A. Negara Kesatuan
Dalam model Negara Kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametric dari Negara Federal.
Formasi Negara Kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan
mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para
penguasa daerah, apalagi negaranegara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di
wilayahnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau wilayah - wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau
kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk mengurusi berbagai kepentingan masyarakatnya. Di
Indonesia sendiri daerah-daerah tersebut dinamakan provinsi. Provinsi-provinsi ini kemudian diberi
otonomi, diberi kedaulatan untuk mengurus rumah tangganya sendiri untuk hal-hal yang sudah
ditentukan oleh pemerintah pusat. Kedaulatan atau yang namanya otonomi di provinsi ini hanyalah
otonomi yang ditentukan.
B. Negara Federasi
Untuk mencapai suatu pengertian apa yang dimaksud dengan Negara Federal alangkah
lebih baik kita membahas terlebih dahulu bagaimanakah proses pembentukan Negara
Federal. Dilihat dari asal-usulnya, kata “federasi” berasal dari bahasa latin, feodus yang
artinya Liga. Liga Negara - negara kota yang otonom pada zaman Yunani kuno dapat
dipandang sebagai Negara Federal yang mula-mula. Bentuk modern pemerintahan federal
berasal dari pengalaman konstitusional Amerika Serikat. Dapat dikatakan bahwa
pemerintahan federal merupakan salah satu sumbangan sejarah ketatanegaraan Amerika
Serikat terhadap dunia modern. Model Negara Federal berangkat dari suatu asumsi dasar
bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal
memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masingmasing
P E R A N D A N K E D U D U K A N P E M D A D A L A M N E G A R A K E S AT U A N D A N
FEDERAL
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Indikator untuk menentukan serta menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan
tersebut berjalan dengan baik, dapat diukur dari 3 tiga indikasi berikut. Terjaminnya keseimbangan pembangunan di wilayah Indonesia, baik berskala lokal
maupun nasional.Terjangkaunya pelayanan pemerintah bagi seluruh penduduk Indonesia secara adil dan merata.Tersedianya pelayanan pemerintah yang lebih
efektif dan efisien.Sebaliknya, tolok ukur yang dipakai untuk merealisasikan ketiga indikator di atas, aparat pemerintah pusat dan daerah diharapkan memiliki
sikap-sikap sebagai berikut.
a) Kapabilitas (kemampuan aparatur),
b) Integritas (mentalitas)
c) Akseptabilitas (penerimaan), dan
d) Akuntabilitas ( kepercayaan dan tanggung jawab).
e) Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B Ayat (1) menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun yang
dimaksud dengan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan
Provinsi Papua. Adapun daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penerapan Pemda dalam Konteks Negara Kesatuan
A. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kedaulatan yang terdapat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi, bentuk pemerintahan
desentralisasi dalam negara kesatuan adalah sebagai usaha mewujudkan pemerintahan demokrasi, di mana pemerintahan daerah dijalankan secara
efektif, guna pemberdayaan kemaslahatan rakyat. Kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, meliputi kewenangan membuat perda-perda
(zelfwetgeving) dan penyelenggaraan pemerintahan (zelfbestuur) yang diemban secara demokratis. Pelimpahan atau penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan disebabkan oleh hakikat Negara
kesatuan itu sendiri. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah
pemerintah pusat(central government), tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local
government).
Pengaturan pelaksana kekuasaan negara mempunyai dua bentuk, yaitu dipusatkan atau dipancarkan. Jika kekuasaan negara dipusatkan maka
terjadi sentralisasi, demikian pula sebaliknya, jika kekuasaan negara dipencarkan maka terjadi desentralisasi. Dalam berbagai perkembangan
pemerintahan, dijumpai arus balik yang kuat ke sentralistik, yang disebabkan faktor-faktor tertentu.pemerintah pusat tidak terganggu dengan adanya
kewenangan pada daerah otonom yang diberikan otonomi yang luas dan tidak bermakna untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat.Pemberian
sebagian kewenangan (kekuasaan) kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir,
kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi, kewenangan yang melekat pada daerah tidaklah berarti bahwa pemerintah daerah itu
berdaulat sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi masihtetap terletak di tangan pemerintah pusat. Hubungan pusat dengan daerah di mana suatu
negara kesatuan yang gedecentraliseerd, pemerintahan pusat membentuk daerah-daerah, serta menyerahkan sebagian dari kewenangannya kepada
1. Penerapan Asas Desentralisasi
Pemaknaan asas desentralisasi menjadi perdebatan di kalangan pakar dalam mengkaji dan melihat harapan
asas ini dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Perdebatan yang muncul diakibatkan oleh cara pandang
dalam mengartikulasikan sisi mana desentralisasi diposisikan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Dari
pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal, di antaranya:
a. Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan kekuasaan
b. Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan,
Walaupun sifat tugas pembantuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk menolak. Hubunga ini
timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan adalah tugas
melaksanakan peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan,
termasuk yang diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan. UU No. 32/2004 menegaskan dalam Bab 1, Pasal 1
butir 9 bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan atau desa serta da pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tugas pembantuan dapat dijadikan sebagai terminal menuju pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada
penyerahan penuh. Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi dalam melihat hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, seharusnya bertolak dari: (1) tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi. Jadi, pertanggungjawaban
mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang bersangkutan; (2)tidak ada perbedaan pokok
antara otonomi dan tugas pembantuan karena dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, daerah punya cara-cara sendiri
melaksanakan tugas pembantuan; serta (3) tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur penyerahan,
bukan penugasan. Yang dapat dibedakan secara mendasar bahwa kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan
adalah penyerahan tidak penuh.