Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. ARTI OTONOMI DAERAH

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem


penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk (interchangeably).
KeduaL istilah tersehut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Karena itu tidak mungkin
masalah otonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkannya dengan deseentralisasi.
Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri..
Kedua istilah tersebut bagaikan dua mata koin yang saling menyatu namun dapat
dibedakan. Di mana desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian
kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi,
menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri melainkan merupakan
rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara bangsa menganut
desentralisasi bukan karena alternatif dari sentralisasi. Antara desentralisasi dan
sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan
merupakan sub-sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. Karenanya, suatu
negara bangsa merupakan payung desentralisasi dan sentralisasi.
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai 'mandiri'. Sedangkan dalam
makna yang lebih luas diartikan sebagai 'berdaya'. Otonomi daerah dengan demikian
berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu
mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan
apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).
Desentralisasi sebagaimana didefinisikan United Nations (PBB) adalah sebagai
berikut:
"Decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital
whether by deconcentration (i.e delegation) to field offices or by devolution to local
authorities or local bodies.”
Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada
daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di
daerah (deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonom daerah.
Akan tetapi, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi
penyerahan kewenangan itu bagi badan-badan otonom daerah.
M. Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Yuwono, ed., 2001, h. 27) berpandangan
bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen
pemerintah pusat kepada beberapa indiyidu atau agen lain yang lebih dekat kepada
publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ini adalah teritorial dan
fungsional. Dengan teritorial yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan kepada
level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis yang secara geografis lebih
dekat kepada penyedia layanan dan yang dilayani. Dengan fungsional artinya transfer
kewenangan kepada agen yang secara fungsional terspesialisasi. Transfer kewenangan
secara fungsional ini memiliki tiga tipe: pertama, apabila pendelegasian kewenangan itu
di dalam struktur politik formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah; kedua, jika transfer itu terjadi di dalam struktur administrasi publik, misalnya
dari kantor pusat sebuah kementerian kepada kantor kementerian yang ada di daerah;
ketiga, jika transfer tersebut dari instirusi negara kepada agen non negara, misalnya
penjualan aset pelayanan publik seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah
perusahaan.
Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam
perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-
agennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level
pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau
fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi
nirlaba (Teguh Yuwono, ed. , 2001, h. 28).
Sementara itu Shahid Javid Burki dkk. (dalam ibidem) menggu nakan istilah
desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal
dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting
menurutnya adalah adanya pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan local
(elected sub-national government). Dan jika tidak, maka negara tersebut tidak dapat
dianggap sudah terdesentralisasikan. la menekankan pada pentingnya pemerintah daerah
yang terpilih ini karena dua alasan. Pertama, alasan yang mungkin paling ambisius dan
paling berisiko bahwa reformasi ketiga struktur (desentralisasi, dekonsentrasi, dan
privatisasi) tersebut berlangsung di daerah. Kedua, implikasi behavioral yang unik dari
desentralisasi. Desentralisasi merubah struktur akuntabilitas lokal dari pemerintah pusat
kepada penduduk lokal. Sebaliknya, dekonsentrasi memelihara hubungan hirarkhis antar
pemerintah pusat dengan jajarannya yang berada di daerah privatisasi menunjukkan
adanya motivasi profit yang akan mempengaruhi perilaku. Jadi desentralisasi adalah
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.

B. ARTI PENTING OTONOMI DAERAH-DESENTRALISASI

Memasuki abad ke-21, Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang
kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun
1997 telah memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik
negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik
yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat
kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinam-bungan pembangunan.
Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan
pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan segala sektor
pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak
memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
Sebagai respon dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suaru kebijakan
restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu melaksanakan otonomi
daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Paradigma lama
dalam manajemen negara dan pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan
diganti menjadi kebijakan otonomi yang berpusat pada desentralisme. Dalam pada itu,
kebijakan otonomi darah tidak dapat dilepaskan dari upaya politik Pemerintah Pusat
untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayah yang
memiliki aset sumber daya alam melimpah namun tidak mendapatkan haknya secara
proposional pada masa pemerintahan Orde Baru.
Desentralisasi dianggap dapat menjawab tunrutan pemerataan, pembangunan sosial
ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kehidupan berpolitik yang
efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan tunrutan masyarakat secara variatif
dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia
saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan. berbangsa dan bemegara
selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di
beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan
merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh,
Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan
dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-
luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu
daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih
lamban dan bahkan terbengkalai.

Sementara itu ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan
landasan filosofis bagi penyelengggaraan pemerintahan daerah (desentralisasi)
sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001, h.
8):
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasan pada satu pihak saja yang
pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih
diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan
daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan
yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah
setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.
4. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian dapat
sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi,
keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang
sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu
pembangunan tersebut.
6. Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik
secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik
mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga
dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di
antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi (Syaukani,
et.al., 2002, h. 20-30), yaitu:
a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaran pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai kehidupan seperti bidang sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi. keuangan, politik, integrasi sosial,
pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu juga
mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa atau pun yang
berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan
fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. Selain itu memberikan
pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, menjaga keutuhan
negara-bangsa, serta mempertahankan diri dari kemugkinan serangan dari
negara lain, merupakan tugas pemerintahan yang bersifat universal. Oleh
karena itu, tidaklah mungkin hal itu dapat dilakukan dengan cara yang
sentralistik, dan pemerintahan negara menjadi tidak efesien dan tidak akan
mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
b. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik
berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan
(training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.
Alexis de Tocqueville mencatat bahwa "town meetings are to liberty what
primary schools are to scince: they bring it within the people reach, they
teach men how to use and how to enjoy it". John Stuart Mill H: dalam
tulisannya "Representative Government" menyatakan bahwa pemerintahan
daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk
berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilh atau kemungkinan untuk
dipilih dalam suatu jabatan politik. Mereka yang tidak mempunyai peluang
untuk terlibat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional, akan
mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam
pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik.
Dengan demikian, pendidikan politik pada tingkat lokal sangat
bermaanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
c. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah "daerah
merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karir
di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Adalah sesuatu hal
yang mustahil bagi seseorang untuk muncul dengan begitu saja menjadi
politisi berkaliber nasional atau pun internasional. Keberadaan institusi
lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal),
merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik
yang lebih tinggi. Presiden Amerika Serikat seperti George Bush, Bill
Clinton, Ronald Reagan, Jimmy Carter dan lain-lainnya, mereka
sebelumnya adalah Gubernur di Negara Bagian di mana mereka berasal.

d. Stabilitas politik. Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional


mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Terjadinya
pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah
kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan
kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Demikian juga yang
terjadi di Philipina, yang mengakibatkan masyarakat Muslim di Mindanao
berjuang untuk melepaskan diri dari pemerintahan di Manila. Hal yang
sama dapat kita temukan di Thailand. Warga Muslim di Daerah Selatan
yang dikenal sebagai masyarakat Patani juga berjuang melawan
pemerintahan nasional di Bangkok, karena mereka menganggap bahwa
Bangkok tidak memperlakukan mereka dengan baik. Gejolak disintegrasi
yang terjadi di beberapa daerah merupakan contoh yang sangat konkrit
bagaimana hubungan antara pemerintahan daerah dengan ketidakstabilan
politik kalau pemerintah nasional tidak menjalankan otonomi dengan
tepat.

e. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan


daerah maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat
akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal,
sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan
mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah itu dengan
melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali
Kota, dan bahkan Gubernur. Di samping itu warga masyarakat baik secara
sendiri-sendiri atau pun secara berkelompok akan ikut terlibat dalam
mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan, terutama yang
menyangkut kepentingan mereka.

f. Kuntabilitas Publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada


masyarakat termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk
kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan
sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi.
Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi secara
langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena masyarakat terlibat
secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.

C. VISI OTONOMI DAERAH

Visi Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari


Pemerintah Pusat kepada Daerah. Ini dengan sendirinya mengembalikan harga diri
pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem sentralistik mereka tidak
bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem ini mereka
ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah
yang dihadapi. Sekarang, dengan berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999,
kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di
daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab.
Pemerintah pusat tidak lagi mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks
desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi
pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani daerah
secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang
efektif antara visi dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat dengan kelelusaan
berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama politik, ekonomi, serta sosial dan budaya (Syaukani, et. al.,
2002, h. 172-176). Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan
desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang
responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung- jawaban publik.
Demokratiasasi pemerintahan juga berarti adanya transparansi kebijakan. Artinya untuk
setiap kebijakan yang diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa
tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang
harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal.
Otonomi Daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai
dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi
yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang
bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Otonomi daerah akan
memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan
fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai
infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah. Dengan demikan, otonomi
daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu
ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi
menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara
nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat
untuk merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi
lahirnya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut
ini:
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik
kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri,
peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan
yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan
yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini, pemerintahan daerah tetap
terbagi adas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota
yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang diberi status otonomi terbatas.
Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintah pusat di pemerintahan daerah
kabupaten dan kota kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi
terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan
operasi di daerah propinsi. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada
hubungan hirarki antara pemerintahan propinsi dengan kabupaten/kota), maka
hubungan propinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan.
Sebagai wakil pemerintah antara kebupaten dan kota dalam wilayahnya, Gubernur
juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan
berbagai kebijakan pemerintah pusat, serta bertanggungjawab mengawasi
penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otonomi daerah di wilayahnya.
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan
penetapan kepala daerah. Ke wenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau
kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-
fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat
harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwuju dkan, seraya
menambah alokasi anggaran untuk biaya operasinya. Hak angket, perlu dihidupkan,
hak inisiatif perlu diaktifkan, dan hak interpelasi perlu didorong. Dengan demikian
produk legislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik terhadap jalannya
pemerintahan bisa diwujudkan.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi
menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan
tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah di desentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul,
selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
Dalam kaitan ini juga diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola
karir kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompatitif.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas
atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan)
dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi,
serta tata cara dan syarat pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi
berbentuk block gran, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan daerah,
pemberian keleluasaan pada daerah untuk menetapkan prioritas pembangungan, serta
optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya
pembangunan yang ada.

D. MODEL DESENTRALISASI

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu;


1. Deconcentration
2. Delegation to semi-autonomous and parastatal agencies
3. Devolution to local governments
4. Nongovernment institutions (Teguh Yuwono, ed., 2001,h. 29-34)

1. DEKONSENTRASI
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut
Rondinelli, pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan
tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di
lapangan. Jadi, dekonsentrasi itu hanya berupa pergeseran volume pekerjaan
dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah, tanpa
adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan
untuk membuat keputusan. Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe
dekonsentrasi, yaitu: field administration (administrasi lapangan) dan local
administration (administrasi lokal). Dalam tipe field administration, pejabat
lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan seperti
merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan
pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat. Kesemuanya
dilakukan atas petunjuk pemerintah pusat. Dalam sistem ini, meski pun para
staf lapangan bekerja di bawah lingkungan jurisdiksi pemerintah lokal yang
memiliki kewenangan semi otonomi, mereka adalah pegawai pemerintah
pusat dan tetap berada di bawah perintah supervisi pusat. Semua pejabat di
setiap pemerintahan merupakan perwakilan dari pemerintah pusat, seperti
propinsi, distrik, kotapraja, dan sebagainya, yang dikepalai oleh seseorang
yang diangkat oleh, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat.
Adapun local administration terdiri dari dua tipe, yaitu integrated
local administration (administrasi lokal terpadu) dan unintegrated local
administration (administrasi lokal yang tidak padu). Dalam tipe integrated
local administration, tenaga-tenaga tersebut diangkat, digaji, dipromosikan,
dan dimutasikan oleh pemerintah pusat, sementara koordinasi di daerah hanya
bersifat informal.
Dengan alasan dan pertimbangan untuk memperbaiki efisiensi dan
efektifitas terselenggaranya pelayanan publik, maka tugas pelayan publik
dilaksanakan oleh kantor-kantor pusat yang ada di daerah. Oleh sebab itu,
pada waktu lampau, desentralisasi di bank negara berkembang sebenarnya
adalah dekonsentrasi. Dengan dekonsentrasi ini maka delegasi kekuasaan
adalah kepada pejabat yang diangkat dan bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat, bukan kepada wakil-wakil masyarakat di daerah yang
memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat tersebut. Menurut Turner dan
Hulme dekonsentrasi memamg dapat menuntun tercapainya tujuan efisiensi
teknikal menjadi lebih efektif dan akan tetapi tidak memperkuat basis bahwa
dekonsentrasi tidak melibatkan adanya transfer kewenangan kepada level
pemerinyah yang lebih rendah dan tidak mendorong pada keuntungan
potensial, dekonsentrasi bahkan bisa menjadi perangkap desentralisasi.
Menurut Rondinelli, dekonsentrasi dapat ditempuh melalui dua cara,
yaitu, pertama, transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah
pusat kepada propinsi, distrik, dan unit administratif lokal. Kedua, melalui
koordinasi unit-unit tersebut. Mengutip pendapat Smith, turner dan Hulme
bahwa dekonsentrasi didasarkan ukuran-ukuran manajerial dan bukan politik,
meskipun kenyataannya memiliki nuansa politik tinggi. Hal ini didasarkan
pada dua alasan; pertama, kepentingan politik mereka yang mengendalikan
kekuasaan negara seringkali menjadi pertimbangan utama ketika pemerintah
pusat mentransfer kewenangan kepada pejabat administrasi daripada
pemerintah daerah; kedua, pejabat administrasi pada umumnya melakukan
kewajiban politik, menghilangi kelompok-kelompok politik oposisi, menjamin
bahwa keputusan daerah berwenang tidak bertentangan dengan kebijakan
pusat dan memonitor langsung para staf dan lain-lain.

2. DELEGASI
Delegation to semi autonomous sebagai bentuk kedua yang disebutkan
oleh Rondinelli adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan
kepada organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan
pemerintahan pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya
diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan
tanggung jawabnya. Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang
diatur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih komersial dan
mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokritas dan politis. Hal ini
biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang ditugaskan
melaksanakan proyek tertentu, seperti telekomunikasi, listrik, bendungan, dan
jalan raya.
Berbeda dengan dekonsentrasi, isusentral baik delegasi maupun
devolusi berkaitan dengan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan daerah
dan pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk kepada sebuah situasi di mana
pemerintah pusat mentransfer tanggung jawab (responsibility) pengambilan
keputusan dan fungsi administrasi publik kepada pemerintah daerah atau
kepada organisasi semi otonom yang sepenuhnya tidak dikendalikan oleh
pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetap bertanggung
jawab(accountable) kepadanya. Bentuk desentralisasi semaca ini dapat
dicirikan sebagai hubungan prinsipal dan pemerintah daerah sebagai agen.
Dalam konteks ini, persoalan utama adalah bagaimana menjaga kebebasan
pemerintah daerah yang memperoleh insentif dari pemerintahan pusat dan
cenderung dituntut untuk lebih memenuhi keinginan pemerintah pusat agar
tidak sampai mengorbankan kepentingan daerah dalam mengelola
kewenangan dan tanggung jawabnya.
Di beberapa negara beerkembang, bentuk delegasi ini dilaksanakan
dengan memberikan tanggung jawab kepada korporasi publik, agen-agen
pembangunan regional, pemegang otoritas fungsi-fungsi khusus, unit
implementasi proyek yang bersifat semi otonomi dan beberaapa organisasi
lainnya. Rondinelli menyebutkan sejumlah negara berkembang
mendelegasikan pengendalian terhadap eksploitasi,proses dan ekspor beberapa
sumber alam yang bernilai tinggi seperti mineral dan minyak kepada
kooprporasi yang dimiliki oleh publik dan otoritas khusus ini. Di Indonesia
misalnya, melalui PERTAMINA, di MEKSIKO PEMEX, di Aljazair
SONATRACH, dan sebagainya yang kesemuanya memainkan peranan
penting di bidang industri perkembangan. Pilihan untuk mendelegasikan
manajemen kepada otoritas khusus dilandasi oleh pertimbangan bahwa
biroksari reguler tidak mampu mengatur, mengendalikan dan secara langsung
mengelola industri tersebut.
3. Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-
unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian
fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri.
Bentuk devolusi mempunyai lima karakteristik: Pertama, unit pemerintah
lokal bersifat otonom, mandiri, dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung
terhadapnya. Kedua, unit pemerintahan lokal diakui mempunyai batas-batas
wilayah yang jelas, legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan
tugas-tugas umum pemerintahan. Ketiga, unit pemerintahan daerah berstatus
sebagai badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan
sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Keempat, unit
pemerintahan daerah diikuti oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka.
Oleh karena itu, pemerintah daerah semacam ini mempunyai pengaruh dan
kewibawaan di hadapan warganya. Kelima, terdapat hubungan yang saling
menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintahan pusat dan pemerintah
daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang
merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan
untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit
poemerintah daerah. Dalam pandangan Rondinelli devolusi merupakan upaya
memperkuat pemerintah daerah secara legal yang secara substansif kegiatan-
kegiatan yang dilakukannya di luar kendali langsung pemerintah pusat.
Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada
pemerintah kota/ kabupaten dalam memilih Walikota/ Bupati dan DPRD,
meningkatkan pendapatan mereka dan memiliki independensi kewenangan
untuk mengambil keputusan investasi. Salah satu contoh devolusi paling
ekstensif adalah Sudan di mana komisi propinsi dan DPRD propinsi
mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan
nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri, perbankan dan peradilan.
Devolusi dalam pandangan beberapa penulis merupakan bentuk ideal
desentralisasi karena ia mengkombinasikan janji demokrasi lokal dan efisiensi
teknikal-manajerial. Menurut Mawhood sebagaimana dikutip oleh Turner dan
Hulme ada lima ciri yang melekat pada devolusi yaitu:
1. Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari
pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang
signifikan;
2. Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening
seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya;
3. Harus mengembangkan potensi staf;
4. Angggota Dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus
menentukan kebijakan dan prosedur internal;
5. Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator
luar (external advisors & evaluators) yang tidak memiliki peranan apa pun
di dalam otoritas lokal.

4. Privatisasi
Bentuk terakhir desentralisasi menurut Rondinelli adalah privatisasi (transfer
of functions from government to non government institutions). Privatisasi
adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-
badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan
peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN
dan BUMD dilebur menjadi PT. Dalam beberapa hal misalnya pemerintah
mentransfer beberapa kegiatan kepada Kamar Dagang dan Industri, Koperasi,
dan Asosiasi lainnya untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan
pengawasan, yang semula dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal kegiatan
sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan
kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan
peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

Rondinelli menjelaskan melalui privatisasi pemerintahan menyerahkan


tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi nirlaba atau
mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta. Dalam beberapa kasus,
pemerintah mentransfer tanggung jawab tersebut kepada organisasi paralel
sepeeti nasional, asosiasi dagang dan industri, kelompok-kelompok
profesional, organisasi keagamaan, partai politik dan koperasi. Pemerintah
bisa saja mendesentralisasikan tanggung jawab produksi barang dan
pelayanan jasa yang sebelumnya ditangani oleh korporasi publik kepada
swasta yang dikendalikan oleh perusahaan. Demikian pula kepada kelompok
kepentingan dalam masyarakat, seperti organisasi perempuan, serikat pekerja,
koperasi petani, organisasi pembangunan desa, asosiasi kredit, dan
sebagainya. Dengan demikian desentralisasi dalam bentuk ini dipahami secara
implisit sebagai debirokratisasi yang memungkinkan pengambilan keputusan
terjadi dalam spektrum yang lebih luas dan melibatkan sjumlah besar
kelompok kepentingan. Pengambilan keputusan tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan regulasi administrasi.

Jadi, konsep desentralisasi didekati dalam jangkauan aktivitas dan ide


yang luas. Oleh karena itu bagi Maddick sebagaimana dikutip oleh turner
yang penting adalah adanya evolusi sistem pemerintahan. Pada mulanya,
pelayanan lokal mungkin lebih baik dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan
kebijakan pusat. Langkah berikutnya adalah otoritas lokal mengelola fungsi-
fungsi pelayanan publik tersebut tetapi masih tetap dan dengan petunjuk yang
kuat dari pemerintah pusat. Langkah terakhir adalah pembangunan kapasitas.
Pemerintah Daerah dengan memberikan lebih banyak lagi otoritas dan tingkat
otonomi yanng lebih tinggi. Namun demikian, keputusan apa pun untuk
mendesentralisasikan tanggung jawab dan kewenangan pelayanan publik,
menurut Litvak hanya dapat diterjemahkan ke dalam kekuatan politik aktual
jika pemerintah daerah memiliki kapasitas fisikal, politik, dan administratif
untuk mengelola tanggung jawab dan kewenanngan tersebut.

E. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan


daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya
undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang
sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan
kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat
melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-
undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, kota.
Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan
urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga
tahun karena diganti dengan Undang-unang Nomor 22 tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 (dua)
jenis daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daerah
otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada
ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi
kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci
lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian
urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarahotonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu
produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan
tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia
dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari
“eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi
daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU
tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal
pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965
(yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan
yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian
otonomi daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-
luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan
tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan
dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini
berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang Nomor
22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dan
dikomandangkan.
Kehadiran Undanng-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan
situasi yang terjadi pada masa itu, dimana rezim otoriter orde baru lengser dan semua
pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang
lalu merenetapkan ketetapan MPR Nomor XV/ MPR, 1998) tentang penyelenggaraan
otonomi daerah, pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Rpeublik Indonesia.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974
dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada
format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diambil
dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-
undang tersebut beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut
(UU No. 22 tahun 1999 dan 25 tahun 1999) secara teoritis akan mengasilkan suatu
kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih
cenderung pada corak dekonsentrasi sedangkan desentralisasi dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika
dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan
kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-
tugas dekonsentrasi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini
dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri. Dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di
daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah
MPR RI melakukan amanndemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua
yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip
otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.

F. PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DALAM UU NO. 22 TAHUN 1999


Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun
1999 (Nur Rif`ah Masykur, peny. 2001, h. 21):
1. Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah;
2. Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab;
3. Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota;
4. Sesuai dengan konstitusi negara;
5. Kemandirian daerah otonom;
6. Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah
7. Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerahpropinsi sebagai wilayah administrasi
8. Asas tugas pembentukan

G. PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DALAM UU NO.


22 TAHUN 1999

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah berdasarkan prinsip Negara kesatuan
tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama
dengan yang ditangani oleh pemerintah federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahamam
dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang
lebih efisien di tangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro
ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintah, BUMN, dan SDM.
Selain itu otonomi daerah yang diserahkan bersifat luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada
pemerintah pusat, disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu
menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah, di sebut
bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan
demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan rakyat yang semakin baik, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Di samping itu
otonomi seluas luasnya juga mencangkup kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyeenggaraanya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi. kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka
desentralisasi harus pula disertai penyerahaan dan pengalihan pembiayaan, saran dan
prasarana, dan sumber daya manusia.
Karena di sampng daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif,
maka kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencangkup kewenangan
dalam rangka desentralisasi idan dekonsentrasi. Kewenangan yang di serahkan daerah
otonom dalam rangka desentralisasi mencangkup:
1. Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam
bidang PU, perhubungan , kehutanan , dan perkebunan.
2. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian
pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi SDM, penelitian
yang mencangkup wilayah propinsi, pengelolaan pelabuhan regional,
pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata,
penganganan penyakit menular, perencanaan tata ruang kota.
3. Kewenangan kelautan yang meluputi ekspolarasi , eksploitasi , konservasi dan
pengolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata
ruang, penegakan hukum , dan bantuan penegakan keamanan, dan kedaulatan
Negara .
Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan
melakukan pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom.
Tetapi, pengawasaan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom
diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya,
sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. keseimbangan yang di maksud
sebagai berikut: pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati
dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah
otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang – undangan, yaitu setiap perda
memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.

OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRATISASI

Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan politic
equality, local accountability, dan local responsiveness. Dan syarat untuk dapat 3 poin
tersebut , yaitu :
1. pemerintah yang mempunyai kekuasaan yang jelas(legal territorial power );
2. memliki pendapat daerah sendiri (local own income);
3. memiliki badan perwakilan (local representative body);
4. kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat melalui pemilu (local
leader executive by election).

Ketertkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh mohammad


hatta , proklamator RI yaitu “Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan
demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto aktiviteit. Auto aktiviteit artinya
bertindak sendiri . melaksanakan sendiri apa yang di anggap penting bagi lingkungan
sendiri . dengan berkembangnya auto aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan
demokrasi , pemerintah dilaksanakaan oleh rakyat ,untuk rakyat , rakyat tidak saja
menentukan nasibnya sendiri , melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya
sendiri.”

Konsekuensi logis otonomi daerah demokratis yaitu:


1. Otonomi daerah harus dipandang sebagai instrument desentralisasi demokratis
dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa. Dalam kaitan
ini, otonomi daerah bukan tuhuan, melainkan cara demokratis untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsure bangsaa tanpa terkecuali.

2. Otonomi daerah harus di definisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah,


bukan otonomi pemerintahan daerah, juga bukan otonomi bagi daerah dalam
pengertian suatu wilayah tertentu di tingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya
implementasi otonomi daerah dilakukan oleh pemda,kewenangan itu di peroleh
karena pemda dipilih melalui pemilu yang adil, jujur, dan demokratis.
3. Otonomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah seharusnya inheren
di dalam agenda demokrasi atau demokratisasi.
4. Daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai subordinasi dari pusat.

Anda mungkin juga menyukai