Anda di halaman 1dari 10

2.

Teori Desentralisasi dan Otonomi Derah

a. Teori Desentralisasi

Dalam karakteristik dasar desentralisasi yang dilakukan oleh unit-

unit pemerintahan setempat sebenarnya lebih bersifat otonom, mandiri dan

jelas sebagai unit pemerintahan berjenjang yang terpisah dari pusat. Pusat

melakukan sedikit atau tidak melakukan kontroll langsung terhadap unit-

unit tersebut karena pertanggungjawaban yang dilakukan semata-mata

mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam kontak/hubungan yang lebih dekat antara pejabat

pemerintah dan masyarakat setempat di daerah memungkinkan terbinanya

informasi dan komunikasi yang lebih baik guna memformulasikan

perencanaan desentralisasi yang lebih realistic dan efektif dengan

kebenaran sebenarnya sebagaimana dalam pandangan Tunner dalam

Marijan (2012: 138) menyebutkan sebagai berikut:

Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan


ekonomi yang lama dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan
tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju arah
yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi
diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait
dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini sangatlah
dimungkinkan karena Fokus pengambilan keputusan menjadi
lebih dekat dengan kekuasaan.

Pemerintahan secara desentralisasi di daerah sebagaimana

pendelegasian kewenangan dengan melakukan batas-batas kewenangan

yang ada baik secara geografis, demografis maupun sosiologis yang

penting jelas dan diakui secara hukum dimana mereka menggunakan

12
13

kekuasaan dan menjalankan fungsi-fungsi publik. Dengan demikian

keberadaan desentralisasi sebagaimana pandangan Eaton (2011: 27)

menyebutkan sebagai berikut:

Sejarah politik desentralisasi hampir setua umur penjajahan


kolonial, baik desentralisasi kekuasaan maupun administrasi
pemerintahan itu sendiri. apabila kita menelusuri jauh ke
belakang, ke zaman kerajaan yang pernah berdiri dengan
megahnya seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan
politik desentralisasi untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Secara umum pemerintah daerah mempunyai status dan

kekuasaan dalam mengamankan sumber daya yang dimiliki daerah untuk

menjalankan fungsinya secara luas dengan menata, kehidupan

pemerintahan dan kemasyarakatan secara profesional sehingga disisi lain

desentralisasi sebagaimana pandangan maka Eaton (2011: 27)

mengungkapkan sebagai berikut:

Back and forth along the decentralization continum,


decentralization is always nlot an irreversible prosess, but it is a
reversible process between central and localregions, (Proses
desentralisasi selalu bergerak bolak balik di dalam garis lurus
desentralisasi, sehingga desentralisasi selalu bukan merupakan
proses yang dapat dibalikkan, akan tetapi dapat dibalikkan bila
berkenaan dengan kewenanganantara pemerintah pusat dan
daerah).

Dalam pola pembangunan desentralisasi di daerah meliki

implikasi desentralisasi sebagai kebutuhan mengembangkan pemerintahan

lokal sebagai institusi yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang

memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai

pengaruh dalam menentukan suatu kebijakan di daerah. Oleh karena itu

maka sebagaimana pendapat Eston (2011: 27) menyebutkan bahwa


14

“Desentralisasi adalah Penyerahan wewenang oleh badan-badan umum

yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk

secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri

mengambil keputusan dan pengaturan”.

Dengan adanya desentralisasi berarti adanya hubungan timbal

balik yang saling menguntungkan dan hubungan terkoordinasi antar

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, perkembangan dari

desentralisasi sebenarnya menjadi fenomena massive(besar-besaran) yang

terjadi di belahan dunia yang semuanya memungkinkan penyusunan

rencana serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan

wilayah kerja dan kelompok yang heterogen.sehingga pandangan Tunner

dalam Marijan (2012: 138) menyebutkan sebagai berikut:

Desentralisasi merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial


yang memiliki banyak makna di sepanjang waktu, dimana
pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari banyaknya disiplin
dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern terhadap studi
mengenai desentralisasi. Dengan desentralisasi ini yang
sebelumnya “kekuasaan dan kewenangan” lebih memusat di
jakarta namun setelah otonomi daerah “kewenangan dan
kekuasaan” itu relatif menyebar ke daerah, kerena sebagaian besar
urusan pemerintahan ditransfer ke daerah.

Secara umum rationale kebijakan daerah sesuai desentralisasi

untuk mampu memotong red tapedan prosedur yang rumit dalam

pendelegasian wewenang pemerintahan sampai ke tingkat pemerintahan

terendah di Gampong sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen

terpusat dan over concentration kekuasaan serta sumber daya pusat


15

desentralisasi dsa di Indonesia sebagaimana pendapat Suwanda dan Piliang

(2017: 10) menyebutkan sebagai berikut:

Pelaksanaan desentralisasi di banyak negara ternyata belum


mampu menghasilkan bakti yang solid dan kokoh untuk
mendorong kemajuan daerah, partisipasi masyarakat dan
kesejahteraan warga. Warga tersebut menyadarkan banyak pihak
tentang pentingnya model desentralisasi dan otonomi daerah yang
disesuaikan dengan kondisi sosial budaya, politik dan ekonomi di
masing-masing negara.

Desentralisasi merupakan fenomena yang komplek yang

melibatkan factor geografis, aktor sosial dan sector sosial, sehingga

diperlukan kematangan dalam penggunaan system yang mencakup

berbagai sektor sosial dan kebutuhan yang bwerbeda, dimana masing-

masing saling berkait. Dalam pemahaman umum desentralisasi adalah

perpaduan fungsi-fungsi administratife, fiskal dan politik yang saling

berhubungan dalam desain system desentralisasi semua harus terlibat,

sehingga sebagaimana pendapat Suwanda dan Piliang (2017: 11)

menyebutkan bahwa “Desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan

masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang

yang cenderung menyederhanakan masalah”.

Bika dilihat desentralisasi bukanlah sekedar alternatife dari

sentralisasi akan tetapi keduanya saling melengkapi antara aktor nasional

dengan sub nasional yang akan ditentukan dengan menganalisa jalan dan

alat yang paling efektif digunakan dalam mencapai tujuan yang

diharapkan, sebagaimana Tambulasi dan Kayuni dalam Suwanda dan

Piliang (2017: 11) menyebutkan sebagai berikut:


16

Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di


daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan
besaran kewenangan yang dialihkan ke daerah dan cara
pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah,
dukungan kementerian dan lembaga sectoral dan kekuatan
masyarakat sipil di daerah.

Vonburi dalam Wasistiono dan Wiyoso (2009: 25) menguraikan

bahwa:

Desentralisasi bersifat “Conditio Sine Qua Non” (Kausalitas atau


akibat) yang diartikan sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak,
harus dilakukan. Beliau juga menambahkan tiap-tiap syarat yang
menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan
(Weggedacht) dalam rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan
akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Permasalahan demi permasalahan muncul seiring dengan

merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah Kabupaten/Kota

menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa

sumber daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya

walaupun untuk itu harus bersinggungan dengan kewenangan tetangganya.

Permasalahan tersebut tidaklah begitu pelik bila kita telisik lebih jauh,

bahwa titik permasalahan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat

menjamin kesejahteraan rakyat di daerah.

Bila dicermati lebih dalam lagi maka Wasistiono (2009: 6)

menguraikan bahwa:

Prinsip universal dari demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat


dan untuk rakyat”, oleh karenanya melalui prinsip tersebut
dikembangkan sistem pemerintahan terdesentralisasi sebagai
“anak kandung” demokrasi. Esensi desentralisasi adalah
“memecahkan masalah setempat, dengan cara setempat, dan oleh
orang setempat.
17

Melalui desentralisasi, lebih banyak rakyat terlibat baik secara

langsung maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen, keterlibatan

dimaksud dalam proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan

publik untuk kepentingan masyarakat. Dengan cara demikian masyarakat

lebih merasa ikut memiliki negara atau daerah dalam perencanaan

anggaran karena mereka dilibatkan secara aktif sejak awal terutama dalam

menyusun kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mereka.

b. Teori Otonomi Daerah

Dalam teori otonomi daerah adalah hak, dan kewajiban daerah

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

(2012: 46) menyebutkan sebagai berikut:

Secara harfiah otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan


daerah. Dalam bahasa Yunani otonomi berasal dari kata “outos”
berarti sendiri dan “namos” berarti aturan atau undang-undang,
sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur
sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan atau undang-
undang sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

Ketegasan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah dalam

konsekwensi logis sebagai negara kesatuan adalah dibentuknya

Pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional tersebut

membentuk daerah, sehingga secara filosofi dasar otonomi daerah itu

sendiri masih berkisar pada otonomi pemerintahan daerah dan bukan

otonomi masyarakat lokal. Haris (2012: 73) menyebutkan bahwa


18

“Otonomi daerah ternyata hanya dinikmati oleh elite politik daerah, baik

dijajaran pemda (kepala daerah dan aparaturnya) maupun DPRD (baca:

elite partai pemenang pemilu) setempat”. Demikian pula pemahaman

Suwanda (2016: 27) menyebutkan sebagai berikut:

Berdasarkan kostruksi dalam Undang-Undang Dasar Negara


Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 maka untuk
enyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi dibagi lagi
menjadi daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah
provinsi, kabupaten dan kota merupakan pemerintahan daerah
yang diberi kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan yang berdasarkan pada asas otonomi luas, nyata
dan bertanggungjawab.

Hal ini merupakan perangkap dari kecenderungan terjadinya

distorsi dalam implementasi dalam implementasi sehingga yang

seharusnya masyarakat sebagai subjektif terpenting dari kebijakan otonomi

daerah sampai saat ini masih termajinalisasi dalam proses politik pada

tingkat lokal. Realitas dan kecendrungan semacam ini tengtu saja

berpeluang munculnya kesenjanagan antara orientasi proses ;politik pada

tingkat elite disatu pihak, dan masyarakat dipihak lain.

Dalam otonomi daerah ini dijabarkan atas 2 (dua) alternatif

pemahaman sebagaimana pandangan Haris (2012: 73-74) menyebutkan

sebagai berikut:

a. Melihat otonomi daerah sebagai otonomi masyarakat daerah dan


bukan sekadar otonomi pemerintah daerah. konsekwensi logis
dari cara pandang ini bahwa paket kebijakan otonomi daerah
harus berorientasi pada pemberdayaan dan kesejahteraan bagi
masyarakat lokal;
b. Memandang Otonomi daerah sebagai hak daerah yang sudah ada
pada masyarakat setempat. Konsekwensi log. Konsekwensi logis
cara pandang ini menunjukkan bahwa otonomi daerah sebagai
19

hak masyarakat tidak dicabut oleh pemerintah pusat, dalam kaitan


ini, otoritas pemerintah pusat hanya terbatas pada penyerahan dan
pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah melalui
berbagai bentuk kebijakan yang disepakati bersama kedua pihak
(pusat dan daerah);

Sejalan dengan perkembangan otonomi daerahbaik daerah induk

maupun pemekaran, memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan

kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian

integral dari kebijakan nasional. Namun pemicu pembedanya adalah terletak

pada bagaimana memanfaatkan kearifan lokal, potensi, inovasi, daya saing

dan kreatifitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat

lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional

secara keseluruhan, yang konotasinya sangat tergantung ada kepemimpinan

daerah yang mengelola daerah.

Dalam penjabaran otonomi sebagaimana dijabarkan Suwanda

(2016: 28) menyebutkan sebagai berikut:

Otonomi daerah sebagaimana tercantum dalam definisi pasal 1


angka 6 undang-undang nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan
kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah adalah hak dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kewenangan ini memberikan ruang
keleluasaan dan apresiasi kepada daerah untuk mengatur seluruh
penyelenggaraan pemerintah, pembangunan maupun kehidupan
sosial ekonomi masyarakat agar dapat berjalan lebih baik dengan
memperhatikan seluruh potensi daerah yang ada.

Dalam pandangan yang lain otonomi daerah ini memliki

kecenderungan yang bersifat sentralistik dengan menggunakan metoda


20

hirarkis-dominatif dan melihat daerah sebagai sub-ordinasi pusat hal ini

sebagaimana Haris (2012: 74) menyebutkan sebagai berikut:

Penataan kembali hubungan pusat-daerah ke arah yang lebih


harmonis, sudah waktunya dikembangkan pemikiran progreasif
yang didasarkan pada relasi yang bersifat partnership dan
interpedensi, artinya meskipun secara hirarkis pemerintah daerah
berkedudukan lebih rendah, namun kamunitas lokal pada
dasarnya sudah otonom maka pengaturan hubungan pusat-daerah
meniscayakan berlakunya asas kemitraan dan saling
ketergantungan diantara keduanya.

Perwujudan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah,

pengelolaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang lebih

bertanggungjawab, diperlukan landasan hukum berupa peraturan daerah

maupun peraturan lain yang bersifat mengikat, selain itu juga otonomi

daerah sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagai momentum yang tepat untuk menciptakan

hokum yang lebih sesuai dengan konteks lokalisem.

Selayang pandang otonomi daerah saat ini sebagai perwujudan

penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah tingkat atasnya kepada

daerah otonom guna menentukan sikap dalam mengurus rumah tangga

daerah sebaik-baiknya, namun betapa rumitnya tumpang tindih berbagai

aturan merupakan masalah tersendiri, disatu sisi terjadi pertentangan

pemerintah daerah antara satu aturan dengan aturan lainnya dan

penentuan pelaksanaan visi dan misi dari setiap penggantian kepala

daerah yang tidak kunjung selesai dengan banting setir pemerintahan

yang gonta ganti pejabat daerah yang belum tentu membuat otonomi

berjalan lebih baik. Di sisi lain melalui otonomi luas, nyata dan
21

bertanggungjawab dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah

diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan

serta potensi dan keanekaragaman daerah.Kondisi demikian secara absolut

pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan

berdasarkan prinsip negara kesatuan dan kedaulatan hanya ada pada

pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan

pada daerah.

Daftar Pustaka

Eaton, Kent. (2011). Political Obsstacles to Decentralization, Eviden from


Argentina and The Philippines. Development and Change.

Haris, Syamsuddin. (2012). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: desentralisasi,


Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Hasan Alwi, dkk. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Marijan, Kacung. (2012). Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca


Orde Baru. Jakarta: Prenadamedia Group.

Suwanda, Dadang dan Piliang, Akmal Malik. (2017). Penguatan Pengaawasan


DPRD Untuk Pemerintah Daerah Yang Efektif Ctk. Pertama. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Wasistiono, S. dan Wiyoso, Y. (2009). Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokusmedia.

Anda mungkin juga menyukai