm. 25. Lihat Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak
Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, diucapkan pada Dies Natalies XXIX Universitas Padjajaran,
Bandung, pada Tanggal 24 Desember 1986, hlm. 4. Wujud sikap tindak administrasi negara bisa
bersifat biasa serta bisa bersifat yang meliputi hukum perdata dan hukum publik.

10
proposal penelitian
5
Sikap tindak administrasi negara harus memenuhi syarat-syarat

penuaian tugas yang baik, antara lain yuridiksitas, yaitu sebagai syarat

yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara

tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas, serta

legalitas, yaitu sebagai syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun

perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan

tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan UU (tertulis) dalam arti luas.

Bila sesuatu dijalankan dengan keadaan darurat, maka kedaduratan

tersebut wajib dibuktikan kemudian, bila kemudian tidak terbukti, maka

perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan. Diskresi diperlukan

sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu asas hukum yang

menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara

harus berdasarkan ketentuan UU.52

Peraturan perundang-undangan secara harfiah mendapat

atribusian atau delegasian dari UU dan peraturan-peraturan bawahan

yang berkaitan dengan UU.53 Tindakan dan keputusan pemerintah itu

dilakukan secara sadar dan sistimatik dengan menggunakan sarana-


52
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981, hlm.
79. Lihat A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan
Kebijakan, Pidato Dies Natalies PTIK ke-46, Jakarta, 17 Juni 1992. Peraturan perundang-
undangan memiliki sifat umum, abstrak, bersifat keluar dan bersifat publik. Pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan fungsi negara, materi muatannya bersifat mendasar dalam
mengatur tata kehidupan masyarakat, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang apabila perlu disertai pidana dan sanksi pemaksa.
53
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, (Jakarta, Rineka, 1990),
hlm. 31. Attamimi memberikan contoh mengenai Kepres, dengan mengatakan bahwa Keputusan
Presiden yang berfungsi pengaturan terbagi dua : (1) keputusan presiden yang mendapat
attribusian dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945 disebut Kepres berfungsi pengaturan mandiri yang tidak
ditentukan luas dan batas lingkup materi muatannya. Satu-satunya pembatas ialah batas
penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh presiden. (2) Keputusan Presiden yang
mendapat delegasian dari peraturan pemerintah disebut kepres berfungsi pengaturan yang lingkup
materi muatannya tertentu. Kebijakan negara memiliki unsur-unsur adanya tindakan dan keputusan
pemerintah (arti luas) untuk mencapai tujuan, sasaran, program, pelaksanaan niat, dan peraturan-
peraturan tertentu.

10
proposal penelitian
6
sarana yang cocok yang dibingkai dalam peraturan-peraturan perundang-

undangan sebagai perangkatnya, memiliki tujuan dan sasaran yang jelas

serta dilakukan secara bertahap dan transparan menurut kurun waktu

tertentu.

Konsepsi negara hukum dan demokrasi berkolerasi sangat erat

dalam menata penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Asas

demokrasi merupakan akar bagi terselenggaranya negara hukum

Indonesia, karena secara substansial asas demokrasi meletakkan dan

menjunjung tinggi superioritas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan

pemerintahan, dimana konsep negara hukum ini menciptakan rasa

keadilan dan kesamaan setiap rakyat dihadapan hukum, yang dengan

sendirinya akan memberikan konsekuensi kesamaan kedudukan di

hadapan hukum. Untuk itu, setiap tindakan atau aktivitas pejabat atau

badan pemerintahan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari

rakyat, melalui pelembagaan aspirasi, cita-cita dan keinginan rakyat dalam

bingkai formalistik peraturan perundang-undangan.

Lahirnya aturan hukum tersebut akan melahirkan asas legalitas

bagi pejabat atau badan penyelanggara negara dan pemerintahan untuk

melakukan suatu tindakan. Dari hal yang telah disebutkan di atas, akan

melahirkan perpaduan asas demokrasi dan asas legalitas yang menjadi

dasar kewenangan atau legitimasi penyelenggara negara dan

pemerintahan dalam bertindak yang diperolehnya melalui attribusi

kekuasaan atau kewenangan. Attribusi kewenangan ini menjadi sangat

10
proposal penelitian
7
penting dalam sebuh negara hukum dan demokrasi, yang secara

langsung memberikan kekuasaan atau kewenangan kepda penyelenggara

negara dan pemerintahan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum,

yang sipatnya menyentuh sisi lapangan hukum publik atau tindakan

hukum yang sifatnya membebankan sesuatu kepada seseorang atau

masyarakat. Dalam suatu negara hukum, maka hukumlah yang harus

merintis jalan dan meletakkan dasar-dasar keseimbangan hubungan

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.54

Pembagian wewenang, tugas dan tanggungjawab antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah biasanya diatur dalam

berbagai kaidah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai pembagian wewenang dalam mengatur dan

mengurus rumah tangga berkaitan dengan sistim rumah tangga yang

dipergunakan. Asas legalitas menjadi unsur penting dalam negara hukum

karena mempunyai kedudukan yang tinggi dalam hukum administrasinya,

yang diwujudkan dalam asas Wetmatigheid Van Bestuur yang kemudian

berkembang menjadi asas Rechtmatigheid Van Bestuur. Asas legalitas

dipahami dalam makna bahwa setiap tindakan pejabat atau badan tata

usaha negara harus berdasarkan atas undang-undang formal atau hukum

baik tertulis maupun tidak tertulis.55 Sedangkan pengertian administrasi

54
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi, Bandung, Unpad, 1990, hlm. 5.
55
Lihat makna yang termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999, Pasal 1 hurup a, bahwa
pemerintah (pemerintah pusat) adalah perangkat NKRI yang terdiri dari presiden beserta para
menterinya. Pasal 1 hurup b, bahwa pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat
daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Pasal 1 hurup d, bahwa pemerintahan
daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas desentralisasi.

10
proposal penelitian
8
negara atau pemerintah dalam arti yuridis, yaitu sebagai pelaksana atau

penyelenggara UU dalam arti luas (wet in ruine zin).

Delegasi (delegation) mengacu pada bentuk kegiatan hukum

publik, dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu delegasi yang berarti

penyerahan (pengalihan) wewenang publik intern (nasional) dan delegasi

yang berarti utusan yang telah diserahi wewenang publik untuk mewakili

suatu organisasi kenegaraan guna merundingkan suatu penyelesaian

masalah hubungan antar negara. Setiap aktifitas organisasi (negara),

bukan saja pucuk pimpinan yang boleh mengalihkan sebagian

kewenangannya kepada bawahan-bawahan langsungnya, tetapi

bawahan-bawahan itu dapat pula mengalihkan sebagian wewenang yang

diperolehnya melalui pengalihan dari atasan langsungnya kepada

bawahan langsungnya juga. Jadi, bukan saja delegation, tetapi sub-

delegation boleh saja dilakukan dalam setiap organisasi, asalkan tidak

mendelegasikan keseluruhan wewenang secara total. Kalau ini terjadi,

pendelegasian (pengalihan) wewenang secara total, maka pimpinan yang

telah mengalihkan wewenang secara total itu sudah tidak dapat lagi turut

serta berperan dalam organisasi yang bersangkutan.

Jadi pendelegasian wewenang dalam desentralisasi berlangsung

antara lembaga-lembaga dipusat dengan lembaga-lembaga otonom di

daerah. Sementara, pendelegasian dalam dekonsentrasi berlansung

antara petugas perorangan pusat dipusat kepada petugas perorangan

pusat di daerah. Pendelegasian kewenangan dalam struktur negara

10
proposal penelitian
9
federasi, mempunyai perbedaan yang asasi dibandingkan dengan

kewenangan dalam struktur negara kesatuan. Pada struktur negara

federasi, wewenang awal dimiliki oleh beberapa negara yang berdaulat

dan berdiri sendiri ini tidak bertingkat-tingkat (hierarkhis). Kesepakatan

yang dibuat oleh negara-negara yang berdaulat tersebut dalam

membentuk federasi, secara langsung juga memberi sebagian

wewenangnya untuk menyelenggarakan urusan kepentingan bersama

dan utama.

Jadi, keputusan yang dibuat sebagai implementasi dari

pendelegasian wewenang oleh federasi, secara langsung berlaku kepada

masing-masing negara, baik lingkungan kuasa berlakunya berdasarkan

orang (personal sphere of validity) mencakup semua warga (rakyat)

maupun lingkungan kuasa berlakunya menurut kewilayahan (territorial

sphere of validity) mencakup semua wilayah dalam negara federasi

tersebut. Pendelegasian wewenang dalam negara federasi, disebut

sebagai penyerahan atau pelimpahan wewenang ke arah atas (dari

negara-negara bagian ke negara federal), sedangkan pada struktur

negara kesatuan dikenal pendelegasian wewenang ke arah bawah baik

aspek wewenang dalam desentralisasi maupun dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

Menurut Hans Peters, Ermachtigung/authorization/ autoritation

(pemberian kuasa) terjadi apabila ada penyerahan wewenang

(bevoegdheden), berdasarkan atas suatu alat perlengkapan (organ)

11
proposal penelitian
0
negara, atas namanya sendiri boleh melakukan tindakan-tindakan yang

sesuai dengan tatanan wewenang suatu pemangku kekuasaan.

Sementara, menurut Jimly Asshiddiqie,56 dalam lalu lintas hukum yang

menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai pegangan atau code

of conduct dalam kehidupan bersama. Berfungsinya lembaga hukum dan

institusi demokrasi dan bekerjanya sistem hukum dan berbagai perangkat

perundang-undangan yang ada, sangat bergantung kepada keyakinan,

harapan dan kesediaan masyarakat pendukungnya untuk taat dan

mengikuti aturan main yang ditetapkan.

Jika administrasi (negara) adalah pemerintah dalam arti sempit

(bestuur), maka hukum yang mengaturnya adalah hukum administrasi.

Administrasi negara mempunyai pengertian yang kombinatif

(verzameltren), yaitu administrasi negara sebagai organisasi dan

administrasi yang secara khas mengejar tercapainya tujuan yang bersifat

kenegaraan (publik), yang ditetapkan undang-undang dengan secara

hukum memaksa (dwingendrecht). Hukum administrasi negara menguji

hubungan hukum istimewa yang diadakan dalam memungkinkan para

pejabat (administrasi negara) melaksanakan tugas yang khusus.

1. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Attribusi

ATRIBUSI (Attributie) mengandung arti pembagian (kekuasaan),

dalam kata attibutie van rechtsmacht diartikan sebagai pembagian

kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie atau

56
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta, FH UII-press, 2004), hlm. 30.

11
proposal penelitian
1
komptensi mutlak), sebagai lawan dari distributie van rechtmacht. Pada

Atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang. Cara

yang biasa dilakukan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan

penguasa pemerintah dan wewenang-wewenangnya adalah melalui

atribusi. Dalam hal ini pembentuk undang-undang menentukan penguasa

pemerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ

pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada

maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.

Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-

undang orisinil (Pembentuk UUD, Parlemen-pembuat UU dalam arti

formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum).

Sedangkan pembentuk undang-undang yang diwakilkan (mahkota,

menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang berwenang untuk itu

dan ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan) yang dilakukan

secara bersama. Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian

kekuasan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan

dalam suatu peraturan pemerintah, tetapi tidak di dahului oleh suatu pasal

dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Sedangkan delegasi

kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan didasarkan pada

amanat UU dan suatu peraturan pemerintah yang sebelumnya

diamanatkan dalam salah satu pasal UU (khususnya dalam konsideran

mengingat) untuk ditindaklanjuti.57


57
H.D. van wijk, Hoofdstukken van Administratief Recht, (Vuga Uitgeverij B.V. S. Gravenhage,
1984), hlm. 25. Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk UU orisinil (pembentuk
UUD, parlemen-pembuat UU dalam arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi
pengadilan umum), sedangkan pembentuk UU yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri, organ-

11
proposal penelitian
2
Kekuasaan pemerintahan bersumber dari originale legislator yang

diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan yang bersumber dari

pembuat UU asli. Delegated legislator diartikan sebagai pemberian dan

pelimpahan kewenangan dari suatu organ pemerintahan kepada pihak

lain untuk mengambil keputusan atas tanggungjawab sendiri.

Kewenangan pemerintahan, baik pada pemerintahan pusat maupun

pemerintahan daerah, dapat diperoleh melalui “atribusi, delegasi dan

mandat”. Pembentuk UU menentukan suatu organ pemerintahan berikut

wewenangnya baik kepada organ yang sudah ada maupun yang baru

dibentuk.58

Delegasi kewenangan Atribusi (atributive), hanya dapat dilakukan

oleh pembentuk UU orisinil. Sedangkan Delegasi (delegative) merupakan

penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu

kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Wewenang yang

diperoleh dari delegasi itu dapat pula disub-delegasikan kepada sub-

delegataris. Untuk sub-delegataris ini berlaku sama dengan delegasi. Jadi

wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan

kepada organ atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau

pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu

melaksanakan sendiri wewenang tersebut.

organ pemerintahan yang berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan kekuasaan
pemerintahan yang dilakukan secara bersama).
58
H.D. van wijk, Hoofdstukken...., Ibid., hlm. 55. Pembentuk UUD, Parlemen-pembuat UU
dalam arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum). Sedangkan
pembentuk UU yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang
berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan yang dilakukan
secara bersama.

11
proposal penelitian
3
Atribusi digambarkannya sebagai pemberian kewenangan kepada

suatu organ lain yang menjalankan kewenangan-kewenangan itu atas

nama dan menurut pendapatnya sendiri, tanpa bahwa si pemberi itu

sendiri ditunjuk untuk menjalankan kewenangan-kewenangan itu. Jadi,

pada delegasi terjadi penyerahan kewenangan dari pihak yang sendiri

memang telah ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu, sedang

atribusi terjadi pemberian kewenangan dari pihak yang sendiri tidak

(tanpa) ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu. Attamimi

mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki sifat

umum, abstrak, bersifat keluar, dan bersifat publik. Pembentukan

peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari fungsi negara,

materi muatannya bersifat mendasar dalam mengatur tata kehidupan

masyarakat, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu yang apabila perlu, disertai pidana dan sanksi

pemaksa.

Kebijakan negara memiliki unsur-unsur, adanya tindakan dan

keputusan pemerintah (arti luas) untuk mencapai tujuan, sasaran,

program, pelaksanaan niat dan peraturan-peraturan tertentu. Tindakan

dan keputusan pemerintah itu dilakukan secara sadar dan sistematik

dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok yang dibingkai dalam

peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai perangkatnya, memiliki

tujuan dan sasaran yang jelas serta dilakukan secara bertahap dan

transparan menurut kurun waktu tertentu. Untuk mencapai tujuan

11
proposal penelitian
4
pendirian negara, maka aktivitas aparatur sangat berpengaruh dalam

menjalankan fungsinya. Implementasi fungsi dan peran aparat ini tentunya

didasarkan pada aspek legitimasi dan legalitas mengenai kewenangan

dan kekuasaan yang dimilikinya. Untuk itu, hukum administrasi negara

menjadi landasan bagi administratur negara dalam menjalankan fungsi

serta dapat dijadikan sarana dalam melindungi warga negara terhadap

sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi negara itu sendiri.

Konsekuensi logis dari peranan pemerintah dalam mengatur kehidupan

masyarakat semakin meluas sangat tergantung kepada keputusan pejabat

administrasi negara.

2. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi

Kata DELEGASI (delegatie) mengandung arti penyerahan

wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang rendah.

Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain

dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Pada delegasi, diserahkan

suatu wewenang. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari

badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat

pemerintahan lainnya. Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum,

karena bila pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah

didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundang-undangan

yang sama. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula disub-

delegasikan kepada subdelegataris.59


59
H. M. Laica Marzuki, “Hakikat Desentralisasi dalam Sistim Ketatanegaraan NKRI”, Kertas
Kerja (Makalah), 2007. hlm. 5. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation
of authority.

11
proposal penelitian
5
Menurut Heinrich Triepel,60 bahwa pendelegasian dalam pengertian

hukum publik dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu

wewenang kenegaraan. Jadi, Pendelegasian ini merupakan pergeseran

kompetensi, pelepasan dan penerimaan sesuatu wewenang, yang

keduanya berdasarkan atas kehendak pihak yang menyerahkan

wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus mempunyai suatu

wewenang, yang sekarang tidak digunakannya. Sedangkan yang

menerima pendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang,

sekarang akan memperluas apa yang telah diserahkan.

Pendelegasian di dalam organisme negara berarti perluasan

lingkungan suatu jabatan dan menyebabkan berdirinya suatu jabatan baru

serta suatu alat perlengkapan baru. Henricht membedakan pengertian

delegation dalam echte delegation dan unechte delegation. Echte

delegation adalah sebagai pendelegasian sesungguhnya, yang

dinamakan juga devolvierende delegation atau translative delegation,

yang diartikan pelepasan wewenang bersamaan dengan penerimaan

sesuatu kompetensi. Echte delegation mempunyai modifikasi, yaitu

apabila suatu pendelegasian timbul dari perkembangan suatu mandat

(seperti dalam negara monarki absolute, hakim memperoleh suatu

kekuasaan peradilan sebagai mandataris raja). Unechte delegation” yang

diartikan sebagai pendelegasian tak sesungguhnya, yang diperinci dalam

konservirende delegation. Konservirende delegation dimaksudkan sebagai

60
Heinrich Triepel, Delegation Und Mandat Im-offeentlichen Recht, (Stuttgart, Berlin, 1942),
hlm. 23.

11
proposal penelitian
6
jenis pendelegasian dengan menyerahkan sesuatu kompetensi, tetapi

pemangku kekuasaan yang asli sama berwenangnya yang memperoleh

kompetensi itu.

Pendelegasian dalam hal ini bukan untuk pembebasan

sepenuhnya, melainkan untuk peringanan dari suatu beban kerja.

Pendelegasian ini bukan suatu pendelegasian dengan syarat dapat ditarik

kembali karena yang mendelegasikan masih tetap berwenang seperti

sediakala. Sipenerima tidak melakukan tugas atas nama sipemberi, tetapi

melainkan atas namanya sendiri. Pendelegasian ini justru menciptakan

dua pemangku satu wewenang yang sama, tetapi wewenang pihak yang

mendelegasikan menjadi pasif dan wewenang pihak yang menerima

pendelegasian menjadi aktif. Jadi, hakikatnya terletak dalam hal bahwa

pihak yang mendelegasikan tidak kehilangan kompetensinya, melainkan

kehilangan monopoli dalam pelaksanaannya, misalnya pendelegasian

kekuasaan perundang-undangan.

Delegasi adalah penyerahan kewenangan oleh organ yang hingga

saat itu ditunjuk untuk menjalankannya, kepada satu organ lain yang sejak

saat itu menjalankan kewenangan yang didelegasikan itu atas namanya

dan menurut pendapatnya sendiri. Atribusi digambarkannya sebagai

pemberian kewenangan kepada suatu organ lain, yang menjalankan

kewenangan-kewenangan itu atas nama dan menurut pendapatnya

sendiri. Pada delegasi, terjadi penyerahan kewenangan dari pihak yang

sendiri memang telah ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu,

11
proposal penelitian
7
sedang atribusi terjadi pemberian kewenangan dari pihak yang sendiri

tidak (tanpa) ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu.

3. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat

Kata MANDAT (mandaat) mengandung pengertian perintah

(opdracht) yang di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa

(lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht). Mandat mengenai

kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa (biasanya

bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang

memberi wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya

atas nama tanggungjawab alat pemerintah yang pertama tersebut. Pada

mandat tidak ada penciptaan ataupun penyerahan wewenang. Ciri pokok

mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama

yang diwakili. Hanya saja pada mandat, mandans tetap berwenang untuk

menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi

mandat juga dapat memberi segala petunjuk kepada mandataris yang

dianggap perlu.

Menurut Heinrich, bahwa mandat dapat berupa opdracht (suruhan)

pada suatu alat perlengkapan (organ) untuk melaksanakan

kompetensinya sendiri, maupun tindakan hukum oleh pemegang suatu

wewenang memberikan kuasa penuh (volmacht) kepada sesuatu subjek

lain, untuk melaksanakan kompetensi nama si pemberi mandat. Jadi,

sipenerima mandat bertindak atas nama orang lain. Sementara, menurut

Lubberdink, pertanggungjawaban untuk pelaksanaan wewenang tetap

11
proposal penelitian
8
pada pemberi kuasa sebab pemberi kuasa yang memberikan petunjuk,

baik yang umum maupun petunjuk khusus kepada mandataris.61

Mandat (mandaat) mengandung pengertian perintah (opdracht).

Didalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun

kuasa penuh (volmacht). Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk

perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili. Hanya saja pada

mandat, pemberi mandat tetap berwenang untuk menangani sendiri

wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi mandat juga dapat

memberi segala petunjuk kepada mandataris yang dianggap perlu.

Pemberi mandat bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang

diambil berdasarkan mandat. Sehingga secara yuridis-formal bahwa

mandataris pada dasarnya bukan orang lain dari mandans. Selain kepada

pegawai bawahan, mandat dapat pula diberikan kepada organ atau

pegawai bawahan sesuai ketentuan hukum yang mengaturnya.

Menurut Bohtlingk,62 dalam Hukum Tata Negara, mandat dapat

diartikan sebagai perintah yang diberikan oleh seorang penjabat atas

nama jabatannya atau golongan jabatannya kepada pihak ketiga untuk

melaksanakan (sebagian) tugas penjabat itu atas nama jabatan atau

golongan jabatan. Pada mandat, kewenangan tidak pindah tangan,

pemangku jabatan tetap berwenang bertindak atas nama jabatannya atau

61
Soewoto, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden selaku Mandataris MPR, Yuridika-FH-
UNAIR, No. 5 Tahun II, Agustus-September, 19987, hlm.7.
62
Pendapat Bohtlingk sebagaimana dikutif dalam Harun Alrasid, Masalah…., Op. Cit., hlm.87.
Pemberian mandat ini dapat dilihat pada saat Presiden Soekarno memberikan kepada Menteri
Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat RI di Sumatera Barat, maka
berdasarkan mandat tersebut, pada tanggal 22 Desember 1948 dibentuk pemerintah Darurat RI di
Halaban. Bisa juga dilihat dalam Surat perintah Sebelas Maret Tahun 1966 yang merupakan
pemberian kuasa (mandat) dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto.

11
proposal penelitian
9
golongan jabatannya. Hanya saja dengan pemberian mandat ada pihak

ketiga, mandataris yang memperoleh kewenangan yang sama.

Menurut Kelsen,63 bahwa kekuasaan membuat peraturan

diselenggarakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan,

hanya penguasa atau badan yang berwenang bisa membuat norma yang

mengikat dan kewenangan yang demikian hanya bisa didasarkan pada

norma yang memberi kuasa menerbitkan peraturan. Jadi peraturan yang

mengikat diterbitkan oleh badan yang memiliki wewenang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang memberi kuasa untuk itu. Kuasa

yang diberikan tersebut menentukan badan, bentuk peraturan dan lingkup

kewenangan yang boleh diatur.

Lebih jauh Kelsen mengatakan, bahwa peraturan perundang-

undangan sebagai norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang,

norma yang lebih tinggi (superior norm) menentukan bagaimana cara

membuat dan subtansi norma yang lebih rendah (the inferior norm).

Norma yang lebih tinggi (the higher norm) menentukan norma yang lebih

rendah (the lower norm). Norma yang lebih rendah berlaku karena dibuat

berdasarkan norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah berlaku,

berdasar dan bersumberkan pada norma yang lebih tinggi.

Norma yang berlapis-lapis tersebut disebut tata hukum (legal order)

atau negara. Negara adalah komunitas yang dibentuk oleh tata hukum.

Menurut Nawiasky, norma hukum suatu negara selain berjenjang dan

63
Hans Kelsen, 1978, …..Op. Cit., hlm. 194. “Only a compotent authority can create valid
norms and such competence can only be based on a norm that authorizes the issuing of norms”

12
proposal penelitian
0
berlapis juga berkelompok-kelompok, yaitu norma fundamental

(staatsfundamentalnorms), aturan dasar/pokok negara

(staatsgrundgesetz), UU formal (Formell gesetz), serta Aturan Pelaksana

dan Aturan Otonom (verordenung & Autonome Satzung). Menurut

Bromley, produk-produk kebijakan sebagai produk-produk hukum yang

berjenjang sehingga proses kebijakan mencakup tiga tingkat kebijakan.

Pertama, kebijakan tertinggi (policy level) yang diciptakan oleh badan

legislatif. Kedua, kebijakan tingkat organisasional sebagai penjabaran

tertinggi diciptakan oleh eksekutif. Ketiga, kebijakan tingkat operasional

sebagai pelaksanaan kebijakan organisasional.64

Wewenang mengatur atau membentuk perundang-undangan

sendiri, melaksanakan, mengadili bagi daerah otonom menurut Kelsen

dan Nawiasky tunduk pada ketentuan yang lebih tinggi, yaitu dibatasi oleh

ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, sementara menurut

Bromley, bersifat operasional. Jadi dari pendapat dari ketiga orang ini,

peraturan pemerintah daerah adalah mengatur tentang ketentuan-

ketentuan tentang tata cara bekerjanya organisasi daerah otonom.

E. Teori Pemisahan dan Pebagian Kekuasaan Negara

1. Teori Pemisahan Kekuasaan Negara

Analisis kekuasaan sebagai suatu gejala sosial dapat dilihat dalam

beberapa kelompok pendapat. Pendapat pertama, melihat kekuasaan

dalam pengertian kekuasaan sebagai “dominasi” (dominance) dan bersifat

64
Daniel W. Bromley, Economic Interest and institutions : The Conceptual Foundation of
Public Policy, (New York, Basil Blackell, 1989), hlm. 18-19.

12
proposal penelitian
1
“paksaan” (coercion). Strausz-Hupe merumuskan kekuasaan sebagai

kemampuan untuk memaksakan kekuatan pada orang lain, di mana

seorang atau beberapa anggotanya melakukan secara terang-terangan

fungsi-fungsi kekuasaan dalam arti memaksa. Sementara Mills,

mengartikan kekuasaan sebagai “dominasi”, yaitu kemampuan untuk

melaksanakan kemauan, kendatipun orang lain menentang.

Demikian pula Laswell, menganggapnya tidak lain dan tidak bukan

adalah penggunaan paksaan yang kuat. Akhirnya, paham yang sama

dianut pula oleh Moore dalam usahanya untuk menemukan dan

menerangkan bagaimana cara golongan-golongan serta individu-individu

tertentu berhasil melakukan dominasi terhadap sesamanya. Kelompok

paham yang mengartikan kekuasaan sebagai dominasi yang berhakikat

paksaan itu bertolak dari diktum yang tersohor dari Lord Acton:

Kekuasaan cenderung untuk menjadi korup, dan kekuasaan mutlak

menjadi korup secara mutlak pula.65

Di sisi lain, Pendapat kedua, nampak dalam karangan-karangan

Talcott Parsons, Robert S. Lynd dan Marion Levy, Jr. Kelompok ini

memaparkan pengertian pokok dari kekuasaan ialah pengawasan

(control), tetapi sifat atau fungsinya tidaklah selalu harus merupakan

paksaan. Parsons umpamanya, melihat bahwa kekuasaan adalah


65
Robert Strausz-Hupe, Power and Community, 1956, hlm. 12 dan 14. Lihat C. Wright Mills,
The Power Elite, 1965, hlm.9 Lihat Harold D. Laswell/Abraham Kaplan, Power and Society, 1950,
hlm. 98. Lihat Barrington Moore, Political Power and Social Theory, 1958, hlm.1. Lihat Lord Acton,
Essays on Freedom and Power, 1907. Lihat Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara,
Cet. 9, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 76. Lihat Nugraha, Safri (dkk), Hukum Administrasi
Negara, (Jakarta : Badan Penerbit FH-UI, 2005), hlm. 38-39. Secara umum wewenang merupakan
kekuasaan untuk melakukan semua tindakan hukum public. Kewenangan merupakan kekuasaan
yang mempunyai landasan hukum agar tidak timbul kesewenang-wenangan atau wewenang
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.

12
proposal penelitian
2
“pemilihan fasilitas-fasilitas untuk mengawasi”, tetapi keperluannya ialah

untuk pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu

sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan ditentukan

secara mengikat oleh “umum”. Sementara Robert Lynd mengemukakan,

bahwa kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource) yang

utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu

paksaan sampai dengan suatu kerja sama secara suka-rela, tergantung

daripada perumusan ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan,

diubah dan dipelihara dalam suatu masyarakat tertentu.66

Akhirnya, Maron Levy menjelaskn bahwa penggunaan kekuatan

fisik hanyalah merupakan suatu bentuk yang ekstrem dari cara

penggunaan otoritas dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain.

Persoalan pokok untuk kelompok paham terakhir ini ialah legitimasi

(legitimacy) atau pembenaran dari dasar kekuasaan. Selanjutnya, Marion

Levy menjelaskan bahwa kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya

dengan tanggung jawab, yang berarti pertanggungjawaban dari individu-

individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya

sendiri dan tindakan-tindakan orang-orang lain.

Kedua anggapan yang berbeda tentang pengertian kekuasaan itu

dapat dicakup dengan menggunakan suatu konsep yang bersifat

“behavioristis”, yaitu keputusan (decision). Untuk pendapat pertama,

konsentrasi kekuasaan berarti pengambilan keputusan yang sentralistis,

66
Talcott Parsons, “The Distribution of Power in American Society”, World Politics, 1957, hlm
140.

12
proposal penelitian
3
keputuan-keputusan diambil oleh mereka yang berkuasa dan mempunyai

kekuasaan berarti ikut serta dalam pengambilan keputusan. Demikian

pula untuk pendapat kedua, pengawasan bersama adalah keputusan

bersama pula. Kekuasaan adalah pengaruh atau pengawasan atas

pengambilan keputusan yang berwenang (authoritative). Selain

pendekatan behavioristis, pendekatan developmental menjadi sendi pada

gejala kekuasaan.

Pendekatan ini dijabarkan oleh Laswell dengan menggunakan

konsep elite, yaitu suatu kelas yang terdiri dari mereka yang berhasil

mencapai kedudukan dominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-

nilai (values) yang mereka bentuk mendapat penilaian tinggi dalam

masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, Laswell menggariskan

kemungkinan pergeseran kekuasaan antara pelbagai elite, yang

dipengaruhi oleh kecakapan dari elite politik untuk meyakinkan

(persuasion) dan untuk memanipulasi (manipulation). Di samping Laswell,

Mills juga seorang penulis yang berpandangan historis serta

menggunakan pula analisis elite dalam teorinya tentang kekuasaan.

Konsep elite dari Mills tidak bertolak dari pengertian nilai, tetapi institution

(pranata).67

Sementara, David B. Truman, memaparkan bahwa keputusan-

keputusan di lapangan pemerintahan, merupakan suatu hasil kompromi

dari sekian banyak golongan kepentingan yang terorganisasi dan bersaing


67
Harold D. Laswell, Politics: Who Gets What, When and How, 1958, hlm. 13-29. David
Easton, ”Limits of the Equilibrium Model in Social Research”, Chicago Behaviorial Science
Publication, No. 1, hlm. 26-29, diterbitkan kembali dalam Heinz Euleau, Samuel J. Elserveld &
Morris Janowits, Political behavior: A. Reader in Theory and Research, 1959, hlm. 397-399.

12
proposal penelitian
4
satu sama lain untuk mempengaruhi pemerintah. Lebih penting lagi, ada

beberapa macam kepentingan yang jelas merupakan batas-batas dari

kepentingan-kepentingan golongan sendiri, yaitu aturan-aturan permainan

seperti kelangsungan hidup nasional (national survival), kebebasan-

kebebasan, hak-hak asasi dan sebagainya. Mac Iver lebih tandas lagi

dalam ucapannya, bahwa memang jelas dalam masyarakat itu terdapat

kepentingan-kepentingan tertentu yang merupakan kepentingan-

kepentingan umum dari seluruh masyarakat.68

Praktek pemisahan kekuasaan di berbagai negara terdapat

berbagai pemahaman dalam penggunaan terminologi antara pemisahan

atau pembagian kekuasaan, ketika secara konkrit kekuasaan

dilembagakan dalam penyelenggaraan negara. Marshall menyatakan

bahwa pemisahan kekuasaan merupakan salah satu yang paling

membingungkan di dalam kosakata pemikiran politik dan konstitusional.

Ungkapan pemisahan kekuasaan tersebut telah digunakan dengan

berbagai implikasi oleh para sejarahwan dan ilmuwan politik. Teori

pemisahan kekuasaan dalam implementasinya menimbulkan berbagai

pengertian dan pemahaman, oleh karena itu muncul berbagai modifikasi

paham pemisahan kekuasaan. Hubungan legislatif dan yudikatif adalah

hubungan yang paling penting dalam suatu sistem konstitusional.69

Di Inggris ada konsentrasi kekuasaan pada badan legislatif, yang

dalam arti tertentu lebih unggul dari pada badan eksekutif dan yudikatif,

68
David B. Trumman, The Government Process A Study of Public Opinion and Interest
Groups, 1951, hlm. 40.
69
Geoffrey Marshall, Constitutional Theory, (Oxford, Clarendom Press, 1971), hlm. 97-100.

12
proposal penelitian
5
oleh sebab itu muncul ketidaksepakatan deskripsi Montesquieu tentang

pemisahan kekuasaan di Inggris. John Plamenatz mengemukakan bahwa

Montesquieu mengetahui benar bahwa menteri-menteri di Inggris

merupakan anggota salah satu House of Parliament. John Locke

merupakan ideologist pertama yang bereaksi terhadap absolutisme ketika

ia mendukung pembatasan kekuasaan politik raja. Menurut pendapat

Locke, alasan mengapa manusia memasuki suatu social contract adalah

untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan dan hak untuk memiliki.

Ketiga model dasar itu dipandang sebagai “milik” (property), yang

memberikan kepada manusia status politik.

Pemikiran Locke muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme, di

mana pada abad pertengahan (abad ke 14–15), kekuasaan pemerintahan

di Eropah Barat terpusat di tangan raja. Kemudian (abad ke 17-18),

muncul konsep yang mengemukakan bahwa kekuasaan membuat

peraturan harus di ambil dari tangan raja, yang kemudian harus

diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri sendiri.

Sebelumnya, akhir abad pertengahan, mula diambil dari tangan raja

adalah kekuasaan kehakiman, kemudian diserahkan kepada badan

peradilan.70

John Locke yang lahir di Wrington, Inggris (1632-1704), dalam

bukunya Two Treatises of Government, yang terbit tahun 1690,71 membagi

kekuasaan itu atas kekuasaan membentuk UU (legislatif); kekuasaan


70
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta, Ichtiar Baru, 1990),
hlm. 2.
71
M.L.Bodleander, Politea-Groate Mannen Overstaat en Maatschappij, (Amsterdam,
Uitgevers maatschappij Elsevier, MCMXXXXX), hlm. 266.

12
proposal penelitian
6
melaksanakan UU (eksekutif); dan kekuasaan federatif. Locke

membedakan empat fungsi negara, yaitu pembentukan UU (legislating),

membuat keputusan (judging), menggunakan kekuatan secara internal

dalam melaksanakan UU (employing forces internally in the execution of

the laws) dan menggunakan kekuatan-kekuatan tersebut di luar negeri,

dalam membela masyarakat. Locke menamakan fungsi pertama sebagai

legislative power, fungsi kedua disebut dengan executive power, fungsi

ketiga disebutnya dengan federative power, yang meliputi kekuasaan

perang dan damai serta kekuasaan luar negeri.

Menurut pandangan Locke, fungsi membuat keputusan (the

function of judging) bukan sebagai kekuasaan terpisah, tetapi suatu

atribusi umum negara (this was not a separate power, but general

attribution of the state).72 Oleh karena itu, tidak perlu mengindividualisir

kekuasaan membuat keputusan (the power of judging), yang merupakan

fungsi negara tradisional. Sesungguhnya, Locke tidak merumuskan teori

mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan (division or separation

of powers), tetapi membatasi dirinya kepada meng-rasionalisir dan meng-

sistimatisir fungsi kekuasaan negara. Tidak ada tesis Locke yang

menyimpulkan bahwa kekuasaan negara harus diletakkan pada tangan

yang berbeda untuk menjamin hak individual, namun Locke mengakui bila

kekuasaan diletakkan pada tangan yang berbeda, maka dapat dicapai

suatu keseimbangan.

72
John Locke, Two Tretises of Civil Government, (Cambridge University Press, 1998), hlm.
107. Locke mengatakan bahwa “Balancing the power of government by placing several parts of it
different hands”.

12
proposal penelitian
7
Ahli hukum berkebangsaan Perancis bernama Montesquieu (1689-

1755), dalam bukunya De L’Esprit des Lois terbit Tahun 1748, atas

pengaruh pemikiran Locke, mengemukakan teori pemisahan kekuasaan

negara dalam tiga bentuk, yaitu kekuasaan legislatif (la puissance

legislative), yang membentuk UU; kekuasaan eksekutif (la puissance

executive), yang melaksanakan UU; dan kekuasaan yudikatif (la

puissance de juger), yang menjalankan kekuasaan kehakiman.

Montesquieu menegaskan bahwa kebebasan politik hanya ada di negara-

negara dimana kekuasaan negara dengan semua fungsi berkaitan tidak

berada pada tangan orang yang sama.73

Montesquieu dengan mengikuti pemikiran Locke, menyerahkan

berbagai fungsi negara (the function of making laws) kepada fungsi

pembuatan UU, fungsi membuat keputusan dan melaksanakan UU (that

of judging and that of executing of laws), dan yang terakhir adalah

mencakup apa yang oleh Locke disebut kekuasaan eksekutif dan

federatif. Lebih jauh, Montesquieu menyimpulkan bahwa untuk menjamin

kebebasan, ketiga fungsi negara janganlah berada pada tangan yang

sama. Bila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif berada pada

tangan yang sama, maka tidak ada kebebasan, namun tidak ada

kebebasan bila kekuasaan untuk memutuskan adalah terpisah dari

kekuasaan legislatif dan eksekutif.

73
Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, (Bandung, Eresco, 1987), hlm.
23.

12
proposal penelitian
8
Bertentangan dengan apa yang terdapat dalam Konstitusi Inggris

yang waktu itu dianalisis oleh Montesquieu, di mana adanya supremasi

kekuasaan legislatif terhadap kekuasaan lainnya. Keseimbangan

kekuasaan dalam sistem Inggris yang dimaksudkan adalah keseimbangan

antara unsur yang berbeda yang membagi kekuasaan legislatif (Raja,

Lord dan Common), bukan keseimbangan legislatif terhadap lainnya.74

Konsep Montesqiueu, seperti halnya juga konsep Locke, merupakan

suatu pemikiran untuk mengimbangi kekuasaan absolut melalui

pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan lebih

merupakan doktrin hukum (legal doctrine) dari pada dalil politik (political

postulate) dan tidak menentukan siapa yang akan menjalankan

kedaulatan, tetapi hanya bagaimana kekuasaan harus diatur untuk

mencapai tujuan.

Rousseau membatasi fungsi negara kepada dua, yaitu pembuatan

UU (the making of laws) dan pelaksanaan UU (the executing of laws).

Rousseau dalam hal ini menggunakan terminologi yang sama dengan

Montesquieu, yaitu legislatif dan eksekuitf.75 Rousseau juga tidak

menempatkan kedua kekuasaan tersebut pada tangan yang sama.

Rousseau mengusulkan agar kedua kekuasaan tersebut dijalankan oleh

lembaga yang berbeda. Meskipun demikian, Rousseau berbeda pendapat

dengan Montesquieu, dengan mengutip pernyataan Brewer-Carias : “…

he insisted on the need for the sub-ordination of the body executing the

74
Montesquieu, De L’Esprit…, Ibid., hlm. 164. Pada bab VI volume XI.
75
J.J.Rousseau, Du Contract Social, (Ronald Grimsley, ed., Oxford, 1972), Book I, ch. IV, hlm.
153.

12
proposal penelitian
9
law to the body making it”. Perlunya sub-ordinasi lembaga yang

menjalankan hukum kepada lembaga yang membuatnya bertujuan untuk

menjamin adanya supremasi hukum.

Pemikiran Locke, Montesquieu, dan Rousseau sebagaimana

diungkapkan di atas adalah sebagai reaksi terhadap absolutisme dan

menggunakan suatu bentuk negara berdasarkan atas hukum yang

didasarkan pada pemisahan kekuasaan, sebagai jaminan terhadap

kebebasan. Adalah sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagikan

tugas-tugas pemerintahan dalam trichotomy berdasarkan ajaran trias

politica, namun dalam berbagai konstitusi terdapat berbagai penafsiran

terhadap pelaksanaan ajaran tersebut. Jennings dalam karyanya berjudul

The Law and the Constitutions, membedakan pemisahan kekuasaan

dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti

“material” adalah pemisahan yang dipertahankan secara tegas dalam

tugas-tugas (fungsi) kenegaraan yang secara karakteristik

memperlihatkan adanya pemisahan itu dalam tiga bagian, legislatif,

eksekutif, dan yudikatif.76

Ismail Suny dalam pandangannya, pemisahan kekuasaan dalam

arti material tersebut sepantasnya pemisahan kekuasaan, sedangkan

pemisahan dalam arti formal sebaiknya disebut dengan pembagian

kekuasaan (division of powers). Memberikan pemahaman mengenai

pemisahan kekuasaan, Suny dengan menggunakan ukuran Wade &

76
Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitutions, (London, Univ. of London Press, 1956),
hlm. 267. Lihat Soehino, Hukum Tata Negara, (Yogyakarta, Liberty, 1985), hlm.25-26.

13
proposal penelitian
0
Philips mengajukan pertanyaan: 1. Apakah orang-orang atau badan-

badan yang sama merupakan bagian dari kedua badan legislatif

eksekutif? 2. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan eksekutif,

dan badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif? 3. Apakah badan

legislatif melaksanakan fungsi eksekutif dan badan eksekutif

melaksanakan fungsi legislatif? Berdasarkan kriteria tersebut, Suny

menyimpulkan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak

terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada adalah

pemisahan kekuasaan dalam arti formal.77

Sementara menurut Attamimi, penggunaan istilah yang berasal dari

ajaran Montesquieu dalam Penjelasan UUD 1945, seperti legislative

power, executive power, dan sebagainya tidak berarti bahwa UUD 1945

menganut ajaran tersebut. Demikian juga Kusnardi berkesimpulan bahwa

UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan. Jumlah organ

negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 lebih dari tiga, sehingga timbul

kemungkinan bahwa suatu organ mempunyai fungsi lebih dari pada satu

atau sebaliknya.78 Sistimatika demikian tidak serta merta timbul tanpa

dilatar belakangi pemahaman tentang ajaran-ajaran ketatanegaraan yang

berkembang pada saat itu, walaupun UUD 1945 tidak secara tegas

77
Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta, Aksara Baru, 1985), hlm. 4. Ismail
Suny, “Upaya Mewujudkan Demokrasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasca
Proklamsi 17 Agustus 1945”, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Hukum Dalam Konteks
Perubahan UUD 1945, Kerjasama BP-MPR dengan FH-UI, Bandar Lampung, 24-26 Maret 2000,
hlm. 8-10. Sementara Harun Alrasid memandang bahwa penjelasan UUD 1945 bukan merupakan
bagian dari konstitusi karena tidak dibuat oleh PPKI.
78
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD
1945, (Jakarta, Gramedia, 1988), hlm. 32.

13
proposal penelitian
1
memisahkan ketiga kekuasaan sebagaimana yang dikehendaki

Montesquieu.

Sesuai dengan teori Jennings, UUD 1945 mengenal pemisahan

kekuasaan dalam arti formil, oleh karena pemisahan kekuasaan itu tidak

dipertahankan dalam arti prinsipil. Dengan kata lain, UUD 1945 hanya

mengenal pembagian kekuasaan (division of powers), bukan pemisahan

kekuasaan (separation of powers). Utrecht dalam kritiknya terhadap

Montesquieu, mengungkapkan bahwa segi baik dari teori Montesquieu

ialah pembagian fungsi. Pembagian fungsi tersimpul dalam pemisahan

fungsi. Pembagian fungsi itu yang mengadakan pembagian pekerjaan

sebagai suatu unsur organisasi, tetapi pembagian fungsi itu tidak boleh

menjadi pemisahan fungsi.

Berbicara mengenai teori pemisahan kekuasaan, maka nama yang

pertama yang harus dicatat adalah Locke, yang mengemukakan teorinya

tersebut dalam bukunya, Two Trities on Civil Government. Locke

mengatakan bahwa dalam suatu negara kekuasaan-kekuasaan dibagi tiga

yaitu legislatif, eksekutif dan federatif (Bab XII dari bukunya yang berjudul

Of the Legislatife, Executive and Federative Power of the

Commonwealth). Kekuasaan legislatif berarti kekuasaan untuk membuat

undang-undang, eksekutif berarti kekuasaan untuk melaksanakan UU,

sedangkan federatif adalah kekuasaan yang meliputi kekuasaan

mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta

segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

13
proposal penelitian
2
Diilhami oleh pendapat Locke, Montesquieu dalam bukunya L ‘Esprit des

Lois mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis

kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif,

sama seperti Locke, diartikan Montesquieu sebagai kekuasaan yang

menjalankan undang-undang. Akan tetapi, dia berbeda dengan Locke

tentang kekuasaan yudikatif, yang merupakan kekuasaan yang berdiri

sendiri dan bukan bagian dari eksekutif seperti Locke. Legislatif adalah

kekuasaan membuat UU, sama halnya dengan Locke, sedangkan

kekuasaan mengadili dilaksanakan oleh yudikatif.

Dari uraian itu, kelihatan bahwa Montesquieu tidak menempatkan

kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, tetapi

merupakan bagian dari eksekutif. Selanjutnya, Montesquieu mengatakan

bahwa ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lain, baik

mengenai orangnya maupun fungsinya. Ivor Jennings dalam bukunya The

Law and The Constituon mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan

(separation of powers) dapat dilihat dari sudut materiil dan formil.

Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti pembagian kekuasaan

itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas kenegaraan yang secara

karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga

bagian; legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

2. Teori Pembagian Kekuasaan Negara

Implementasi konsep negara hukum menjadikan pembagian

kekuasaan menjadi salah satu aspek yang memegang peranan penting.

13
proposal penelitian
3
Tersebarnya kekuasaan kepada beberapa lembaga negara akan tercipta

keseimbangan (cheks and balances of power), dan pada gilirannya akan

menepis adanya absolutisme kekuasaan. Kekuasaan yang tersebar

tentunya memerlukan suatu kerangka dasar legalitas supaya,

implementasi kekuasan dapat dipertanggungjawabkan terhadap rakyat

sebagai pemegang kedaulatan. Kekuasaan dan kedaulatan menjadi pilar

utama dalam penyelenggaraan negara karena hal itu merupakan

perpaduan keinginan (aspirasi) rakyat dan kebijakan yang diterapkan oleh

pemerintah.

Istilah pembagian kekuasaan (division of powers) jauh sebelumnya

telah diungkapkan oleh Kelsen. Menurut Kelsen, adalah suatu kesalahan

untuk menggambarkan asas monarkhi konstitusional sebagai dasar

pemisahan kekuasaan (the separation of powers). Fungsi yang semula

digabungkan pada pribadi raja tidak dipisahkan (separated), tetapi dibagi

antara kerajaan (monarch), parlemen (parliament), dan pengadilan (court).

Kelsen menyimpulkan bahwa penerapan asas atau prinsip pemisahan

kekuasaan sesungguhnya adalah merupakan asas atau prinsip

pembagian kekuasaan (the division of powers). Konsep kekuasaan

tertinggi dalam suatu negara adalah kedaulatan yang senantiasa berada

ditangan rakyat.

Menurut Nagel, ada dua hal penting dalam melihat dan mengkaji

kekuasaan dan kedaulatan, yaitu mengenai lingkup kekuasaan (scope of

power) yang menyangkut soal aktivitas atau kegiatan yang tercakup

13
proposal penelitian
4
dalam kedaulatan serta jangkauan kekuasaan (domain of power)

berkaitan dengan siapa yang menjadi subyek dan pemegang kekuasaan

(sovereign). Lebih lanjut Nagel menegaskan bahwa jangkauan kekuasaan

(kedaulatan) meliputi dua hal penting, yaitu siapa yang memegang

kekuasaan tertinggi dalam negara, ini bisa menyangkut mengenai

seseorang atau sekelompok orang, sesuatu badan yang melakukan

legislasi dan administrasi dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan

serta apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi itu.79

Kekuasaan sebagai implementasi konsep kedaulatan yang ada

dalam negara, diwujudkan melalui sejauhmana luas atau lingkup (scope of

power) kekuasaan itu sendiri dan sejauhmana jangkauan yang dimilikinya

(domain of power). Nagel membahas kedaulatan dalam pendekatan,

bahwa luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal kegiatan yang

tercakup dalam kedaulatan, sedangkan jaungkauan kedaulatan

menyentuh soal siapa yang menjadi pemegang kedaulatan. Lingkup

kedaulatan meliputi proses pengambilan keputusan untuk mengukur

seberapa besar kekuatan keputusan yang ditetapkan, sementara

jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang memegang kekuasaan

tertinggi dan apa yang menjadi objek sararan dalam pengambilan

keputusan atau wewenang apa yang dimiliki pemegang kekuasaan

tersebut. Kekuasaan cenderung absolut, untuk itu diperlukan suatu

pembatasan dalam aturan hukum, yang dengan sendirinya berkembang

79
Jack H. Nagel, The Discriptive Analisis of Power, (New Haven, Yale University Press, 1975),
hlm. 75. Morris R. Cohen, Law and The Social Order : Essays in Legal Philosophy, (USA,
Transactional Books, 1982), hlm. 41.

13
proposal penelitian
5
seiring perkembangan paham konstitusionalisme (contutionalism) yang

bisa menjadi landasan dalam pembatasan kekuasaan dalam konstitusi

negara. Pembatasan kekuasaan pemerintahan diatur dalam konstitusi,

baik secara capital division of power maupun secara areal division of

power.

Pembagian kekuasaan dalam negara dibahas lebih lanjut oleh

Friedrich dalam paham konstituonalismenya, dimana pembagian dan

pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut dalam

landasan hukum suatu negara. Pembatasan kekuasaan termaktub dalam

konstitusi karena konstitusionalisme merupakan gagasan yang

menyatakan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan aktivitas

yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa

pembatasan untuk menjamin agar kekuasaan yang diperlukan untuk

menjalankan pemerintahan tidak disalahgunakan oleh pihak pemegang

kekuasaan. Sejalan dengan ini, Sri Sumantri menyatakan bahwa tidak ada

satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau UUD,

yang di dalamnya lazim diatur tentang pembagian kekuasaan, baik secara

vertikal maupun horisontal.80

Sementara menurut Arthur Mass, melihat pembagian kekuasaan

dalam dua hal, yaitu : Capital Division of Power sebagai pembagian

kekuasaan secara horisontal atau sering dipersamakan dengan

pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan Areal Division of Power


80
Carl C. Friedrich, Constutional Government and Democracy : Theory and Practice in
Europe and America, 5th ed, (Weltham Mass, Blaidsdell Publishing Company, 1967), Bab VII. ., hlm.
5. Sri Sumantri M, Ketetapan MPR (S) Sebagai Salah satu Sumber Hukum Tata Negara, (Bandung,
Remadja Karya, 1988), hlm. 2.

13
proposal penelitian
6
sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian dan

pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut dalam

landasan hukum suatu negara. Kekuasaan pemerintahan diartikannya

sebagai total capacity to govern which is or can be exercised by a given

political community. Kekuasaan pemerintahan ini, dapat dibagi diantara

badan-badan resmi di pusat pemerintahan dan diantara wilayah dengan

cara yang berbeda-beda.81

Sementara Smith melihat bahwa tujuan dalam areal division of

power, dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut pandang pemerintah

pusat (pemerintah) yang meliputi empat tujuan utama yang diharapkan,

yaitu (1) pendidikan politik; (2) pelatihan kepemimpinan; (3) penciptaan

stabilitas politik; serta (4) mewujudkan demokratisasi sistim pemerintahan

di daerah. Konsep kekuasaan atau kewenangan pemerintah daerah,

menyangkut tentang struktur hukum yang bisa berwujud format bentuk

dan susunan negara, pemerintahan di daerah, lembaga pemerintahan

pusat dan daerah, serta aparatur pemerintahan pusat dan daerah.

Pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan cara berikut.

Pertama, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut proses yang

dianut dalam pemerintahan. Cara capital division of powers (CDP) atau

pembagian kekuasaan secara horisontal, dilakukan dimana proses

legislatif, eksekutif dan yudikatif, masing-masing diberikan kepada satu


81
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977, hlm. 2. juga
Carlton Clymer Rodee, et.al, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali Press, 1988, hlm. 1. Jimly
Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, Makalah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan Thema
“Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, oleh BPHN Dep. Kehakiman dan
HAM RI, Dempasar-Bali, 14-18 Juli 2003, hlm. 3.

13
proposal penelitian
7
badan. Sementara, cara areal division of power pembagian kekuasaan

secara vertikal, dilakukan dimana proses legislatif hanya dapat diberikan

kepada pusat atau secara bersama-sama kepada unit yang

terdesentralisasi. Pembagian kekuasaan basis wilayah dengan cara ini,

dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (daerah

otonom) pada konteks negara kesatuan, dan antara negara bagian

dengan pemerintah daerah dalam konteks negara federal. Pembagian

kekuasaan ini didasari oleh suatu UU. Oleh karena itu, Hans Antlov

menyatakan bahwa kekuasaan daerah otonom diterima dari atas dan

dapat ditarik kembali melalui UU yang baru, tanpa persetujuan daerah

otonom.82

Kedua, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut fungsi atau

aktivitas pemerintahan. Dengan cara areal division of power atau secara

vertikal, fungsi-fungsi pemerintahan tertentu (moneter dan luar negeri)

diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi

pemerintahan yang lain kepada negara bagian dan fungsi-fungsi

pemerintahan tertentu lagi kepada pemerintah daerah, sedangkan cara

capital division of powers atau secara horisontal adalah fungsi-fungsi

pemerintahan tertentu dapat diberikan kepada departemen-departemen

pemerintahan yang dibentuk atau diadakan. Pembagian kekuasaan

dengan cara ini terjadi antara pemerintah federal dan negara bagian, yang

diatur dalam UUD Federal. Negara federal merupakan sistem


82
Hans Antlov, “Federation of Intent in Indonesia 1945-1949”, Makalah, disajikan dalam
International Conference Toward Structural Reform for Democratization in Indonesia, Problems and
Prospects, yang diselenggarakan oleh Center for Political and Regional Studies-Indonesia of
Sciences and The Ford Foundation, di Jakarta Tanggal 12-14 Agustus 1998.

13
proposal penelitian
8
pemerintahan yang dengan sengaja dibuat sulit bagi pemerintah pusat

untuk mengubah kekuasaan negara bagian. Oleh karena itu, antara

negara federal dan negara kesatuan mencakup pouvoir constituant, yaitu

kekuasaan untuk membentuk UUD dan UU. Hubungan kekuasan diantara

kedua pemerintah (antara pusat dengan daerah) tersebut bersifat

ketatanegaraan. Pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah

otonom tidak mencakup kekuasaan legislatif dan yudikatif, karena hanya

bersifat administrasi negara.83

Ketiga, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi lebih lanjut menurut

konstituensi (constituency). Cara capital division of powers atau horisontal

adalah suatu badan atau ‘kamar’ yang lebih luas dalam legislatif dapat

dibuat untuk mewakili suatu konstituensi atau kelompok tertentu dalam

masyarakat dan kepresidenan mewakili konstituensi yang lain.

Penugasan, proses, fungsi atau kosntituensi kepada unti-unit

pemerintahan di tingkat pusat dan kepada wilayah-wilayah komponen

dapat dilakukan secara utuh atau sebagian. Pembagian kekuasaan

berbasis wilayah yang berasal dari satu sumber selain dari konstitusi dan

dapat ditarik kembali oleh sumber tersebut atau dapat pula melalui

ketentuan konstitusi yang dapat diubah secara formal dengan

amandemen konstitusi. Pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan sama halnya dalam

83
M. A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Government, (New Delhi,
Sterling Publisher Private Limited, 1982), hlm. 99-100. Lihat R. Kranenburg, Algemene Staatleer,
(Harlem Willink, 1951), hlm. 154-155. Lihat Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah,
(Yogyakarta, FH-UII, 2001), hlm. 35.

13
proposal penelitian
9
pembagian kekuasaan antara pemerintah negara bagian dengan

pemerintah daerah dalam negara federal.

Jadi, areal division of power dalam negara federal, antara

pemerintah pusat (federal) dengan pemerintah negara bagian dilakukan

dengan konstitusi. Secara materil, pembagian kekuasaan antara

pemerintah pusat dengan daerah otonom dalam negara kesatuan dan

antara negara bagian dengan daerah otonom dalam negara federal hanya

bersifat shared bagi daerah otonom. Pembagian kekuasaan antara

pemerintah federal dengan negara bagian dalam negara federal ada yang

bersifat eksklusif bagi masing-masing pihak dan ada yang bersifat shared

yang disebut concurence powers. Hubungan negara bagian dengan

pemerintah federal bersifat independen dan koordinasi, sedangkan

hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat bersifat

dependen dan subordinate, sama dengan hubungan antara negara bagian

dengan daerah otonom.

Wheare dalam pandangannya, bahwa untuk mendapatkan

bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah dalam negara kesatuan, maka dapat digunakan sebagai batu

loncatan untuk melihat ciri-ciri pokok dari negara federal. 84 Asas yang

terdapat dalam negara kesatuan adalah bahwa urusan-urusan negara

tidak dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

sedemikian rupa, sampai pada urusan-urusan tertentu badan pemerintah

yang satu tidak dibenarkan mencampuri mencampuri urusan-urusan


84
K.C. Wheare, Federal Government, (London, London Univ. Press, 1956), hlm. 5 & 15.

14
proposal penelitian
0
badan pemerintahan yang lainnya. Jadi, urusan-urusan dalam negara

kesatuan merupakan satu kebulatan, oleh karena jabatan-jabatan dalam

organisasi negara yang bersifat kekuasaan tertinggi atas urusan-urusan

negara berada pada pemerintah pusat.

Sementara, menurut Frank P. Sherwood, hubungan antara

pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam negara kesatuan dan

hubungan antara daerah otonom dengan negara bagian dalam negara

federal merupakan hubungan antar organisasi. Menurut R. Tresna, bahwa

pandangan Sherwood ini dapat dilihat dalam penerapannya di Indonesia

melalui pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1957. Hal ini sejalan dengan

pandangan Lord Acton yang mengatakan power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely atau manusia yang mempunyai kekuasaan

cenderung untuk menyalahgunakannya, serta manusia yang mempunyai

kekuasaan yang absolute sudah pasti akan menyalahgunakannya.85

Perkembangan kajian ketatanegaraan dalam zaman modern ini

membawa pengaruh pada analisis teori kedaulatan negara, teori

kedaulatan hukum, dan teori kedaulatan rakyat. Kajian ketiga teori

kedaulatan ini mendapat tempat khusus para juristen dalam

mengembangkan analisisnya. Kedaulatan negara menjadi piranti dalam

persemaian kedaulatan hukum, yang berusaha mewujudkan dalam

penguatan kedaulatan rakyat. Kedaulatan hukum disimbolkan dalam

supremasi hukum dan kedaulatan rakyat disimbolkan dalam demokratisasi


85
Robert T. Daland, Comparative Urban Research : The Administration and Politics of Cities,
(Beverly Hills, Sage Publication, 1969), hlm. 86. Sri Sumantri M, Bunga Rampai Hukum Tata
Negara Indonesia, 1972, hlm. 72. Alrasid, Harun, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara dari Prof. Mr.
Djokosutono, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 50.

14
proposal penelitian
1
pemerintahan. Interaksi antara kedaulatan hukum dan kedaulatan negara

diwujudkan dalam simbolistik negara saat ini, yaitu negara hukum yang

demokratis. Untuk itu, kedaulatan diposisikan sebagai kekuasaan tertinggi

dalam pengambilan keputusan yang berada di tangan rakyat dan

kedaulatan hukum adalah kedaulatan tertinggi untuk membuat UU

sebagai hukum tertulis.

Kajian Ilmu Hukum mengenal ajaran atau teori mengenai

kedaulatan dan siapa pemegang kedaulatan itu, yaitu : pertama, ajaran

kedaulatan Tuhan, yang diapresiasikan dalam kekuasaan absolut Tuhan

dalam penyelenggaraan negara. Kekuasaan Tuhan dijelmakan dalam

wujud aturan hukum yang harus ditaati oleh siapa saja dan keputusan

berdasarkan kekuasaan raja yang mendapat mandat lansung dari Tuhan,

ajaran ini dipegang dan dikembangkan oleh Augustinus dan Thomas

Aquinos. Kedua, ajaran kedaulatan raja yang muncul setelah periode

sekulerisasi negara dan hukum di Eropa. Ketiga, ajaran kedaulatan

negara, yang merupakan antitesis absolutisme kekuasaan raja dan

timbulnya konsep negara-bangsa dalam perkembangan negara di Eropa.

Keempat, ajaran kedaulatan hukum, yang beranggapan bahwa sumber

kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum, semua orang dan

negara harus tunduk pada hukum. Kelima, ajaran kedaulatan rakyat, yang

menegasikan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan

14
proposal penelitian
2
sumber kekuasaan dalam menyelenggarakan negara atau

pemerintahan.86

Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi dalam

implementasinya menyentuh masalah proses pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan ini menyangkut mengenai jangkauan kedaulatan

(domain of sovereignty) melalui analisis relasional antara sovereign dan

subyek,87 yang terkait pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara dan apa yang menjadi obyek atau sasaran dalam

penerapan kekuasaan tersebut. Untuk menentukan kewenangan suatu

satuan pemerintahan, yang harus dipahami lebih awal adalah sumber

atau asal kewenangan pemerintahan tersebut.

Dari filosofi bentuk negara, maka terdapat dua pola dasar

pembagian kekuasaan yang digunakan, yaitu : Pertama, pola general

competence atau open end arrangement, yang dinamakan otonomi luas,

yakni urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersifat limitatif dan

sisanya (residual) menjadi kewenangan daerah. Di negara federal, limitasi

kekuasaan pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan

secara eksplisit tersurat di dalam konstitusinya, sedangkan di negara

kesatuan tercantum dalam undang-undang atau aturan hukum yang lebih

rendah. Kedua, pola ultra vires atau otonomi terbatas adalah urusan-

urusan daerah yang ditentukan secara limitatif (terbatas) dan sisanya

86
Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung, Alumni, 1981), hlm. 49-51. JH. Rapar, Filsafat Politik
Augustinus, (Jakarta, Rajawali Press, 1989), hlm. 26. Benedit Anderson, Gagasan Tentang
Kekuasaan dan Wibawa, (Jakarta, Sinar Harapan, 1986), hlm. 44. Sjachran Basah, Ilmu Negara,
Pengantar Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung, Citra Aditya, 1992), hlm. 139-141.
87
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (London, The Clarendon Press, 1979), hlm. 49.

14
proposal penelitian
3
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pembatasan ini dilakukan dalam

suatu UU atau peraturan pemerintah.

Indonesia sebagai negara kesatuan, terbagi pemerintahannya

dalam pemerintahan pusat (pusat), dan pemerintahan sub-nasional

(propinsi, kabupaten dan kota). Kedaulatan tidak terbagi dalam satuan-

satuan pemerintahan lainnya (daerah-daerah). Dengan demikian, satuan

pemerintahan daerah tidak memiliki kekuasaan dalam membentuk UUD

dan UU, serta menyusun organisasi pemerintahannya sendiri.

Keberadaan satuan pemerintahan daerah adalah tergantung (dependent)

dan di bawah (sub-ordinate) pemerintah.88

Timur Mahardika berpendapat, bahwa dalam setiap UU tentang

pemerintahan daerah di Indonesia selalu terjadi tarik ulur relasi

(hubungan) pusat dan daerah dibidang kewenangan dan sumber daya.

Distribusi kewenangan politk di beberapa negara berkembang banyak

disebabkan oleh ketidakrelaan individu atau organisasi untuk melepaskan

kewenangan yang berada di tangannya. Hal ini dipengaruhi oleh konflik

elit politik nasional, elit politik daerah, perlawanan dari birokrasi senior

yang kewenangannya akan didesentralisasikan, konflik antara berbagai

departemen, profesi birokrat, kelompok kepentingan.89

88
Benyamin Hoessein, “Restrukturisasi Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Meningkatkan
Pembangunan Lokalitas”, Makalah pada Seminar Kebijakan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah Dalam Rangka Restrukturisasi Perekonomian Nasional dan Otonomi Daerah, Juni 2001.
Antlov mengemukakan tentang negara kesatuan, yaitu : “the powers held by local and regional
have been received from above, and can be withdrawn through new legislation, without any need
for concent from the communes or provinces concerned”.
89
Goran Hyden, No Short Cuts to Progress : African Development in Perspective, (London,
Heinemann, 1983), chapter 4.

14
proposal penelitian
4
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa dalam rangka kebijakan

otonomi daerah, dilakukan desentralisasi kewenangan yang selama ini

tersentralisasi ditangan pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan

pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah sehingga terwujud

pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di

seluruh Indonesia.90 Jadi, jangan hanya terpaku pada agenda pengalihan

kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi perlu memperhatikan pengalihan

kewenangan dari pemerintah ke masyarakat, sebab otonomi daerah

sebenarnya adalah otonomi masyarakat, yang diharapkan dapat

mendorong perkembangan prakarsa, kemandirian dan iklim demokrasi di

daerah.

Memahami konsep pembagian kekuasaan atau kewenangan dalam

pelaksanaan pemerintahan dalam negara kesatuan dapat dipergunakan

tiga pendekatan, yaitu : pertama, ultra vires, yang dapat dikaji menurut

pembagian kewenangan yang diatur dalam perincian kewenangan kepada

pemerintah daerah dan sisanya kepada pemerintah pusat. Penggunaan

kriteria ini akan melahirkan urusan kabupaten/kota dan urusan daerah

propinsi yang bersifat wajib, sementara sisanya merupakan urusan

pemerintah pusat. Kedua, general competence, yang dikaji menurut

pembagian kewenangan kepada daerah bersifat umum dan sisa

kewenangan berada pada pemerintah pusat. Ini akan melahirkan urusan

pemerintah pusat dan urusan propinsi dan sisanya merupakan urusan

90
Jimly Asshiddiqie, 2000, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, disampaikan dalam
Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se Provinsi (baru) Banten
yang diselenggarakan oleh Institute for Advencement of Strategis and Sciences (IASS).

14
proposal penelitian
5
kabupaten/kota. Ketiga, campuran, yang dikaji menurut pembagian

kewenangan kepada daerah bersifat perpaduan antara ultra vires dengan

general comptence.

Pembagian kewenangan dengan mempergunakan ultra vires,

adalah semua urusan daerah menjadi wajib dan harus disertai dengan

standar pelayanan minimum, sedangkan kalau mempergunakan general

competence akan muncul urusan wajib dan bukan urusan wajib. Urusan

wajib ditetapkan atas dasar karakteristik urusan yang bersifat basic

services, sedangkan yang bukan urusan wajib berarti urusan yang sesuai

dengan kebutuhan atau urusan lain seperti urusan dari suatu daerah.

Tujuan dari pembagian kekuasaan adalah mencegah bertumpuknya

kekuasaan di tangan satu orang, dan lebih ditingkatkan lagi jaminan

terhadap hak-hak azasi manusia, maka adanya suatu badan yudikatif

tidak lain adalah untuk terlaksananya jaminan atas pelaksanaan HAM. Ini

berarti bahwa dalam bidang yudikatif tidak boleh ada campur tangan, baik

dari eksekutif maupun dari legislatif.

Menurut Donner, trias politica itu bertitik tolak pada perbedaan

bentuk dari pelbagai macam tindakan penguasa, meliputi dua bidang yang

berbeda, yaitu bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau

tugas yang akan dilakukan dan bidang yang menentukan pelaksanaan

dari tujuan atau tugas yang sudah ditetapkan itu. Kedua bidang itu

berhubungan erat satu sama lain dalam dua tahap. Tahap pertama,

menentukan arah apa yang harus ditempuh oleh negara dalam

14
proposal penelitian
6
kehidupannya, tahap ini yang dinamakan bidang politik, sedangkan tahap

kedua adalah pelaksanaan dari pada kebijaksanaan yang sudah

diputuskan dalam bidang politik itu. Tahap kedua, disebut bidang

pemerintahan (bestuur), yang tugasnya tidak lagi menentukan arah apa

yang akan ditempuh oleh negara.

Untuk bidang pertama itu disebut politik, maka Hans Kelsen

membagi kebijaksanaan politik itu dalam dua arti yaitu politik sebagai

ethic, artinya memilih suatu tujuan yang hendak dicapai dan dalam hal ini

adalah sama dengan menentukan tujuan dari pada negara, dan politik

sebagai tehnik, yang diartikan bagimana caranya mencapai tujuan yang

sudah ditentukan itu.91 Sementara, Van Vollenhoven berbeda pendapat,

dengan mengemukakan, bahwa melaksanakan tugas negara dapat dibagi

dalam 4 fungsi yang disebut catur praja, yaitu regeling (membuat

peraturan), bestuur (pemerintahan arti sempit), rechtspraak (mengadili),

politie (polisi).92

F. Teori Sumber Dan Legitimasi Kekuasaan Negara

Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat

besar di dalam sebuah masyarakat, yang dapat ‘memaksakan

kehendaknya’ kepada warga atau kelompok. Bahkan kalau perlu, negara

memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam

memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah yang

dikeluarkannya. Kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena

91
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Berkley, Univ. of California Press, 1978, hlm. 27.
92
C. van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee, (Amsterdam, Stenfert Kroeses, 1934), hal. 104–
125, 243.

14
proposal penelitian
7
negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum, yang dapat

memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi

atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil jumlahnya. Kekuasaan itu

adalah negara, yang diwakili oleh seorang raja yang berkekuasaan

mutlak. Individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya

kepentingannya, keamanannya dan perdamaian jangka panjang dapat

dijamin. Kalau tidak, tidak akan ada kekuasaan politik yang bisa efektif.

Inilah negara yang berkekuasaan besar, yang oleh Hobbes

dinamakan Leviathan. Sementara Hegel, menggambarkan sejarah

bergerak ke suatu tujuan akhir tertentu. Dengan demikian, proses sejarah

bersifat deterministik, artinya, tujuannya sudah tertentu. Sejarah

merupakan proses kehidupan manusia untuk melahirkan masyarakat

manusia yang sempurna di ujung proses sejarah itu. Masyarakat yang

sekarang bukanlah masyarakat yang ideal, tetapi dia adalah masyarakat

manusia (karena akan menjadi manusia sempurna nantinya). Kehidupan

manusia akan menjadi lebih baik sepanjang perjalanan sejarahnya.93

Kemudian, Hegel menyatakan bahwa negara merupakan

penjelmaan dari ide yang universal ini, sedangkan individu merupakan

penjelmaan dari yang partikular, dalam bentuk kepentingan yang sempit.

Negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yakni

merealisasikan ide besar yang menjadi tujuan dari gerak sejarah umat

manusia. Negaralah yang akan menjadi agen sejarah untuk membantu

93
Frans Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta, Gramedia, 2001), hlm. 52.

14
proposal penelitian
8
manusia yang sekarang berproses menjadi manusia yang bisa

menciptakan masyarakat yang sempurna di kemudian hari. Keinginan

negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang, karena

itulah negara harus dipatuhi. Pemikiran Hegel ini, diteruskan oleh teori

negara organis di jaman modern. Konsep negara organis, negara

merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan sendiri yang mandiri,

dia bukan sekadar alat dari keinginan sekelompok orang di masyarakat

atau gabungan dari keinginan-keinginan kelompok yang ada di

masyarakat.

Dari segi obyek, legitimasi dibedakan antara legitimasi materi

wewenang dan legitimasi subyek wewenang. Legitimasi materi wewenang

mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya, untuk tujuan apa

wewenang dapat dipergunakan dengan sah. Wewenang tertinggi dalam

hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif dan

kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif, dalam

arti mampu mengambil tindakan. Sementara itu, dalam legitimasi subyek

wewenang terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu

legitimasi religius, legitimasi eliter, dan legitimasi demokratis. Legitimasi

religius mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang

adiduniawi. Jadi, bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu

kecakapan empiris khusus penguasa. Legitimasi eliter mendasarkan hak

untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk

14
proposal penelitian
9
memerintah. Sedangkan legitimasi demokratis yang berdasarkan prinsip

kedaulatan rakyat.

Aquinas (1225-1274) menggantungkan legitimasi kekuasaan

negara pada kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntutan normatif

fundamental, sementara Hobbes (1588-1679) mengambil posisi

berlawanan dengan ‘hukum’ yang ditetapkannya, kekuasaan memastikan

apa yang adil dan apa yang tidak. Sedangkan Machiavelli (1469-1527)

sama sekali menolak pertimbangan tentang legitimasi dan

menggantikannya dengan teknik pragmatis penanganan kekuasaan.

Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang berdasarkan

kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai

dengan kodrat masyarakat sebagai masyarakat orang yang bebas.

Machiavelli berpendapat, tidak ada manfaatnya kalau kita

mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan. Namun dalam hal ini

Machielli tidak melihat dua hal, pertama, bahwa kekuasaan yang hanya

berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya;

kedua, Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung

dari apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh

masyarakat. Ia memang tahu bahwa harapan rakyat harus dipenuhi kalau

raja mau lestari, tetapi pendekatan ini terlalu sempit. Sementara Hobbes

sering disebut filsuf absolutisme negara, secara historis lebih

mendasarkan diri pada paham negara paternalistiknya Robert Filmer.

15
proposal penelitian
0
Berbeda dengan Machiavelli, Hobbes menempatkan pertanyaan

tentang legitimasi kekuasaan politik pada pusat pemikirannya, namun

bertentangan dengan Thomas Aquinas yang menundukkan kekuasaan

terhadap tuntutan legitimasi moral melalui hukum kodrat, Hobbes adalah

bapak positivisme hukum menundukkan hukum moral ke bawah

kekuasaan. Jack Nagel menamakan gejala ini suatu bentuk kekuasaan.

Kekuasaan ini diselenggarakan tanpa isyarat, seperti perintah, permintaan

ataupun ancaman, dan lebih bersifat implisit daripada manifes. Maka,

disini perlu kita membedakan antara dua istilah, yaitu scope of power dan

domain of power. Ruang lingkup kekuasaan (scope of power) menunjuk

pada kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan yang menjadi

obyek dari kekuasaan.

Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of Social Power,

mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power

(kekuasaan yang dilembagakan). Dengan nada yang sama juga dikatakan

oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and

Society, bahwa wewenang (authority) adalah kekuasaan formal (formal

power). Wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat

peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan

terhadap peraturan-peraturannya. Keabsahan adalah keyakinan anggota-

anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,

kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Dalam

hubungan ini, dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalah

15
proposal penelitian
1
keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar bagi dia

untuk menerima baik dan manaati penguasa dan memenuhi tuntutan-

tuntutan dari rezim itu.94

Menurut Lipset, bahwa legitimasi mencakup kemampuan untuk

membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga atau

bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk

masyarakat itu. Parson menghubungkan kekuasan dengan wewenang

(authority) serta keinginan terciptanya tujuan kolektif dan melihat

kekuasaan sebagai suatu fasilitas dalam melaksanakan fungsi di dalam

dan atas nama masyarakat (a facility for the performance of function in

and on behalf of the society). Pendapat Parson sering dikecam karena

dianggap mengabaikan “paksaan” dalam penyelenggaraan kekuasaan.95

Kebanyakan sarjana, termasuk Floyd Hunter dalam karyanya

Community Power Structure berpendapat bahwa kekuasaan merupakan

pengertian pokok dan pengaruh merupakan bentuk khususnya. Demikian

pula pendapat Carl Friedrich dalam bukunya, An Introduction to Political

Theory.96 Pembatasan kekuasaan dengan sistem konstitusionalisme

(constitutionalism) mempunyai tiga pengertian, seperti berikut ini.

1. Suatu negara atau setiap sistem pemerintahan harus didasarkan atas

hukum, sementara kekuasaan yang digunakan di dalam negara


94
Robert Bierstedt, “An Analysis of Social Power”, Sociological Review. Volume 15,
Desember 1950, hlm. 732. David Easton, A System Analysis of Political Life, (New York, John Wiley
and Sons, 1965), hlm. 278. The conviction on the part of the member that it is right and proper for
him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime.
95
Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Bases of Politics, (Bombay, Vakils, Feffer
and Simons Private Ltd., 1969), hlm.29.
96
Floyd Hunter, Community Power Structure, (University of North Carolina Press, 1953), hlm.
164. Carl Friedrich, An Introduction to Political Theory, (New York, Harper and Row, 1967), hlm.
124.

15
proposal penelitian
2
menyesuaikan diri pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum

yang pasti (ide dari konstitusi).

2. Struktur pemerintahan harus memastikan bahwa kekuasaan terletak

dengan atau di antara cabang-cabang kekuasaan yang berbeda yang

saling mengawasi penggunaan kekuasaanya dan yang berkewajiban

untuk bekerja sama (ide-ide pembauran kekuasaan, pemisahaan

kekuasaan, dan cheks and balances).

3. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan

cara sedemikian rupa dalam menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak

mengurangi kebebasan individu.

Di dalam konsep konstitusionalisme klasik, fungsi utama negara,

yaitu memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Susunan

pengawasan konstitusional ditujukan untuk mencegah pemerintah dan

negara agar tidak malakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi

ketertiban dan keamanan itu sendiri. Dalam hubungan ini, Donner

menyatakan, “The separation of powers can be considered as a dogma of

the democratic constitutional state”.97 Di negara modern dalam

perkembangannya, membuat pemerintah menjadi semakin terlibat dalam

pengaturan dan pengarahan masyarakat. Orientasi utama dari negara

telah bergeser dari kekuasaan dan proses kekuasaan ke pengambilan

kebijakan. Suatu konfigurasi konstitusional hubungan kekuasaan dan

sistem checks and balances membatasi kekuasaan yang dipegang oleh

97
C.W. van Der and A.M. Doner , Handboek van het Nederlance Staatsrecht, (Zwolle, 1989),
hlm. 493.

15
proposal penelitian
3
atau atas nama negara sebagai titik awalnya, tidak merefleksikan dampak

masa kini dari aktivitas-aktivitas negara dan kompleksitas hubungan

antara negara dengan masyarakat.

Perubahan struktur sifat dasar negara dan campur tangan

pemerintah dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan

masyarakat, mencipatakan masalah terutama di dalam hubungan

pengawasan yang dilakukan oleh parlemen, yang memerlukan perluasan

atau perbaikan alat pengawasan konstitusional sehingga dapat

menciptakan keseimbangan kekuasaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Pendekatan keseimbangan dalam pengawasan, sesuai

dengan pola pengembangan sistem di negara-negara demokrasi

konstitusional. Sementara sisi lainnya, pengawasan yang dilakukan oleh

parlemen tidak memberikan akibat terjadinya penurunan kewibawaan

(otoritas) pemerintah yang dipilih secara konstitusional.

Utrecht dalam kritiknya terhadap Montesquieu, mengungkapkan

bahwa segi baik dari teori Montesquieu ialah pembagian fungsi. Menurut

Utrecht, pembagian fungsi tersimpul dalam pemisahan fungsi. Pembagian

fungsi itu yang mengadakan pembagian pekerjaan sebagai suatu unsur

organisasi, tetapi pembagian fungsi itu tidak boleh menjadi pemisahan

fungsi. Sementara C. van Vollenhoven dalam bukunya Staatsrecht

Overzee, mengemukakan bahwa pemerintahan dalam arti luas

(bewindvoeren) itu dapat dibagi dalam 4 fungsi, yaitu bestuur

15
proposal penelitian
4
(pemerintahan dalam arti sempit), politie (polisi), rechtspraak (mengadili),

dan regeling (membuat UU).

Pembagian dalam 4 fungsi pemerintahan yang diungkapkan Van

Vollenhoven tersebut, disebut dengan istilah caturpraja. Fungsi bestuur

dalam pengertian van Vollenhoven berbeda dengan eksekutif menurut

Montesquieu. Menurut Van Vollenhoven, bestuur mempunyai tugas yang

lebih luas, tidak hanya menjalankan UU saja. Dalam suatu negara hukum

modern, tugas bestuur meliputi semua tugas negara dalam

penyelenggaraan kepentingan umum, dan yang tidak termasuk di

dalamnya adalah tugas mempertahankan ketertiban hukum secara

preventif (preventieve rechtszorg), mengadili (menyelesaikan perselisihan)

atau membuat peraturan. Fungsi bestuur lebih luas dari pada lapangan

pekerjaan ketiga kekuasaan lain (polisi, mengadili, dan membuat

peraturan) itu. Oleh Van Vollenhoven, sifat bestuur itu dinyatakan sebagai

suatu aktivitas pemerintahan yang bebas (een vrij overheidsbedrijf) dan

secara spontan (het spontaan). Artinya, fungsi tersebut tidak menuntut

adanya suatu aturan hukum sebagai wewenang untuk menyelenggarakan

fungsinya jika keadaan menuntut segera untuk melaksanakan tugasnya.

G. Teori Negara Hukum

1. Istilah Negara Hukum

Manusia dalam pergaulan hidupnya cenderung untuk selalu hidup

bersama dengan manusia lainnya, Aristoteles menyebutnya sebagai

“Zoon Politicon” dan setiap manusia menemukan dirinya sendiri dalam

15
proposal penelitian
5
suatu masyarakat, dapat membentuk negara atau tidak. Berdasarkan

kenyataan bahwa tiap-tiap masyarakat yang tidak merupakan negara

selalu merupakan bagian dari negara. Istilah negara (state) pada zaman

Yunani Purba masih bersifat Polis-polis atau The Greek State, yaitu pada

masa pertamanya merupakan suatu tempat di puncak suatu bukit, lama

kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu mendirikan

tempat tinggal bersama …dan kemudian tempat tersebut dikelilinginya

dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan musuh dari luar

Dalam pandangan Socrates, “Negara bukanlah suatu organisasi

yang dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadinya, melainkan

negara itu sebagai suatu tata susunan yang objektif, termuat keadilan bagi

umum, dan tidak hanya melayani kebutuhan pada penguasa negara yang

berganti-ganti orangnya. Hans Kelsen, dalam pandangannya bahwa

“Negara itu merupakan kesatuan tata hukum atau norm ordening (behoren

ordening) yaitu tata yang memberikan pedoman tingkah laku manusia apa

yang seharusnya dijalankan, dan tidak dijalankan sehingga dengan

demikian negara itu identik dengan hukum; staatslehre identik dengan

Rechtslehre , maka objek dari pada staatlehre sama dengan objek dari

pada rechtslehre.

Berkenaan dengan konsep negara hukum dalam kepustakaan

Indonesia, diterjemahkan rechtsstaat atau the rule of law sama dengan

negara hukum. Muh Yamin menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

15
proposal penelitian
6
hukum (rechtsstaat, government of law).98 Di samping penggunaan kata

rechtsstaat, juga dipakai istilah the rule of law sebagai mana dikemukakan

oleh Mauro Cappeletti.99 Konsep negara hukum dikemukakan oleh

Friedrich Julius Stahl, mempunyai ciri-ciri:

1. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi

manusia;

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan;

4. Peradilan administrasi Negara dalam perselisihan;100

Sri Soemantri menguraikan bahwa unsur-unsur terpenting dari

Negara Hukum yaitu:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke

Controle).101

Lebih lanjut Padmo Wahyono, menyatakan bahwa di dalam negara

hukum terdapat suatu pola sebagai berikut:

98
Muh.Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghaliah Indonesia, Jakarta,
1982, hlm. 72.
99
Mauro Cappeletti, Judicial Review in The Contemporari Word, the Bobbs-Marill Company,
Inc, New York, 1971, hlm. 42.
100
S.F. Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, 1987, hlm. 44.
101
Sri Soemantri. M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992,
hlm.29-30.

15
proposal penelitian
7
1. Menghormati dan melindungi hak-hak manusia;

2. Mekanisme kelembagaan negara yang demokratis;

3. Tertib hukum;

4. Kekuasaan Kehakiman yang bebas.102

Keempat hal yang terdapat dalam pola itu saling kait mengkait,

serta saling berhubungan erat dengan fungsi negara hukum dalam arti

materil, yaitu menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan

sosial berdasarkan Pancasila. Negara hukum berdasarkan Pancasila

dikenal hak dan kewajiban asasi manusia, hak-hak perseorangan yang

bukan saja harus diperhatikan melainkan harus ditegakkan dengan

mengingat kepentingan umum, menghormati bangsa, moral umum dan

ketahanan nasional berdasarkan undang-undang. Bagir Manan & Kuntana

Magnar, menyatakan bahwa dalam negara hukum mengandung

pengertian kekuasaan itu dibatasi oleh hukum, dan sekaligus menyatakan

bahwa hukum adalah supreme di bandingkan dengan alat kekuasaan

yang ada.103

Hal ini berarti bahwa ajaran negara berdasarkan atas hukum,

mengandung esensi bahwa hukum adalah “supreme“ dan kewajiban bagi

setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada

hukum ( subject to the law ). Tidak ada kekuasaan di atas hukum ( above

to the law ), semuanya ada di bawah hukum ( under the rule of law ).
102
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tanggal 17 Nopember 1979, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 6, Sjachran
Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni, Bandung,
1985, hlm. 148.
103
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, 1993, 128.

15
proposal penelitian
8
Dalam hubungan inilah, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-

wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of

power). Karena itu ajaran negara berdasar atas hukum memuat unsur

pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-

wenangan.

Konsep negara hukum, mengalami pertumbuhan menjelang abad

XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (Welfare

State), tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak

boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat,

sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin. Piet Thoenes,

memberikan suatu defenisi tentang Welfare State, sebagai berikut: “The

welfare State is a form of society characterized by a system of democratic,

government sponsored Welfare placed on a new footing and offering a

guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the

maintenance of a capitalist system of production”104.

Istilah negara hukum, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah

ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara

Indonesia adalah negara hukum” yang ditetapkan pada tanggal 9

November 2001, rumusan seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS

1949 dan UUDS 1950.105 Secara konsepsional terdapat lima konsep

negara hukum yaitu; Rechtsstaat, Rule Of Law, Socialist Legality,


104
Piet Thoenes ”The Elite in The Welfare State” terpetik dari Mustaming Daeng Matutu,
Selayang Pandang (Tentang) Perkembangan Type-Type Negara Modern; Pidato pada Lustrum ke
IV Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Di Makassar Pada
Tanggal 3 Maret 1972, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, Cet,. Ke II, hlm 20.
105
Jimly Assiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 3.

15
proposal penelitian
9
Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum (Indonesia),106 dan kelima istilah

negara hukum tersebut, masing-masing mempunyai karakteristik

tersendiri.

Dalam kepustakaan Indonesia, terjemahan negara hukum dari

istilah dalam bahasa Belanda “rechtsstaat” ,107 meskipun di negara-

negara Eropa kontinental menggunakan istilah yang berbeda-beda

berkenaan dengan negara hukum. Di Perancis misalnya, menggunakan

istilah etat de droit. Sementara di Jerman dan Belanda, digunakan istilah

yang sama yaitu rechtsstaat. Istilah etat de droit atau rechtsstaat yang

digunakan di Eropa Kontinetal, adalah istilah-istilah yang berbeda dengan

sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state

according to law atau the rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide

yang pada dasarnya sama. Dalam terminologi Inggris dikenal dengan

ungkapan the state according to law atau according to the rule of law.108

Djokosoetono, menyebutnya dengan istilah “negara hukum yang

demokratis (democratische rechtsstaat), namun yang dimaksud adalah

rechtsstaat.”109 Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum

sama dengan rechtsstaat atau government of law, jelasnya menyatakan

106
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini , Bulan
Bintang, Jakarta, 1992, hlm.73-74.
107
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 27;
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, UI-Press,
1995, hlm. 30.
108
Allan R.Brewer – Carias, Judicial Review in Comparative Law, Cambridge University
Press, 1989, hlm.7.
109
Padmo Wahyono, Guru Pinandita, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1984, hlm. 67.

16
proposal penelitian
0
bahwa : “Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government

of law) ..., bukanlah negara kekuasaan, ...”110 Notohamidjojo

menggunakan istilah “negara hukum atau rechtsstaat”, Sunaryati Hartono,

menggunakan istilah negara hukum sama dengan the rule of law, dalam

kata-kata: “...agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa

keadilan bagi seluruh rakyat ... penegakan the rule of law itu harus dalam

arti materiil.”111

Dalam hubungan ini Sudargo Gautama, menyatakan bahwa “…

dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara

terhadap perseorangan....”112 Ismail Suny, menggunakan istilah the rule of

law dalam pengertian negara hukum,113 sementara itu, istilah “government

of law” dipakai di Amerika Serikat.114 Sumrah, berpendapat bahwa istilah

the rule of law sebagai konsepsi dari pada rechtsstaat, etat de droit,

negara atau pemerintah berdasarkan atas hukum, akan tetapi rechtsstaat

hanya dianut pada negara-negara dengan hukum tertulis, sedangkan the

rule of law terutama dipelopori oleh Inggris dengan sistem common law.115

110
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982, hlm. 72.
111
Sunaryati Hartono, Apakah the Rule of Law, Bandung, Alumni, 1976, hlm. 35.
112
Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Bandung, Alumni, 1983, hlm. 3.
113
Ismail Suny, Mencari Keadilan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 123.
114
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1988, hlm. 161; Bandingkan dengan A.Hamid
S.Attamimi, Teori Perundang-undangan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
pada FH UI, Jakarta, 25 April 1992, hlm. 8, Attamimi menyatakan bahwa “… arti rechtsstaat yang
berasal dari Bahasa Jerman dan dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘a state based on
law’ atau ‘a state governed by law’”.
115
Sumrah, “Penegakan Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Pelaksanaan the Rule of Law”,
dalam Eddy Damian, Rule of Law dan Praktek Penahanan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1968,
hlm. 33-34.

16
proposal penelitian
1
Istilah negara hukum dalam pandangan Crince Le Roy, sama dengan the

rule of law.116 Demikian pula halnya Mauro Capelletti, berpendapat bahwa

“… it has since come to be consideret by many as essential to the rule of

law (rechtsstaat) anywhere.”

Muhammad Tahir Azhari, menyatakan bahwa pemikiran tentang

negara hukum, sesungguhnya diawali oleh tulisan Plato, tentang “no moi”.

Kemudian berkembang konsep rechtsstaat, the rule of law, socialist

legality, negara hukum Pancasila, dan nomokrasi Islam; namun istilah

negara hukum (rechtsstaat) mulai dikenal di Eropa abad ke 19. Sesuai

diungkapkan van der Pot-Donner, bahwa “Het woord ‘rechtsstaat’ komt

pas in de negentiende eeuw in zwang, maar het denkbeeld is veel

ouder”.117 Konsep lain berkenaan dengan rechtsstaat juga disebut

dengan concept of legality atau etat de droit dalam sistem hukum Eropa

kontinental. Sementara itu penggunaan istilah “the rule of law” menjadi

terkenal setelah karya A.V. Dicey, pada tahun 1885 yang terkenal

dengan judul Introduction to Study of the Law of the Constitution.

Secara historis munculnya istilah rechtsstaat dan the rule of law,

dalam pandangan Hadjon, dilahirkan oleh latar belakang sistem hukum

yang berbeda. Istilah rechtsstaat lahir sebagai reaksi menentang

absolutisme, karena itu sifatnya revolusioner dan bertumpu pada sistem

116
R.Crince Le Roy, De Vierde Macht, alih bahasa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Unair, Surabaya, 1976, hlm. 17; dalam kalimat: “Dalam suatu negara hukum – suatu
negara yang dikuasai oleh asas “rule of law”.
117
Van der Pot – Donner, bewerkt door L.Prakke, met mederwerkin van J.L.De Reede en
G.J.M.van Wissen, Handboek van Het Nederlandse Staatsrecht, Zwalle, W.E.J.Tjeenk Willink,
1989, hlm. 158.

16
proposal penelitian
2
hukum kontinental yang disebut civil law. Jelas berbeda dengan istilah

dalam paham the rule of law, yang perkembangannya terjadi secara

evolusioner, dan bertumpu pada faham atau sistem hukum common law.

Namun demikian dalam perkembangannya perbedaan latarbelakang itu

tidak perlu dipertentangkan lagi, oleh karena menuju pada sasaran yang

sama, yaitu bertujuan untuk mewujudkan perlindungan terhadap HAM.

Selain faham rechtsstaat dan the rule of law, juga dikenal dengan

konsep socialist legality, yang bersumber dari faham komunis, di mana

menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme dengan

mengabaikan hak-hak individu. Hak-hak individu menyatu dalam tujuan

sosialisme, yang mengutamakan kolektivisme di atas kepentingan

individu. Oleh karena itu, selain istilah rechtsstaat atau the rule of law di

negara-negara yang menganut faham ideologi komunis, dikenal dengan

istilah tersendiri, yakni the principle of socialist legality.118 Sekalipun ada

perbedaan latar belakang faham antara rechtsstaat dan the rule of law,

namun lahirnya istilah “negara hukum”, tidak terlepas dari pengaruh kedua

faham tersebut. Dalam usaha untuk lebih mencerminkan paham Indonesia

maka dilakukan personifikasi, sehingga dalam kepustakaan Indonesia,

dijumpai istilah lain, yang memberikan atribut “Pancasila”, sebagaimana

halnya juga istilah “demokrasi” diberi atribut tambahan “Pancasila”,

sehingga menjadi “Demokrasi Pancasila”. Demikan juga istilah “negara

hukum” diberi atribut Pancasila menjadi “Negara Hukum Pancasila”.


118
Rene David and John E.C. Brierley, Major Legal System in the World Today, An
Introduction to the Comparative Study of Law, Third Edition, London, Stevens & Sons, 1985, hlm.
208.

16
proposal penelitian
3
Dengan tidak mengecilkan usaha untuk mencerminkan istilah yang khas

Indonesia, istilah negara hukum sudah cukup jelas menunjukkan bahwa

istilah negara hukum itu adalah faham Indonesia, sebagaimana

ditegaskan pada perubahan ketiga UUD 1945 yang tercantum dalam

Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Konsepsi Islam, istilah negara hukum dikenal dengan nama

“nomokrasi”, adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip kekuasaan

sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, perdamaian, peradilan

bebas, kesejateraan, dan ketaatan rakyat. Finer,119 menyebutkan tiga

asumsi kedaulatan rakyat, yaitu (1) pemerintahan berkedaulatan rakyat

adalah pemerintahan yang memiliki kekuasaan terbatas atau dibatasi. (2)

Pemerintahan yang mengakui kemajemukan masyarakat. (3)

Pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya setiap upaya untuk

memutlakkan suatu pandangan atau pikiran mengenai masyarakat dan

moral.

Menurut paham klasik, negara hukum mempunyai ciri-ciri:

1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara

pemerintah dan warganya.

2. Ada pembagian kekuasaan (machtensheiding) yang secara khusus

menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

3. Ada pemencaran kekuasaan negara/pemerintah.

119
S.E. Finer, Comparative Government, (London : Penguin, 1978), hlm. 64-65.

16
proposal penelitian
4
4. Ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

5. Ada jaminan persamaan dan jaminan perlindungan hukum.

6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus

didasarkan atas hukum (UU).

Sri Sumantri, menyatakan,120 Konstitusi atau UUD merupakan alat

untuk membatasi kekuasaan dalam negara. Konstitusi atau UUD pada

hakekatnya merupakan pembatasan kekuasaan dalam negara yang dapat

dibuktikan dari materi muatan yang selalu terdapat atau diatur di

dalamnya. Bagir Manan,121 berpendapat bahwa pemencaran kekuasaan

negara sebagai upaya membatasi kekuasaan pemerintah sekaligus

sebagai pengakuan akan kemajemukan yang merupakan salah satu

asumsi kedaulatan rakyat. Soenarko,122 berpandangan bahwa tidak

mungkin menyeragamkan kebutuhan-kebutuhan daerah yang memang

berbeda-beda itu dengan tiada memperkosa kebutuhan-kebutuhan itu

sendiri. Dasar negara kesatuan tidak boleh diartikan, bahwa

perkembangan yang dalam kodrat aslinya memang berbeda sifatnya, lalu

harus disamaratakan dengan paksa, akan tetapi kebebasan itupun tidak

boleh dipertahankan sedemikian rupa sehingga menyalahi atau

memperkecil sistem persatuan.

120
Sri Sumantri M, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara,
(Bandung : Remaja Karya, 1988), hlm. 2.
121
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1990, hlm. 42.
122
Soenarko, Susunan Negara Kita (IV), (Jakarta : Jambatan, 1955), hlm. 1-2.

16
proposal penelitian
5
Pada dasarnya, konsepsi kerakyatan (kedaulatan rakyat) tidak dapat

dipisahkan dari konsepsi negara hukum, sehingga negara semacam ini

disebut “negara hukum demokratis”. Ini dapat dilihat seperti dalam Pasal 1

ayat (1) Konstitusi RIS “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan

berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi yang berbentuk

federal”. Sjachran Basah,123 berpendapat bahwa substansi hukum sebagai

sarana pembangunan harus mampu: (1) memberi arahan terhadap

jalannya pemerintahan pembangunan (direktif); (2) membina kesatuan

dan persatuan bangsa (integratif); (3) memelihara, menjaga dan

mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya (stabilitatif); (4)

Menyempurnakan sikap tindak administrasi negara dan warga masyarakat

(persfektif); (5) Mengoreksi sikap tindak administrasi negara dan warga

masyarakat (korektif).

2. Negara Hukum Dalam Konsep Anglo Saxon

Pemikiran tentang “negara hukum” telah dikemukakan oleh Plato

dalam tulisannya tentang “nomoi”. Kemudian berkembang konsep di

Eropa kontinental dengan rechtsstaat, konsep anglo saxon dengan the

rule of law dan konsep-konsep lainnya.124Dalam perkembangan konsep-

konsep tersebut, juga muncul pandan gan-pandangan para sarjana

tentang negara hukum, misalnya Kant memaparkan prinsip negara hukum

123
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Orasi
Ilmiah diucapkan pada Dies Natalies XXIX Universitas Padjajaran, Bandung, 24 Septeber 1986,
(Bandung : Alumni, 1992), hlm. 13-14.
124
Tahir Azhari, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 73-74.

16
proposal penelitian
6
formil, J. Stahl mengemukakan pandangan negara hukum material, Dicey

dengan konsepnya tentang the rule of law, dan sebagainya.

Sebelum munculnya faham Anglo Saxon, terlebih dahulu telah

muncul paham polizei staat sebagai reaksi terhadap masa ancient regiem,

suatu keadaan pemerintahan yang diperintah secara absolut di Eropa.

Pada masa itu, kekuasaan absolut berlaku di seluruh Eropa, misalnya

masa Louis XIV, di Prancis terkenal dengan ungkapan “L’etat c’est moi”

(negara adalah aku). Kekuasaan absolut tidak hanya berlaku di Prancis,

tetapi juga berlaku di negeri Belanda di bawah raja Philip II. Demikian

halnya juga di Inggris sejak masa pemerintahan sejak raja William, sudah

menjalankan sistem pemerintahan absolut, bahkan pada masa Henry II,

bukan saja Inggris diperintah secara absolut tetapi juga menaklukan

Scotlandia dan Irlandia.

Dalam perkembangan kemudian, raja-raja di Inggris kedudukannya

semakin lemah. Hal itu terjadi karena dalam peperangan dan penaklukan

yang dilakukan oleh raja memerlukan dana yang cukup banyak.

Pembiayaan kegiatan itu sebagian besar dilakukan oleh para bangsawan.

Oleh karenanya raja harus memberikan konsesi kepada bangsawan untuk

turut serta dalam pemerintahan. Sehingga raja John I, sebelum mangkat

tahun 1215, harus menerima kesepakatan Magna Charta.

Pemikiran negara hukum (the rule of law) di Inggris sebenarnya

sudah tanpak sejak Henry II, yakni pada tahun 1164 menghasilkan

konstitusi yang dikenal dengan Constitution of Clarendon, yang disusul

16
proposal penelitian
7
dengan Magna Charta pada tahun 1215, sebagai cikal bakal munculnya

Bill of Rights yang dibuat pada masa raja William, pada tahun 1689.

Dengan lahirnya Bill of Rights, memberi jaminan terhadap hak-hak asasi

dan pengaturan tentang kewajiban raja mentaati hukum. Dengan

demikian, ketentuan tentang apa yang hendak dijamin oleh hukum atau

apa yang ingin diselamatkan dengan the rule of law itu, merupakan latar

belakang awal munculnya konsep Anglo Saxon, yang kemudian terkenal

dengan the rule of law. Dalam konsep Anglo Saxon, ungkapan “the rule of

law” pada dasarnya sama maknanya dengan apa yang oleh sistem hukum

Eropa Kontinental disebut “rechtsstaat”, “concept of legality”, atau “etat de

droit”, yang artinya “the laws which govern and not men”.

Sementara itu sistem hukum Anglo Saxon atau the rule of law

berkembang secara evolusioner, walaupun perkembangannya juga tidak

terlepas dari usaha untuk melepaskan sistem absolutisme. Sehubungan

dengan ini, Brewer-Carias dengan mengintrodusir W.Holdsworth,

menyatakan bahwa : “... the etat de droit came into being on the continent

as a rational system substituting the Ancien Regime, the rule of law is

directly linked to the medieval doctrine of the “Reign of Law” ...”. (... etat de

droit muncul di Eropa Kontinental sebagai suatu sistem rasional yang

menggantikan Ancien Regime, the rule of law berhubungan langsung

dengan doktrin “Reign of Law” dari abad pertengahan ...).

Perbedaan demikian disebabkan karena latar belakang kekuasaan

raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah

16
proposal penelitian
8
membuat peraturan melalui keputusan-keputuasan raja. Kekuasaan itu

kemudian di delegasikan kepada pejabat-pejabat pemerintah lainnya,

sehingga pejabat-pejabat pemerintah membuat peraturan-peraturan bagi

hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya

peranan Pemerintah/adminstrasi negara, sehingga dalam sistem

Kontinental muncul cabang hukum yang disebut “droit administratif”.

Sebaliknya dalam sistem Anglo Saxon, kekuasaan raja yang utama

adalah mengadili.

Konsep negara hukum Anglo Saxon atau the rule of law, dapat

difahami dengan mengacu kepada pendekatan Dicey, dalam usahanya

membahas the rule of law di Inggris. Sejarah pemerintahan Inggris yang

absolut, yang dijalankan berabad-abad telah memberikan inspirasi yang

sangat berharga bagi Albert Venn Dicey, dalam melahirkan karyanya

Introduction to the Study of the Law of the Constitution, yang terbit pada

tahun 1885, yang merupakan karya yang sangat berharga dalam

memahami faham Anglo Saxon. Walaupun sebenarnya pemikiran tentang

negara hukum sudah lama ada, dan diawali dengan tulisan Plato tentang

“nomoi”, kemudian berkembang faham-faham tentang negara hukum

diantaranya “the rule of law”. Sesuai dengan yang diungkapkan Brewer-

Carias, yaitu: “…, Dicey did not invent dinotion of the rule of law although

he was the first writer to systematize and analyse the principle”. (…Dicey

tidak menciptakan gagasan the rule of law meskipun ia adalah penulis

pertama yang menyusun dan menganalisis asas tersebut).

16
proposal penelitian
9
Dicey menjelaskan bahwa: “The absolute supremacy or

predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitrary

power and excludes the existence of arbitrariness of prerogative, or even

125
wide discretionary authority on the part of the government” (supremasi

absolut atau keunggulan “regular law” untuk menentang pengaruh dari

kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan adanya kesewenang-

wenangan prerogatif, ataupun wewenang diskresi yang luas pada pihak

pemerintah).

Equality before the law dalam pandangan Dicey, bahwa semua

warga negara sama kedudukannya dihadapan hukum, penundukan yang

sama dari semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang

dilaksanakan oleh “ordinary court”. Juga dapat berarti bahwa tidak ada

orang yang berada di atas hukum, baik pejabat pemerintahan negara

maupun warganegara biasa, berkewajiban untuk mentaati hukum yang

sama. The rule of law dalam pengertian ini, bahwa para pejabat negara

tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur

warganegara biasa atau dari yurisdiksi peradilan biasa. Dengan demikian,

tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem Anglo Saxon.

Brewer-Carias mengatakan: “… Dicey’s concept of the rule of law ensures

that all individuals, including public officials, are governed by the ordinary

law in ordinary courts, it naturally includes any idea of special

administrative courts in the French manner” Berdasarkan konsep the rule


125
A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, ‘Introduction’, by
E.C.S.Wade, 10th edn., London, 1973, hlm.202.

17
proposal penelitian
0
of law, konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari

hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan.

Konsep negara hukum Dicey, sebagai pandangan murni dan

sempit, oleh karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya

tentang the rule of law, intinya adalah “common law” sebagai dasar

perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan

penguasa. Perlindungan common law hanya dapat meluas kepada

kebebasan pribadi tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat

“assure the citizen’s economic or social well being” (menjamin

kesejahteraan ekonomi atau sosial warganegara) seperti perlindungan

fisik yang baik, memiliki rumah yang layak, pendidikan, pemberian

jaminan sosial atau lingkungan yang layak; kesemuanya itu membutuhkan

pengaturan yang kompleks.

Perkembangan selanjutnya, konsep negara hukum (the rule of law)

yang dikemukakan Dicey, mengalami perluasan pengertian dengan

analisis yang lebih mendalam. H.W.R.Wade mengidentifikasi lima aspek

the rule of law, yaitu : “First, … all governmental action must be taken

according to the law, ….Second, that government should be conducted

within a framework of recognized rules and principles which restrict

discretionary power…,. Third, that disputes as to the legality of acts of

government are to be decided upon by courts which are wholly

independent of the executive,… . Fourth, that the law should be even –

17
proposal penelitian
1
handed between government and citizen, …. And fifth, … that no one

should be punished except for legally defined crimes, …126”

Dalam pandangan Wade, hal yang penting dari the rule of law

adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Diskresi

bukan sesuatu kewenangan yang tanpa batas, tetap dalam bingkai hukum

atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemerintah juga

dilarang menggunakan privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan

hukum biasa. Terhadap pandangan yang diungkapkan Wade, oleh Joseph

Raz, mengemukakan pandangan yang lebih deskriptif yakni : “… all laws

should be prospective, open and clear; laws should be relatively stable;

the making of particular laws should be guided by open, stable, clear and

general rules; the independence of the judiciary must be guaranteed; the

principles of natural justice must be observed; the courts should have

review powers over the implementation of those principles; the courts

should be easily accessible; and the discretion of the crime prevention

agencies should not be allowed to hinder the law”.127

3. Negara Hukum Dalam Konsep Eropa Kontinental

Lahirnya konsep negara hukum, adalah akibat dari sistem

pemerintahan absolutisme pada negara-negara di Benua Eropa.

Pemikiran yang reaktif ini lahir sebagai suatu sistem rasional yang

menggantikan absolutisme yang tiranik. Faham rechtsstaat lahir dari suatu

perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat

126
H.W.R.Wade, Administrative Law, Oxford, 1984, hlm. 22-24.
127
Brewer– Carias, op. cit., hlm. 41; dikutip dari Joseph Raz, “The Rule of Law and its
Virtue”, 93 Law Quarterly Review, 1977, hlm.198-202.

17
proposal penelitian
2
revolusioner, yang bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut

“civil law” atau “modern Romawi law”. Ciri negara hukum pada masa itu

dilukiskan sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), tugas

pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan

keamanan (de openbare orde en veiligheid).128

Immanuel Kant, seorang yang berkebangsaan Jerman adalah

pemikir negara hukum yang sangat berpengaruh di Eropa kontinental.

Kant dalam karyanya yang terkenal “Methaphysiche Ansfangsgrunde der

Rechtslehre”, mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kebebasan

(liberty) menurut Kant adalah “the free selfassertion of each – limited only

by the like liberty of all”. Menurutnya kebebasan merupakan suatu kondisi

yang memungkinkan pelaksanaan kehendak secara bebas. Pembatasan

kehendak bebas itu hanya dibatasi seperlunya untuk memberi jaminan

terhadap kehendak bebas individu dan kehendak bebas yang lain.

Pemikiran Kant ini, timbul sebagai reaksi terhadap faham ‘polizei

staat” atau negara polisi. Kalangan yang bereaksi terhadap “polizei staat”

adalah kaum “borjuis liberal”. Kaum borjuis menginginkan agar hak-hak

dan kebebasan pribadi masing-masing tidak diganggu; yang diinginkan

hanyalah kebebasan untuk mengurus kepentingannya sendiri. Keinginan

kaum borjuis agar negara hanya berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan

keamanan (secharheit polizei). Sedangkan fungsi perekonomian atau

kemakmuran (wohfart polizei) diserahkan kepada mereka (borjuis).

128
P. de Haan, Th.G.Druksteen, R.Fernhout, Bestuursrecht in de Sosiale Rechtsstaat, Deel I,
Kluwer-Deventer, 1986, hlm. 8.

17
proposal penelitian
3
Walaupun Kant menolak polizei staat, tetapi masih dapat menerimanya

atas tindakan yang baik dan didasarkan atas hukum.129

Oleh karena itu negara hukum dari hasil pemikirannya dinamakan

negara hukum liberal, atau sering juga disebut dengan istilah “klassiek

liberale en democratische rechtsstaat”, atau disingkat dengan

“democratische rechtsstaat”. Sifat liberal berlandaskan pada pemikiran

kenegaraan John Locke, Montesquieu, Immanuel Kant. Sedangkan sifat

demokratisnya didasarkan atas pemikiran kenegaraan J.J.Rousseau

tentang kontrak sosial.130 Konsep negara hukum Kant, adalah sering

disebut sebagai faham negara hukum dalam pengertian yang sempit,

karena menempatkan fungsi recht pada staat, yang hanya berfungsi

sebagai alat perlindungan hak-hak individual. Dalam konsep tersebut,

kekuasaan negara difahami secara pasif, yang hanya bertugas sebagai

pemelihara ketertiban dan keamanan. Paham Kant ini dikenal dengan

istilah nachtwakerstaat atau achtwachterstaat, yang sering diterjemahkan

dengan “negara hukum jaga malam”.131

Konsep negara hukum abad ke 19 di Eropa Kontinental adalah

negara hukum liberal. Sifat liberalnya didasarkan pada liberty (vrijheid)

dan asas demokrasi didasarkan pada equality (gelijkheid). Sebagaimana

telah disebutkan di atas, menurut Kant, liberty adalah “the free

selfassertion of each – limited only by the like liberty of all”. Dari prinsip

129
Gottfried Dietze, Two Concepts of Rule of Law, Indianapolis, Liberty Inc., 1973, hlm. 22.
130
S.W.Couwenberg, Westers Staatsrecht als Emancipatie Proces, Samson, Alphen aan den
Rijn, 1977, hlm. 25.
131
Azhari, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, 1995, 46.

17
proposal penelitian
4
liberty ini, kemudian melahirkan prinsip selanjutnya yaitu “freedom from

arbitrary and unreasonable exersise of the power and authority”.132 Negara

hukum yang demokratis, adalah negara saling percaya antara rakyat dan

penguasa, sebagaimana diungkapkan van der Pot-Donner, yaitu: “De

rechtsstaat is de staat van het wederzijds vertrouwen, ...”. (Negara hukum

adalah negara kepercayaan timbal balik, ...). Menurut S.W. Couwenberg,

terdapat 5 asas demokratis yang melandasi negara hukum, yaitu: asas

hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten); asas

mayoritas; asas perwakilan; asas pertanggung-jawaban; dan asas publik

(openbaarheidsbeginsel).133

Unsur-unsur negara hukum tersebut adalah konstitusi memuat

ketentuan tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat; konstitusi

menjamin adanya pemisahan kekuasaan, meliputi: 1. pembuatan undang-

undang sesuai dengan parlemen, 2. suatu kekuasaan kehakiman yang

bebas, yang tidak hanya memutus sengketa antara rakyat tetapi juga

sengketa antara rakyat dan pemerintah, dan 3. tindakan pemerintah

berdasarkan atas undang-undang dan konstitusi menjamin dan

menguraikan dengan jelas dasar atau hak-hak kebebasan rakyat. Unsur-

unsur negara hukum yang dikemukakan Kant tersebut, secara jelas

diungkapkan bahwa dalam konstitusi sebuah negara hukum, harus dapat

memberikan jaminan terhadap kebebasan dan persamaan. Pentingnya


132
Roscoe Pound, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, New Haven-
London, Yale University Press, 1957, hlm. 1-2.
133
S.W. Couwenberg, Westers Staatsrecht als Emancipatie, Samson, Alphen aan den Rijn,
1977, hlm. 25.

17
proposal penelitian
5
pemisahan kekuasaan supaya terhindar dari terpusatnya kekuasaan

dalam satu tangan, yang sering kali cenderung kepada penyalahgunaan

kekuasaan. Adanya pemisahan kekuasaan, juga sebagai jaminan

terhadap terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka terhadap

kekuasaan lain, yang dapat juga difahami dengan lebih luas bahwa

pemisahan kekuasaan dapat memberi jaminan terhadap penegakan

hukum. Kekuasaan membentuk undang-undang yang dikaitkan dengan

parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat

sesuai dengan kehendak rakyat. Dengan prinsip wetmatigbestuur,

dimaksudkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah, yang

dapat melanggar hak-hak kebebasan dan persamaan rakyat.

Perkembangan konsep negara hukum liberal sebagaimana

dikemukakan oleh Kant, terjadi penyempurnaan karena dianggap kurang

memuaskan. Dalam hubungan ini muncul pemikiran untuk

penyempurnaan faham negara hukum liberal itu, yaitu dengan munculnya

pemikiran faham negara hukum formal yang diungkapkan oleh Frederich

Julius Stahl yang berkebangsaan Jerman, dengan karyanya berjudul

Philosophie des Rechts, terbit pada tahun 1878, Stahl mengetengahkan

faham negara hukum formal, dengan unsur-unsur utamanya, yaitu:

mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;

(a) untuk melindungi hak-hak asasi tersebut maka penyelenggaraan

negara harus berdasarkan atas teori trias politica;

17
proposal penelitian
6
(b) dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan atas

undang-undang (wetmatigbestuur);

(c) jika dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang,

pemerintah masih melanggar hak asasi (campur-tangan pemerintah

dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan

administrasi yang akan menyelesaikannya.134

Dari ungkapan yang dikemukakan oleh Stahl, dapat disimpulkan

bahwa negara hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan hak-hak

asasi manusia dengan cara membatasi dan mengawasi penyelenggaraan

kekuasaan negara dengan undang-undang. Negara tidak boleh

menyimpang atau memperluas penyelenggaraan kekuasaan, selain apa

yang telah ditetapkan UU (wetmatig). Padahal dalam kenyataan bahwa

pembuat undang-undang tak mungkin dapat memperkirakan atau

mengatur seluruhnya apa yang akan terjadi dikemudian hari. Pembatasan

yang ketat telah mempersempit ruang gerak pemerintah dalam

menjalankan kekuasaan negara. Setiap tindakan yang tidak diatur

undang-undang dianggap sebagai tindakan onwetmatig, meskipun

tindakan tersebut sangat bermanfaat dalam mewujudkan kesejahteraan

warganya. Dengan demikian wetmatigheid van bestuur belum dapat

menjamin akan tercapainya negara hukum yang dapat memberikan

kesejahteraan kepada warganegaranya.

134
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, In – Hill Co., 1989, hlm. 51.

17
proposal penelitian
7
Konsep negara hukum dalam faham rechtsstaat ini, pada abad ke

20 telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan yang mendapat

perhatian besar dari para pemikir di benua Eropa. Salah satu diantaranya

adalah Paul Scholten, dalam karyanya Velzamelde Geschriften,

mengemukakan faham negara hukum, dengan membedakan tingkatan

antara asas dan aspek negara hukum. Unsur yang dianggap penting

dinamakannya dengan “asas”, unsur yang merupakan turunannya disebut

“aspek”. Asas negara hukum menurut faham Scholten adalah (a) ada hak

warga terhadap negara, yang mengandung dua aspek: pertama, hak

individu pada prinsipnya berada di luar wewenang negara; kedua,

pembatasan terhadap hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-

undang, berupa peraturan yang berlaku umum; (b) adanya pemisahan

kekuasaan. Scholten, dengan mengikuti Montesquieu, mengemukakan

tiga kekuasaan negara yang harus dipisahkan satu sama lain, yaitu

kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan melaksanakan

undang-undang, dan kekuasaan mengadili.135

Untuk mewujudkan kepastian hukum, harus memenuhi berbagai

persyaratan, di antaranya terciptanya kemerdekaan penegak hukum

dalam menjalankan fungsinya. Penyelesaian suatu sengketa hukum oleh

penegak hukum yang independen dalam menjalankan fungsinya,

merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan

adanya independensi penegak hukum dalam menjalankan fungsinya,

135
Paul Scholten, Verzamelde Geschriften, Zwolle, W.E.J.Tjeenk Willink, Deel I, 1949,
hlm.383-384.

17
proposal penelitian
8
setiap orang akan mendapatkan jaminan bahwa pemerintah akan

bertindak sesuai dengan hukum dan dengan hanya berdasarkan hukum

yang berlaku.

Pada abad ke 20, kedudukan negara sebagai penjaga ketertiban

umum dan keamanan semata-mata, kemudian berubah. Perubahan

terjadi karena perubahan konsepsi-konsepsi tentang negara, dari

nachtwakersstaat kepada konsepsi negara kesejahteraan atau

welvaartsstaat, yang kemudian juga dikenal dengan nama

verzorgingsstaat, atau juga dikenal istilah sociale rechtsstaat, sama

dengan walvaartsstaat, dalam kata-kata : “… de moderne sociale

rechtsstaat of welvaarsstaat …”.136 Sebagaimana diungkapkan de Haan,

bahwa negara modern tidak hanya negara hukum dalam pengertian abad

ke 19, tetapi juga termasuk dalam pengertian negara kesejahteraan

(verzorgingsstaat) atau negara hukum sosial (sociale rechtsstaat).

Setelah memasuki abad ke 20 negara hukum terus berkembang,

penyelenggaraan negara telah berubah, kegiatan negara telah menyebar

untuk mengatur berbagai persoalan kehidupan masyarakat, sehingga dari

negara hukum klasik menjadi negara kesejahteraan. Dalam hubungan ini

Lunshof, mengemukakan unsur negara hukum abad ke 20, yaitu:137

136
D.H.M.Meuwissen, Elementen van Staatsrecht, Zwolle, Tjink Willink, 1975, hlm. 139;
Couwenberg mengatakan : “… in de democratische sociale rechtsstaat in politicologische literatuur
angeduit als welvaarsstaat of verzogingstaat”, lihat S.W.Couwenberg, Moderne Constitutioneel
Recht en Emancipatie van den Mens, deel I, van Gorcum. Assen, 1981, hlm. 41.
137
H.R. Lunshof, Welzijn, Wet, Wetgever, Tjeenk Willink, Zwolle, 1989, hlm. 23.

17
proposal penelitian
9
1. Pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-

undang, dan peradilan.

2. Penyusunan pembentuk undang-undang secara demokratis.

3. Asas legalitas.

4. Pengakuan terhadap hak asasi.

Menurut Lunshof, asas legalitas tetap menjadi unsur utama dalam

faham negara kesejahteraan. Asas legalitas adalah asas yang turut

menjamin asas-asas lainnya. Meskipun asas legalitas tetap

dipertahankan, namun delegasi kekuasaan pembentuk undang-undang

kepada pemerintah adalah demi kepentingan penyelenggaraan

pemerintahan. Menurut Lunshof, ada unsur baru dalam negara hukum

abad ke 20, yaitu adanya pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah,

pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum

terhadap yang berkuasa. Dalam negara hukum sosial (sociale

rechtsstaat), negara atau pemerintah tidak hanya melakukan wewenang,

tugas dan tanggung-jawab menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi

memikul tanggung-jawab yang lebih luas, yaitu mewujudkan

kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Pemahaman negara hukum klasik, negara dalam menjalankan

kekuasaannya dituntut untuk bersikap pasif, dan adanya pembatasan

kekuasaan pemerintahan (terughoudenheid en beperking van de

overheid). Sementara itu dalam pemahaman sosiale rechtsstaat, terjadi

interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi

18
proposal penelitian
0
hak-hak sosial. Sementara dalam faham sosiale rechtsstaat menghendaki

penampilan pemerintah yang aktif. Dalam faham klasik, hak-hak individual

warganegara diartikan dari sudut pandang perlindungan terhadap organ-

organ negara, dengan menjamin kebebasan pribadi dalam hubungan

negara. Hak asasi sosial menyajikan suatu penambahan pada kebebasan

pribadi tersebut, yang bertujuan untuk menempatkan dengan pasti

kedudukan sosial warga negara.

Kebebasan dan persamaan dalam faham klasik bersifat formal

yuridis, dalam faham sociale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam

kehidupan masyarakat (rule maatschappelijke gelijkheid), bahwa tidak

terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang

satu dengan yang lainnya. Hak-hak sosial, ekonomi dan kultural mendapat

perhatian utama. Kepentingan umum, tidak lagi diartikan kepentingan

negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban atau kepentingan

golongan bourjuis sebagai basis masyarakat dari negara hukum liberal;

kepentingan umum adalah kepentingan seluruh rakyat dalam segala

sendi-sendinya, dalam negara nasional yang demokratis. Karakteristik

undang-undang juga berubah dari undang-undang yang sifat “ratio scripta”

menjadi alat atau instrumen hukum untuk mewujudkan kebijakan.

4. Negara Hukum Dalam Konsep Sosialis

Konsep Socialist legality yang dianut di negara-negara komunis

adalah suatu konsep yang hendak mengimbangi konsep rule of law yang

diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. Konsep ini pertama kali

18
proposal penelitian
1
berkembang di Uni Soviet selama masa New Economic Policy (1921-

1928), sedangkan pada masa faham komunisme revolusioner tidak diakui.

Pengakuan terhadap asas legalitas di Soviet, karena rasa takut terhadap

unsur-unsur kapitalis yang ada dalam masyarakat, berusaha untuk

menggunakan undang-undang untuk tujuan-tujuan individual atau

kelompok, dan dengan demikian dapat merugikan sosialisme.

Konsep Socialist legality mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda

dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law. Ciri utama socialist

legality, bersumber pada faham komunis yang menempatkan hukum

sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme. Hak-hak perseorangan dapat

disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialiosme. Tidak ada kesempatan bagi

individu untuk memperjuankan hak pribadinya, karena dianggap

bertentangan dengan hak masyarakat (socialist property).

Warganegara dalam socialist legality, harus mentaati undang-

undang, karena undang-undang adalah adil atau benar; oleh karena

negara adalah suatu negara sosialis yang keberadaannya untuk

kepentingan semua dan bukan untuk kepentingan golongan tertentu. Di

banyak negara-negara marxist telah berjuang dan masih saja bertarung

melawan terhadap hukum, oleh karena bagi mereka tampak bahwa

hukum, di negara-negara non-socialis, hanya berguna untuk membela dan

mengabdikan pada suatu tatanan sosial yang tidak benar.

Struktur ekonomi masyarakat dan kondisi materi golongan yang

berkuasa menentukan kesadaran sosial, kehendak dan kepentingan yang

18
proposal penelitian
2
diungkapkan di dalam hukum. Hukum hanya bernilai dalam hubungan

dengan tatanan yang dilayaninya untuk membentuk dan isi aturan hukum

yang dikandungnya. Oleh karena itu sebutan “socialist” sebelum kata

“legality”, memberikan pembenaran yang sangat penting, yang

menegaskan bahwa asas legalitas hanya berarti di dalam suatu ekonomi

dan jika ia membawahi kepentingan ekonomi ini. Hukum hanya memiliki

nilai karena melayani kepentingan negara socialist. Hukum itu penting dan

sangat dibutuhkan, sebagai suprastruktur yang wewenangnya hanya

dapat didasarkan pada infrastruktur yang sehat, dari suatu ekonomi di

mana cara-cara produksi diekploitasikan untuk kepentingan semuanya.

Dengan demikian sebutan “socialist” mengingatkan faham ini pada

pemikiran marxist.

Konstitusi di negara-negara komunis (socialist legality) tidak diatur

tentang asas-asas negara hukum. Di RRC dalam Konstitusi 1982 cukup

rinci diatur tentang hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia, misalnya

tentang persamaan kedudukan di hadapan hukum, jaminan terhadap

kebebasan beragama, berkumpul, berbicara, bahkan berdemonstrasi dan

lain-lain.138 Demikian juga dalam konstitusi Uni Soviet juga diatur tentang

hak-hak warga negara, misalnya dalam Pasal 34 Konstitusi Uni Soviet

diatur tentang persamaan kedudukan di depan hukum.139

5. Negara Hukum Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

138
The Constitution of the PRC, Ch. II: The Fundamental Rights, Pasal 33-56.
139
Prajudi Atmosudirdjo, dkk., Konstitusi Soviet, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

18
proposal penelitian
3
Sampai dengan saat ini secara konsepsional terdapat lima konsep

negara hukum yaitu; Rechtsstaat, Rule of Law, Socialist Legality,

Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila. 140 Kelima prinsip negara

hukum tersebut masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Istilah

“negara hukum”, tidak ditemukan dalam naskah asli UUD 1945, namun

hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 yaitu Rechtsstaat yang

dilawankan dengan machtsstaat, setelah perubahan ketiga UUD 1945,

yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, dalam Pasal 1 ayat (3),

secara tegas disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara

hukum”, rumusan seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS 1949 dan

UUDS 1950.141

Dalam kepustakaan Indonesia, terjemahan negara hukum dari

istilah dalam bahasa Belanda “rechtsstaat”142, akan tetapi di negara-

negara Eropa kontinental, terdapat peggunaan istilah yang berbeda-beda

berkenaan dengan negara hukum. Di Prancis misalnya, dipergunakan

istilah etat de droit. Sementara di Jerman dan Belanda digunakan istilah

yang sama yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat

yang digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat

dalam sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state

according to law atau the rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide
140
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum,, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-
prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini , (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm.73-74.
141
Jimly Assiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta :
Pusat Studi HTN dan HAN Fakultas Hukum UI , 2002), hlm. 3.
142
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1970), hlm.
27; Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta :
UI-Press, 1995), hlm. 30.

18
proposal penelitian
4
yang dasarnya sama. Dalam terminologi Inggris, dikenal dengan

ungkapan the state according to law atau according to the rule of law.143

Di Indonesia penggunaan istilah the rule of law disebut juga dengan

“negara hukum”. Djokosoetono menyebutnya dengan istilah “negara

hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah tidak tepat, sebab

jika dihilangkan democratische rechtsstaat, maka dimaksud adalah

rechtsstaat.”144 Muhammad Yamin, menggunakan kata negara hukum

sama dengan rechtsstaat atau government of law, jelasnya mengatakan

bahwa: “Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government

of law) ..., bukanlah negara kekuasaan, ...”145

Notohamidjojo menggunakan istilah “negara hukum atau

rechtsstaat”,146 Sunaryati Hartono, menggunakan istilah negara hukum

sama dengan the rule of law, dalam kata-kata: “...agar supaya tercipta

suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat ...

penegakan the rule of law itu harus dalam arti materiil.”147 Dalam

hubungan ini Sudargo Gautama, menyatakan bahwa “…dalam suatu

negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap

perseorangan.... di Inggris dikenal dengan rule of law.”.148

143
Allan R.Brewer – Carias, Judicial Review in Comparative Law, (London : Cambridge
University Press, 1989), hlm.7.
144
Padmo Wahyono, Guru Pinandita, Jakarta, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 1984), hlm. 67.
145
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982), hlm. 72.
146
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta, Penerbit Kristen, 1970), hlm.27.
147
Sunaryati Hartono, Apakah the Rule of Law, (Bandung, Alumni, 1976), hlm. 35.
148
Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, (Bandung, Alumni, 1983), hlm. 3.

18
proposal penelitian
5
Ismail Suny, menggunakan istilah the rule of law dalam pengertian

negara hukum,149 sementara itu, istilah “government of law, but not man”

dipakai di Amerika Serikat.150 Pada sisi lain Sumrah, melihat bahwa istilah

the rule of law sebagai isi dan konsepsi dari pada rechtsstaat, etat de

droit, negara atau pemerintah berdasarkan atas hukum, akan tetapi

rechtsstaat hanya dianut pada negara-negara dengan hukum tertulis,

sedangkan the rule of law terutama dipelopori oleh Inggris dengan sistem

common law.151 Istilah negara hukum dalam pandangan Crince Le Roy,

sama dengan the rule of law.152 Demikian pula halnya Mauro Capelletti,

berpendapat bahwa “… it has since come to be consideret by many as

essential to the rule of law (rechtsstaat) anywhere.” 153 yang berarti bahwa

rechtsstaat sama dengan the rule of law.

Muhammad Tahir Azhari, mengungkapkan bahwa pemikiran

tentang negara hukum, sesungguhnya sudah ada dan diawali oleh tulisan

Plato tentang “no moi”. Kemudian berkembang konsep rechtsstaat, the

rule of law, socialist legality, negara hukum Pancasila, dan nomokrasi

Islam; namun istilah negara hukum (rechtsstaat) mulai dikenal di Eropa

149
Ismail Suny, Mencari Keadilan, Jakarta, (Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 123.
150
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1988), hlm. 161; Bandingkan dengan
A.Hamid S.Attamimi, Teori Perundang-undangan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum pada FH UI, Jakarta, 25 April 1992, hlm. 8,
151
Sumrah, “Penegakan Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Pelaksanaan the Rule of Law”,
dalam Eddy Damian (ed.), Rule of Law dan Praktek Penahanan di Indonesia, (Bandung : Alumni,
1968), hlm. 33-34.
152
R.Crince Le Roy, De Vierde Macht, alih bahasa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Unair, Surabaya, 1976, hlm. 17.
153
Mauro Capelletti, Judicial Review in the Contemporary World, (New York, The Balbs-
Merrill Company, Inc., 1971), hlm. 42.

18
proposal penelitian
6
pada abad ke 19. Sesuai dengan diungkapkan van der Pot-Donner,

bahwa “Het woord ‘rechtsstaat’ komt pas in de negentiende eeuw in

zwang, maar het denkbeeld is veel ouder”.154 Konsep lain berkenaan

dengan rechtsstaat juga disebut dengan concept of legality atau etat de

droit dalam sistem hukum Eropa kontinental. Sementara itu penggunaan

istilah “the rule of law” menjadi terkenal setelah karya A.V. Dicey,

diterbitkan pada tahun 1885, yang sangat terkenal dengan judul

Introduction to Study of the Law of the Constitution.

Secara historis timbulnya istilah rechtsstaat dan the rule of law,

dalam pandangan Hadjon, pada dasarnya kedua istilah atau faham itu

dilahirkan oleh latar belakang sistem hukum yang berbeda. Faham atau

istilah rechtsstaat lahir sebagai reaksi menentang absolutisme, karena itu

sifatnya revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang

disebut civil law. Berbeda halnya dengan istilah atau paham the rule of

law, yang perkembangannya terjadi secara evolusioner, dan bertumpu

pada faham atau sistem hukum common law. Namun demikian dalam

perkembangannya perbedaan latar belakang itu sekarang tidak

dipertentangkan lagi, oleh karena menuju pada sasaran yang sama, yaitu

bertujuan untuk mewujudkan perlindungan terhadap HAM.

Selain faham rechtsstaat dan the rule of law, juga dikenal dengan

konsep socialist legality, yang berbeda dengan dua faham terdahulu

tersebut. Ciri utamanya adalah bersumber pada paham komunis, yang


154
Van der Pot – Donner, bewerkt door L.Prakke, met mederwerkin van J.L.De Reede en
G.J.M.van Wissen, Handboek van Het Nederlandse Staatsrecht, Zwalle, W.E.J.Tjeenk Willink,
1989, hlm. 158.

18
proposal penelitian
7
menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme dengan

mengabaikan hak-hak individu. Hak-hak individu melebur dalam tujuan

sosialisme yang mengutamakan kolektivisme di atas kepentingan individu.

Oleh karena itu, selain istilah rechtsstaat atau the rule of law itu, di

negara-negara yang menganut paham ideologi komunis, dikenal dengan

istilah tersendiri, yakni the principle of socialist legality,155 atau sering juga

disingkat saja dengan socialist legality.

Meskipun terdapat perbedaan latar belakang faham antara

rechtsstaat dan the rule of law, namun tidak dapat dibantah bahwa

kehadiran istilah “negara hukum” tidak terlepas dari pengaruh kedua

faham tersebut. Dalam usaha untuk lebih mencerminkan faham Indonesia,

maka dilakukan personifikasi, sehingga dalam kepustakaan Indonesia,

dijumpai istilah lain, yang memberikan atribut “Pancasila”, sebagaimana

halnya istilah “demokrasi” diberi atribut “Pancasila”, sehingga menjadi

“Demokrasi Pancasila”.

Konsep negara hukum yang digunakan di Indonesia dan pernah

populer adalah istilah (rechtsstaat). Sementara itu untuk memberikan ciri

“ke Indonesiaannya”, juga dikenal istilah negara hukum dengan

menambah atribut “Pancasila” sehingga menjadi “negara hukum

Pancasila”. Dalam hubungan ini, M. Scheltema156 mengungkapkan, ciri

khas negara hukum bahwa negara memberikan perlindungan kepada

155
Rene David and John E.C. Brierley, Major Legal System in the World Today, An
Introduction to the Comparative Study of Law, Third Edition, (London, Stevens & Sons, 1985), hlm.
208.
156
M. Scheltema, De Rechtsstaat Herdacht, Tjeenk Willink, Zwolle, 1989, hlm. 16.

18
proposal penelitian
8
warganya dengan cara yang berbeda-beda. Negara hukum adalah suatu

pengertian yang berkembang, dan terwujud sebagai reaksi masa lampau,

karena itu unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan

suatu bangsa. Setiap negara memiliki sejarah yang tidak sama, oleh

karenanya pengertian negara hukum di berbagai negara akan berbeda.

Substansi Konstitusi RIS (1949), baik dalam Mukadimah maupun di

dalam Batang Tubuhnya yakni alenia ke 4 Mukadimah Konstitusi RIS dan

dalam Pasal 1 ayat (1), dengan tegas dan jelas terdapat ungkapan

“negara hukum”.157 Demikian pula halnya dalam UUDS 1950, istilah

“negara hukum” secara jelas dicantumkan dalam alenia ke 4 Mukadimah

dan dalam Bab I bagian I, Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950. Kedua UUD

tersebut istilah negara hukum dicantumkan dengan tegas, dan

pengertian “negara hukum” dikaitkan dengan pengertian “demokratis”

dengan rumusan “negara hukum yang demokratis” (democratische

rechtsstaat). Rumusan yang digunakan oleh Konstitusi RIS 1949 dan

UUDS 1950, merupakan suatu rumusan yang lazim dalam sistem

parlementer di negara-negara Eropa.158

Pemberian makna dan isi negara hukum yang mempunyai ciri

Indonesia, dikemukakan oleh Padmo Wahyono, dalam pidato pengukuhan

guru besarnya, yang berjudul “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan

Atas Hukum” mengungkapkan bahwa berbagai pendapat dapat

157
H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-undang Dasar, Cet. ke-5, Jakarta, PT. Pembangunan,
1981, hlm.19.
158
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. ke-2, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1986, hlm. 8.

18
proposal penelitian
9
dikemukakan tentang negara hukum, namun yang penting ialah pokok-

pokok yang sama dari berbagai pendapat yang ada tersebut. Atas dasar

rumusan-rumusan yang ada, kemudian Padmo Wahjono, memberikan

diskripsi negara hukum dengan mengemukakan suatu pola yang

merupakan hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di

Indonesia, yaitu sistem konstitusional, sistem mandataris (yang tidak

sepenuhnya sama dengan sistem presidensiil), sistem hak-hak

kemanusiaan, sistem kelembagaan negara, sistem kekuasaan kepala

negara yang tidak terbatas, dan sistem Garis-garis Besar Haluan Negara.

Kesemuanya ini tidak dalam bentuk yang telah terkristalisasi.

Pengertian istilah “the state according to law” atau “the state

according to the rule of law”, yang dikenal di Inggris atau di negara-negara

Anglo Saxon, menyerupai rumusan “negara yang berdasarkan atas

hukum”. Sedangkan istilah “rechtsstaat” di antara tanda kurung dalam

Penjelasan UUD 1945, merupakan istilah atau rumusan yang sering

digunakan di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Jerman dan

Belanda.159 Dengan demikian, penggunaan kedua ungkapan tersebut

dalam Penjelasan UUD 1945, menandakan bahwa isi negara hukum

Indonesia tidak terlepas dari pengaruh paham Anglo Saxon dan Eropa

Kontinental. Dalam hubungan ini, Padmo Wahyono, menyatakan:

“Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum, dengan rumusan

“rechtsstaat”...; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak

159
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta,
LP3ES, 1990, hlm. 384.

19
proposal penelitian
0
menyimpang dari pengertian Negara Hukum pada umumnya

(genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya,

digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan

bernegara....”

Dari uraian di atas dapat disimpukan, bahwa ungkapan

“rechtsstaat” dapat diartikan sama dengan “negara yang berdasarkan atas

hukum”, juga sering diartikan atau diterjemahkan dengan “negara

hukum”.160 Oleh karena itu, penulis lebih cenderung menggunakan

ungkapan “negara hukum”, dimaksudkan “rechtsstaat”. Istilah “negara

hukum” menurut penulis adalah istilah Indonesia, mengandung makna

yang khas atau faham Indonesia, tanpa harus menambahkan atribut yang

lain, setelah kata “negara hukum”. Pengertian yang mendasar dari negara

hukum, di mana kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama

di hadapan hukum;161 atau negara yang menempatkan hukum sebagai

dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.

Dari beberapa konsep negara hukum, telah menjadi dasar teori

terhadap pengawasan yakni pemerintah (dalam arti luas) harus

berdasarkan atas asas sistem konstitusi (constitusionalime), dan

terwujudnya asas persamaan kedudukan di dalam hukum. Kedua unsur

tersebut harus dapat memberi jaminan terciptanya tertib hukum, tegaknya

160
Bandingkan dengan Pasal 3 UUD 1945 (Amandemen ketiga 2001).
161
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa
Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995, hlm. 1 dan 2.

19
proposal penelitian
1
hukum, dan tercapainya tujuan hukum. Konstitusionalisme ini dalam

faham rechtsstaat dikenal dengan wetmatigheid van het bestuur, yang

kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van het bestuur, sedangkan

dalam paham the rule of law dikenal dengan asas supremacy of law; atau

dalam sistem rechtsstaat atau Eropa Kontinental dikenal juga dengan

principle of legality, dan dalam sistem Amerika Serikat dikenal dengan

idea of constitutionalism. I. Jenings, mengartikan asas ini bahwa “… ‘that

all power came from the law and that no man, be he King or Minister or

private person, is above the law”. (…bahwa semua kekuasaan berasal

dari hukum dan bahwa tidak ada orang, baik itu raja atau menteri atau

orang biasa, berada di atas hukum). Dengan demikian sistem konstitusi

menciptakan tertib hukum, yang memberi jaminan terhadap persamaan

kedudukan di depan hukum, menjamin tegaknya hukum, serta menjamin

tercapainya tujuan hukum.

Tertib hukum (rechtsorder) dimaksudkan suatu kekuasaan negara

yang didasarkan pada hukum, dan keadaan masyarakat yang sesuai

dengan hukum yang berlaku. Attamimi memberi pengertian “tertib hukum

(rechtsordnung)” adalah suatu kesatuan hukum objektif, yang keluar tidak

tergantung pada hukum yang lain, dan ke dalam menentukan semua

pembentukan hukum dalam kesatuan tertib hukum tersebut. Rumusan ini

sangat penting bagi menentukan ada atau tidak adanya kesatuan yuridis

dalam suatu tertib hukum.162 Logemann, menyatakan bahwa sama seperti


162
A.Hamid S.Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia”, dalam Oetoyo Oersman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, BP-7 Pusat, 1992, hlm. 71.

19
proposal penelitian
2
tertib masyarakat, yang merupakan suatu keseluruhan yang saling

berkaitan, juga hukum positif, yang ditemukan dengan jalan

mengabstrakkan dari suatu keseluruhan, suatu pertalian norma-norma,

ialah suatu tertib hukum. Dengan demikian, suatu hukum positif tidak

terdapat norma-norma yang saling bertentangan.

Suatu negara hukum modern, hak-hak warga negara harus dapat

diwujudkan melalui hukum, yakni: dalam pembentukan hukum dan dalam

penegakan hukum. Bagir Manan, menyatakan bahwa dalam ajaran

negara hukum memuat tiga demensi penting, yaitut dimensi politik,

hukum, dan sosial ekonomi.163 Dalam dimensi politik, negara hukum

memuat prinsip pembatasan kekuasaan, yang menjelma dalam keharusan

faham negara berkonstitusi, pembagian (pemisahan) kekuasaan,

kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan jaminan dan penghormatan

terhadap hak asasi. Dimensi hukum, dalam negara hukum harus tercipta

suatu tertib hukum dan perlindungan hukum bagi setiap orang tanpa

diskriminasi.

Untuk menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan tujuan

hukum, fungsi lembaga-lembaga penegak hukum sangat berperan

penting, terutama fungsi penegakan hukum dan fungsi pengawasan.

Pengawasan dimaksud adalah pengawasan yang dapat bersifat preventif

dan represif melalui lembaga penegak hukum, guna untuk menjamin tertib

163
Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah, yang di sampaikan
pada Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Se-Indonesia, FH Unpad, Bandung, 6 April 1999,
hlm. 2.

19
proposal penelitian
3
hukum, penegakan hukum, dan pencapaian tujuan hukum, ketertiban dan

keadilan sosial bagi seluruh warga-negara.

Selain itu, uraian tentang negara hukum mengandung makna

bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum harus

menjadi “su preme” (kursif penulis) bersama dengan prinsip demokrasi,

hukum harus menjadi sarana bagi masyarakat Indonesia dalam

mewujudkan tujuan nasional dengan menempatkan konstitusi sebagai

hukum yang mengatur negara. Seluruh lembaga negara yang disebutkan

dalam UUD 1945 yang terdiri dari DPR, DPD, Presiden, MA, Mahkamah

Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan harus dipandang sebagai

suatu produk konstitusional, yang dalam melaksanakan fungsinya harus

menjunjung tinggi prinsip supremacy of law dan asas legalitas.

Hubungan ini K.C. Wheare mengemukakan bahwa, “Most

Constitutions claim to prosses the authority not of law only but of supreme

law”.164 Kemudian Wheare, menegaskan bahwa “How is this claim

justified”? By what argument can it be said that the law in a constitution is

superior to the law ancted by lagislative authorities estabilished in country

by the constitution?. Jawaban atas pertanyaan tersebut dideskripsikan

dari logika “bahwa sifat dasar dari konstitusi mempunyai otoritas terhadap

institusi-institusi (lembaga negara) yang merupakan ide dasar dari suatu

konstitusi, bukan sebagai hukum biasa yang lebih dulu ada sebelum

legislatif.

164
K.C.Wheare, Moderen Constitutions, Oxford University Press, New York Toronto, London,
1975, hlm. 57.

19
proposal penelitian
4
Fungsi konstitusi menurut K.C. Wheare, adalah “…is to regulate

institution, to govern a government. Seluruh lembaga negara yang

disebutkan dalam UUD 1945 yakni MPR yang terdiri dari Anggota DPR

dan Anggota DPD, Presiden, MA, Mahkamah Konstitusi, dan Badan

Pemeriksa Keuangan harus dipandang sebagai suatu produk

konstitusional, yang dalam melaksanakan fungsinya harus menjunjung

tinggi prinsip supremacy of law dan konstitusi atau asas legalitas.

H. Teori Bentuk Pemerintahan

Bentuk pemerintahan pada suatu negara pada hakekatnya adalah

suatu sistem yang diterapkan oleh suatu negara di dalam menjalankan

pemerintahannya, atau setidak-tidaknya adalah sistem yang dianut oleh

negara tersebut. Sistem pemerintahan adalah merupakan dua rangkaian

kata yang masing-masingnya mempunyai arti tersendiri. Menurut Carl. J.

Friedrich, sistem adalah “suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa

bagian yang mempunyai hubungan fungsional, baik antara bagian-bagian

maupun hubungan fungsional terhadap keeluruhannya sehingga

hubungan itu menimbulkan suatu ketergantugan antara bagian-bagian,

yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik, akan

memepengaruhi keseluruhannya itu”.

Pemerintahan itu sendiri mempunyai dua arti, yaitu dalam arti yang

luas dan dalam arti yang sempit. Pemerintahan dalam arti yang luas

adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu

19
proposal penelitian
5
sendiri, yang meliputi baik tugas eksekutif, yudikatif maupun tugas

legislatif. Atau dengan kata lain adalah seluruh aktifitas yang dijalankan

oleh negara melalui organ-organ atau aparat-aparatnya. Sedangkan

pemerintahan dalam arti sempit hanyalah meliputi aktifitas dari badan

eksekutif saja.

Dengan demikian sistem pemerintahan itu dapat dirumuskan

sebagai suatu pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara

dan hubungan antara lembaga-lembaga negara tersebut, yang

menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara dalam rangka

menyelenggarakan kepentingan rakyat dan mewujudkan tujuan negara,

dengan kata lai bahwa sistem pemerintahan adalah berkenaan

mekanisme pertanggungjawaban atas wewenag-wewenang pemerintahan

suatu negara.

Berdasarkan pembagian kekuasaan tersebut, organisasi

pemerintah dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu :

1. Organisasi pemerintahan yang didasarkan atas sifat tugas yang

berbeda-beda jenisnya sehingga menimbulkan berbagai macam

lembaga dalam negara. Pembagian ini adalah pembagian yang bersifat

horisontal.

2. Organisasi pemerintahan yang didasarkan atas hubungan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam sistem

desentralisasi dan dekonsentrasi. Pembagian ini adalah pembagian

yang bersifat vertikal.

19
proposal penelitian
6
Menurut Kranenburg, berdasarkan hubungan antara alat-alat yang

telah diserahi tugas, maka demokrasi terbatas itu masih dapat dibagi ke

dalam :

1. Pemerintahan rakyat yang representatif dengan sistem parlementer.

2. Pemerintahan rakyat yang representatif dengan pemisahan kekuasaan.

3. Pemerintahan rakyat yang representatif, dikontrol oleh pengaruh rakyat

secara langsung (referendum dan inisiatif rakyat).

Sekalipun ketiga bentuk ini memiliki sistem perwakilan, namun

dalam beberapa hal sistem tersebut mempunyai perbedaan, khususnya

mengenai kedudukan badan perwakilan.

Ad (1). Pada sistem parlementer, hubungan antara badan

perwakilan dengan pihak eksekutif adalah sedemikian eratnya. Dalam

sistem ini, menteri bertanggung jawab langsung kepada Parlemen tentang

segala tindakan atau pelaksanaan dari tugas eksekutif. Perdana

Menterilah yang bertindak sebagai kepala pemerintahan. Sehingga

apabila pelaksanaan pemerintahan itu dianggap tidak sesuai dengan apa

yang telah ditetapkan oleh rakyat (parlemen) maka parlemen dapat

menjatuhkan atau mengganti Perdana Menteri.

Akibatnya, kepala pemerintahan mungkin sekali akan selalu

berganti dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana yang terjadi pada

masa berlakunya Undang-undang Dasar Sementara 1950 di Indonesia.

Sebaliknya, sistem pemerintahan itu dapat berjalan dengan baik dan

19
proposal penelitian
7
teratur, maka kementerian akan mendapat kepercayaan yang besar dan

dukungan penuh dari parlemen.

Ad (2). Pemerintahan dengan sistem pemisahan kekuasaan.

Pada sistem ini, eksekutif secara tegas dipisahkan bebas dari Dewan

Perwakilan. Kekuasaan eksekutif mempunyai dasar sendiri, yaitu pilihan

rakyat. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, mengangkat sendiri

pembantu-pembantunya (Menteri-menteri) yag membawahi Departemen-

departemen. Mnteri-menteri ini tidak bertanggungjawab kepada Dewan

Perwakilan, tetapi kepada Presiden. Menteri-menteri tidak dapat

dijatuhkan atau diganti oleh Dewan.

Presiden pun tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan perwakilan

sekalipun ia melakukan suatu tindakan politik negara yang menyimpang

sewaktu masa jabatannya. Ia hanya dapat dituduh kalau ia telah

menjalankan kejahatan-kejahatan yang penting. Dalam hal ini, Dewan

Perwakilan membuat surat tuduhan dan senat yang akan mengadilinya.

Apabila Presiden benar-benar dinyatakan bersalah, maka hal ini berarti

dipecatnya Presiden dari jabatannya dan tidak dapat lagi menjalankan

jabatannya lebih lanjut.165

Sistem pemisahan kekuasaan ini telah ditanamkan secara kokoh

oleh Montesquieu dengan ”tria politica”nya. Terhadap pemisahan

kekuasaan yang tegas ini, Woodrow Wilson telah menunjukkan suatu titik

kelemahannya, yaitu bahwa ”pemisahan kekuasaan ini........... kiranya

dapat menjerumuskan pemerintahan dalam kelumpuhan yang


165
Bandingkan dengan praktek kenegaraan di Amerika Serikat

19
proposal penelitian
8
menyedihkan dalam saat-saat darurat”166. Juga Laski mengeritik tentang

pemisahan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu,

dengan berdasarkan teori dan praktek. Menurut Laski, dilihat dari sudut

teori semata-mata, pengadilan itu adalah badan yang sudah sewajarnya

benar menjadi bagian dari badan pembuat Undang-undang, karena tentu

tidak ada satu badanpun yang dapat mengetahui betul-betul tentang

Undang-undang itu, selain dari badan yang membuatnya.

Dilihat dari sudut praktek, tidak mungkin ditetapkan adanya

pemisahan yang tegas benar-benar. Satu badan pembuat Undang-undnag

tidak akan dapat memenuhi tugasnya dengan sempurna, bilamana ia tidak

boleh turut campur dalam pelaksanaan Undang-undang itu dan bila ia

sewaktu-waktu tidak boleh mengadakan undang-undang baru untuk

mengubah putusan hakim, yang oleh umum dianggap kurang

memuaskan.

Ad (3). Pemerintahan denga sistem referendum dan Inisiatif

rakyat. Menurut Kamus Internasional Populer, Referendum berarti :

”Pemungutan suara bagi setiap orang yang mempunyai hak bersuara,

secara tertulis; menyatakan setuju atau tidak setuju”167. Sedangkan

menurut Kamus Pengetahuan Umum dan Politik dari S.Hidayat,

Referendum diberi arti : adalah suatu cara untuk memberikan suara

keputusan terakhir terhadap suatu undang-undang atau peraturan

pemerintah yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, tidak oleh Majelis

166
Woodrow Wilson, Congressional Government, A Study in American Politics, lihat, ibid,
hal.105, di bawah catatan no.1
167
Redaksi Karya Anda, Kamus Internasional Populer, Karya Anda, Surabaya.

19
proposal penelitian
9
Perwakilan Rakyat. Jadi daris segi tehnis, ”referendum pada dasrnya

menyerupai pemilihan umum, oleh karena itu menyelenggarakan

referendum samalah kiranya dengan menyelenggarakan sebuah

pemilihan umum”168. Dalam sistem ini, tugas legislatif tunduk kepada

kontrol langsung rakyat yang berhak memajukan suara.

Menurut Joeniarto,SH : ”dalam sistem ini badan eksekutifnya

sebenarnya hanya merupakan badan pekerjanya saja daripada badan

perwakilan. Oleh karen itu badan eksekutif hanya menyelenggarakan saja

apa yang menjadi kehendak badan perwakilannya. Apabila ada

perbedaan pendapat di antara kedua badan tersebut, maka badan

eksekutifharus mengikuti pendapat badan perwakilan” 169. Dengan

demikian referendum itu merupakan suatu lembaga yang diadakan untuk

memberikan kemungkinan kepada rakyat untuk mengontrol tindakan-

tindakan badan perwakilan dengan secara langsung oleh rakyat sendiri.

Kontrol ini dapat dilakukan dalam bentuk referendum obligatoir

(Compulsery Referendum) atau referendum fakultatif (Optional

Rferendum). Pada referendum Obligatoir, berlakunya Undang-undang

tergantung atas izin rakyat sendiri yang diberikan dengan suara

terbanyak. Jadi peraturan harus tunduk kepada suara rakyat atau

kehendak rakyat170.

168
Saifuddin Zuhri, Referendum dan Angkatan Sepertiga Anggota MPR, Kompas, 9 April
1981
169
Joeniarto,SH, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Yayasan Badan Penerbit
Gajahmada, Yogyakarta, 1967, hal.64
170
Perhatikan pelaksanaannya pada beberapa Negara, khususnya di Swiss

20
proposal penelitian
0
Berbeda dengan Kranenburg yang membagi demokrasi itu dalam

tiga bentuk, Kusnardi dan Hermaily Ibrahim hanya membagi sitem

pemrintahan demokrasi ituke dalam sistem Parlementer dan sistem

Presidensil. Apa yang mereke maksud dengan sistem Parlementer dan

sistem Presidensil, pada prinsipnya adalah sama dengan sistem

Parlementer dan sistem Pemisahan Kekuasaan dari Kranenburg. Sebab-

sebab timbulnya perbedaan sistem-sistem tersebut, menurut Kranenburg

adalah terletak dalam sejarah politk negara-negara yang bersangkutan.

Sistem Parlementer itulah yang merupakan perubahan bentuk negara

monarchi di bawah pengaruh aas pertanggungan jawab Menteri. Dengan

demikian tugas monarchi telah berganti sifatnya tanpa adanya perubahan

di luar, yakni menjadi tugas yang menjamin dan membimbing berjalannya

sistem secara teratur.

Di Amerika, sebagai raksi kebencian rakyat Amerika terhadap

pemerintahan Raja george III, mereka lebih senang memilih konsep

Montesquieu dengan pemisahan kekuasaannya, daripada bentuk negara

monarchi, oleh karena itu dengan pemisahan kekuasaan tersebut;

kekuasaan badan-badan dalam negara akan terkontrol dan seimbang

(Checks and Balances). Sistem Parlementer dan sistem Presidensil,

masing-masing mempunyai segi-segi positif dan negatif. Dalam sistem

parlementer, apabila eksekutif menjalankan kekuasaan negara sesuai

dengan kehendak rakyat, maka ia akan menjadi pemerintahan yang

ampuh dan didukung sepenuhnua oleh Parlemen. Di samping itu

20
proposal penelitian
1
penyesuaian antara Parlemen dan eksekutif dapat dengan mudah dicapai.

Segi negatifnya adalah bahwa pemerintahan bisa tidak stabil, yang

disebabkan oleh pergantian-pergantian Kabinet. Perdana Menteri

sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh parelemen. Dalam sistem

Presidensil keuntungannya atau segi positifnya adalah bahwa

pemerintahan untuk jangka waktu yang telah ditentukan itu; stabil.

Sedangkan segi negatifnya adalah bahwa kemungkinan terjadi apa yang

ditetapkan sebagai tujuan negara menurut legislatif, bisa berbeda dengan

pendapat eksekutif. Adapun terhadap sistem referendum, kelemahan

yang dapat ditunjukkan adalah adanya keruwetan dalam perundang-

undangan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah, di samping

dibutuhkannya tingkat pengetahuan yang cukup memadai mengenai

hukum dan perhubungan-perhubungan sosial; bagi seluruh warganegara

untuk dapat menjamin terselenggaranya sistem tersebut dengan baik.

20
proposal penelitian
2

Anda mungkin juga menyukai