Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang Desentralisasi


Alasan diterapkannya desentralisasi dapat ditelusuri dari ketidak berhasilan
pemerintah Orde Baru dalam mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1997 1998 yang
menimbulkan efek berantai yang berwujud ketidakpuasan masyarakat terhadap hampir semua
kebijakan, tatanan pemerintahan dan hasil-hasil karya pembangunan pemerintahan Orde
Baru. Puncak semua ketidakpuasan tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden
Soeharto dan digantikan oleh B.J. Habibie, yang menandai titik awal dimulainya reformasi
disegala bidang.
Pada era reformasi, masyarakat seakan-akan mendapatkan kebebasan yang
sebelumnya tidak pernah dirasakan. Masyarakat sungguh-sungguh menuntut sistem
pemerintahan yang transparan, accountable, efektif dan efisien, serta mengindahkan aspirasi
masyarakat yang beragam. Sistem desentralisasi dipandang dapat mengakomodasikan
tuntutan masyarakat tersebut.
Dalam wacana yang lebih konkret, diperlukan perubahan sistem kekuasaan yang tidak
terpusat pada satu orang atau lembaga, penguatan lembaga legislatifsebagai cermin
kedaulatan rakyat, dan kemerdekaan lembaga yudikatif untuk menjaga obyektivitas dan
keadilan bagi setiap warga negara.
Sejalan dengan dorongan/kecenderungan untuk mengurangi kekuasaan dan
kewenangan yang terpusat atau pemusatan kekuasaan yang biasa disebut sentralisasi maka
gerakan desentralisasi sangat menguat. Semangat ini menguat karena pengalaman masa
pemerintahan Orde Baru yang dinilai terlalu sentralistik sehingga aspirasi daerah yang
beragam kurang terakomodasi dengan baik.
Desakan untuk menerapkan desentralisasi pemerintah mencapai titik puncak dengan
diputuskannya Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, antara lain mengamanatkan
penyelenggaraan pemerintah daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
daerah secara nyata dan bertanggung jawab.
Tidak lanjut dari TAP MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang berlaku sejak Januari 2001, dan UU No. 25 tahun 1999
tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta PP No. 25 tahun
2000 tentang Kewenagan Pemerintah.
Kebijakan di sektor pendidikan sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang
melayani seluruh lapisan masyarakat, suka atau tidak suka harus menyesuaikan diri dalam
konteks reformasi kehidupan bangsa.

. B. Konsep Dasar Sentralisasi dan Desentralisasi


Pada umumnya disepakati bahwa sentralisasi merujuk pada sejauh mana
pengambilan keputusan terkonsentrasi pada suatu titik didalam organisasi. Konsentrasi
pengambilan keputusan yang tinggi bermakna tingkat sentralisasi yang tinggi, sebaiknya
konsentrasi yang rendah menunjukan tingkat sentralisasi yang rendah pula atau dapat disebut
desentralisasi. sentralisasi berkaitan dengan penyebaran kewenangan untuk mengambil
kepustusan didalam organisasi. Menurut robbins, penyebaran tersebut bukan penyebaran
yang bersifat geografis.
Mintzberg dalam The Structuring of Organizations (1979) mengemukakan masalah
sentralisasi dan desentralisasi dalam arti kekuasaan untuk pengambilan keputusan dalam
organisasi. Menurutnya apabila semua kekuasaan untuk mengambil keputusan berada pada
satu titik dalam organisasi dan pada akhirnya berada ditangan seorang individu maka stuktur
organisasi tersebut disebut sentalistik. Jika kekuasaan tersebar di antara banyak orang maka
disebut sentralistik.
Kekuasaan untuk mengambil keputusan dapat dilakukan karena yang bersangkutan
memang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Wewenang untuk mengambil
keputusan dapat bersifat formal karena posisi atau kedudukan dalam organisasi atau
berdasarkan mandat yang melekat pada jabatan atau posisi yang bersangkutan.
Robbins (1990) mengemukakan definisi dengan pendekatan yang pragmatis,
dengan menggambarkan bahwa sentralisasi sebagai derajat / tingkat kebebasan bagi otoritas
formal untuk menentukan pilihan-pilhan yang terkonsentrasi pada seorang individu, unit, atau
tingkat sehingga memungkinkan input yang minim bagi karyawan dalam pekerjaan mereka.
Ditegaskan disini bahwa sentralisasi hanya menyangkut struktur formal bukan informal
didalam organisasi.
Sentralisasi dan desentralisasi merupakan derajat conlinuun pada ruas garis
pengambilan keputusan antara titik sentralisasi dan desentralisasi. Pengambilan keputusan
yang bukan bersifat rutin atau masalah individu setidaknya meliputi proses sebagai berikut.
1. Pengumpulan informasi tentang apa yang dapat dikerjakan untuk diteruskan kepada
pengambil keputusan.
2. Pengolahan dan interpretasi informasi tersebut untuk menjadi saran mengenai yang
seharusnya dilakukan oleh pengambil keputusan.
3. Penentuan pilihan, mengenai kegiatan yang akan dilakukan.
4. Pemberian kewenangan berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan.
5. Melakukan eksekusi atau melaksanakan (Robbins, 1990, Mintzberg, 1979, dalam
Paterson, 1969).
Menurut keduanya, derajat kontrol seseorang atas semua tingkat datam proses pengambilan
keputusan menunjukkan derajat sentralisasi atau desentralisasi keputusan. Kalau seseorang
memegang kontrol sepenuhnya terhadap kelima proses tersebut di datam pengambilan
keputusan maka organisasi yang bersangkutan sentralistik. Dengan seimakin
banyaknya pihak lain turut mengontrol langkah-langkah datam proses tersebut maka
pemimpin (manager) kehilangankekuasaan dan proses tersebut menjadi
desentralistik.

Dengan penjelasan sebelumnya, semakinjelas bahwa konsep sentralisasi dan desentralisasi


bersifat relatif, tidak mutlak. Bahkan di dalam Praktik, hampir tidak ada sentralisasi yang
mutlak atau desentralisasi yang mutlak.
Rondinelti dan Cheema (1983, seperti dikutip oleh Duhou, 1999, h. 24-25) mendefinisikan
konsep desentralisasi sebagai pemindahan tanggung jawab untuk perencanaan, manajemen,
peningkatan sumber daya dan alokasinya dari pemerintah pusat dan lembagalembaganya
kepada
(a) unit-unit kerja di lapangan (termasuk sekolah) dari kementerian pusat ;
(b) unit-unit di bawah atau tingkat-tingkat pemerintahan ;
(c) otoritas-otoritas semi otonom ;
(d) otoritas wilayah, regional atau fungsional ;
(e) organisasi voluntir-nonpemerintah.

Tipe- tipe desentralisasi berdasarkan pada derajat besar kecilnya tanggung jawab
dan kebebasan dalam mengambil keputusan yang diberikan oleh pemerintah pusat, sebagai
berikut :
1. Dekonsentrasi , yaitu penyerahan sejumlah kewenangan adminstratif atau tanggung
jawab dari suatu kementrian kepada tingkat di bawahnya sehingga beban kerja pejabat
pusat berpindah ke luar kantor psat atau daerah dan dilaksanakan sesuai kondisi, tetapi
tetap berpedoman pada petunujuk pusat. Di Indonesia, tugas yang dilakukan pemerintah
provinsi sebagian adalah tugas dekonsentrasi.
2. Delegasi, yaitu penyerahan tanggung jawab pengelolaan hanya untuk fungsi-fungsi
khusus tertentu. Termasuk di antaranya pendelegasian wewenang khusus untuk masalah
personel saja, atau masalah sarana prasarana saja.
3. Devolusi, didalamnya terkandung pengertian mewujudkan unit mandiri dibawah struktur
organisasi pusat yang secara hukum maupun keuangan berstatus otonom dan independen.
Penguasa pusat hanya melakukan kontrol secara tidak langsung.
4. Privatisasi yang merupakan penyerahahan kewenangan dan tanggung jawab secara
penuh, yang biasa dilakukan kepada perusahaan swasta atau individu dan juga kepada
lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang tipe-tipe desentralisasi terebut, menurut
Fiske (1996, dikutip oleh Dohuo, 1999), dekonsentrasi adalah desentralisasi yang paling
lemah, pemerintah pusat masih sangan kuat kontrolnya. Sementara itu, delegasi meskipun
memberikan kewenangan yang lebih besar, mengandung makna bahwa memberi kewenangan
tersebut sewaktu-wsaktu dapat ditarik kembali. Devolusi merupakan penyerahan kewenangan
yang cakupannya luas dan permanen.

C. Kelebihan dan kekurangan Sentralisasi serta Desentralisasi


Meskipun sentralisasi cenderung ditinggalkan, namun tudak berarti tidak mempunyai
kelebihan. Demikian pula sebaliknya meskipun desentralisasi cenderung diterapkan, namun
tidak dapat dikatakan bahwa desentralisasi tidak memiliki kekurangan. Masing-masing
mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dan kelebihan tersebut, antara lain terkait
erat dengan kebutuhan koordinasi, kekuasaan, waktu penerapan, dan formalisasi yang
semuanya terdapat dalam suatu organisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan
kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang
terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi
daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini
adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah
tanpa campur tangan pemerintah pusat.Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah
khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu
atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi
kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan
bangsa bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara sempit. Pelaksanaan
desentralisasi dalam pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan berbagai perangkat
pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus dipersiapkan agar
pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur desenralisasi pendidikan dari tingkat
daerah, provinsi sampai tingkat kelembagaan.
2. Pembinaan kemampuan daerah.
3. Pebentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan
penddikan.
4. Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu
menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut.
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh
beberapa hal :
1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya
perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan
daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga
melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar
individu warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan
jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya, sehingga akan
menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan
pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran di alokasikan untuk
menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif
berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya
permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu
pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah
yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan
kecemburuan social
7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi
pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh
sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana
pemersatu bangsa.
2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan
secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam
pendanaan pendidikan.
4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah
dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5. Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman
sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama
dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa
pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan
pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas
kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan
keberhasilannya antara lain :
1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan
pendidikan.
2. Relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3. Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar
yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial
budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara
berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba
keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bagi
kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang
memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena
yang memperhatikan seperti :
1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga
model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
4. Melemahnya kebudayaan daerah.
5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya
mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan
berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok
kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai
sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
Kelemahan di system sentralisasi adalah:
Kemungkinan penurunan kecepatan pengambilankeputusan dan kualitas keputusan. P
engambilankeputusan dengan pendekatan sentralisasi seringkali tidak mempertimbang
kan faktor-faktor yang
sekiranya berpengaruh terhadappengambilan keputusan tersebut.
1. Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi.
Anggota organisasi sulitmengembangkan potensi dirinya karena tidakada wahana dan domina
si pimpinan yang terlalutinggi.
2. Penurunan kecepatan untuk meresponperubahan lingkungan.
Organisasi sangatbergantung pada daya respon sekelompok orang saja.
3. Peningkatan kompleksitas pengelolaan.
Pengelolaan organisasi akan semakin rumitkarena banyaknya masalah pada level
uniitorganisasi yang di bawah.
4. Perspektifluas, tetapi kurang mendalam.
Pimpinan organisasi akan mengambil keputusanberdasarkan perspektif organisasi secarakesel
uruhan tapi tidak atau jarangmempertimbangkan implementasinya akanseperti apa.
Kelebihan di system sentralisasi adalah:
1. Organisasi menjadi lebih ramping dan efisien.
Seluruh aktivitas organisasi terpusat sehinggapengambilan keputusan lebih mudah.
2. Perencanaan dan pengembangan organisasi lebihterintegrasi.
Tidak perlu jenjang koordinasi yang terlalu jauh antara unit pengambilan keputusandan yang
akan melaksanakan atau terpengaruholeh pengambilan keputusan tersebut.
3. Peningkatan resource sharing (berbagiSumberdaya) dan sinergi.
Sumberdaya dapatdikelola secara lebih efisien karena dilakukansecara terpusat.
4. Pengurangan redun dan ciesaset dan fasilitas lain.
Satuan set dapat dipergunakan secarabersama-sama tanpa harus menyediakan set yang
sama untuk pekerjaan yang berbeda-beda.
5. Perbaikan koordinasi. Koordinasi menjadi lebihmudah karena adanya unity of
command ( Kesatuan Komando ).
6. Pemusatan expertise (Keahlian). Keahlian darianggota organisasi dapat dimanfaatkan
secaramaksimal karena pimpinan dapat memberwewenang

Anda mungkin juga menyukai