Anda di halaman 1dari 97

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan atas Berkat dan RahmatNya, yang telah
memberikan kekuatan, ketekunan dan kesabaran sehingga buku yang sudah lama
dipersiapkan ini akhirnya dapat diselesaikan. Buku ini dipersiapkan terutama untuk
mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikann yang sedang mempelajari
Manajemen Berbasis Sekolah. Buku ini terdiri dari tujuh bab yang pembahasannya akan
disertai dengan soal-soal. Saya menyadari, Buku yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan Buku ini.

Demikian buku yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin
belajar dan mendalami manajemen berbasis sekolah. Terimakasih.

Medan, 22 Mei 2021

Penulis
BAB I
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Pengertian Manajemen Sekolah
Menurut Stoner manajemen secara umum yang dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) manajemen
adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para
anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam konteks sekolah yaitu manajemen
sekolah menurut buku manajemen sekolah sebenarnya merupakan aplikasi ilmu manajemen
dalam bidang persekolahan. Ketika istilah manajemen diterapkan dalam bidang pemerintahan
akan menjadi manajemen pemerintahan, dalam bidang pendidikan menjadi manajemen
pendidikan, begitu seterusnya.Sedangkan menurut James Jr. manajemen sekolah adalah proses
pendayagunaan sumber-sumber manusiawi bagi penyelenggara sekolah secara efektif.
Sedangkan dalam konteks pendidikan ada juga manajemen pendidikan. Menurut Ali Imron
manajemen pendidikan adalah proses penataan kelembagaan pendidikan, dengan melibatkan
sumber potensial baik yang bersifat manusia maupun yang bersifat non manusia guna mencapai
tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.Pada hakikatnya istilah manajemen pendidikan dan
manajemen sekolah mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Keduanya susah untuk
dibedakan karena sering dipakai secara bergantian dalam pengertian yang sama. Apa yang
menjadi bidang manajemen pendidikan adalah juga merupakan bidang manajemen sekolah.
Demikian pula proses kerjanya ditempuh melalui fungsi-fungsi yang sama, yang diturunkan dari
teori administrasi dan manajemen pada umumnya.

B. Landasan Hukum Manajemen Sekolah


Landasan hukum atau kebijakan disebarluaskannya MBS adalah UU No.22/1999 tentang Pemerintah
Daerah, PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom, UU No. 25/2000 tentang Propenas, UU NO.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan
Kepmendiknas No.122/U/2001 tentang Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan, Pemuda, dan
Olahraga tahun 2000 - 2004

C. Tujuan Manajemen Sekolah


Tujuan manajemen sekolah menurut Sagala (2007) adalah mewujudkan tata kerja yang lebih
baik dalam empat hal.
-Meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf.

-Meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan di sekolah.

-Munculnya gagasan-gagasan baru dalam implementasi kurikulum, penggunaan teknologi


pembelajaran, dan pemanfaatan sumber-sumber belajar.

-Meningkatnya mutu partisipasi masyarakat dan stakeholder.

Tujuan utama penerapan manajemen sekolah pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur
kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga
manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit
yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah.Di samping
itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal
sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan manajemen sekolah adalah
untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya
manajemen sekolah bertujuan untuk:

Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia.

Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan


melalui pengambilan keputusan bersama.

Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya.

Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

D. Faktor Manajemen Berbasis Sekolah


Hasil kajian BPPN yang bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) tentang faktor-faktor yang
perlu mendapat perhatian sehubungan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Faktor-faktor
tersebut adalah kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan
masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.

a. Kewajiban Sekolah

Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki


potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelolaan sistem pendidikan
profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta
monitoring dantuntutan pertanggungjawaban yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa
sekolahselain memiliki otonomi juga mempunyai kewajiban melakanakan kewajiban pemerintah
dan memenuhi harapan masyarakat sekolah. Sehingga sekolah dituntut mampu menampilkan
pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab
terhadap pemerintah maupun kepada masyarakat, dalam rangka meningkatkan kapasitas
pelayanan terhadap peserta didik.

b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah

Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-


kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan
melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Sekolah tidak diperbolehkan untuk berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar
yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.

Agar prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah
ditujukan untuk memberikan palayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik,
pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS.
Pedoman tersebut untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi
dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanaakan dengan efektif, sekolah
dioperasikan dalam kerangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai
dengan tujuan.

c. Peranan Orang Tua dan Masyarakat

MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan
motivasi kerja yang lebih produktf dan memberdayakan oto-ritas daerah setempat, serta
mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih.

Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat, dan hal ini merupakan salah satu
aspek penting dalam manajemen berbasis sekolah. Melalui dewan sekolah (school council),
orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan
demikian, masyarakat lebih memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam
pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sekolah tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara
sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah bentuk partisipasi (pembagian
tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.

d. Peranan Profesionalisme dan Manajemen

Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru,
dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi
menngkatkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah , guru, dan tenaga administrasi harus memiliki
kedua sifat tersebut, yaitu profesional dan manajerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang
dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala
keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan
prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala
sekolah harus:

Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;

Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;

Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa
yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi
sekarang;

Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang
berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah; dan

Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, serta


mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.

Pemahaman terhadap sifat profesional dan manajerial tersebut sangat penting agar peningkatan
efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervisi dan monitoring yang direncanakan sekolah betul-
betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kerangka kebijakan pemerintah dan
tujuan sekolah.

e. Pengembangan Profesi

Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan
(sumber manusia) menerima pengembangan profesi yang diper-lukan untuk mengelola sekolah
secara efektif.

E. Konsep dan Strategi MBS


A. Landasan Manajemen Berbasis Sekolah

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika

ingin reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara dan

kebiasaan hidup warganya. Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan

kehidupan bangsa dalam konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah,

sedangkan menurut praktisnya merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut, dilandasi oleh peran secara profesional.

Artinya, pelayanan pendidikan tidak dapat dihindarkan dari batas-batas tanggung jawab

mengingat masing-masing mempunyai posisi dan keterbatasan. Keluarga dalam arti biologis

merupakan orang tua langsung (ibu dan bapak), mempunyai tugas dan wewenang untuk

melakukan pendidikan kepada anak – anaknya di rumah tangga, dari mulai hal yang bersifat

sederhana dan pribadi sampai pada hal yang komplek dan bermasyarakat. Tugas dan wewenang

ini, bersifat alamiah dan mendasar untuk membangun individu yang bertanggung jawab. Akan

tetapi sebagai orang tua, terdapat berbagai keterbatasan dalam pelayanan pendidikan yang

bersifat normatif dan terukur, baik yang bersifat keilmuan maupun keterampilan tertentu. Oleh

sebab orang tua tidak dapat melayani kebutuhan pendidikan anaknya, maka orang tua

mempercayakan kepada sekolah baik yang diselenggarakan oleh masyarakat (yayasan

pendidikan) maupun pemerintah.

Landasan munculnya MBS yang berasal dari kehidupan masyarakat (dalam modul UT)

diantaranya:

a. Pendidikan nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai–nilai kebersamaan yang

bersumber dari nilai sosial budaya yang terdapat di lingkungan keluarga dan masyarakat serta

pada pendidikan agama.

MBS merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengakomodasi

pendidikan nilai. Pendidikan kewarganegaraan dan agama sangat penting untuk

menumbuhkembangkan tanggung jawab bersama di dalam kehidupan suatu masyarakat (baik

secara lokal, nasional, regional, global). Nilai-nilai lokal tercermin dalam nilai sosial budaya

setempat yang diwujudkan dalam bentuk tata krama pergaulan, model pakaian, dan seni.
Nilainilai nasional berkaitan erat dengan penerapan kaidah-kaidah sebagai warga Negara yang
baik

yang menjunjung tinggi kebangsaan. Kedua nilai tersebut membentuk budi pekerti dan

keperibadian yang kuat, hanya dapat dikembangkan melalui manajemen yang berbasis sekolah
dengan dukungan masyarakat.

b. Kesepakatan-kesepakatan yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.

Maksudnya adalah kesepakatan atas pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata

lain segala bentuk perubahan harus melibatkan masyarakat setempat agar semuanya lancar sesuai

harapan. Tuntutan penerapan MBS semakin nyata seiring dengan perubahan karakteristik

masyarakat. Perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pertahanan, keamanan, secara

nasional, regional, maupun global, mendorong adanya perubahan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan yang dimiliki siswa. Artinya telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal

untuk terjun ke masyarakat luas dimasa mendatang dibandingkan dengan masa lalu.

2. Landasan Yuridis

Dasar Hukum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu:

a. Dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemerintah mengupayakan keunggulan

masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi.

b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(PROPENAS) Tahun 2000-2004 pada bab VII tentang bagian program pembangunan bidang

pendidikan khususnya sasaran terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah

dan masyarakat (school/ community based management)”.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan


Kewenangan

Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang

terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), ”pengelolaan satuan pendidikan anak

usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar

pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah.”

e. Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang standar akreditasi sekolah, khususnya tentang
manajemen berbasis sekolah.

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

(khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3); “Badan hukum pendidikan

bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/

madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada

jenjang pendidikan tinggi”.

B. Konsep Dasar MBS

1. Pengertian

Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management merupakan penyerasian

sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua
kelompokkepentingan yang terkait dengan sekolah yang dilakukan secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah.

2. Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan manajemen yang bernuansa otonomi,

kemandirian dan demokratis.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS) diantaranya adalah:

a. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut kekuatan

desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system keputusan harus

dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan kinerja sekolah.

b. Penelitian tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan

desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi (local stake

holders). Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan

sekolah, perlu dibangun dengan efektifitas programnya.

c. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih menekankan kepada elemen
manajemen partisipatif. Kemampuan, informasi dan imbalan yang memadai merupakan
elemenelemen yang sangat menentukan efektifitas program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dalam

meningkatkan kinerja sekolah.

3. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai

sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu

kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah

kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan

dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian

yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil

keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan

memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan

berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah,

kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan

memenuhi kebutuhan sendiri.

Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam

mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran

peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan

mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki
kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di

sinilah letak ciri khas MBS.

Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju

MBS dapat digambarkan sebagai berikut:

Pola lama Menuju Pola baru

- Subordinasi ——> - Otonomi


- Pengambilan keputusan terpusat ——> - Pengambilan keputusan partisipasi

- Ruang gerak kaku ——> - Ruang gerak luwes

- Pendekatan birokratik ——> - Pendekatan Profesional

- Sentralistik ——> - Desentralistik

- Diatur ——> - Motivasi diri

- Overregulasi ——> - Deregulasi

- Mengontrol ——> - Mempengaruhi

- Mengarahkan ——> - Memfasilitasi

- Menghindar Resiko ——> - Mengelola resiko

- Gunakan uang semuanya ——> - Gunakan seefisien mungkin

- Individu yang cerdas ——> - Informasi terbagi

- Informasi terpribadi ——> - Pemberdayaan

- Pendelegasian ——> - Organisasi datar

- Organisasi hirarkis

4.Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan

sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu

sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:

a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan

ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya. Dengan demikian sekolah

dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.

b. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan

dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat

perkembangan dan kebutuhan peserta didik.


c. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah,

orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga sekolah akan berupaya

semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah

direncanakan.

d. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan

mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik,

masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.

e. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

melalui pengambilan keputusan bersama.

f. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada masyarakat.

g. Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang ingin
dicapai.

Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian

tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah.

b. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani

mengambil resiko).

c. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.

d. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.

e. Komitmen yang tinggi pada dirinya.

f. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

a. Pekerjaan adalah miliknya

b. Bertanggung jawab
c. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya

d. Mengetahui posisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya

e. Pekerjaan merupakan bagian hidupnya.

Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah

yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:

a. Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan

secara lokal.

b. Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.

c. Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.

d. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara

optimal.

e. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek

akademik dan non akademik.

5. Faktor- faktor yang di perhatikan

Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) adalah bentuk alternative

sekolah dari program desentralisasi dalam bidang pendidikan. Faktor terpenting dalam penentu

kinerja sekolah yaitu kurikulum. Tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari

kurikulum yang dirancang berdasar MBS yaitu:

a. Penguasaan ketrampilan dasar dan proses fundamental

b. Pengembangan intelektual

c. Pendidikan karir & pendidikan vokasional

d. Pemahaman interpersonal

e. Moral & karakter etika

f. Keadaan emosional dan fisik


g. Kreativitas & ekspresi estetika

SOAL

1. Dalam menerapkan MBS, setiap sekolah wajib melakukan evaluasi diri yang tujuannya
untuk ...

a. Mengetahui sejaumana sekolah telah menerapkaan MBS dan bagaimana hasilnya

b. Mengetahui kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang dialami serta
harus diatasi

c. Meningkatkan kualitas sekolah di berbagai komponen berdasarkan potensi yang


dimuliki

d. Menentukan status sekolah diantara sekolah yang lain dan melakukan tindak lanjut

2. Upaya peningkatkan mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia masih sulit dilakukan,
salah satunya karena faktor input sekolah-sekolah masih rendah. Untuk kewujudkan
sekolah efektif masalah tersebut dapat diatasi dengan ...

a. Memberi bantuan dana secukupnya kesekolah-sekolah

b. Memberikan training/pelatihan kepada personal sekola

c. Membuat Standar Pelayanan Minimal

d. Melengkapi sarana dan prasarana sekolah

3. Menurut standar Pelayanan Minimal di tingkat sekolah menengah pertama, faktor yang
harus diperhatikan dalam hal anak didik adalah kecuali...

a. Psebagai siswa

b. Pakaian siswa

c. Biaya sekolah siswa

d. Unit kegiatan siswa

4. Hambatan yang sangat dirasakan sekolah dalam melaksanakan dan menerapkan MBS
adalah...

a. Belum adanya kesiapan personal sekolah dalam melaksanakan MBS


b. Tingginya dana yang dibutuhkan sekolah untuk pengelolaan MBS

c. Belum ada kesiapan pemerintah pusat untuk melaksanakan MBS

d. MBS dianggap tidak sesuai dengan sistem persekolahan di Indonesia

5. Pelatihan yang harus diikuti kepala sekolah untuk meningkatkan kemampuannya dalam
mengambil keputusan adalah....

a. Training kemampuan profesional tenaga pendidikan

b. Training kelompok kerja pengembangan dan pendampingan MBS

c. Workshop manajemen MBS

d. Workshop tentang standar pendidikan Nasional

6. Menurut para birokrat salah satu alasan mengapa Manajemen Berbasis Sekolah perlu
diterapkan di Indonesia adalah....

a. Untuk meningkatkan fleksibilitas dalam hal pengelolaan

b. Perlunya reformasi dalam dunia pendidikan di Indonesia

c. Adanya pengelolaan melalui satu pintu yaitu sekolah

d. Efesiensi manajemen pendidikan dan upaya peningkatan mutu

7. Pelaksanaan Ulangan Umum dan Ujian Nasional di suatu sekolah baik Negeri maupun
swasta merupakan tanggung jawab dari .....

a. Kepala sekolah

b. Guru

c. Yayasan

d. Pemerintah

8. Pada pemerintahan sentralisasi umumnya pengambilan keputusan terkonsentrasi pada


tingkat ....

a. Bawahan dalam suatu organisasi

b. Atasan dalam suatu organisasi


c. Diantara individu yang ada dalam organisasi

d. Unit yang ada dalam suatu organisasi

9. Prinsip penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menurut pasal 4 (ayat1) UU


Sisdiknas 2003 secara lengkap berbunyi ...

a. Berkeadilan,menjaga hak azasi manusia, nilai agama, menjaga kemajemukan bangsa


dan tidak bersikap

b. Berkeadilan, menjaga hak azasi manusia, nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa

c. Demokrasi, berkeadilan, menjaga kemajemukan bangsa, tidak diskriminatif dan


memberi kesempatan yang sama bagi warga negara

d. Demokrasi berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung hak azasi manusia,
nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa

10. Peningkatan ilmu dan teknologi dapat dilakukan melalui pengembangan berbagai
program pendidikan, hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan sebagai upaya untuk... 

a. Memasyarakatkan kemajuan bidang teknologi

b. Meningkatkan solideritas bangsa

c. Mempertinggi peradaban manusia

d. Menggali budaya bangsa

11. Salah satu Model Pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan
aspirasi masyarakat adalah model...

a. Kurikulum Berbasis Kompetensi

b. Multiple Inteligence

c. Manajemen Berbasis Sekolah

d. Ki Hajar Dewantoro

12. Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 2007 tentang Proram Sertifikasi guru merupakan
salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat ....

a. Sementara

b. Sentralistik
c. Disentralistik

d. Dekonsentrasi

13. Bila suatu sekolah mempunyai visi "menjadikan siswa unggul di bidang masing-masing"
maka untuk mencapai masa kegiatan utama yang dilakukan

a. Selalu menerapkan pendidikan berbasis ke berbagai kecerdasan jasmani

b. Mengirim siswa yang berbakat ke berbagai kompetisi di tingkat sekolah

c. Mengadakan kegiatan unggul untuk mengetahui bakat sebagai..

d. Mengadakan berbagai kegiatan untuk mengembangkan keunggulan siswa sesuai


dengan hobinya

14. Hal-hal yang harus diperhatikan sekolah ketika membuat rencana tahunan adalah
kecual...

a. Mempertimbangkan data dari hasil evaluasi diri

b. Menyusun draf rencana tahunan sekolah bersama semua staf

c. Mempertimbangkan pengalaman sekolah lain yang berhasil

d. Mempertimbangkan kontek lingkungan dan aspirasi masyarakat

15. Program yang dianjurkan pemerintah agar setiap sekolah dapat menjadi sekolah efektif
adalah dengan menerapkan ...

a. Program unggulan

b. Manajemen Berbasis Sekolah

c. Life Skill

d. Kurikulum berbasis kompetensi

16. Kepala sekolah yang senantiasa memberi arahan, mengendalikan, dan memotivasi
stafnya agar menjalankan tugas sehari-hari dengan baik, menandakan bahwa kepala
sekolah tersebut telah menjalankan fungsinya sebagai ...

a. Pemimpin

b. Manager
c. Organisator

d. Perencana

17. Penerapan KBK menuntut seorang guru untuk dapat merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran sesuai kondisi dan kebutuhan peserta didik serta melakukan evaluasi
pembelajaran yang objektif. Tugas ini merupakan salah satu peran guru kecuali..

a. Guru kelas

b. Staf sekolah

c. Manager

d. Profesional

18. Perintisan MBS salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya krisis ekonomi pada tahun
1997-1998. Pada saat itu Pemerintah menyelenggarakan suatu proyek untuk
mempertahankan kualitas pendidikan dasar. Proyek tersebut dinamakan...

a. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun diseluruh indonesia

b. Program kecakapan hidup yang dibutuhkan masyarakat

c. Jaringan Pengaman Sosial beasiswa

d. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

19. Kebijakan pembangunan pendidikan yg berhubungan dng upaya peningkatan pengelolaan


pendidikan dapat dicapai dengan ...

a. Terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten

b. Meningkatkan angka partisipasi siswa dlm pendidikan

c. Diterapkannya manajemen berbasis sekolah/masyarakat

d. Mengurangi jumlah buta aksara

20. Tujuan dibuatnya standar pelayanan minimal persekolahan adalah...

a. Sebagai standar pelayanan minimal dalam menyelenggarakn Manajemen Berbasis


Sekolah

b. Patokan penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar dan menengah agar dapat


mencapai kompetensi yg sama
c. Standar kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh lulusan pendidikan tingkat
dasar dan menengah

d. Patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh kebupaten dan kota dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah

II.ESSAY

1. Landasan hukum pendirian MBS sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sistem
pendidikan di Indonesia adalah
2. Sebutkan faktor mbs.
3. Manajemen Berbasis Sekolah adalah model pengelolaan sekolah yang memiliki pokok-
pokok pikiran utama, salah satunya adalah (Keputusan diambil secara kolektif antara
kepala sekolah dan guru.
4. Sebutkan Tujuan manajemen sekolah menurut salah satu ahli.
5. Jelaskan Esensi Manajemen Berbasis Sekolah
6. Sebutkan beberapa hal beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep
Manajemen BerbasisSekolah (MBS)
7. Jelaskan peranan orangtua dan masyarakat dalam MBS
8. MBS adalah salah satu bentuk otonomi pendidikan pada satuan pendidikan di mana
kepala sekolah dan guru dibantu komite sekolah dalam mengelola pendidikan. Definisi
ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh..
9. Sebutkan Tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari
kurikulum yang dirancang berdasar MBS.
10. Manajemen Berbasis Sekolah perlu diterapkan di sekolah karena?

KUNCI JAWABAN

I.PILIHAN BERGANDA

1. b. Mengetahui kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang dialami serta
harus diatasi
2. c. Membuat Standar Pelayanan Minimal
3. c. Biaya sekolah siswa
4. a. Belum adanya kesiapan personal sekolah dalam melaksanakan MBS
5. c. Workshop manajemen MBS
6. d. Efesiensi manajemen pendidikan dan upaya peningkatan mutu
7. a. Kepala sekolah
8. b. Atasan dalam suatu organisasi
9. d. Demokrasi berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung hak azasi manusia,
nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa
10. c. Mempertinggi peradaban manusia
11. b. Multiple Inteligence
12. b. Sentralistik
13. b. Mengirim siswa yang berbakat ke berbagai kompetisi di tingkat sekolah
14. d. Mempertimbangkan kontek lingkungan dan aspirasi masyarakat
15. c. Life Skill
16. b. Manager
17. a. Guru kelas
18. a. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun diseluruh indonesia
19. c. Diterapkannya manajemen berbasis sekolah/masyarakat
20. d. Patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh kebupaten dan kota dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah

II. ESSAI

1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


2. Kewajiban Sekolah, Kebijakan dan Prioritas Pemerintah,Peranan Orang Tua dan
Masyarakat,Peranan Profesionalisme dan Manajemen dan Pengembangan Profesi.
3. Keputusan diambil secara kolektif antara kepala sekolah dan guru.
4. Menurut Sagala (2007) adalah mewujudkan tata kerja yang lebih baik dalam empat hal.
-Meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf.
-Meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan di sekolah.
-Munculnya gagasan-gagasan baru dalam implementasi kurikulum, penggunaan teknologi
pembelajaran, dan pemanfaatan sumber-sumber belajar.

-Meningkatnya mutu partisipasi masyarakat dan stakeholder.

5. Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai
sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai
dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu
kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan
memenuhi kebutuhan sendiri.
6. a. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut
kekuatan desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system
keputusan harus dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan kinerja
sekolah.
b. Penelitian tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan
desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi (local stake
holders). Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan
pemberdayaan sekolah, perlu dibangun dengan efektifitas programnya.
c. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih menekankan kepada elemen
manajemen partisipatif. Kemampuan, informasi dan imbalan yang memadai merupakan
elemenelemen yang sangat menentukan efektifitas program Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) dalam meningkatkan kinerja sekolah.
7. MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktf dan memberdayakan oto-ritas daerah
setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang
tindih.Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat, dan hal ini
merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen berbasis sekolah. Melalui dewan
sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan
berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat lebih memahami, serta mengawasi
dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar.
Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah tersebut, mungkin dapat
menimbulkan rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam
hal ini pemerintah bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan
tegas.
8. Mellen,Ogawa,dan Kerrens
9. a. Penguasaan ketrampilan dasar dan proses fundamental
b. Pengembangan intelektual
c. Pendidikan karir & pendidikan vokasional
d. Pemahaman interpersonal
e. Moral & karakter etika
f. Keadaan emosional dan fisik
10. Memberi arahan pada sekolah untuk mengembangkan keunggulannya
BAB II
PERMASALAHAN DAN KARAKTERISTIK IMPLEMENTASI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh

sumber daya manusia yang professional untuk mengoprasikan sekolah, dan yang cukup agar

sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai
untuk

mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan orang tua siswa atau masyarakat yang
tinggi.

Menurut Nurkolis, pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin

keberhasilan Implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Namun secara umum dapat

disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi sebagai berikut :

a. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu: otonomi dalam kekuasaan dan

kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkeseimbangan, akses

informasi ke segala bagian, dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berprestasi

atau berhasil.

b. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan

keputusan terhadap kurikulum dan interuksional serta non-instruksional

c. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan

mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus

menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum.

d. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang

aktif.

e. Semua pihak harus menyadari peran serta tanggung jawabnya secara sunggu-sungguh.
f. Adanya quidelines dari Departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses

pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien.

g. Sekolah harus memiliki transparansi dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya.

Implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing,

pembangunan kelembagaan, mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya,

implementasi pada proses pembelajaran evaluasi atas pelaksanaan di lapangan, dan dilakukabn

perbaikan-perbaikan.

Sehubungan dengan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka

desentralisasi pendidikan di Indonesia, maka keberhasilan implementasi Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS) sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu efektivitas, efisiensi dan

produktivitas.

Efektivitas berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapai tujuan dengan rencana

yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.

Efektivitas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana efektivitas pendidikan pada

umumnya, berarti bagaimana Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berhasil melaksanakan semua

tugas pokok sekolah, manjalin partisipasi masyarakat, mendapat dan memanfaatkan sumber
dana,

sumber daya, dan sumber belajar (sarana dan prasarana) untuk mewujudkan tujuan sekolah.

Efisiensi yakni perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Artinya suatu

kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber

daya yang minimal.

Sedangkan produktivitas dalam dunia pendidikan yakni keseluruhan proses penataan dan

penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Jadi,

implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di samping dilihat dari segi efektivitas, juga

perlu dianalisa dari segi efisiensi untuk melihat produktivitas.


B. Pentahapan implementasi menejemen berbasis sekolah (MBS)

Sebagai suatu paradigma baru dalam dunia pendidikan, selain perlu memperhatikan kondisi

sekolah, implementasi MBS juga memerlukan pentahapan yang tepat atau harus dilakukan secara

bertahap. Penerapan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) secara menyeluruh sebagai realisasi

desentralisasi pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek


yang

menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, serta partisipasi

masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pertahapan impelementasi menejemen berbasis sekolah (MBS)

ini,secara garis besar, ada tiga tahap yang ada dalam MBS yaitu1

: sosialisasi, piloting, dan

desiminasi.

a). Tahap sosialisasi merupakan tapahan penting mengingat masyarakat Indonesia pada

umumnya tidak mudah menerima perubahan

b). Tahap poling merupakan tahap uji-coba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung

risiko. Efektifitas model uji-coba ini memerlukan persyaratan dasar, yaitu akseptabilitas,

akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya penerimaan dari

para tenaga kependidikan, khususnya guru dan kepala sekolah. Akuntabilitas artinya program

MBS harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara konsep, operasional, pendanaannya.

Reflikabilitas artinya model MBS yang diuji-cobakan dapat direfleksikan di sekolah lain

sehingga perlakuan yang diberikan kepada sekolah uji-coba dapat dilaksanakan di sekolah lain.

Sustainbilitas artinya program tersebut dapat dijaga kesinangbungannya setelah ujicoba

dilaksanakan.

c). Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model menejemen MBS yang

telah di ujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektifitas


dan efisien.

C. Perangkat implementasi Menejemen Berbasis Sekolah

Implementasi Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan seperangkat peraturan dan

pedoman-pedoman (guidelines) umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam


perencanaan,monitoring dan evaluasi serta laporan pelaksanaan. Prangkat implementasi ini
diperkenalkan sejak

awal, melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sejak pelaksanaan jangka pendek.

Rencana sekolah merupakan salah satu perangkat terpenting dalam pengelolaan MBS.

Rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu yang disusun oleh

sekolah sendiri bersama dewan sekolah. Adapun yang terkandung dalam rencana tersebut adalah

visi dan misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritas-prioritas yang akan dicapai, serta strategi-

strategi untuk mencapainya.

D. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia

Permasalahannya Model Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia disebut

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Manajemen Peningkatan Mutu

Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar

kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga

sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan

nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis, 2003: 107).

Pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia cenderung belum

sesuai apa yang diharapkan karena masih sebagian wilayah di Indonesia yang dapat

mengimplementasikannya. Pemahaman tentang Manajemen Berbasis Sekolah masih sangat sulit

dipahami oleh para pemangku kepentingan diluar sekolah, hal tersebut menjadi salah satu faktor

penghambat dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah. Dengan demikian,

sumber daya manusianyalah yang harus segera dibentuk agar mempunyai kemampuan yang
mumpuni. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahdayeni (2016: 27) Implementasi Manajemen

Berbasis Sekolah akan berjalan efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia

yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu
menggaji

staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang mamadai untuk mendukung proses

pembelajaran, serta dukungan orang tua dan masyarakat yang tinggi.

Hal ini merupakan persyaratan umum untuk mengimplementasikan Manajemen

Berbasis Sekolah.Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Mulyasa (2005: 57) , yaitu untuk

mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif dan efisien, kepala sekolah
perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, dan pandangan yang luas tentang

sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan

meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan

manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Lebih lanjut, kepala sekolah

dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar-

mengajar, dengan melakukan supervise kelas, membina, dan memberikan saran-saran positif

kepada guru.

Dalam rangka mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif dan

efisien, guru harus berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru perlu siap dengan
segala

kewajiban, baik manajemen maupun persiapan isi materi pengajaran. Guru juga harus

mengorganisasikan kelasnya dengan baik, jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik,

kebersihan, keindahan dan ketertiban kelas, pengaturan tempat duduk peserta didik, penempatan

alat-alat, dan lain-lain harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Implementasi Manajemen


Berbasis

Sekolah juga dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila kepala sekolah memahami
perannya
sebagai manajer sekolah. Sebagai contoh dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis

Sekolah yang menyorot tentang tugas kepala sekolah sebagai manajer dilihat dalam

TribunNews.com (2017) yang melakukan wawancara oleh kepala sekolah pada sebuah sekolah

dasar di Batu, Jawa Timur dengan berjudul “Jamin Keberhasilan Belajar Siswa dengan

Transparansi dan Partisipasi Masyarakat” dengan kutipan “kemitraan dengan USAID

PRIORITAS dimanfaatkan kepala sekolah untuk meningkatkan kemampuan guru dalam

mengajar. Beliau melinatkan guru dan komite sekolah dalam merancang perubahan di sekolah.

Sebagai kepala sekolah juga terbuka dalam pengelolaan anggaran sekolah. Masyarakat dilibatkan

dalam merangcang program, terlibat aktif dalam implementasi maupun evaluasi untuk
mendukung

peningkatan kualitas pembelajaran”. Dengan demikian tugas pokok dari kepala sekolah harus

dapat dipahami karena kepala sekolah sebagai manajer mendapatkan wewenang dan kekuasaan

untuk mengatur kepentingan sekolah.

Dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah juga tidak lepas dari permasalahan-

permasalahan yang ada, di mana permasalahan tersebut sangat variatif yaitu dari permasalahan

yang mudah sampai dengan permasalahan yang sangat vital. Sebagaimana pendapat dari
Nurkolis

(2005: 142), yaitu pihak terkait harus bekerja lebih banyak daripada sebelumnya, kurang efisien

(dalam jangka pendek karena salah satu tujuan Manajemen Berbasis Sekolah adalah terjadinya
efisiensi pendidikan), kinerja sekolah yang tidak merata, meningkatnya kebutuhan
pengembangan

staf, terjadinya kebingungan karena peran dan tanggung jawab baru, kesulitan dalam

melakukankoordinasi dan masalah akuntabilitas. Masalah lain yang muncul adalah otoritas

pengambilan keputusan. Sekolah menginginkan dimilikinya otoritas dalam pengambilan

keputusan, namun pemerintah pusat atau daerah seringkali teteap menginginkan otoritas
keputusan
berada di pihaknya. Penghambat lain yang sering muncul adalah kurangnya pengetahuan
berbagai

pihak tentang bagaimana Manajemen Berbasis Sekolah bekerja dengan baik. Juga masalah

kekurangan keterampilan untuk mengambil keputusan, ketidakmampuan dalam berkomunikasi,

kurangnya kepercayaan antarpihak, ketidakjelasan peraturan tentang keterlibatan masing-masing

pihak, dan keengganan para administrator dan guru untuk memberikan kepercayaan kepada
pihak

lain dalam mengambil keputusan.

Permasalahan dalam Manajemen Berbasis Sekolah diperkuat juga dalam sebuah artikel

Tanoto Foundation (2018), yaitu mayoritas sekolah mengalami kesulitan dalam melaksanakan

Manajemen Berbasis Sekolah ini. Maka dari itu, melalui Pelita Pendidikan, Tanoto Foundation

memberikan pelatihan Manajemen Berbasis Sekolah untuk membantu, mendorong serta

mendampingi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Pelatihan tersebut mempelajari tentang

tugas pokok dan fungsi masing-masing komponen warga sekolah, peran serta masyarakat,

kreativitas menghimpun berbagai sumber daya dan dana, serta transparasi dan akuntabilitas
publik.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa permasalahan dalam implementasi Manajemen Berbasis

Sekolah terlihat pada tugas pokok, peran serta masyarakat, dan dana atau anggaran yang dimiliki

oleh pihak sekolah.

Permasalahan dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah juga dapat dilihat dari

sebuah kutipan wawancara yang dilakukan oleh TribunPekanbaru.com (2018) yang


mewawancari

salah satu kepala sekolah di Pekanbaru dalam acara Lokakarya Peran Kepala Sekolah dalam

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Hotel Alpha Pekanbaru pada 16-19 April 2018 dengan

pernyataan sebagai berikut “Dari pelatihan ini mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang

manajer yang bisa mengelola, mengembangkan, dan mengevaluasi performa sumber daya yang

dimiliki sekolah. Melalui lokakarya ini saya merasa sangat terbantu dalam melaksanakan fungsi
saya sebagai kepala Sekolah”. Dengan meninjau dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa
tugas

pokok dan fungsi masing-masing warga sekolah masih menjadi permasalahan dalam

pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah. Dengan meninjau beberapa pendapat


mengenai implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dan permasalahannya di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dapat berjalan dengan efektif dan

efesien apabila hubungan antarmanusia dapat terjalin dengan baik yaitu kepala sekolah, guru,

peserta didik, dan pemangku kepentingan dari pihak luar. Dan kepala sekolah harus dapat

memahami jabatannya sebagai manajer dari sekolah.

Bab 2

1.  Mana pernyataan berikut yang tepat dalam menggambarkan strategi implementasi MBS di
sekolah?
A. Implementasi MBS di semua sekolah akan berhasil apabila menggunakan strategi yang sama.
B. Hanya ada satu strategi agar implementasi MBS berhasil.

C. Strategi implementasi MBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya. 

D. Strategi MBS akan berhasil kalau menggunakan panduan yang sudah ditetapkan.

2. Faktor-faktor  pendukung keberhasilan implementasi MBS ialah sebagai berikut, kecuali:

A.  Finansial    C.  Sumber daya manusia

B.  Kepemimpinan    D.  Kemajuan teknologi

3. Sekolah hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat. Sikap seperti itu  merupakan salah
satu contoh faktor ... sekolah yang tidak mendukung keberhasilan implementasi MBS. 

A.  budaya    C.  kepemimpinan
B.  sumber daya manusia   D.  finansial

4. Program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh


masyarakat, baik dari aspek pengembangan kurikulum, sarana dan prasarana sekolah yang
disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Pernyataan tersebut menggambarkan
suatu ukuran keberhasil MBS dari aspek:

A. mutu     C. pemerataan

B. peningkatan akses   D. relevansi   

5. Indikator kuantitatif keberhasilan implementasi MBS di sekolah adalah:

A. nilai ujian sekolah meningkat  C.  kepemimpinan yang efektif

B.  partisipasi msyarakat   D.  komunikasi yang efektif 

6. Indikator kualitatif keberhasilan implementasi MBS di sekolah adalah:

A.  nilai ujian sekolah meningkat  C.  jumlah siswa mengulang menurun

B.  partisipasi msyarakat meningkat D.  jumlah siswa drop out menurun 

7. Berikut ini merupakan indikator keberhasilan implementasi MBS, kecuali:

A. Kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik

B. Jumlah tingkat tinggal kelas menurun 

C. Produktivitas sekolah semain baik

D. Sekolah lebih mandiri sehingga tidak melibatkan orang tua siswa  


8. Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat merupakan ciri-ciri
sekolah yang melaksanakan MBS dalam kategori:

A. proses pembelajaran   C. administrasi

B. organisasi    D. sumber daya manusia

9. Berikut ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS, kecuali:

A. Menggerakkan partisipasi masyarakat

B. Menyusun perencanaan sekolah dan kebijakan sekolah

C. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan
masyarakat

D. Menyerahkan pengambilan keputusan pada kepala sekolah

10. Berikut ini merupakan ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS dari aspek
pembelajaran, kecuali:

A.Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa

B. Berperan serta dalam memotivasi siswa

C. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan
masyarakat

D. Berkomunikasi secara aktif dengan stakeholder pendidikan

11.Input dan proses pendidikan merupakan dua aspek yang saling berkaitan dan memilih output
pendidikan. Salah satu input pendidikan yang mensugesti proses pendidikan adalah....
a. Tenaga pengajar

b. Biaya pendidikan

c. Kurikulum

d. Teknologi

12.Bila mutu suatu forum pendidikan ditentukan berdasarkan keinginan/kebutuhan dan syarat-
syarat yang dikehendaki oleh pelanggan, artinya sekolah tersebut menganut konsep mutu ...
a. Absolut

b. Relatif

c. Stakeholder

d. Konsumen Absolut

13.Manajemen Berbasis Sekolah yaitu model pengelolaan sekolah yang mempunyai pokok-
pokok pikiran utama, salah satunya yaitu ...

a. Pengambilan keputusan dalam hal pengelolaan sekolah yaitu kepala sekolah

b. Keputusan diambil secara kolektif antara kepala sekolah dan guru

c. Sumber dana sanggup diusulkan dan dikelola oleh kepala sekolah

d. Sumber dana diusulkan dan dikelola oleh sekolah sesuai perencanaan masing-masing sekolah

14.Peningkatan mutu pendidikan disekolah perlu dukungan manajerial dari….


A. Pemerintah
B. Kepala sekolah
C. Guru
D. Masyarakat
15.Penataan penampakan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi
lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan, kecuali….
A. Kreatifitas
B. Disiplin
C. Semangat belajar
D. Inovasi
16.Kepala sekolah dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai menejer sekolah dalam
meningkatkan proses belajar mengajar dengan melakukan…
A. Kegiatan di luar sekolah
B. Supervisi kelas
C. Ikut serta dalam pembelajaran
17.Dalam MBS terdapat prinsip yang harus ada, kecuali…
A. Pertanggung jawaban
B. Keterbukaan
C. Disiplin
D. Kebersamaan
18Karakteristik MBS didasarkan atas…
A. Input
B. Kreatifitas
C. Proses
D. Output
19Kepala sekolah juga harus melakukan..
A. Sumbang saran
B. Supervisi kelas
C. Andil dalam kelas
20.MBS sekarang berpusat pada sumber daya …
A. Pemerintah pusat
B. Disekolah itu sendiri
C. Masyarakat
D. Peserta didik
Essay.

1. Mengapa dalam mengimplementasikan mbs secara efektif dan efisen, guru sangat
berpengaruh?
2. Kepala sekolah melakukan fungsinya sebagai menejer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar mengajar, kepala sekolah juga harus melakukan?
3. Jelaskan pengertian MBS menurut Mulyasa!
4. Jelaskan karakteristik MBS menurut Brown!
5. Sebutkan prinsip MBS!
6. Sebutkan ciri-ciri sekolah efektif?
7. Input pendidikan terbagi menjadi empat, sebutkan?
8. Peningkatan mutu sekolah perlu dukungan dari kepala sekolah, mengapa?
9. Jelaskan pengertian output pendidikan!
10. Jelaskan pengertian MBS!

Kunci Jawaban

1. C 11. A
2. D 12. B
3. A 13. B

4. D 14. B
5. A 15. D

6. B 16. B

7. D 17. C

8. C 18. B

9. D 19. A

10. D 20. B

Essay

1. Karena dalam mengimplementasikan MBS secara efektif dan efisen, guru juga harus berkreasi
dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru adalah teladan dan panutan langsung para peserta
didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu siap dengan segala kewajiban, baik manajemen
maupun persiapan isi materi pengajaran.
2. Kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran, sumbang saran, dan studi banding
antarsekolah untuk menyerap kiar-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain.
3. Menurut Mulyasa, MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah
untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi pendidikan
agar dapat mengakomodasi kenginginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
4. Munurut Brown karakteristik utama dan efektif dalam penerapan manajemen berbasis sekolah
mencangkup otonomi, fleksibilitas, responsibilitas, perencanaan oleh kepala sekolah, dan warga
sekolah, deregulasi sekolah, partisipasi lingkungan sekolah, kaloborasi dan kerja sama atau
kolegial antara staf sekolah dan rasa peduli dari kepala sekolah dan guru.
5. -Keterbukaan
-Kebersamaan
-Berkelanjutan

-Menyeluruh

-Pertanggung jawaban

-Demokratis

6. Sekolah yang efektif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


-Proses belajar mengajar yang efktivitas tinggi.

-Kepemimpinan sekolah yang kuat.

-Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.

-Pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan yang efektif.

-Memiliki budaya mutu.

7. Adapun input terbagi menjadi empat, yaitu: Pertama, input sumber daya manusia (SDM),
meliputi kepala sekolah, guru, pengawas, staf tata usaha dan siswa. Kedua, input sumber daya
lainnya, meliputi peralatan, perlengkapan, uang dan bahan. Ketiga, input perangkat manajemen,
meliputi struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, kurikulum, rencana
dan program. Keempat, input harapan, meliputi visi, misi, strategi, tujuan dan sasaran sekolah.
8. Peningkatanmutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial para kepala
sekolah. Sekolah perlu berkembang maju dari tahun ke tahun. Kerena itu, hubungan baik antar
guru perlu diciptakan akan terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan.
Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah
menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan kreatifitas., disiplin, dan semangat
belajar peserta didik.
9. Output pendidikan adalah kinerja (prestasi) sekolah. kinerja sekolah dihasilkan dari proses
pendidikan. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi sekolah tinggi dalam hal, prestasi
akademik siswa dan non akademik.
10. MBS adalah suatu manajemen yang menggunakan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah
adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran.
Berdasarkan makna leksikal tersebut MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya
yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
BAB III
PRINSIP OTONOMI DAN DESENTRALISASI SEKOLAH
1. Pengertian Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan

prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik

Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu

pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian

yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.

Desentralisasi di bidang pemerintahan adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah

Pusat kepada satuan organisasi pemerintahan di wilayah untuk meyelenggarakan

segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami wilayah

tersebut. Menurut Amrah Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan

wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam

daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Desentralisasi mempunyai nilai apabila dapat membantu organisasi mencapai tujuan

dengan efisien. Faktor – faktor yang mempengaruhi derajat desentralisasi adalah

sebagai berikut :

a. Filsafat manajemen

b. Ukuran dan tingkat pertumbuhan ekonomi

c. Strategi dan lingkungan organisasi

d. Penyebaran geografis organisasi

e. Pengawasan yang efektif

f. Kualitas manajer
g. Keaneka – ragaman produk dan jasa

h. Karkteristik – karakteristik organisasi lainnya

Pada Daerah Otonom Baru

Desentralisasi dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan

improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk juga dalam bidang

pendidikan. Desentralisasi pendidikan secara resmi dimulai dengan diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang

menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah

satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia

termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik

secara regional maupun secara internasional (Hadiyanto, 2004).

Menurut Umiarso dan Gojali Konsep penyelenggaraan pendidikan yang bersifat

desentralisasi dikenal dengan manajemen berbasis sekolah yang merupakan

perubahan paradigma pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada pemerintah

pusat beralih ke pengelolaan pendidikan pada pola manajemen dimana sekolah

tersebut yang mengelolanya.

Urusan-urusan Pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka

pelaksanaan azas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang, kepada Daerah,

baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelak-sanaan, maupun

yang menyangkut segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya

adalah perangkat Daerah itu sendiri, terutama Dinas-dinas Daerah (Sujamto, 1991).

Komite Reformasi Pendidikan, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Nasional


(2001) mengemukakan bahwa sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di

bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri.

Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok

dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:

a. Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan

profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;

b. Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk

meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan

memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;

c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti

diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;

d. Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang

sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan

pendidikan

e. Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang

dilaksanakan oleh lembaga profesional.

f. Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi

dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan

g. Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk

meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.

Menurut Manor, kebijakan Desentralisasi berasal dari kebutuhan untuk memperkuat

pemerintah daerah dalam rangka menjembatani jurang pemisah antara negara dan

masyarakat lokal. Negara yang mempunyai populasi yang besar dan wilayah yang luas

cenderung lebih terdesentralisasi karna sangat sulit dan mahal untuk memerintah
secara efektif ketika populasi dan wilayah begitu luas. Negara mempunyai wilayah luas

biasanya mempunyai variasi yang besar dalam hal iklim, geografi, dan basis ekonomi,

sehingga penyediaan pelayanan pemerintah yang sangat seragam akan berakibat

inefisiensi (Rudy, 2012).

Bentuk-bentuk Desentralisasi menurut Rudy (2012) tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut :

1. Devolution (devolusi) : Merupakan bentuk umum dari desentralisasi dimana daerah

otonom merupakan suatu bentukan hukum yang berdiri sendiri. Pemerintah pusat

dalam hal ini menyerahkan sebian fungsinya atau membentuk unit pemerintah yang

tidak berada dibawah kendali pemerintah pusat secara langsung.

2. Delegation (delegasi) : Merujuk pada penyerahan pengambilan kebijakan dan

kewenangan administratif untuk tindakan tertentu kepada institusi atau organisasi

yang semi-independen, misalnya badan usaha milik negara atau perusahaan

pembangunan regional.

3. Deconcentration (dekonsentrasi): Mencakup transfer kewenangan administratif

yang spesifik dalam hal pengambilan kebijakan,keuangan,dan fungsi manajemen

dalam lingkup yuridiksi unit pemerintahan pusat.

4. Political or Democratic decentralization (desentralisai politik) : Mencakup seluruh

seluruh transfer kewenangan administratif, fiskal dan politik. Bentuk ini adalah

bentuk desentralisasi yang paling dibutuhkan untuk keberhasilan suatu kebijakan

desentralisasi suatu negara.

Pada Daerah Otonom Baru

Tujuan utama desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat

dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan

masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk
merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.

Dalam hal ini berkaitan dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah

Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi

kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Desentralisasi pendidikan perlu dilakukan karena berbagai studi tentang desentralisasi

menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim,

mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah

tidak dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang

selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh

karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan.

Dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi di bidang pendidikan, terdapat banyak

persoalan muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan

desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang pada dasarnya terkonsentrasi pada

tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada

tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah.

Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk

meningkatkan kinerja para personel, menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak

terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan

pendidikan di sekolah.

2. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan

kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak

agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran

hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada yang belum dewasa.

Pengertian pendidikan dalam UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 adalah usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Tujuan utama desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat

dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan

masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk

merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.

Dalam hal ini berkaitan dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah

Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi

kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Desentralisasi pendidikan perlu dilakukan karena berbagai studi tentang desentralisasi

menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim,

mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah

tidak dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang

selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh

karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan.

Dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi di bidang pendidikan, terdapat banyak

persoalan muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan

desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang pada dasarnya terkonsentrasi pada

tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada

tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah.
Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk

meningkatkan kinerja para personel, menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak

terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan

pendidikan di sekolah.

2. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan

kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak

agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari

orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran

hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada yang belum dewasa.

Pengertian pendidikan dalam UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 adalah usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Beberapa pengertian tentang pendidikan menurut Noor Syam (1987) antara lain:

a) Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

kepribadiannya dalam membina potensi-otensi pribadinya yaitu rohani

(pikir,rasa,budi nurani), dan jasmani (panca indera dan keterampilan-keterampilan).

b) Pendidikan juga berati lembaga-lembaga yang bertanggung jawang menciptkan

cita-cita(tujuan) pendidikan,isi,sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga

ini meliputi: keluarga,sekolah dan masyarakat (negara).

c) Pendidikan pula merupakan hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan

manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya.

Pendidikan dalam hal ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan
sebagai satu kesatuan.

Usaha dan tujuan pendidikan dilandasi oleh pandangan hidup orang tua, lembagalembaga
penyelenggara pendidikan, masyarakat dan bangsanya. Tujuan pendidikan

diabadikan untuk kebahagiaan individu,keselamatan masyarakat dan kepentingan

negara (Noor Syam, 1987).

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal (3),

tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab.

3. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Bidang Pendidikan

Kewenangan pemerintah pusat dalam bidang pendidikan telah di

terangkan dengan jelas dalam PP Nomor.25 tahun 2000 tentang Kewenangan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai daerah otonom. Kewenangan

tersebut harus di patuhi dan taati oleh setiap daerah, guna menghasilkan mutu sekolah

yang baik.

Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia

pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai

Pada Daerah Otonom Baru daerah otonomi, khususnya pada Pasal 2 ayat(11), bidang pendidikan
tercantum 10

butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat

tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :

a. Menetapkan standar kompetensi siswa

b. Menetapkan standar materi pelajaran pokok

c. Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik


d. Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan

e. Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga

belajar dan pembaca

f. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi

pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah

g. Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta

mengatur sekolah internasional.

Pemerintah pusat juga memiliki wewenang untuk menentukan pedoman anggaran

biaya pendidikan. Pedoman ini dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah dalam

menentukan anggaran pendidikan yang akan dipakai dalam satu tahun. Adanya

pengawasan dari pemerintah dapat mencegah pungutan liar atau penyalahgunaan

yang lain dalam hal anggaran sekolah. Kewenangan pemerintah pusat dalam bidang

pendidikan lainnya yaitu penetapan kalender pendidikan, dimana pemerintah pusat

harus telah penetapkan hari aktif untuk kegiatan belajar setiap tahunnya, selain itu

pemerintah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jam belajar efektif dimana

setiap tingkat pendidikan memiliki jam efektif untuk belajar setiap minggunya berbeda,

semakin tinggi tingkat pendidikan ( SD – SMP – SMA) maka semakin bertambah jam

belajar efektifnya.

Kewenangan – kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pada dasarnya adalah

pedoman paling dasar, dimana setiap sekolah atau instansi pendidikan lainnya dapat

mengembangkan dasar penetapan tersebut. Pemerintah pusat lebih berperan dalam

hal pengawasan pelaksanaan pendidikan agar mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan

penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar tidak menyimpang dari pedoman

pendidikan. Adanya standar – standar yang ditetapkan oleh pemerintah ditujukan agar

pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan dan persamaan disetiap daerahnya.


Meskipun dalam kenyataannya tetap terdapat perbedaan, namun hal itu tertutupi

dengan adanya standar nasional yang diwujudkan oleh adanya ujian nasional di

berbagai tingkat pendidikan.

55 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

daerah otonomi, khususnya pada Pasal 2 ayat(11), bidang pendidikan tercantum 10

butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat

tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :

a. Menetapkan standar kompetensi siswa

b. Menetapkan standar materi pelajaran pokok

c. Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik

d. Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan

e. Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga

belajar dan pembaca

f. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi

pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah

g. Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta

mengatur sekolah internasional.

Pemerintah pusat juga memiliki wewenang untuk menentukan pedoman anggaran

biaya pendidikan. Pedoman ini dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah dalam

menentukan anggaran pendidikan yang akan dipakai dalam satu tahun. Adanya

pengawasan dari pemerintah dapat mencegah pungutan liar atau penyalahgunaan

yang lain dalam hal anggaran sekolah. Kewenangan pemerintah pusat dalam bidang

pendidikan lainnya yaitu penetapan kalender pendidikan, dimana pemerintah pusat

harus telah penetapkan hari aktif untuk kegiatan belajar setiap tahunnya, selain itu
pemerintah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jam belajar efektif dimana

setiap tingkat pendidikan memiliki jam efektif untuk belajar setiap minggunya berbeda,

semakin tinggi tingkat pendidikan ( SD – SMP – SMA) maka semakin bertambah jam

belajar efektifnya.

Kewenangan – kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pada dasarnya adalah

pedoman paling dasar, dimana setiap sekolah atau instansi pendidikan lainnya dapat

mengembangkan dasar penetapan tersebut. Pemerintah pusat lebih berperan dalam

hal pengawasan pelaksanaan pendidikan agar mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan

penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar tidak menyimpang dari pedoman

pendidikan. Adanya standar – standar yang ditetapkan oleh pemerintah ditujukan agar

pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan dan persamaan disetiap daerahnya.

Meskipun dalam kenyataannya tetap terdapat perbedaan, namun hal itu tertutupi

dengan adanya standar nasional yang diwujudkan oleh adanya ujian nasional di

berbagai tingkat pendidikan.

Kewenangan pemerintah daerah meliputi:

1. Menyelenggarakam sendiri sebagian urusan pemerintahan

2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil

pemerintah

3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan atau pemerintahan

desa berdasarkan asas tugas

4. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai sumber pendanaan,

pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang

didesentralisasikan

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam melakukan pendistribusian

kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, membedakan urusan yang


bersifat concurrent yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau

bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah. Selain itu urusan pemerintah yang bersifat absolut, yaitu yang sepenuhnya

menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat

concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat

dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan juga ada urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.

Bidang Pendidikan dan Kebudayaan :

1. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum

nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.

2. Penetapan standar materi pelajaran pokok.

3. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.

4. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

5. Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar

dan pembaca.

6. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan,

pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar

budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.

7. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum

nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang

diakui secara internasional.

8. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi

pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.

9. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta

pengaturan sekolah internasional.


10. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia

Menurut Undang- Undang Nomor. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal

12 bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan,

b. Kesehatan,

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang,

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman,

e. Ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan

f. Sosial.

Maka dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah sama-sama memiliki kewenangan

dalam hal pendidikan.

4.Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Daerah

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada

dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah

(otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi

masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan

yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan

peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem

desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan inilah yang merupakan

paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UndangUndang


Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan Pasal (4)

disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan,

serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa ayat (1). Karena pendidikan diselenggarakan

sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang

berlangsung sepanjang hayat ayat (3), serta dengan memberdayakan semua

komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian

mutu layanan pendidikan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,

serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa

diskriminasi Pasal 11 ayat (1). Konsekuensinya pemerintah pusat dan pemerintah

daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi

setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun Pasal 11 ayat(2). Itulah sebabnya

57 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

Menurut Undang- Undang Nomor. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal

12 bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan,

b. Kesehatan,

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang,

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman,

e. Ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan

f. Sosial.

Maka dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah sama-sama memiliki kewenangan

dalam hal pendidikan.

4.Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Daerah

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada
dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah

(otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi

masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan

yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan

peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem

desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan inilah yang merupakan

paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UndangUndang


Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan Pasal (4)

disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan,

serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,

nilai kultural, dan kemajemukan bangsa ayat (1). Karena pendidikan diselenggarakan

sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang

berlangsung sepanjang hayat ayat (3), serta dengan memberdayakan semua

komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian

mutu layanan pendidikan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,

serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa

diskriminasi Pasal 11 ayat (1). Konsekuensinya pemerintah pusat dan pemerintah

daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi

setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun Pasal 11 ayat(2). Itulah sebabnya

pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar,

minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar

adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat,

pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 34 ayat (2)).


Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan

masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara

pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat Pasal 46 ayat (1).

Bahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan

anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang Undang

Dasar Negara RI tahun 1945 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya


duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta

anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional” - Pasal 46 ayat (2). Itulah sebabnya dana

pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan

minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor

pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD)

(pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat)

dialokasikan dalam APBN Pasal 49 ayat (2).

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,

dan keberlanjutan Pasal 47 ayat (1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka

pemerintah pusa), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya

yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 47 ayat

(2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip

keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik Pasal 48 ayat (2).

Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab

pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi

tugas oleh presiden Pasal 50 ayat (1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini

pemerintah pusat menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan

untuk menjamin mutu pendidikan nasional Pasal 50 ayat (2). Sedangkan pemerintah
provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan

tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas

daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk

pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

58 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian

dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dengan

ketentuan kewenangan sebagai berikut.

1. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk

menjamin mutu pendidikan;

2. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan,

pengembangan tenaga kependidikan dan evaluasinya;

3. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta

satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

5.Pengertian Desentralisasi Pendidikan

Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst (1985), bahwa “the

decentralization process implies the transfer of certain function from small group of

policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain

desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok

kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada

tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses

penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah

daerah (Salim, 2007).


Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2003 adalah terungkap pada Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,

Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal

8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan Pasal 9 Masyarakat

berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan

pendidikan”.

5.1. Desentralisasi Pendidikan Suatu Keharusan

Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan menurut Tilaar

(2009), yaitu,

1. Pembangunan masyarakat demokrasi, suatu masyarakat yang antara lain

mengakui akan hak-hak manusia. Didalam masyarakat demokratis dihormati

adanya perbedaan pendapat dan kepatuhan terhadap keputusan bersama yang

telah diambil oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan

59 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian

dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dengan

ketentuan kewenangan sebagai berikut.

1. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk

menjamin mutu pendidikan;

2. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan,

pengembangan tenaga kependidikan dan evaluasinya;

3. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta

satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.


5.Pengertian Desentralisasi Pendidikan

Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst (1985), bahwa “the

decentralization process implies the transfer of certain function from small group of

policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain

desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok

kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada

tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses

penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah

daerah (Salim, 2007).

Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2003 adalah terungkap pada Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,

Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal

8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan Pasal 9 Masyarakat

berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan

pendidikan”.

5.1. Desentralisasi Pendidikan Suatu Keharusan

Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan menurut Tilaar

(2009), yaitu,

1. Pembangunan masyarakat demokrasi, suatu masyarakat yang antara lain

mengakui akan hak-hak manusia. Didalam masyarakat demokratis dihormati

adanya perbedaan pendapat dan kepatuhan terhadap keputusan bersama yang

telah diambil oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan

tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya,dalam melaksanakan

keputusan bersama itu.


2. Pengembangan social capital, Sistem pendidikan yang sentralistis yang mematikan

kemampuannya berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu

masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab itu Desentralisasi Pendidikan

berati lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat yang mempunyai

pendidikan itu sendiri.

3. Peningkatan daya saing bangsa, Dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya

saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban

perkembangannya.

5.2. Tuntutan-Tuntutan Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi bukanlah sekedar dekonsentrasi kekuasaan Pemerintah Pusat kepada

Daerah Otonom. Desentralisasi Pendidikan berkenaan dengan masalah yang sangat

mendasar yaitu pendidikan adalah milik rakyat dan untuk rakyat.

Pendidikan sebagai proses pembudayaan tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan hidup

bersama masyarakat yang berbudaya. Oleh sebab itu, Desentralisasi Pendidikan

mempunyai dua tuntutan yaitu, akuntabilitas terhadap masyarakat sebagai pemiliknya

(akuntabilitas horizontal), dan selanjutnya didalam hidup bersama sebagai satu

bangsa, bangsa Indonesia, maka pendidikan juga mempunyai fungsi di dalam

pengembangan social capital persatuan bangsa Indonesia. Inilah yang disebut

akuntabilitas vertikal pendidikan nasional (Tilaar, 2009).

5.3.Prasyarat Keberhasilan Proses Desentralisasi Pendidikan

Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan tergantung pada beberapa

faktor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat faktor penunjang

keberhasilan desentralisasi pendidikan menurut Tilaar (2009), yaitu :

a. Menerapkan deregulasi, meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi

merupakan kunci utama untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di


daerah dan sekolah. deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi

yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai

birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit

dan memperlambat proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses layanan

pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.

b. Menerapkan semi otonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan

berkesinambungan.

c. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan

pendidikan di sekolah.

d. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan

desentralisasi pendidikan.

5.4. Desentralisasi Pendidikan Pada Tingkat Sekolah

Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi

yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas

pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran

sebagai fasilitator dan koordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan

penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pelaporan.

Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang

menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah

satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia

termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik

secara regional maupun secara internasional.

Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik

dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu
dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi

selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses

pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan

birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk

dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak

yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan.

Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam

mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu

pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai

pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan

obyektif di masing-masing sekolah.

Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah dilaksanakan oleh

sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran

serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS)

sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.

61 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

b. Menerapkan semi otonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan

berkesinambungan.

c. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan

pendidikan di sekolah.

d. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan

desentralisasi pendidikan.

5.4. Desentralisasi Pendidikan Pada Tingkat Sekolah

Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi


yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas

pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran

sebagai fasilitator dan koordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan

penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pelaporan.

Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang

menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah

satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia

termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik

secara regional maupun secara internasional.

Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik

dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu

dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi

selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses

pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan

birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk

dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak

yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan.

Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam

mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu

pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai

pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan

obyektif di masing-masing sekolah.

Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah dilaksanakan oleh

sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran


serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS)

sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.

Tujuan penyelenggaran pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia Indonesia yang

beriman, bertaqwa, berbudi luhur, menguasai ilmu, teknologi dan seni, berwawasan

masa depan dan global, berbasiskan nilai luhur budaya lokal dan kebangsaan serta

berwatak demokratis dan mandiri. Bahwa berdasarkan kewenangan, kebutuhan,

kemampuan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah, perlu dibangun dan

dikembangkan komitmen bersama diantara pemangku penyelenggaraan sistem

pendidikan secara demokratis, terbuka, partisipatif, bermartabat, dan bertanggung

jawab.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran

serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan

Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun

sekolah (Chan dan Sam, 2005).

Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan

kepada sekolah adalah :

a. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah

b. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas

yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki.

c. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan dan oleh

sekolah. dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa

depan lulusnya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan

kkurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan

kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah.


d. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat

diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang

ada.

e. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan

mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun

kabupaten.

f. Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan professional

sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah.

g. Urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis

sekolah (MBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab

dan kewenangan sekolah (Salim, 2004).

62 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru

Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi

kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan

kesatuan bangsa; bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara

sempit. Pelaksanaan desentralisasi dalam pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan

berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus

dipersiapkan agar pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu:

1. Undang-undang No. 20 tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan

Nasional

2. Pembinaan kemampuan daerah

3. Pembentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun

perencanaan penddikan

4. Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan


membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi

tersebut.

Adapun wewenang daerah yang didelegasikan kepada pihak sekolah menurut Mulyasa

(2002) mencakup hal berikut:

1. Perencanaan dan Evaluasi. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan

perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh

karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan

hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana

peningkatan mutu. Sekolah berwenang untuk melakukan evaluasi, khususnya

evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga

sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil

program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut

evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar dapat mengungkap

informasi yang sebenarnya.

2. Pengelolaan Kurikulum dan proses pembelajaran yang dilakukan bersama-sama

dengan komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam penyusunan kurikulum,

sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi)

kurikulum, namun tidak mengurangi standar isi yang berlaku secara nasional.

Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan

lokal. Sedangkan dalam proses pembelajaran, sekolah diberi kebebasan memilih

strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling

efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik

guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum,

63 Tata Kelola Pendidikan

Pada Daerah Otonom Baru


Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi

kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan

kesatuan bangsa; bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara

sempit. Pelaksanaan desentralisasi dalam pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan

berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus

dipersiapkan agar pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu:

1. Undang-undang No. 20 tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan

Nasional

2. Pembinaan kemampuan daerah

3. Pembentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun

perencanaan penddikan

4. Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan

membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi

tersebut.

Adapun wewenang daerah yang didelegasikan kepada pihak sekolah menurut Mulyasa

(2002) mencakup hal berikut:

1. Perencanaan dan Evaluasi. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan

perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh

karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan

hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana

peningkatan mutu. Sekolah berwenang untuk melakukan evaluasi, khususnya

evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga

sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil

program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut

evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar dapat mengungkap
informasi yang sebenarnya.

2. Pengelolaan Kurikulum dan proses pembelajaran yang dilakukan bersama-sama

dengan komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam penyusunan kurikulum,

sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi)

kurikulum, namun tidak mengurangi standar isi yang berlaku secara nasional.

Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan

lokal. Sedangkan dalam proses pembelajaran, sekolah diberi kebebasan memilih

strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling

efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik

guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum,

strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa lebih mampu

memberdayakan pembelajaran siswa.

3. Menjamin dan mengusahakan sumberdaya (human and financial) yang mencakup

dukungan untuk pengajaran dan kepemimpinan, dukungan dan lingkungan sekolah.

4. Pelayanan Siswa. Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru,

pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan

sekolah atau untuk memasuki dunia kerja sampai pada pengurusan alumni.

5. Pengelolaan Iklim Sekolah. Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif

akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar

yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan

harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan

kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah

contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.

6. Kelebihan Dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan

Berikut kelebihan dari desentralisasi pendidikan menurut Chan dan Sam (2005):
a. Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah

lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki

b. Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber

pajak lokal dan mengurangi biaya operasional

c. Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang

dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat

d. Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada

daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.

Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan desentralisasi

pendidikan melalui Undang-undang Otonomi Daerah adalah:

a. Kurang siapnya SDM daerah terpencil.

b. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerah-daerah miskin,

c. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging,

d. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus,

e. Dijadikan komoditas,

f. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan Depdiknas

dalam mengalokasikannya. Hasilnya akan menguntungkan departemendepartemen lain yang


mengelola pendidikan atau pelatihan, padahal departemen

lain telah memperoleh dana dari APBN. sementara itu, hasilnya masih diragukan

karena ditangani bukan oleh para ahli/profesional pendidikan.

Soal

I.PILIHAN BERGANDA

II. ESSAI

1.sebutkan Faktor – faktor yang mempengaruhi derajat desentralisasi

a. Filsafat manajemen
b. Ukuran dan tingkat pertumbuhan ekonomi

c. Strategi dan lingkungan organisasi

d. Penyebaran geografis organisasi

e. Pengawasan yang efektif

f. Kualitas manajer

g. Keaneka – ragaman produk dan jasa

h. Karkteristik – karakteristik organisasi lainnya

2. Desentralisasi adalah

penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan

prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik

Indonesia.

3.sebutkan Bentuk-bentuk Desentralisasi menurut salah satu ahli

Rudy (2012) tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut :

1. Devolution (devolusi)
2. Delegation
3. Deconcentration
4. Political or demokratik decentralization
4.
BAB IV
KEEFEKTIFAN DAN MBS DAN BUDAYA KAITANNYA
DENGAN KEPEMPIMPINAN SEKOLAH

BAB V
PENGEMBANGAN STAFF
Pengembangan Staf Pengajar
Pengembangan staf pengajar merupakan bagian dari pengembangan institusi secara
menyeluruh seperti dalam sebuah pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi harus
berdasarkan analisis diri sehingga dapat ditentukan faktor-faktor yang dapat dilakukan perubahan,
pengembangan dan peningkatan. Dengan analisis diri pula dapat mengkaji, prioritas kegiatan yang harus
dilakukan. Evaluasi diri atau biasa disebut sebagai self-assessment merupakan kegiatan yang secara ideal
rutin harus dilakukan oleh sebuah intitusi pendidikan, agar dalam setiap self assessment dapat dilihat
seluruh aspek yang dapat ditingkatkan maupun dikembangkan. Evaluasi diri dengan menggunakan
analisa SWOT merupakan salah satu bentuk evaluasi diri yang dapat digunakan oleh institusi. Hasil
analisa SWOT dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan rencana strategik pada institusi
pendidikan. Analisa SWOT pada PSPD FKK-UMJ berdasarkan, pada penerimaan, proses dan output yaitu;
pelayanan sebelum masuk kampus, pelayanan saat pendidikan dikampus dan pelayanan setelah lulus.
Dengan berdasarkan analisa SWOT maka dipilah pengembangan staf berdasarkan kekuatan dan
kelemahan yakni tabel berikut.

Tabel. 2 Kekeuatan dan Kelemahan Staf pengajar PSPD FKK-UMJ

Kekuatan Kelemahan
- Komitmen yang tinggi dari - Lemahnya Komitmen dari
pimpinan PSPD FKK UMJ untuk Universitas terhadap
meningkatkan jumlah staff penambahan jumlah staff untuk
pengajar fakultas/prodi
- Komitmen yang tinggi dari - Lemahnya dukungan dari
Pimpinan PSPD FKK UMJ untuk Tingkat Universitas dalam
peningkatan kapasitas dan peningkatan kualitas staff
kualitas staff pengajar melalui pengajar tingkat Fakultas/Prodi
pendidikan lanjut atau kursus - Kurangnya komitmen staff
- Staff pengajar yang berjumlah pengajar dalam pengem-
10 orang melanjutkan bangan kurikulum masing-
pendidikan S2 dan spesialis masing sistim/blok
- Penerimaan staf pengajar - Banyaknya staf pengajar yang
honorer yang bertugas hanya bekerja di struktural PSPD FKK-
membantu staf pengajar tetap UMJ
dalam proses kegiatan tutorial - Waktu staf pengajar untuk
dan praktek keterampilan klinik.
meneliti dan pengabdian
-
masyarakat tidak banyak
karena lebih diutamakan pada
pengajaran.
- Mekanisme penerimaan staff
pengajar belum menggunakan
metode pengem-bangan staff
(staff development) yang de-
fenitif.
- Pengayaan kompetensi staff
pengajar belum dilakukan
secara bertahap dan berke-
sinambungan
- Banyaknya staf pengajar yang
melanjutkan pedidikan S2 dan
Spesialis
- Belum jelasnya pengembangan
staf pengajar
- Staf pengajar yang sesuai
bidang ilmu sangat sedikit,
seperti contohnya pakar
anatomi hanya satu orang.

Institusi PSPD FKK-UMJ, harus membuat program pengembangan staf pengajar dengan melihat
hasil kajian kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh institusi. Pengembangan staf pengajar atau
sering pula disebut pengembangan fakultas memiliki arti suatu perencanaan atau kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas staf pengajar dalam keterampilan mengajar, penelitian serta
menulis serta kegiatan administrasi yang dilakuan secara bertahap, berkesinambungan dan terukur
(Dent dan Harden, 2009; Jolly, 2002). Dornan et al., (2011) menegaskan institusi pendidikan yang
berfokus pada pengembangan staf pengajar dan berpandangan bahwa staff pengajar merupakan
investasi disebut sebagai “learning organisation”. Sehingga para pakar pendidikan menyimpulkan
bahwa peningkatan kapasitas staf pengajar akan berdampak peningkatan dari kualitas mahasiswa, dan
membuat citra yang baik bagi institusi atau fakultas karena menghasilkan lulusan yang berkualitas (Dent
dan Harden, 2009; Jolly, 2002; Dornan et al., 2011). Bentuk kegiatan pengembangan staf pengajar
seharusnya dirancang dengan baik, dan dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan. Hingga saat ini
pengembangan staf pengajar dilakukan secara sporadis, atau tiba-tiba. Kegiatan seminar atau
workshops yang dilakukan pihak eksternal dari PSPD FKK-UMJ menjadi tempat pengembangan staf
pengajar, sehingga tidak berkaitan dengan pengembangan staf pengajar secara menyeluruh dan
terencana.

Pengembangan staf pengajar memiliki arti yang sangat penting dan merupakan kunci dari
keberhasilan institusi, dikarenakan hasil dari kegiatan pengembangan staff yang melibatkan seluruh staff
pengajar dapat menghasilkan beberapa manfaat yakni, 1) personal mastery, 2) mental model, 3) shared
vision, 4) team learning dan 5) system thinking (Dornan et al., 2011). Pengembangan staf pengajar
seharusnya diperuntukkan bagi seluruh staf dari seluruh tingkatan, sehingga peningkatan kemampuan
staf dapat terjadi secara bersama-sama, dari tingkatan bawah hingga ke tingkat pimpinan (Jolly, 2002).
Secara personal staf pengajar yang terlibat pada kegiatan pengembangan staf akan memperoleh
peningkatan kemampuan (mastery) mengajar karena kemampuan mengajar pada kondisi saat ini telah
terjadi perubahan yang cukup besar, banyaknya penggunaan media-media pembelajaran yang
bermacam-macam, seperti contohnya E-learning, computer assissted learning (CAL) dan simulation,
menuntut staf pengajar saat ini pun harus menguasai perkembangan tehnologi tersebut (Dornan et al.,
2011). Tehnik dan metode pembelajaran di dunia pendidikan khususnya pendidikan kedokteran saat ini
telah berkembang sehingga dengan kegiatan pengembangan staf yang dirancang dengan baik dan
berkelanjutan, maka staf pengajar dapat memiliki kompetensi pengajaran dengan tehnik dan metode
Student

assessor
Ifm
Curriculum

evaluator
Teaching
expertice
p
u
R
v
d
ln
P
e
A
ir
on
s
F
o
t
a
c
ti
terbarukan, sehingga pada sat ini peran staf pengajar telah menjadi 12 (Gambar.2) (Dent dan Harden,
2009; Joly, 2002; Mclean et al, 2008) .

Gambar 2. Dua belas peran staf pengajar kedokteran (Harden dan

Crosby, 2000) (disitasi dari Mclean et al., 2008)

Mentor

IFAnformati
RP ssess
esource
Role
asilit
lann
develope
Course organizer
Student contact

Learning
facilitator On the job role
model
Medical Expertice

Teaching Role
model

Lecturer

Resource
Clinical of Practical
Teacher

material creator
Curriculum Study Guide

planner producer

Student at adistance

Meningkatnya penerimaan jumlah mahasiswa dan dengan berbagai macam gaya belajar
menjadikan pengembangan staf pengajar sangat penting artinya untuk dilakukan secara teratur,
mengingat bentuk-bentuk pembelajaran saat ini dapat dilakukan pada kelas besar dan kelas kecil atau
diluar ruang kelas, peningkatan kemampuan pengajaran dengan kondisi seperti ini mengharuskan
penanggung jawab pengembangan staf merancang peningkatan kemampuan pengajaran staf pengajar
dengan mengikuti perkembangan tehnologi pendidikan kedokteran yang terbarukan (Dornan et al 2011;
Dent dan Harden 2009; Jolly, 2002). Perkembangan pendidikan kedokteran yang menyesuaikan pada
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan perkembangan layanan kesehatan, menyebabkan
terjadinya perubahan pada kurikulum pendidikan kedokteran dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan peningkatan layanan (prosedur)
kesehatan, (Farmer, 2004). Bentuk pembelajaran dengan problem-based learning yang saat ini sedang
berkembang di dunia pendidikan kedokteran menuntut penyesuain kompetensi pada staf pengajar,
termasuk pula staf pengajar PSPD FKK-UMJ. Farmer (2004) memberikan dua tahapan penting pada
pengembangan staf pengajar yang menggunakan pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Pertama
tahap implementasi kurikulum, yang berisikan meningkatkan dan mengembangkan kemampauan staf
pengajar sebagai tutor (Gambar. 3) dan memberikan kesempatan bagi staf untuk dapat melakukan
refleksi diri dan pengembangan kemampuan diri (Farmer, 2004). Kedua adalah tahap pengembangan
kurikulum, diperlukan pengembangan staf dengan pemberian apresiasi dan penghargaan pada prose
pembelajaran, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan staf pada beberapa aspek yang
mendukung pembelajaran dan membina pengembangan perilaku kepemimpinan serta mendorong
dosen untuk mengembangan pembelajaran dengan penelitian atau pendidikan formal lanjutan (Farmer,
2004; Jolly 2002). Peran terpenting lainnya adalah mengembangkan kemampuan staf pengajar khusus
di klinik yang bertugas sebagai pembimbing klinik, mengingat kemamapuan dan metode pembalajaran
di klinik berbeda dengan tahap akademik, oleh Harden et al. (1999) (disitasi dari Mclean, 2009)
memberikan 3 pokok kemampuan yang harus dimiliki oleh staf pengajar yang menjadi pembimbing di
klinik, yakni :

1) Performance of task, technical intelegences, “Doing The Rigth


Thing” :
a. Teach large and small groups
b. Teach in clinical setting
c. Faciltate and manage learning
d. Plan learning
e. Develop and work with learning resources
f. Assess trainees
g. Evaluate courses and undertake reseach in education
2) Approach to task : Intelectual, emotional and analytical and creative
intelegence , “Doing The Thing Right”
a. Intelectual intelegences
b. Emotional intelegences
c. Analytical and creatice intelegences
3) Profesionalism : Personal Intelegences, “The Right Person”.
a. The role of the teacher or trainer within the health services and the
university
b. Personal development

Gambar 3. Strategi peningkatan dan pengembangan tutor (Farmer, 2004)

Student induction Informal support from


to PBL expereinced tutors

Tutor training

Troubleshooting Case briefings Co-tutoring


intervention

Selain memberikan gambaran tentang strategi pengembangan staf, Farmer (2002) juga
memberikan kondisi masa datang yang berkaitan dengan perkembangan staf pengajar yang sesuai
dengan pembelajaran PBL (Gambar. 4)

Adult learning theory and


New Models of practicde
Research in related
change
domain
Gambar 4. Kondisi perkembangan staff pengajar

pada masa datang

Peningkatan jumlah peran staf pengajar baik di tahap akdemik dan tahap kepaniteraan,
memerlukan rancangan pengembangan staf pengajar yang terarah, terus menerus dan termonitoring
dengan harapan pencapain kemampuan masing-masing staf sesuai dengan harapan institusi yang
berdampak peningkatan pembelajaran pada mahasiswa, yang pada akhirnya lulusan institusi memilki
kompetensi yang diinginkan oleh masyarakat ( Farmer, 2002; Dornan et al, 2011; Mclean et al., 2008)

Tujuan penting dalam pengembangkan staf pengajar untuk mencapai peran-peran tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yang secara ringkas terbagi 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Pertama
faktor internal dalam pengembangan staf pengajar, adalah komitmen yang tinggi dari pimpinan institusi
untuk menjadikan staf pengajar merupakan aset dan investasi untuk meningkatkan kemampuan dan
nama institusi, olehnya institusi mendorong terlaksananya program pengembangan staf pengajar ,
dengan terus memberikan dukungan sumber daya manusia dan keuangan (Mclean et al., 2008). Pada
PSPD FKK-UMJ telah terbentuk bagian SDM yang berada dibawah struktur penjaminan mutu akademik,
namum penulis menyarankan pengembangan SDM memiliki struktur tersendiri yanvg langsung dibawah
pimpinan prodi atau fakultas. Waldman et al.,(2004) (disitasi dari Mclean,2008) menyatakan bahwa
anggaran yang dibutuhkan untuk pengembangan staf adalah sekitar 5% dari total anggaran pada proses
pembelajaran institusi. Mclean et al (2008) memberikan argumen bahwa faktor internal penting lainnya
pada pengembangan staf pengajar adalah kurangnya kemampuan staf dalam proses pembelajaran
sehingga pencapaian kualitas mahasiswa terhambat. Menghasilkan staf pengajar yang memiliki
kemampuan yang baik dalam pengajaran diperlukan waktu dan proses yang lama, sehingga institusi
memerlukan waktu dan dana untuk mendapatkan staf pengajar yang handal. Faktor eksternal yang
penting untuk melakukan pengembangan staf, adalah faktor tuntutan dari stakeholder dan masyarakat,
faktor akuntabilitas pada proses pengajaran dan profesionalisme, dan peraturan peraturan yang berasal
dari pemerintah dan asosiasi pendidikan yang berkaitan dengan proses pengajaran (Mclean et al., 2008).

Hambatan pada pengembangan staf pengajar dapat pula terjadi pada setiap institusi, yang
pertama disebabkan hambatan personal dari staf pengajar dan hambatan dari institusi. Beberapa
hambatan personal dapat menyebabkan pengembangan staf pengajar tidak dapat terlaksana dengan
baik, diantaranya kerena, resistensi untuk berubah, rendahnya motivasi dan keinginan untuk menguasai
kemampuan dan keterampilan baru, serta komitmen yang rendah untuk meningkatkan kualitas
mahasiswa atau institusi, dan rasa penghargaan yang diberikan oleh institusi tidak diperoleh. Hambatan
dari institusi adalah tingkat kepemimpinan yang lemah dan mekanisme penghargaan bagi staff pengajar
yang tidak jelas.

Rancangan Pengembangan Staf pengajar PSPD FKK-UMJ

Membuat rancangan pengembangan staf pengajar maka pada awalnya adalah diperlukan
kesiapan tim yang akan bertangguang jawab untuk menyiapkan rancangan pengembangan staf yang
berada di dalam Medical Edfucation Unit (MEU) PSPD FKK-UMJ. Kesiapan staf pengembangan staf harus
memperoleh terlebih dahulu dukungan dari pimpinan institusi mulai dari kaprodi, dekan, dan rektor,
mengingat kegiatan pengembagan staf merupakan kegiatan yang menjadi aktivitas rutin bagi institusi
dan bukan bersifat insidentil atau kegiatan pengembangan staf dilaksanakan pada saat diperlukan.
Pengembangan staf harus dipahami oleh pimpinan institusi, bahwa kegiatan pengembangan staf yang
dilaksanakan dengan efektif dan bermakna (Mclean, 2004), maka akan memiliki garis lurus dengan
peningkatan kemampuan staf pengejar dalam proses pembelajaran sehingga dampaknya didapatkan
pada hasil belajar mahasiswa yang semakin meningkat. Pimpinan institusi harus memahami bahwa
kegiatan pengembangan staf merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan juga
memberikan hasil yang cukup lama, bukan hasil yang instant, dengan demikian komitmen yang tinggi
dari pimpinan institusi tidak boleh berhenti untuk mendukung kegiatan pengembangan staf. Kajian
Rancangan pengembagan staf pada PSPD FKK-UMJ, bersumber dari AMEE no. 36, dengan mencoba
mengadopsi dan mengadaptasi beberapa pakar pendidikan kedokteran dunia yang telah menerapkan
kegiatan pengembangan staf di institusi mereka masing-masing. Namum demikian yang perlu dipahami
adalah adaptasi dari institui lain tentang pengembangan staf harus disesuikan dengan jumlah staf,
kondisi, situasi, kultur dan organisasi yang ada di PSPD-FKK-UMJ. Dalam membuat rancangan
penngembangan staf digunakan pendekatan yang telah dibuat oleh Kern et al., (1998) (Gambar. 5)
dengan 3 tahapan yakni :

Tahap pertama : Perencanaan yang terdiri atas 3 langkah


Tahap kedua : Implementasi yangbterdiri atas 2 langkah

Tahap ketiga : Evaluasi dan umpan balik.

Pada tahap perencanaan maka langkah pertama yang penting dilakukan adalah identifikasi dari
pimpinan-pimpinan institusi dari tingkat kepala bagian, kaprodi, dekan, dan rektor tentang pandangan
dan harapan yang berkaitan dengan pengembangan staf pengajar. Aturan-aturan yang berkaitan
tentang staf pengajar dan pengembangannya yang berasal dari tingkat prodi, fakultas, universitas,
organisasi muhammadiyah, peraturan-peraturan pemerintah, asosisasi pendidikan kedokteran, dan
standar internasional menjadi bahan yang penting dalam merancang kegiatan pengembangan staf.
Langkah ketiga adalah melakukan identifikasi kebutuhan dan kepentingan secara personal dalam
peningkatan kualitas pengajaran dan karir pada staf pengajar. Identifikasi kebutuhan harus dilakukan
bagi seluruh staf pengajar yang ada yakni staf pengajar yang ada di tahap akademik dan tahap klinik.
Dengan memperoleh data tentang kepentingan dan kebutuhan peningkatan kapasitas pengajaran dan
karir sehingga dapat dikelompokkan dan dipertemukan antara kepentingan institusi dengan kepentingan
personal yang memiliki dampak pada peningkatan kualitas pengajaran dan karir staf, sehingga pada
akhirnya meningkatkan pula kualitas institusi PSPD FKK-UMJ. Langkah Ketiga, adalah membuat
pengelompokkan kemampuan yang harus dicapai dan dapat terukur, seperti yang dijelaskan dalam Level
pencapain oleh Kirkpatrick (1994) (disitasi dari Mclean, 2008) yaitu : 1) Kompetensi Individu, 2) Proses
pembelajaran, 3) Dosen dan pembimbing kinik, sehingga para ahli berpendapat bahwa kegiatan
pengembangan satff akan lebih bermanfaat bila dibuat dalam bentuk workshop atau pelatihan. Kegiatan
pengembangan staf harus dirancang dalam kurun waktu yang panjang dan tidak seluruh pencapaian
diselesaikan dalam satu kegiatan saja. Kegiatan harus dirancang secara bertahap, berjenjang, saling
terkait dan terukur (adaptasi dari Wolkinson dan Irby ,1998; Benor, 2000).

BAB VI
PERUBAHAN KURIKULUM
urikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa
kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang
diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan
perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan
dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.

Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan
budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan
nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu
bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.

Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena
ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya
dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar, dimana secara
menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi,
politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya
berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi
juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti
perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat
statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan membahas permasalahan yang dihadapi
dalam mencari alternatif jawaban ataupun solusi bijak yang bisa dipecahkan bersama sehingga
dapat terwujud pemahaman mengenai perubahan kurikulum. Untuk menganalisa masalah diatas
penulis mengkemasnya dengan judul Analisis Kritis Perubahan Kurikulum Pendidikan di
Indonesia.

A. Esensi Perubahan Kurikulum

Dalam perspektif soetopo dan soemanto pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk
dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan bila terdapat
adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu, yang
disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja, tentunya menuju movement yang lebih baik.

Berbeda dengan ungkapan nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-alat
atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering berarti turut mengubah
manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu
sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan
kurikulum juga disebut devolupment (pembaharuan) atau inovasi kurikulum.

Mengenai makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat
bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau
dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses pembelajaran. Kurikulum dapat
juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses
untuk mencapainya. Keduanya saling berinteaksi. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid
didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun
rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan
dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar
kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat
dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai
yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan
kepribadian guru.

Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada
kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala
sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya
wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang
bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian
lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah
semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga
orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti
yang telah penulis paprkn di atas, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial,
curriculum change is social change.

Jenis-Jenis Perubahan

Menurut Soetopo dan Soemanto, Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian, tapi
dapat pula bersifat menyeluruh.

Perubahan sebagian-sebagian

Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut
perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu
saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari perubahan
sebagian-sebagian.

Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada
komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh,
penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa
membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum
tersebut.

Perubahan menyeluruh

Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara
menyeluruh . Artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana
tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya.

Perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan
kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah
pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh.
Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya, pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi
pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum

Menurut Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya
perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.

Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis.
Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah
dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional
merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di
dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.

Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak,
perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah
menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu
pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan
cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan
sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.

Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan bertambahnya penduduk, maka
makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan
bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau
kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin
besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya
perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.

Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah

Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam
faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila
suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka. Dengan sendirinya
kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.

Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun
30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak,
sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi terhadap subject-
centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat adulatif (pembujukan) dan society-centered..
Pada tahun 40-an, sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum
menjadi lebih society-centered.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses
belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum,
programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya.

Perubahan dalam masyarakat, eksplosi (ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan
adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku
tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum,
betapapun relevannya pada suatu saat.

Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum

Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru
tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di
sekolah-sekolah.

Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk golongan itu juga.
Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara
yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan
pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada
yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan
atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu
hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.

Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan


meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya itu. Dalam
pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada
menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih
banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak
orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem
pendidikan.

Disadari atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang lebih banyak untuk
fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula
pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau
yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap
pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar
mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.

B. Ironi Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Polemik yang telah pamakalah paparkan di atas mengenai perubahan kurikulum yang ada di
Indonesia, dari mulai pergantiannya hingga pelaksanaan kurikulum yang baru. Penulis dapat
menarik satu benang merah bahwa kurikulum dalam pengertian termenologi yang berasal dari
bahasa Yunani “Curriculum” dan “Curere” dalam bahasa latin adalah seperangkat mata pelajaran
yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran
yang akan diberikan kepada peserta pelajar/sisa dalam satu periode jenjang pendidikan.

Sementara itu, yang pesimistis dengan kurikulum mutahir mengolok-olok KTSP sebagai
(K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu premature (sebelum waktunya). Sumber
kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak
guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP? Bukankah
pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali guru sebagai penyusun kurikulum?
Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan
menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru ini pun akan sama nasibnya dengan
kurikulum-kurikulum lainnya.

Tak dapat dipungkiri, pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan
bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah,
disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi
institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Dengan begitu banyak poin
penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangatlah krusial untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Namun, di saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah
secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti
menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah. Kalau penulis
istilahkan “ganti menteri ganti kurikulum”. Mungkin hanya ada perubahan sedikit didalamnya,
namun dengan adanya menteri baru inginnya melakukan perubahan, sayang sekali yang dirubah
hanya nama, tidak lebih dari sekedar formalitas. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu
baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok dengan
realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak efektif dan sulit
direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi
(kesalahpahaman). Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban
dari proyek Mendiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”.

Hal ini sangat ironi dalam dunia pendidikan Indonesia, jika hal ini diteruskan lambat laun banyak
penyelenggara pendidikan non-pemerintah yang bersaing dengan sekolah naungan pemerintah
atau negeri. Kadang kala kita jumpai bahwa kurikulum yang diberikan sekolah swasta cenderung
lebih baik ketimbang kurikulum dari pemerintah. Keplin-planan pemerintah mengonta ganti
kurikulum pendidikan sebenarnya tidak masalah, yang dipermasalahkan hanya kualitas
kurikulum tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas pembelajaran ataukah hanya akan
membuat kebingungan para siswa karena selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Pemakalah
berharap semoga pemerintah lebih jeli lagi dalam mengganti kurikulum yang sesuai kondisi riil
masyarakat, jadi tidak ada anggapan lagi “ganti menteri ganti kurikulum”.
C. Analisis Perubahan Kurikulum Dari 1947 – 2006

Seperti yang telah paparkan sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “Mengapa kurikulum di negara kita
sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di
atas, ”Biasa, ganti Menteri Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?

Penulis menganalisa secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964, tahun1968,
tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru adalah kurikulum tahun
2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik,
sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan
semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD
1945. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta
pendekatan dalam mengimplementasikannya.

Dimulai pada tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam
semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism
(pelaku pembaharuan) lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan


sebutan Rentjana Peladjaran Terurai 1952.

Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling
menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi
pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Menjelang tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang
hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.

Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk
pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana,
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968, dalam hal ini terjadi perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.

Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini menggunakan
pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya
tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam
pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus
respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada
perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975
dengan kurikulum 1984.

Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah
harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan
bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor

Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang
digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang
diberikan.

Pada tahun 1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada
pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang kurang memperhatikan
muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.

Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam
pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa
aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa guru dapat
memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan.
Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok
bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara
pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan
keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai


akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya
adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya
materi/substansi setiap mata pelajaran. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk
menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya
Suplemen Kurikulum 1994.

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama
meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti
penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya
UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis
harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan
dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.

Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah
ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu
yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman pembelajaran.

Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi
seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.

Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan


dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan
terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Dasar pemikiran
untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut :

Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.

Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah
melalui proses pembelajaran.

Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

KBK berorientasi pada:

Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian
pengalaman belajar yang bermakna.

Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.

KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.

Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar
mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.

Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester.
Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek
dari mata pelajaran tersebut.

Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.

Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui dan
mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.

Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan


dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.

Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.

Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa
siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai
hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang
sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga
tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika
indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini
dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan
tugas lainnya.

Yang paling mutahir adalah KTSP, Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan
terjadi seperti diuraikan di atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi KTSP dan
potensi dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik pendidikan di lapangan. Sikap
kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu dikembangkan, tetapi harus disertai
dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan
tersebut. Agar kesetimbangan penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup
komprehensif, dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko
yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami secara benar.

Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi
kebijakan Pemerintah tentang KTSP tersebut :

1) Secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi


pendidikan yang sebenarnya. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku
kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah
adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum
tidak siap pakai.

2) Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang
mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya.
Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah. Misalnya, saat
pemerintah pusat tercengang dengan minimnya pergulatan kreativitas sekolah,
dikumandangkanlah paradigma otonomi pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah.
Kenyataannya, institusi prasyarat manajemen berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan
komite sekolah hanya hiasan struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak
berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia sistem
manajemen pendidikan tak sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya kebijakan try and
error yang menyangkut kurikulum.

3) Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan
sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu
menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi
pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni
pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah
nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama,
apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya
variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki
peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah on-line learning.

4) KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional, dan
internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber daya yang
memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan secara instan melalui berbagai
program pendampingan pengembangan kurikulum. Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya
menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia
KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil
kreativitas.

Sekedar untuk digaris bawahi bahwa secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No.
19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :

Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi


sebelumnya, bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai
karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada standar-standar yang
telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar,
kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus dan Rancangan Pelaksanaan
Pembelajarannya.
BAB VII
AKUNTABILITAS DAN PRODUKTIVITAS SEKOLAH
A.Pendahuluan

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan adanya tuntutan
masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras, sekeras
tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan bahwa kecenderungan
masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001)
menyatakan:

Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan,
maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan.
Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan
yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya.Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai
disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan
masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan:

Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang
memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang
kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang
jelas dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.Empat hal
penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab
tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori
perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan.

Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah
lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.

Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan
Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen
berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2)
pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola
secara baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen
sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas.

Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara
efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga
pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi,
akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88):

Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi,
akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua
persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga
pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu
disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan
dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin
mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable.

Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu
keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya
suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas
suatu lembaga juga bergantung kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan
akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai
akuntabilitas keuangan.

Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan


akuntabilitas sekolah kepada publik. Menurut Slamet (2005:6):

MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah,
yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola,
memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam
menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang
dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang
apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti
akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban
penyelenggara sekolah.

Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada


publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88)
menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi
pendidikan yang tidak akuntabel.

B.Memahami Akuntabilitas dalam MBS

Menurut Rita Headintong (2000:84), Akuntabiltas bukan hal baru. Ia mengatakan:

As far back as the 1830 when public was used to establish a national education system 'some
were concerned that the spending of public money should be properly supervised and controlled,
and others were dissatisfied with the practical aspects such as the poor quality of the teachers'
(Lawton and Gordon 1987, p.7).

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya
lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan
seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-
profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000).

Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan


panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas
sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen
pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik.

Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah
kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban
untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12)
mendefinsikan akuntabilias "is the degree to which local governments have to explain or justify
what they have done or failed to do." Lebih lanjut dikatakan bahwa "Accountability can be seen
as validation of participation, in that the test of whether attempts to increase participation prove
successful is the extent to which people can use participation to hold a local government
responsible for its action." Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas dikaitkan dengan
partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders
sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah,
maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.

Jadi, kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan


kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari
stakeholders.

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions
and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam
akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk
mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu
sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal
responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents
and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun
secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk
mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang
terkait dengan pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83), "The head
teacher and governing body have a legal responsibility to ensure the finances of the school are
used effectively to benefit pupils' education."

Untuk siapa guru bertanggung jawab? Pertanyaan ini diajukan oleh Headington, Ia
menjawabnya:

Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing
work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them
make progress in their learning. Secondly, teacher are accountable to pa rents, both legally and
morally, for the educational development of their children. The most evident mechanism for this
through the formal reporting channel and through the provision of information about pupils'
progress whenever necessary." Thirdly , teacher are accountable to their fellow professionals, in
and beyond the school, through the provision of accurate and appropriate information from
which pupils educational progress can be tracked, measured and compared. To in activities and
discussion which develops shared professional understanding and enhances good
practice."(2000:84)

Pendapat Headington memberi tekanan pada akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia,


juga di Negara-negara yang telah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS,
bahwa seringkali aspek pembelajaran dipahami terpisah dengan MBS. Hal ini sebenarnya telah
diingatkan oleh David D. Mars; dalam Susan Mohrman (1994:225), "That changes in the locus
of decision-making within SBM should be designed and implemented as part of systemic
reform-not as and innovation in and of itself. Conversely, avoid implementing SBM as an
isolated innovation."

Apa yang dikatakan oleh David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya
kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang
terpisah dari pembelajaran.

Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang
dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam penerapan MBS yang tidak
boleh diabaikan oleh sekolah.

Tujuan Akuntabilitas

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan
publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat
pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan
masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan:

Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah
sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara
sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada
publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik
terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan
publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen
pelayanan pendidikan kepada publik.

Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir
dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya
kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas
baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.

C.Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS

Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi


ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian
kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan
kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen
sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena
manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam
pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda
Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau
pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan
tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga
berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat.

Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal.
Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat.
Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan).
Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar
kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.

Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan


MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah
guru. Mengapa, karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar
mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus
dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar.

Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan,
melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti
disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana
dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to
their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging,
maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning.

Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa. Sebagaimana dikatakan
oleh Headington, "Teacher are accountable to parents, both legally and morally, for the
educational development of their children. The most evident mechanism for this through the
formal reporting channel and through the provision of information about pupils' progress
whenever necessary."

Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan
keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar
kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.
Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah
dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral
individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan
yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian
Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah
menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah.
Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan
lembaga pendidikan kepada anak bangsa, tidak saja dari segi intelektual tetapi juga moral.
Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka
penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.

Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggungjawabkan


mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas
outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output
tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan
efisiensi eksternal.

D.Faktor-faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS

Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan
bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang
mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut
mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas.

Menurutnya ada dua jenis akuntabilitas sebagaimana digambarkan di bawah ini:

Bagan Dua Jenis Akuntabilitas

External

Internal

Low-trust

High-trust

Hierarchical (line) control

Delegated professional responsibility

Contractual compliance

Commitment, loyalty, sense of duty, expertise

Formal process of reporting and recording for line management

Accountable to multiple constituencies


Reduced moral agency

Ethic of neutrality

Ethic of structure

Enhanced moral agency

Deliberation

Discretion

Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal.
Keduanya memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda.
Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal
didasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh
karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun
berbeda. Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan pada
akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya dari segi
tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada
akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan.

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan
akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan.
Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman untuk
manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen.
Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan
etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal peran moral tinggi sehingga
pertimbangannya matang dan memiliki kebebasan untuk bertindak.

Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki pendasaran yang sangat berbeda. Kalau akuntabilitas
eksternal pengaruh faktor luar sangat besar, di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya
pada akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar. Kekuatannya
terletak pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi.

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya

Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata
sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari
berbagai latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya
tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan
manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi penghambat. Dalam
sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan:

Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to
shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to
those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at
the same time not discriminating.

Artinya, keberagaman tenaga kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para
manejer harus mengubah filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang
sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara yang
menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada saat yang sama,
tidak melakukan diskriminasi.

Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari asumsi akan perbedaan nilai dan budaya dari
setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi, tetapi ada
juga yang sebaliknya. Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin untuk dapat
mengelolanya.

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat
mendukungnya? Menjadi tantangan, oleh karena latar belakang tadi.

Jadi, faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan
faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang
menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya
akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri,
melainkan merupakan produk dari masyarakat dengan budaya tertentu.

E.Upaya-upaya Peningkatan Akuntabilitas dalam MBS

Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yang tinggi, oleh karena itu
perlu ada upaya nyata sekolah untuk mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal
yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:

Pertama, sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme
pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan
tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada
publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Keempat, menyusun indikator yang jelas
tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan
pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada
publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan
pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan
memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru
sebagai kesepakatan komitmen baru.

Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk
mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk
mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk
menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya
akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah
dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan
merasa memiliki akan sistem yang ada.

Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat
dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7):

Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:

1.Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.

2.Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan


di sekolah, dan

3.Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang
di masyarakat.

Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas
manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik
merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.

Anda mungkin juga menyukai