Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan atas Berkat dan RahmatNya, yang telah
memberikan kekuatan, ketekunan dan kesabaran sehingga buku yang sudah lama
dipersiapkan ini akhirnya dapat diselesaikan. Buku ini dipersiapkan terutama untuk
mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikann yang sedang mempelajari
Manajemen Berbasis Sekolah. Buku ini terdiri dari tujuh bab yang pembahasannya akan
disertai dengan soal-soal. Saya menyadari, Buku yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan Buku ini.
Demikian buku yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin
belajar dan mendalami manajemen berbasis sekolah. Terimakasih.
Penulis
BAB I
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Pengertian Manajemen Sekolah
Menurut Stoner manajemen secara umum yang dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) manajemen
adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para
anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam konteks sekolah yaitu manajemen
sekolah menurut buku manajemen sekolah sebenarnya merupakan aplikasi ilmu manajemen
dalam bidang persekolahan. Ketika istilah manajemen diterapkan dalam bidang pemerintahan
akan menjadi manajemen pemerintahan, dalam bidang pendidikan menjadi manajemen
pendidikan, begitu seterusnya.Sedangkan menurut James Jr. manajemen sekolah adalah proses
pendayagunaan sumber-sumber manusiawi bagi penyelenggara sekolah secara efektif.
Sedangkan dalam konteks pendidikan ada juga manajemen pendidikan. Menurut Ali Imron
manajemen pendidikan adalah proses penataan kelembagaan pendidikan, dengan melibatkan
sumber potensial baik yang bersifat manusia maupun yang bersifat non manusia guna mencapai
tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.Pada hakikatnya istilah manajemen pendidikan dan
manajemen sekolah mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Keduanya susah untuk
dibedakan karena sering dipakai secara bergantian dalam pengertian yang sama. Apa yang
menjadi bidang manajemen pendidikan adalah juga merupakan bidang manajemen sekolah.
Demikian pula proses kerjanya ditempuh melalui fungsi-fungsi yang sama, yang diturunkan dari
teori administrasi dan manajemen pada umumnya.
Tujuan utama penerapan manajemen sekolah pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur
kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga
manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit
yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah.Di samping
itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal
sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan manajemen sekolah adalah
untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya
manajemen sekolah bertujuan untuk:
Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
a. Kewajiban Sekolah
Agar prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah
ditujukan untuk memberikan palayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik,
pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS.
Pedoman tersebut untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi
dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanaakan dengan efektif, sekolah
dioperasikan dalam kerangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai
dengan tujuan.
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan
motivasi kerja yang lebih produktf dan memberdayakan oto-ritas daerah setempat, serta
mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih.
Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat, dan hal ini merupakan salah satu
aspek penting dalam manajemen berbasis sekolah. Melalui dewan sekolah (school council),
orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan
demikian, masyarakat lebih memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam
pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sekolah tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara
sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah bentuk partisipasi (pembagian
tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru,
dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi
menngkatkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah , guru, dan tenaga administrasi harus memiliki
kedua sifat tersebut, yaitu profesional dan manajerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang
dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala
keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan
prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala
sekolah harus:
Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;
Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa
yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi
sekarang;
Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang
berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah; dan
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manajerial tersebut sangat penting agar peningkatan
efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervisi dan monitoring yang direncanakan sekolah betul-
betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kerangka kebijakan pemerintah dan
tujuan sekolah.
e. Pengembangan Profesi
Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan
(sumber manusia) menerima pengembangan profesi yang diper-lukan untuk mengelola sekolah
secara efektif.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika
ingin reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara dan
kehidupan bangsa dalam konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah,
sedangkan menurut praktisnya merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut, dilandasi oleh peran secara profesional.
Artinya, pelayanan pendidikan tidak dapat dihindarkan dari batas-batas tanggung jawab
mengingat masing-masing mempunyai posisi dan keterbatasan. Keluarga dalam arti biologis
merupakan orang tua langsung (ibu dan bapak), mempunyai tugas dan wewenang untuk
melakukan pendidikan kepada anak – anaknya di rumah tangga, dari mulai hal yang bersifat
sederhana dan pribadi sampai pada hal yang komplek dan bermasyarakat. Tugas dan wewenang
ini, bersifat alamiah dan mendasar untuk membangun individu yang bertanggung jawab. Akan
tetapi sebagai orang tua, terdapat berbagai keterbatasan dalam pelayanan pendidikan yang
bersifat normatif dan terukur, baik yang bersifat keilmuan maupun keterampilan tertentu. Oleh
sebab orang tua tidak dapat melayani kebutuhan pendidikan anaknya, maka orang tua
Landasan munculnya MBS yang berasal dari kehidupan masyarakat (dalam modul UT)
diantaranya:
a. Pendidikan nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai–nilai kebersamaan yang
bersumber dari nilai sosial budaya yang terdapat di lingkungan keluarga dan masyarakat serta
MBS merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengakomodasi
secara lokal, nasional, regional, global). Nilai-nilai lokal tercermin dalam nilai sosial budaya
setempat yang diwujudkan dalam bentuk tata krama pergaulan, model pakaian, dan seni.
Nilainilai nasional berkaitan erat dengan penerapan kaidah-kaidah sebagai warga Negara yang
baik
yang menjunjung tinggi kebangsaan. Kedua nilai tersebut membentuk budi pekerti dan
keperibadian yang kuat, hanya dapat dikembangkan melalui manajemen yang berbasis sekolah
dengan dukungan masyarakat.
Maksudnya adalah kesepakatan atas pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata
lain segala bentuk perubahan harus melibatkan masyarakat setempat agar semuanya lancar sesuai
harapan. Tuntutan penerapan MBS semakin nyata seiring dengan perubahan karakteristik
masyarakat. Perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pertahanan, keamanan, secara
nasional, regional, maupun global, mendorong adanya perubahan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dimiliki siswa. Artinya telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal
untuk terjun ke masyarakat luas dimasa mendatang dibandingkan dengan masa lalu.
2. Landasan Yuridis
(PROPENAS) Tahun 2000-2004 pada bab VII tentang bagian program pembangunan bidang
pendidikan khususnya sasaran terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang
terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), ”pengelolaan satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
e. Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang standar akreditasi sekolah, khususnya tentang
manajemen berbasis sekolah.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3); “Badan hukum pendidikan
madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada
1. Pengertian
sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua
kelompokkepentingan yang terkait dengan sekolah yang dilakukan secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep Manajemen Berbasis
a. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut kekuatan
desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system keputusan harus
c. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih menekankan kepada elemen
manajemen partisipatif. Kemampuan, informasi dan imbalan yang memadai merupakan
elemenelemen yang sangat menentukan efektifitas program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dalam
Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai
sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan
yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil
memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan
kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan
Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam
mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki
kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di
Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju
- Organisasi hirarkis
sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu
a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya. Dengan demikian sekolah
b. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan
orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga sekolah akan berupaya
semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan.
d. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan
mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik,
g. Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang ingin
dicapai.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian
tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
b. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko).
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
b. Bertanggung jawab
c. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah
a. Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan
secara lokal.
d. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara
optimal.
e. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek
sekolah dari program desentralisasi dalam bidang pendidikan. Faktor terpenting dalam penentu
kinerja sekolah yaitu kurikulum. Tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari
b. Pengembangan intelektual
d. Pemahaman interpersonal
SOAL
1. Dalam menerapkan MBS, setiap sekolah wajib melakukan evaluasi diri yang tujuannya
untuk ...
b. Mengetahui kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang dialami serta
harus diatasi
d. Menentukan status sekolah diantara sekolah yang lain dan melakukan tindak lanjut
2. Upaya peningkatkan mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia masih sulit dilakukan,
salah satunya karena faktor input sekolah-sekolah masih rendah. Untuk kewujudkan
sekolah efektif masalah tersebut dapat diatasi dengan ...
3. Menurut standar Pelayanan Minimal di tingkat sekolah menengah pertama, faktor yang
harus diperhatikan dalam hal anak didik adalah kecuali...
a. Psebagai siswa
b. Pakaian siswa
4. Hambatan yang sangat dirasakan sekolah dalam melaksanakan dan menerapkan MBS
adalah...
5. Pelatihan yang harus diikuti kepala sekolah untuk meningkatkan kemampuannya dalam
mengambil keputusan adalah....
6. Menurut para birokrat salah satu alasan mengapa Manajemen Berbasis Sekolah perlu
diterapkan di Indonesia adalah....
7. Pelaksanaan Ulangan Umum dan Ujian Nasional di suatu sekolah baik Negeri maupun
swasta merupakan tanggung jawab dari .....
a. Kepala sekolah
b. Guru
c. Yayasan
d. Pemerintah
b. Berkeadilan, menjaga hak azasi manusia, nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa
d. Demokrasi berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung hak azasi manusia,
nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa
10. Peningkatan ilmu dan teknologi dapat dilakukan melalui pengembangan berbagai
program pendidikan, hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan sebagai upaya untuk...
11. Salah satu Model Pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan
aspirasi masyarakat adalah model...
b. Multiple Inteligence
d. Ki Hajar Dewantoro
12. Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 2007 tentang Proram Sertifikasi guru merupakan
salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat ....
a. Sementara
b. Sentralistik
c. Disentralistik
d. Dekonsentrasi
13. Bila suatu sekolah mempunyai visi "menjadikan siswa unggul di bidang masing-masing"
maka untuk mencapai masa kegiatan utama yang dilakukan
14. Hal-hal yang harus diperhatikan sekolah ketika membuat rencana tahunan adalah
kecual...
15. Program yang dianjurkan pemerintah agar setiap sekolah dapat menjadi sekolah efektif
adalah dengan menerapkan ...
a. Program unggulan
c. Life Skill
16. Kepala sekolah yang senantiasa memberi arahan, mengendalikan, dan memotivasi
stafnya agar menjalankan tugas sehari-hari dengan baik, menandakan bahwa kepala
sekolah tersebut telah menjalankan fungsinya sebagai ...
a. Pemimpin
b. Manager
c. Organisator
d. Perencana
17. Penerapan KBK menuntut seorang guru untuk dapat merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran sesuai kondisi dan kebutuhan peserta didik serta melakukan evaluasi
pembelajaran yang objektif. Tugas ini merupakan salah satu peran guru kecuali..
a. Guru kelas
b. Staf sekolah
c. Manager
d. Profesional
18. Perintisan MBS salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya krisis ekonomi pada tahun
1997-1998. Pada saat itu Pemerintah menyelenggarakan suatu proyek untuk
mempertahankan kualitas pendidikan dasar. Proyek tersebut dinamakan...
d. Patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh kebupaten dan kota dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah
II.ESSAY
1. Landasan hukum pendirian MBS sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sistem
pendidikan di Indonesia adalah
2. Sebutkan faktor mbs.
3. Manajemen Berbasis Sekolah adalah model pengelolaan sekolah yang memiliki pokok-
pokok pikiran utama, salah satunya adalah (Keputusan diambil secara kolektif antara
kepala sekolah dan guru.
4. Sebutkan Tujuan manajemen sekolah menurut salah satu ahli.
5. Jelaskan Esensi Manajemen Berbasis Sekolah
6. Sebutkan beberapa hal beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep
Manajemen BerbasisSekolah (MBS)
7. Jelaskan peranan orangtua dan masyarakat dalam MBS
8. MBS adalah salah satu bentuk otonomi pendidikan pada satuan pendidikan di mana
kepala sekolah dan guru dibantu komite sekolah dalam mengelola pendidikan. Definisi
ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh..
9. Sebutkan Tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari
kurikulum yang dirancang berdasar MBS.
10. Manajemen Berbasis Sekolah perlu diterapkan di sekolah karena?
KUNCI JAWABAN
I.PILIHAN BERGANDA
1. b. Mengetahui kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang dialami serta
harus diatasi
2. c. Membuat Standar Pelayanan Minimal
3. c. Biaya sekolah siswa
4. a. Belum adanya kesiapan personal sekolah dalam melaksanakan MBS
5. c. Workshop manajemen MBS
6. d. Efesiensi manajemen pendidikan dan upaya peningkatan mutu
7. a. Kepala sekolah
8. b. Atasan dalam suatu organisasi
9. d. Demokrasi berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung hak azasi manusia,
nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa
10. c. Mempertinggi peradaban manusia
11. b. Multiple Inteligence
12. b. Sentralistik
13. b. Mengirim siswa yang berbakat ke berbagai kompetisi di tingkat sekolah
14. d. Mempertimbangkan kontek lingkungan dan aspirasi masyarakat
15. c. Life Skill
16. b. Manager
17. a. Guru kelas
18. a. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun diseluruh indonesia
19. c. Diterapkannya manajemen berbasis sekolah/masyarakat
20. d. Patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh kebupaten dan kota dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah
II. ESSAI
5. Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai
sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai
dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu
kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan
memenuhi kebutuhan sendiri.
6. a. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut
kekuatan desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system
keputusan harus dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan kinerja
sekolah.
b. Penelitian tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan
desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi (local stake
holders). Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan
pemberdayaan sekolah, perlu dibangun dengan efektifitas programnya.
c. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih menekankan kepada elemen
manajemen partisipatif. Kemampuan, informasi dan imbalan yang memadai merupakan
elemenelemen yang sangat menentukan efektifitas program Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) dalam meningkatkan kinerja sekolah.
7. MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktf dan memberdayakan oto-ritas daerah
setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang
tindih.Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat, dan hal ini
merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen berbasis sekolah. Melalui dewan
sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan
berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat lebih memahami, serta mengawasi
dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar.
Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah tersebut, mungkin dapat
menimbulkan rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam
hal ini pemerintah bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan
tegas.
8. Mellen,Ogawa,dan Kerrens
9. a. Penguasaan ketrampilan dasar dan proses fundamental
b. Pengembangan intelektual
c. Pendidikan karir & pendidikan vokasional
d. Pemahaman interpersonal
e. Moral & karakter etika
f. Keadaan emosional dan fisik
10. Memberi arahan pada sekolah untuk mengembangkan keunggulannya
BAB II
PERMASALAHAN DAN KARAKTERISTIK IMPLEMENTASI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh
sumber daya manusia yang professional untuk mengoprasikan sekolah, dan yang cukup agar
sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai
untuk
mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan orang tua siswa atau masyarakat yang
tinggi.
Menurut Nurkolis, pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin
keberhasilan Implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Namun secara umum dapat
disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi sebagai berikut :
a. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu: otonomi dalam kekuasaan dan
informasi ke segala bagian, dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berprestasi
atau berhasil.
b. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan
mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus
menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum.
d. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang
aktif.
e. Semua pihak harus menyadari peran serta tanggung jawabnya secara sunggu-sungguh.
f. Adanya quidelines dari Departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses
g. Sekolah harus memiliki transparansi dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya.
Implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing,
implementasi pada proses pembelajaran evaluasi atas pelaksanaan di lapangan, dan dilakukabn
perbaikan-perbaikan.
Sekolah (MBS) sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu efektivitas, efisiensi dan
produktivitas.
Efektivitas berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapai tujuan dengan rencana
yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.
umumnya, berarti bagaimana Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berhasil melaksanakan semua
tugas pokok sekolah, manjalin partisipasi masyarakat, mendapat dan memanfaatkan sumber
dana,
sumber daya, dan sumber belajar (sarana dan prasarana) untuk mewujudkan tujuan sekolah.
Efisiensi yakni perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Artinya suatu
kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber
Sedangkan produktivitas dalam dunia pendidikan yakni keseluruhan proses penataan dan
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Jadi,
implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di samping dilihat dari segi efektivitas, juga
Sebagai suatu paradigma baru dalam dunia pendidikan, selain perlu memperhatikan kondisi
sekolah, implementasi MBS juga memerlukan pentahapan yang tepat atau harus dilakukan secara
bertahap. Penerapan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) secara menyeluruh sebagai realisasi
masyarakat.
ini,secara garis besar, ada tiga tahap yang ada dalam MBS yaitu1
desiminasi.
a). Tahap sosialisasi merupakan tapahan penting mengingat masyarakat Indonesia pada
b). Tahap poling merupakan tahap uji-coba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung
risiko. Efektifitas model uji-coba ini memerlukan persyaratan dasar, yaitu akseptabilitas,
para tenaga kependidikan, khususnya guru dan kepala sekolah. Akuntabilitas artinya program
Reflikabilitas artinya model MBS yang diuji-cobakan dapat direfleksikan di sekolah lain
sehingga perlakuan yang diberikan kepada sekolah uji-coba dapat dilaksanakan di sekolah lain.
dilaksanakan.
c). Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model menejemen MBS yang
Rencana sekolah merupakan salah satu perangkat terpenting dalam pengelolaan MBS.
Rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu yang disusun oleh
sekolah sendiri bersama dewan sekolah. Adapun yang terkandung dalam rencana tersebut adalah
visi dan misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritas-prioritas yang akan dicapai, serta strategi-
Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar
kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
sesuai apa yang diharapkan karena masih sebagian wilayah di Indonesia yang dapat
dipahami oleh para pemangku kepentingan diluar sekolah, hal tersebut menjadi salah satu faktor
sumber daya manusianyalah yang harus segera dibentuk agar mempunyai kemampuan yang
mumpuni. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahdayeni (2016: 27) Implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah akan berjalan efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia
yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu
menggaji
staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang mamadai untuk mendukung proses
Berbasis Sekolah.Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Mulyasa (2005: 57) , yaitu untuk
mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif dan efisien, kepala sekolah
perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, dan pandangan yang luas tentang
meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan
manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Lebih lanjut, kepala sekolah
dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar-
mengajar, dengan melakukan supervise kelas, membina, dan memberikan saran-saran positif
kepada guru.
efisien, guru harus berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru perlu siap dengan
segala
kewajiban, baik manajemen maupun persiapan isi materi pengajaran. Guru juga harus
mengorganisasikan kelasnya dengan baik, jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik,
kebersihan, keindahan dan ketertiban kelas, pengaturan tempat duduk peserta didik, penempatan
Sekolah juga dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila kepala sekolah memahami
perannya
sebagai manajer sekolah. Sebagai contoh dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis
Sekolah yang menyorot tentang tugas kepala sekolah sebagai manajer dilihat dalam
TribunNews.com (2017) yang melakukan wawancara oleh kepala sekolah pada sebuah sekolah
dasar di Batu, Jawa Timur dengan berjudul “Jamin Keberhasilan Belajar Siswa dengan
mengajar. Beliau melinatkan guru dan komite sekolah dalam merancang perubahan di sekolah.
Sebagai kepala sekolah juga terbuka dalam pengelolaan anggaran sekolah. Masyarakat dilibatkan
dalam merangcang program, terlibat aktif dalam implementasi maupun evaluasi untuk
mendukung
peningkatan kualitas pembelajaran”. Dengan demikian tugas pokok dari kepala sekolah harus
dapat dipahami karena kepala sekolah sebagai manajer mendapatkan wewenang dan kekuasaan
Dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah juga tidak lepas dari permasalahan-
permasalahan yang ada, di mana permasalahan tersebut sangat variatif yaitu dari permasalahan
yang mudah sampai dengan permasalahan yang sangat vital. Sebagaimana pendapat dari
Nurkolis
(2005: 142), yaitu pihak terkait harus bekerja lebih banyak daripada sebelumnya, kurang efisien
(dalam jangka pendek karena salah satu tujuan Manajemen Berbasis Sekolah adalah terjadinya
efisiensi pendidikan), kinerja sekolah yang tidak merata, meningkatnya kebutuhan
pengembangan
staf, terjadinya kebingungan karena peran dan tanggung jawab baru, kesulitan dalam
melakukankoordinasi dan masalah akuntabilitas. Masalah lain yang muncul adalah otoritas
keputusan, namun pemerintah pusat atau daerah seringkali teteap menginginkan otoritas
keputusan
berada di pihaknya. Penghambat lain yang sering muncul adalah kurangnya pengetahuan
berbagai
pihak tentang bagaimana Manajemen Berbasis Sekolah bekerja dengan baik. Juga masalah
pihak, dan keengganan para administrator dan guru untuk memberikan kepercayaan kepada
pihak
Permasalahan dalam Manajemen Berbasis Sekolah diperkuat juga dalam sebuah artikel
Tanoto Foundation (2018), yaitu mayoritas sekolah mengalami kesulitan dalam melaksanakan
Manajemen Berbasis Sekolah ini. Maka dari itu, melalui Pelita Pendidikan, Tanoto Foundation
tugas pokok dan fungsi masing-masing komponen warga sekolah, peran serta masyarakat,
kreativitas menghimpun berbagai sumber daya dan dana, serta transparasi dan akuntabilitas
publik.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa permasalahan dalam implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah terlihat pada tugas pokok, peran serta masyarakat, dan dana atau anggaran yang dimiliki
Permasalahan dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah juga dapat dilihat dari
salah satu kepala sekolah di Pekanbaru dalam acara Lokakarya Peran Kepala Sekolah dalam
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Hotel Alpha Pekanbaru pada 16-19 April 2018 dengan
pernyataan sebagai berikut “Dari pelatihan ini mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang
manajer yang bisa mengelola, mengembangkan, dan mengevaluasi performa sumber daya yang
dimiliki sekolah. Melalui lokakarya ini saya merasa sangat terbantu dalam melaksanakan fungsi
saya sebagai kepala Sekolah”. Dengan meninjau dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa
tugas
pokok dan fungsi masing-masing warga sekolah masih menjadi permasalahan dalam
kesimpulan bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dapat berjalan dengan efektif dan
efesien apabila hubungan antarmanusia dapat terjalin dengan baik yaitu kepala sekolah, guru,
peserta didik, dan pemangku kepentingan dari pihak luar. Dan kepala sekolah harus dapat
Bab 2
1. Mana pernyataan berikut yang tepat dalam menggambarkan strategi implementasi MBS di
sekolah?
A. Implementasi MBS di semua sekolah akan berhasil apabila menggunakan strategi yang sama.
B. Hanya ada satu strategi agar implementasi MBS berhasil.
C. Strategi implementasi MBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya.
D. Strategi MBS akan berhasil kalau menggunakan panduan yang sudah ditetapkan.
B. Kepemimpinan D. Kemajuan teknologi
3. Sekolah hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat. Sikap seperti itu merupakan salah
satu contoh faktor ... sekolah yang tidak mendukung keberhasilan implementasi MBS.
A. budaya C. kepemimpinan
B. sumber daya manusia D. finansial
A. mutu C. pemerataan
C. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan
masyarakat
10. Berikut ini merupakan ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS dari aspek
pembelajaran, kecuali:
C. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan
masyarakat
11.Input dan proses pendidikan merupakan dua aspek yang saling berkaitan dan memilih output
pendidikan. Salah satu input pendidikan yang mensugesti proses pendidikan adalah....
a. Tenaga pengajar
b. Biaya pendidikan
c. Kurikulum
d. Teknologi
12.Bila mutu suatu forum pendidikan ditentukan berdasarkan keinginan/kebutuhan dan syarat-
syarat yang dikehendaki oleh pelanggan, artinya sekolah tersebut menganut konsep mutu ...
a. Absolut
b. Relatif
c. Stakeholder
d. Konsumen Absolut
13.Manajemen Berbasis Sekolah yaitu model pengelolaan sekolah yang mempunyai pokok-
pokok pikiran utama, salah satunya yaitu ...
d. Sumber dana diusulkan dan dikelola oleh sekolah sesuai perencanaan masing-masing sekolah
1. Mengapa dalam mengimplementasikan mbs secara efektif dan efisen, guru sangat
berpengaruh?
2. Kepala sekolah melakukan fungsinya sebagai menejer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar mengajar, kepala sekolah juga harus melakukan?
3. Jelaskan pengertian MBS menurut Mulyasa!
4. Jelaskan karakteristik MBS menurut Brown!
5. Sebutkan prinsip MBS!
6. Sebutkan ciri-ciri sekolah efektif?
7. Input pendidikan terbagi menjadi empat, sebutkan?
8. Peningkatan mutu sekolah perlu dukungan dari kepala sekolah, mengapa?
9. Jelaskan pengertian output pendidikan!
10. Jelaskan pengertian MBS!
Kunci Jawaban
1. C 11. A
2. D 12. B
3. A 13. B
4. D 14. B
5. A 15. D
6. B 16. B
7. D 17. C
8. C 18. B
9. D 19. A
10. D 20. B
Essay
1. Karena dalam mengimplementasikan MBS secara efektif dan efisen, guru juga harus berkreasi
dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru adalah teladan dan panutan langsung para peserta
didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu siap dengan segala kewajiban, baik manajemen
maupun persiapan isi materi pengajaran.
2. Kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran, sumbang saran, dan studi banding
antarsekolah untuk menyerap kiar-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain.
3. Menurut Mulyasa, MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah
untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi pendidikan
agar dapat mengakomodasi kenginginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
4. Munurut Brown karakteristik utama dan efektif dalam penerapan manajemen berbasis sekolah
mencangkup otonomi, fleksibilitas, responsibilitas, perencanaan oleh kepala sekolah, dan warga
sekolah, deregulasi sekolah, partisipasi lingkungan sekolah, kaloborasi dan kerja sama atau
kolegial antara staf sekolah dan rasa peduli dari kepala sekolah dan guru.
5. -Keterbukaan
-Kebersamaan
-Berkelanjutan
-Menyeluruh
-Pertanggung jawaban
-Demokratis
7. Adapun input terbagi menjadi empat, yaitu: Pertama, input sumber daya manusia (SDM),
meliputi kepala sekolah, guru, pengawas, staf tata usaha dan siswa. Kedua, input sumber daya
lainnya, meliputi peralatan, perlengkapan, uang dan bahan. Ketiga, input perangkat manajemen,
meliputi struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, kurikulum, rencana
dan program. Keempat, input harapan, meliputi visi, misi, strategi, tujuan dan sasaran sekolah.
8. Peningkatanmutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial para kepala
sekolah. Sekolah perlu berkembang maju dari tahun ke tahun. Kerena itu, hubungan baik antar
guru perlu diciptakan akan terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan.
Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah
menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan kreatifitas., disiplin, dan semangat
belajar peserta didik.
9. Output pendidikan adalah kinerja (prestasi) sekolah. kinerja sekolah dihasilkan dari proses
pendidikan. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi sekolah tinggi dalam hal, prestasi
akademik siswa dan non akademik.
10. MBS adalah suatu manajemen yang menggunakan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah
adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran.
Berdasarkan makna leksikal tersebut MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya
yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
BAB III
PRINSIP OTONOMI DAN DESENTRALISASI SEKOLAH
1. Pengertian Desentralisasi
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
sebagai berikut :
a. Filsafat manajemen
f. Kualitas manajer
g. Keaneka – ragaman produk dan jasa
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan
satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia
termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik
adalah perangkat Daerah itu sendiri, terutama Dinas-dinas Daerah (Sujamto, 1991).
keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri.
sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan
pendidikan
f. Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi
pemerintah daerah dalam rangka menjembatani jurang pemisah antara negara dan
masyarakat lokal. Negara yang mempunyai populasi yang besar dan wilayah yang luas
cenderung lebih terdesentralisasi karna sangat sulit dan mahal untuk memerintah
secara efektif ketika populasi dan wilayah begitu luas. Negara mempunyai wilayah luas
biasanya mempunyai variasi yang besar dalam hal iklim, geografi, dan basis ekonomi,
berikut :
otonom merupakan suatu bentukan hukum yang berdiri sendiri. Pemerintah pusat
dalam hal ini menyerahkan sebian fungsinya atau membentuk unit pemerintah yang
pembangunan regional.
seluruh transfer kewenangan administratif, fiskal dan politik. Bentuk ini adalah
dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan
masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk
merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.
Dalam hal ini berkaitan dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi
mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah
tidak dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang
selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh
karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan.
tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada
tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah.
Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk
pendidikan di sekolah.
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan
kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak
agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran
hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada yang belum dewasa.
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan
masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk
merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.
Dalam hal ini berkaitan dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi
mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah
tidak dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang
selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh
karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan.
tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada
tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah.
Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk
pendidikan di sekolah.
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan
kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak
agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran
hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada yang belum dewasa.
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
Beberapa pengertian tentang pendidikan menurut Noor Syam (1987) antara lain:
c) Pendidikan pula merupakan hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan
Pendidikan dalam hal ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan
sebagai satu kesatuan.
Usaha dan tujuan pendidikan dilandasi oleh pandangan hidup orang tua, lembagalembaga
penyelenggara pendidikan, masyarakat dan bangsanya. Tujuan pendidikan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal (3),
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
tersebut harus di patuhi dan taati oleh setiap daerah, guna menghasilkan mutu sekolah
yang baik.
pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Pada Daerah Otonom Baru daerah otonomi, khususnya pada Pasal 2 ayat(11), bidang pendidikan
tercantum 10
butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat
tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :
f. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
biaya pendidikan. Pedoman ini dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah dalam
menentukan anggaran pendidikan yang akan dipakai dalam satu tahun. Adanya
yang lain dalam hal anggaran sekolah. Kewenangan pemerintah pusat dalam bidang
harus telah penetapkan hari aktif untuk kegiatan belajar setiap tahunnya, selain itu
pemerintah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jam belajar efektif dimana
setiap tingkat pendidikan memiliki jam efektif untuk belajar setiap minggunya berbeda,
semakin tinggi tingkat pendidikan ( SD – SMP – SMA) maka semakin bertambah jam
belajar efektifnya.
pedoman paling dasar, dimana setiap sekolah atau instansi pendidikan lainnya dapat
hal pengawasan pelaksanaan pendidikan agar mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan
pendidikan. Adanya standar – standar yang ditetapkan oleh pemerintah ditujukan agar
dengan adanya standar nasional yang diwujudkan oleh adanya ujian nasional di
butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat
tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :
f. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
biaya pendidikan. Pedoman ini dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah dalam
menentukan anggaran pendidikan yang akan dipakai dalam satu tahun. Adanya
yang lain dalam hal anggaran sekolah. Kewenangan pemerintah pusat dalam bidang
harus telah penetapkan hari aktif untuk kegiatan belajar setiap tahunnya, selain itu
pemerintah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jam belajar efektif dimana
setiap tingkat pendidikan memiliki jam efektif untuk belajar setiap minggunya berbeda,
semakin tinggi tingkat pendidikan ( SD – SMP – SMA) maka semakin bertambah jam
belajar efektifnya.
pedoman paling dasar, dimana setiap sekolah atau instansi pendidikan lainnya dapat
hal pengawasan pelaksanaan pendidikan agar mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan
pendidikan. Adanya standar – standar yang ditetapkan oleh pemerintah ditujukan agar
Meskipun dalam kenyataannya tetap terdapat perbedaan, namun hal itu tertutupi
dengan adanya standar nasional yang diwujudkan oleh adanya ujian nasional di
pemerintah
pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang
didesentralisasikan
bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Selain itu urusan pemerintah yang bersifat absolut, yaitu yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat
concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan juga ada urusan
1. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum
nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.
dan pembaca.
nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang
8. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
Menurut Undang- Undang Nomor. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
a. Pendidikan,
b. Kesehatan,
f. Sosial.
Maka dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah sama-sama memiliki kewenangan
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada
(otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi
masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan
yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan
peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem
desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan inilah yang merupakan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa ayat (1). Karena pendidikan diselenggarakan
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun Pasal 11 ayat(2). Itulah sebabnya
Menurut Undang- Undang Nomor. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
a. Pendidikan,
b. Kesehatan,
f. Sosial.
Maka dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah sama-sama memiliki kewenangan
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada
dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah
(otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi
masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan
yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan
peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem
desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan inilah yang merupakan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa ayat (1). Karena pendidikan diselenggarakan
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun Pasal 11 ayat(2). Itulah sebabnya
minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang Undang
pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD)
(pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat)
dan keberlanjutan Pasal 47 ayat (1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka
yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 47 ayat
(2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip
pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi
tugas oleh presiden Pasal 50 ayat (1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini
untuk menjamin mutu pendidikan nasional Pasal 50 ayat (2). Sedangkan pemerintah
provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk
decentralization process implies the transfer of certain function from small group of
policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain
kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada
tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses
Tahun 2003 adalah terungkap pada Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,
Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal
pendidikan”.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan menurut Tilaar
(2009), yaitu,
telah diambil oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan
decentralization process implies the transfer of certain function from small group of
policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain
kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada
tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses
Tahun 2003 adalah terungkap pada Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,
Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal
pendidikan”.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan menurut Tilaar
(2009), yaitu,
telah diambil oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan
3. Peningkatan daya saing bangsa, Dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya
saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban
perkembangannya.
yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai
birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit
berkesinambungan.
pendidikan di sekolah.
desentralisasi pendidikan.
yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas
penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan,
satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia
termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik
dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu
dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi
selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses
birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk
dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak
yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan.
pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai
pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan
berkesinambungan.
pendidikan di sekolah.
desentralisasi pendidikan.
penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan,
satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia
termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik
dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu
dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi
selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses
birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk
dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak
yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan.
pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai
pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan
beriman, bertaqwa, berbudi luhur, menguasai ilmu, teknologi dan seni, berwawasan
masa depan dan global, berbasiskan nilai luhur budaya lokal dan kebangsaan serta
jawab.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan
a. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah
b. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas
yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki.
sekolah. dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa
ada.
e. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan
kabupaten.
g. Urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab
kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan
berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus
Nasional
perencanaan penddikan
tersebut.
Adapun wewenang daerah yang didelegasikan kepada pihak sekolah menurut Mulyasa
karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan
evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga
evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar dapat mengungkap
dengan komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam penyusunan kurikulum,
kurikulum, namun tidak mengurangi standar isi yang berlaku secara nasional.
guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum,
kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan
berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus
Nasional
perencanaan penddikan
tersebut.
Adapun wewenang daerah yang didelegasikan kepada pihak sekolah menurut Mulyasa
karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan
evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga
evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar dapat mengungkap
informasi yang sebenarnya.
dengan komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam penyusunan kurikulum,
kurikulum, namun tidak mengurangi standar isi yang berlaku secara nasional.
guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum,
sekolah atau untuk memasuki dunia kerja sampai pada pengurusan alumni.
5. Pengelolaan Iklim Sekolah. Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif
yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan
Berikut kelebihan dari desentralisasi pendidikan menurut Chan dan Sam (2005):
a. Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah
lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki
e. Dijadikan komoditas,
lain telah memperoleh dana dari APBN. sementara itu, hasilnya masih diragukan
Soal
I.PILIHAN BERGANDA
II. ESSAI
a. Filsafat manajemen
b. Ukuran dan tingkat pertumbuhan ekonomi
f. Kualitas manajer
2. Desentralisasi adalah
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia.
berikut :
1. Devolution (devolusi)
2. Delegation
3. Deconcentration
4. Political or demokratik decentralization
4.
BAB IV
KEEFEKTIFAN DAN MBS DAN BUDAYA KAITANNYA
DENGAN KEPEMPIMPINAN SEKOLAH
BAB V
PENGEMBANGAN STAFF
Pengembangan Staf Pengajar
Pengembangan staf pengajar merupakan bagian dari pengembangan institusi secara
menyeluruh seperti dalam sebuah pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi harus
berdasarkan analisis diri sehingga dapat ditentukan faktor-faktor yang dapat dilakukan perubahan,
pengembangan dan peningkatan. Dengan analisis diri pula dapat mengkaji, prioritas kegiatan yang harus
dilakukan. Evaluasi diri atau biasa disebut sebagai self-assessment merupakan kegiatan yang secara ideal
rutin harus dilakukan oleh sebuah intitusi pendidikan, agar dalam setiap self assessment dapat dilihat
seluruh aspek yang dapat ditingkatkan maupun dikembangkan. Evaluasi diri dengan menggunakan
analisa SWOT merupakan salah satu bentuk evaluasi diri yang dapat digunakan oleh institusi. Hasil
analisa SWOT dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan rencana strategik pada institusi
pendidikan. Analisa SWOT pada PSPD FKK-UMJ berdasarkan, pada penerimaan, proses dan output yaitu;
pelayanan sebelum masuk kampus, pelayanan saat pendidikan dikampus dan pelayanan setelah lulus.
Dengan berdasarkan analisa SWOT maka dipilah pengembangan staf berdasarkan kekuatan dan
kelemahan yakni tabel berikut.
Kekuatan Kelemahan
- Komitmen yang tinggi dari - Lemahnya Komitmen dari
pimpinan PSPD FKK UMJ untuk Universitas terhadap
meningkatkan jumlah staff penambahan jumlah staff untuk
pengajar fakultas/prodi
- Komitmen yang tinggi dari - Lemahnya dukungan dari
Pimpinan PSPD FKK UMJ untuk Tingkat Universitas dalam
peningkatan kapasitas dan peningkatan kualitas staff
kualitas staff pengajar melalui pengajar tingkat Fakultas/Prodi
pendidikan lanjut atau kursus - Kurangnya komitmen staff
- Staff pengajar yang berjumlah pengajar dalam pengem-
10 orang melanjutkan bangan kurikulum masing-
pendidikan S2 dan spesialis masing sistim/blok
- Penerimaan staf pengajar - Banyaknya staf pengajar yang
honorer yang bertugas hanya bekerja di struktural PSPD FKK-
membantu staf pengajar tetap UMJ
dalam proses kegiatan tutorial - Waktu staf pengajar untuk
dan praktek keterampilan klinik.
meneliti dan pengabdian
-
masyarakat tidak banyak
karena lebih diutamakan pada
pengajaran.
- Mekanisme penerimaan staff
pengajar belum menggunakan
metode pengem-bangan staff
(staff development) yang de-
fenitif.
- Pengayaan kompetensi staff
pengajar belum dilakukan
secara bertahap dan berke-
sinambungan
- Banyaknya staf pengajar yang
melanjutkan pedidikan S2 dan
Spesialis
- Belum jelasnya pengembangan
staf pengajar
- Staf pengajar yang sesuai
bidang ilmu sangat sedikit,
seperti contohnya pakar
anatomi hanya satu orang.
Institusi PSPD FKK-UMJ, harus membuat program pengembangan staf pengajar dengan melihat
hasil kajian kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh institusi. Pengembangan staf pengajar atau
sering pula disebut pengembangan fakultas memiliki arti suatu perencanaan atau kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas staf pengajar dalam keterampilan mengajar, penelitian serta
menulis serta kegiatan administrasi yang dilakuan secara bertahap, berkesinambungan dan terukur
(Dent dan Harden, 2009; Jolly, 2002). Dornan et al., (2011) menegaskan institusi pendidikan yang
berfokus pada pengembangan staf pengajar dan berpandangan bahwa staff pengajar merupakan
investasi disebut sebagai “learning organisation”. Sehingga para pakar pendidikan menyimpulkan
bahwa peningkatan kapasitas staf pengajar akan berdampak peningkatan dari kualitas mahasiswa, dan
membuat citra yang baik bagi institusi atau fakultas karena menghasilkan lulusan yang berkualitas (Dent
dan Harden, 2009; Jolly, 2002; Dornan et al., 2011). Bentuk kegiatan pengembangan staf pengajar
seharusnya dirancang dengan baik, dan dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan. Hingga saat ini
pengembangan staf pengajar dilakukan secara sporadis, atau tiba-tiba. Kegiatan seminar atau
workshops yang dilakukan pihak eksternal dari PSPD FKK-UMJ menjadi tempat pengembangan staf
pengajar, sehingga tidak berkaitan dengan pengembangan staf pengajar secara menyeluruh dan
terencana.
Pengembangan staf pengajar memiliki arti yang sangat penting dan merupakan kunci dari
keberhasilan institusi, dikarenakan hasil dari kegiatan pengembangan staff yang melibatkan seluruh staff
pengajar dapat menghasilkan beberapa manfaat yakni, 1) personal mastery, 2) mental model, 3) shared
vision, 4) team learning dan 5) system thinking (Dornan et al., 2011). Pengembangan staf pengajar
seharusnya diperuntukkan bagi seluruh staf dari seluruh tingkatan, sehingga peningkatan kemampuan
staf dapat terjadi secara bersama-sama, dari tingkatan bawah hingga ke tingkat pimpinan (Jolly, 2002).
Secara personal staf pengajar yang terlibat pada kegiatan pengembangan staf akan memperoleh
peningkatan kemampuan (mastery) mengajar karena kemampuan mengajar pada kondisi saat ini telah
terjadi perubahan yang cukup besar, banyaknya penggunaan media-media pembelajaran yang
bermacam-macam, seperti contohnya E-learning, computer assissted learning (CAL) dan simulation,
menuntut staf pengajar saat ini pun harus menguasai perkembangan tehnologi tersebut (Dornan et al.,
2011). Tehnik dan metode pembelajaran di dunia pendidikan khususnya pendidikan kedokteran saat ini
telah berkembang sehingga dengan kegiatan pengembangan staf yang dirancang dengan baik dan
berkelanjutan, maka staf pengajar dapat memiliki kompetensi pengajaran dengan tehnik dan metode
Student
assessor
Ifm
Curriculum
evaluator
Teaching
expertice
p
u
R
v
d
ln
P
e
A
ir
on
s
F
o
t
a
c
ti
terbarukan, sehingga pada sat ini peran staf pengajar telah menjadi 12 (Gambar.2) (Dent dan Harden,
2009; Joly, 2002; Mclean et al, 2008) .
Mentor
IFAnformati
RP ssess
esource
Role
asilit
lann
develope
Course organizer
Student contact
Learning
facilitator On the job role
model
Medical Expertice
Teaching Role
model
Lecturer
Resource
Clinical of Practical
Teacher
material creator
Curriculum Study Guide
planner producer
Student at adistance
Meningkatnya penerimaan jumlah mahasiswa dan dengan berbagai macam gaya belajar
menjadikan pengembangan staf pengajar sangat penting artinya untuk dilakukan secara teratur,
mengingat bentuk-bentuk pembelajaran saat ini dapat dilakukan pada kelas besar dan kelas kecil atau
diluar ruang kelas, peningkatan kemampuan pengajaran dengan kondisi seperti ini mengharuskan
penanggung jawab pengembangan staf merancang peningkatan kemampuan pengajaran staf pengajar
dengan mengikuti perkembangan tehnologi pendidikan kedokteran yang terbarukan (Dornan et al 2011;
Dent dan Harden 2009; Jolly, 2002). Perkembangan pendidikan kedokteran yang menyesuaikan pada
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan perkembangan layanan kesehatan, menyebabkan
terjadinya perubahan pada kurikulum pendidikan kedokteran dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan peningkatan layanan (prosedur)
kesehatan, (Farmer, 2004). Bentuk pembelajaran dengan problem-based learning yang saat ini sedang
berkembang di dunia pendidikan kedokteran menuntut penyesuain kompetensi pada staf pengajar,
termasuk pula staf pengajar PSPD FKK-UMJ. Farmer (2004) memberikan dua tahapan penting pada
pengembangan staf pengajar yang menggunakan pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Pertama
tahap implementasi kurikulum, yang berisikan meningkatkan dan mengembangkan kemampauan staf
pengajar sebagai tutor (Gambar. 3) dan memberikan kesempatan bagi staf untuk dapat melakukan
refleksi diri dan pengembangan kemampuan diri (Farmer, 2004). Kedua adalah tahap pengembangan
kurikulum, diperlukan pengembangan staf dengan pemberian apresiasi dan penghargaan pada prose
pembelajaran, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan staf pada beberapa aspek yang
mendukung pembelajaran dan membina pengembangan perilaku kepemimpinan serta mendorong
dosen untuk mengembangan pembelajaran dengan penelitian atau pendidikan formal lanjutan (Farmer,
2004; Jolly 2002). Peran terpenting lainnya adalah mengembangkan kemampuan staf pengajar khusus
di klinik yang bertugas sebagai pembimbing klinik, mengingat kemamapuan dan metode pembalajaran
di klinik berbeda dengan tahap akademik, oleh Harden et al. (1999) (disitasi dari Mclean, 2009)
memberikan 3 pokok kemampuan yang harus dimiliki oleh staf pengajar yang menjadi pembimbing di
klinik, yakni :
Tutor training
Selain memberikan gambaran tentang strategi pengembangan staf, Farmer (2002) juga
memberikan kondisi masa datang yang berkaitan dengan perkembangan staf pengajar yang sesuai
dengan pembelajaran PBL (Gambar. 4)
Peningkatan jumlah peran staf pengajar baik di tahap akdemik dan tahap kepaniteraan,
memerlukan rancangan pengembangan staf pengajar yang terarah, terus menerus dan termonitoring
dengan harapan pencapain kemampuan masing-masing staf sesuai dengan harapan institusi yang
berdampak peningkatan pembelajaran pada mahasiswa, yang pada akhirnya lulusan institusi memilki
kompetensi yang diinginkan oleh masyarakat ( Farmer, 2002; Dornan et al, 2011; Mclean et al., 2008)
Tujuan penting dalam pengembangkan staf pengajar untuk mencapai peran-peran tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yang secara ringkas terbagi 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Pertama
faktor internal dalam pengembangan staf pengajar, adalah komitmen yang tinggi dari pimpinan institusi
untuk menjadikan staf pengajar merupakan aset dan investasi untuk meningkatkan kemampuan dan
nama institusi, olehnya institusi mendorong terlaksananya program pengembangan staf pengajar ,
dengan terus memberikan dukungan sumber daya manusia dan keuangan (Mclean et al., 2008). Pada
PSPD FKK-UMJ telah terbentuk bagian SDM yang berada dibawah struktur penjaminan mutu akademik,
namum penulis menyarankan pengembangan SDM memiliki struktur tersendiri yanvg langsung dibawah
pimpinan prodi atau fakultas. Waldman et al.,(2004) (disitasi dari Mclean,2008) menyatakan bahwa
anggaran yang dibutuhkan untuk pengembangan staf adalah sekitar 5% dari total anggaran pada proses
pembelajaran institusi. Mclean et al (2008) memberikan argumen bahwa faktor internal penting lainnya
pada pengembangan staf pengajar adalah kurangnya kemampuan staf dalam proses pembelajaran
sehingga pencapaian kualitas mahasiswa terhambat. Menghasilkan staf pengajar yang memiliki
kemampuan yang baik dalam pengajaran diperlukan waktu dan proses yang lama, sehingga institusi
memerlukan waktu dan dana untuk mendapatkan staf pengajar yang handal. Faktor eksternal yang
penting untuk melakukan pengembangan staf, adalah faktor tuntutan dari stakeholder dan masyarakat,
faktor akuntabilitas pada proses pengajaran dan profesionalisme, dan peraturan peraturan yang berasal
dari pemerintah dan asosiasi pendidikan yang berkaitan dengan proses pengajaran (Mclean et al., 2008).
Hambatan pada pengembangan staf pengajar dapat pula terjadi pada setiap institusi, yang
pertama disebabkan hambatan personal dari staf pengajar dan hambatan dari institusi. Beberapa
hambatan personal dapat menyebabkan pengembangan staf pengajar tidak dapat terlaksana dengan
baik, diantaranya kerena, resistensi untuk berubah, rendahnya motivasi dan keinginan untuk menguasai
kemampuan dan keterampilan baru, serta komitmen yang rendah untuk meningkatkan kualitas
mahasiswa atau institusi, dan rasa penghargaan yang diberikan oleh institusi tidak diperoleh. Hambatan
dari institusi adalah tingkat kepemimpinan yang lemah dan mekanisme penghargaan bagi staff pengajar
yang tidak jelas.
Membuat rancangan pengembangan staf pengajar maka pada awalnya adalah diperlukan
kesiapan tim yang akan bertangguang jawab untuk menyiapkan rancangan pengembangan staf yang
berada di dalam Medical Edfucation Unit (MEU) PSPD FKK-UMJ. Kesiapan staf pengembangan staf harus
memperoleh terlebih dahulu dukungan dari pimpinan institusi mulai dari kaprodi, dekan, dan rektor,
mengingat kegiatan pengembagan staf merupakan kegiatan yang menjadi aktivitas rutin bagi institusi
dan bukan bersifat insidentil atau kegiatan pengembangan staf dilaksanakan pada saat diperlukan.
Pengembangan staf harus dipahami oleh pimpinan institusi, bahwa kegiatan pengembangan staf yang
dilaksanakan dengan efektif dan bermakna (Mclean, 2004), maka akan memiliki garis lurus dengan
peningkatan kemampuan staf pengejar dalam proses pembelajaran sehingga dampaknya didapatkan
pada hasil belajar mahasiswa yang semakin meningkat. Pimpinan institusi harus memahami bahwa
kegiatan pengembangan staf merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan juga
memberikan hasil yang cukup lama, bukan hasil yang instant, dengan demikian komitmen yang tinggi
dari pimpinan institusi tidak boleh berhenti untuk mendukung kegiatan pengembangan staf. Kajian
Rancangan pengembagan staf pada PSPD FKK-UMJ, bersumber dari AMEE no. 36, dengan mencoba
mengadopsi dan mengadaptasi beberapa pakar pendidikan kedokteran dunia yang telah menerapkan
kegiatan pengembangan staf di institusi mereka masing-masing. Namum demikian yang perlu dipahami
adalah adaptasi dari institui lain tentang pengembangan staf harus disesuikan dengan jumlah staf,
kondisi, situasi, kultur dan organisasi yang ada di PSPD-FKK-UMJ. Dalam membuat rancangan
penngembangan staf digunakan pendekatan yang telah dibuat oleh Kern et al., (1998) (Gambar. 5)
dengan 3 tahapan yakni :
Pada tahap perencanaan maka langkah pertama yang penting dilakukan adalah identifikasi dari
pimpinan-pimpinan institusi dari tingkat kepala bagian, kaprodi, dekan, dan rektor tentang pandangan
dan harapan yang berkaitan dengan pengembangan staf pengajar. Aturan-aturan yang berkaitan
tentang staf pengajar dan pengembangannya yang berasal dari tingkat prodi, fakultas, universitas,
organisasi muhammadiyah, peraturan-peraturan pemerintah, asosisasi pendidikan kedokteran, dan
standar internasional menjadi bahan yang penting dalam merancang kegiatan pengembangan staf.
Langkah ketiga adalah melakukan identifikasi kebutuhan dan kepentingan secara personal dalam
peningkatan kualitas pengajaran dan karir pada staf pengajar. Identifikasi kebutuhan harus dilakukan
bagi seluruh staf pengajar yang ada yakni staf pengajar yang ada di tahap akademik dan tahap klinik.
Dengan memperoleh data tentang kepentingan dan kebutuhan peningkatan kapasitas pengajaran dan
karir sehingga dapat dikelompokkan dan dipertemukan antara kepentingan institusi dengan kepentingan
personal yang memiliki dampak pada peningkatan kualitas pengajaran dan karir staf, sehingga pada
akhirnya meningkatkan pula kualitas institusi PSPD FKK-UMJ. Langkah Ketiga, adalah membuat
pengelompokkan kemampuan yang harus dicapai dan dapat terukur, seperti yang dijelaskan dalam Level
pencapain oleh Kirkpatrick (1994) (disitasi dari Mclean, 2008) yaitu : 1) Kompetensi Individu, 2) Proses
pembelajaran, 3) Dosen dan pembimbing kinik, sehingga para ahli berpendapat bahwa kegiatan
pengembangan satff akan lebih bermanfaat bila dibuat dalam bentuk workshop atau pelatihan. Kegiatan
pengembangan staf harus dirancang dalam kurun waktu yang panjang dan tidak seluruh pencapaian
diselesaikan dalam satu kegiatan saja. Kegiatan harus dirancang secara bertahap, berjenjang, saling
terkait dan terukur (adaptasi dari Wolkinson dan Irby ,1998; Benor, 2000).
BAB VI
PERUBAHAN KURIKULUM
urikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa
kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang
diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan
perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan
dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.
Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan
budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan
nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu
bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena
ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya
dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar, dimana secara
menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi,
politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya
berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi
juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti
perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat
statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan membahas permasalahan yang dihadapi
dalam mencari alternatif jawaban ataupun solusi bijak yang bisa dipecahkan bersama sehingga
dapat terwujud pemahaman mengenai perubahan kurikulum. Untuk menganalisa masalah diatas
penulis mengkemasnya dengan judul Analisis Kritis Perubahan Kurikulum Pendidikan di
Indonesia.
Dalam perspektif soetopo dan soemanto pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk
dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan bila terdapat
adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu, yang
disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja, tentunya menuju movement yang lebih baik.
Berbeda dengan ungkapan nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-alat
atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering berarti turut mengubah
manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu
sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan
kurikulum juga disebut devolupment (pembaharuan) atau inovasi kurikulum.
Mengenai makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat
bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau
dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses pembelajaran. Kurikulum dapat
juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses
untuk mencapainya. Keduanya saling berinteaksi. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid
didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun
rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan
dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar
kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat
dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai
yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan
kepribadian guru.
Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada
kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala
sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya
wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang
bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian
lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah
semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga
orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti
yang telah penulis paprkn di atas, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial,
curriculum change is social change.
Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto, Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian, tapi
dapat pula bersifat menyeluruh.
Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut
perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu
saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari perubahan
sebagian-sebagian.
Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada
komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh,
penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa
membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum
tersebut.
Perubahan menyeluruh
Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara
menyeluruh . Artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana
tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya.
Perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan
kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah
pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh.
Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya, pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi
pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.
Menurut Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya
perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.
Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis.
Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah
dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional
merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di
dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak,
perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah
menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu
pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan
cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan
sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan bertambahnya penduduk, maka
makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan
bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau
kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin
besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya
perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.
Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam
faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila
suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka. Dengan sendirinya
kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun
30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak,
sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi terhadap subject-
centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat adulatif (pembujukan) dan society-centered..
Pada tahun 40-an, sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum
menjadi lebih society-centered.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses
belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum,
programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi (ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan
adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku
tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum,
betapapun relevannya pada suatu saat.
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru
tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di
sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk golongan itu juga.
Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara
yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan
pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada
yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan
atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu
hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Disadari atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang lebih banyak untuk
fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula
pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau
yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap
pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar
mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
Polemik yang telah pamakalah paparkan di atas mengenai perubahan kurikulum yang ada di
Indonesia, dari mulai pergantiannya hingga pelaksanaan kurikulum yang baru. Penulis dapat
menarik satu benang merah bahwa kurikulum dalam pengertian termenologi yang berasal dari
bahasa Yunani “Curriculum” dan “Curere” dalam bahasa latin adalah seperangkat mata pelajaran
yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran
yang akan diberikan kepada peserta pelajar/sisa dalam satu periode jenjang pendidikan.
Sementara itu, yang pesimistis dengan kurikulum mutahir mengolok-olok KTSP sebagai
(K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu premature (sebelum waktunya). Sumber
kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak
guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP? Bukankah
pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali guru sebagai penyusun kurikulum?
Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan
menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru ini pun akan sama nasibnya dengan
kurikulum-kurikulum lainnya.
Tak dapat dipungkiri, pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan
bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah,
disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi
institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Dengan begitu banyak poin
penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangatlah krusial untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, di saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah
secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti
menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah. Kalau penulis
istilahkan “ganti menteri ganti kurikulum”. Mungkin hanya ada perubahan sedikit didalamnya,
namun dengan adanya menteri baru inginnya melakukan perubahan, sayang sekali yang dirubah
hanya nama, tidak lebih dari sekedar formalitas. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu
baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok dengan
realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak efektif dan sulit
direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi
(kesalahpahaman). Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban
dari proyek Mendiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”.
Hal ini sangat ironi dalam dunia pendidikan Indonesia, jika hal ini diteruskan lambat laun banyak
penyelenggara pendidikan non-pemerintah yang bersaing dengan sekolah naungan pemerintah
atau negeri. Kadang kala kita jumpai bahwa kurikulum yang diberikan sekolah swasta cenderung
lebih baik ketimbang kurikulum dari pemerintah. Keplin-planan pemerintah mengonta ganti
kurikulum pendidikan sebenarnya tidak masalah, yang dipermasalahkan hanya kualitas
kurikulum tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas pembelajaran ataukah hanya akan
membuat kebingungan para siswa karena selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Pemakalah
berharap semoga pemerintah lebih jeli lagi dalam mengganti kurikulum yang sesuai kondisi riil
masyarakat, jadi tidak ada anggapan lagi “ganti menteri ganti kurikulum”.
C. Analisis Perubahan Kurikulum Dari 1947 – 2006
Seperti yang telah paparkan sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “Mengapa kurikulum di negara kita
sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di
atas, ”Biasa, ganti Menteri Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?
Penulis menganalisa secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964, tahun1968,
tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru adalah kurikulum tahun
2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik,
sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan
semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD
1945. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta
pendekatan dalam mengimplementasikannya.
Dimulai pada tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam
semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism
(pelaku pembaharuan) lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling
menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi
pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang
hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk
pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana,
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968, dalam hal ini terjadi perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini menggunakan
pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya
tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam
pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus
respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada
perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975
dengan kurikulum 1984.
Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah
harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan
bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang
digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang
diberikan.
Pada tahun 1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada
pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang kurang memperhatikan
muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam
pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa
aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa guru dapat
memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan.
Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok
bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara
pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan
keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama
meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti
penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya
UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis
harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan
dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah
ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu
yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi
seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah
melalui proses pembelajaran.
Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian
pengalaman belajar yang bermakna.
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar
mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester.
Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek
dari mata pelajaran tersebut.
Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui dan
mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.
Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa
siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai
hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang
sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga
tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika
indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini
dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan
tugas lainnya.
Yang paling mutahir adalah KTSP, Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan
terjadi seperti diuraikan di atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi KTSP dan
potensi dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik pendidikan di lapangan. Sikap
kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu dikembangkan, tetapi harus disertai
dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan
tersebut. Agar kesetimbangan penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup
komprehensif, dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko
yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami secara benar.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi
kebijakan Pemerintah tentang KTSP tersebut :
2) Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang
mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya.
Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah. Misalnya, saat
pemerintah pusat tercengang dengan minimnya pergulatan kreativitas sekolah,
dikumandangkanlah paradigma otonomi pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah.
Kenyataannya, institusi prasyarat manajemen berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan
komite sekolah hanya hiasan struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak
berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia sistem
manajemen pendidikan tak sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya kebijakan try and
error yang menyangkut kurikulum.
3) Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan
sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu
menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi
pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni
pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah
nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama,
apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya
variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki
peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah on-line learning.
4) KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional, dan
internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber daya yang
memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan secara instan melalui berbagai
program pendampingan pengembangan kurikulum. Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya
menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia
KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil
kreativitas.
Sekedar untuk digaris bawahi bahwa secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No.
19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan adanya tuntutan
masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras, sekeras
tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan bahwa kecenderungan
masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001)
menyatakan:
Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan,
maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan.
Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan
yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya.Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai
disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan
masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang
memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang
kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang
jelas dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.Empat hal
penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab
tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori
perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah
lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan
Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen
berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2)
pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola
secara baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen
sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas.
Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara
efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga
pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi,
akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88):
Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi,
akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua
persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga
pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu
disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan
dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin
mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable.
Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu
keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya
suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas
suatu lembaga juga bergantung kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan
akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai
akuntabilitas keuangan.
MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah,
yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola,
memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam
menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang
dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang
apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti
akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban
penyelenggara sekolah.
As far back as the 1830 when public was used to establish a national education system 'some
were concerned that the spending of public money should be properly supervised and controlled,
and others were dissatisfied with the practical aspects such as the poor quality of the teachers'
(Lawton and Gordon 1987, p.7).
Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya
lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan
seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-
profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000).
Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah
kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban
untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12)
mendefinsikan akuntabilias "is the degree to which local governments have to explain or justify
what they have done or failed to do." Lebih lanjut dikatakan bahwa "Accountability can be seen
as validation of participation, in that the test of whether attempts to increase participation prove
successful is the extent to which people can use participation to hold a local government
responsible for its action." Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas dikaitkan dengan
partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders
sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah,
maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.
Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions
and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam
akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk
mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu
sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal
responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents
and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun
secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk
mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang
terkait dengan pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83), "The head
teacher and governing body have a legal responsibility to ensure the finances of the school are
used effectively to benefit pupils' education."
Untuk siapa guru bertanggung jawab? Pertanyaan ini diajukan oleh Headington, Ia
menjawabnya:
Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing
work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them
make progress in their learning. Secondly, teacher are accountable to pa rents, both legally and
morally, for the educational development of their children. The most evident mechanism for this
through the formal reporting channel and through the provision of information about pupils'
progress whenever necessary." Thirdly , teacher are accountable to their fellow professionals, in
and beyond the school, through the provision of accurate and appropriate information from
which pupils educational progress can be tracked, measured and compared. To in activities and
discussion which develops shared professional understanding and enhances good
practice."(2000:84)
Apa yang dikatakan oleh David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya
kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang
terpisah dari pembelajaran.
Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang
dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam penerapan MBS yang tidak
boleh diabaikan oleh sekolah.
Tujuan Akuntabilitas
Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan
publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat
pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan
masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan:
Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah
sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara
sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada
publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik
terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan
publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen
pelayanan pendidikan kepada publik.
Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir
dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya
kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas
baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal.
Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat.
Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan).
Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar
kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan,
melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti
disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana
dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to
their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging,
maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning.
Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa. Sebagaimana dikatakan
oleh Headington, "Teacher are accountable to parents, both legally and morally, for the
educational development of their children. The most evident mechanism for this through the
formal reporting channel and through the provision of information about pupils' progress
whenever necessary."
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan
keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar
kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.
Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah
dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral
individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan
yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian
Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah
menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah.
Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan
lembaga pendidikan kepada anak bangsa, tidak saja dari segi intelektual tetapi juga moral.
Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka
penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan
bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang
mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut
mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas.
External
Internal
Low-trust
High-trust
Contractual compliance
Ethic of neutrality
Ethic of structure
Deliberation
Discretion
Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal.
Keduanya memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda.
Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal
didasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh
karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun
berbeda. Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan pada
akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya dari segi
tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada
akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan.
Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan
akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan.
Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman untuk
manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen.
Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan
etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal peran moral tinggi sehingga
pertimbangannya matang dan memiliki kebebasan untuk bertindak.
Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki pendasaran yang sangat berbeda. Kalau akuntabilitas
eksternal pengaruh faktor luar sangat besar, di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya
pada akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar. Kekuatannya
terletak pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi.
Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata
sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari
berbagai latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya
tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan
manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi penghambat. Dalam
sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan:
Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to
shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to
those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at
the same time not discriminating.
Artinya, keberagaman tenaga kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para
manejer harus mengubah filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang
sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara yang
menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada saat yang sama,
tidak melakukan diskriminasi.
Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari asumsi akan perbedaan nilai dan budaya dari
setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi, tetapi ada
juga yang sebaliknya. Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin untuk dapat
mengelolanya.
Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat
mendukungnya? Menjadi tantangan, oleh karena latar belakang tadi.
Jadi, faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan
faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang
menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya
akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri,
melainkan merupakan produk dari masyarakat dengan budaya tertentu.
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yang tinggi, oleh karena itu
perlu ada upaya nyata sekolah untuk mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal
yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:
Pertama, sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme
pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan
tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada
publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Keempat, menyusun indikator yang jelas
tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan
pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada
publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan
pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan
memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru
sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk
mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk
mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk
menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya
akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah
dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan
merasa memiliki akan sistem yang ada.
Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat
dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7):
3.Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang
di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas
manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik
merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.