Anda di halaman 1dari 13

MATA KULIAH SISTEM GOVERNANCE

PERKULIAHAN SEMESTER VI
TAHUN AJARAN 2021/2022
DOSEN PENGAMPU: NANDA ERLAMBANG, S.AP., M.AP
Desentralisasi dalam Kerangka Demokratisasi dan Good Governance
Pada hakekatnya agenda desentralisasi yang digulirkan merupakan reformasi
administrasi publik atau reformasi Pemerintahan Daerah. Reformasi Pemerintahan
Daerah bukan perubahan otomotis, tetapi perubahan berencana dan dilakukan
secara sadar mengenai aspek-aspek utama dari Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Inti persoalannya adalah seberapa jauh keleluasaan diberikan kepada daerah
sehingga berfungsi sebagai daerah otonom yang terkemas dalam kerangka
demokrasi dan good governance untuk kesejahteraan masyarakat.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi perlunya desentralisasi khususnya
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia muncul dari dua segi
yaitu dari dalam dan dari luar negara yang dapat dirangkum sebagai
berikut :
a) Untuk mempercepat terwujud-nya keadilan yang merata dan mampu
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin serta memperluas
partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan.
b) Untuk mengintegrasikan daerahdaerah yang beragam kondisi sosial
ekonominya, pengembangan sumber daya dalam rangka mengatasi
persoalan kemiskinan di daerah.
c) Desentralisasi merupakan strategi untuk mendemokratisasikan sistem
politik, sedangkan otonomi daerah merupakan bentuk pemerintahan yang
akan datang.
d) Tidak ada pemerintah dari negara yang luas akan mampu secara efektif
membuat public policies disegala bidang ataupun mampu melaksanakan
public policies secara efisien di seluruh wilayah negara tersebut.
DEFINISI DESENTRALISASI
Menurut badan otonom PBB, UNDP, desentralisasi me rujuk pada
restrukturisasi atau reorganisasi wewenang se hingga ada sebuah sistem tanggung jawab
bersama an tara institusi pemerintah pada tingkat pusat dan daerah menurut prinsip
subsidiaritas, sehingga bisa meningkatkan keseluruhan kualitas dan keefektifan sistem
pemerintahan, dan juga meningkatkan wewenang dan kapasitas daerah. Dengan
desentralisasi, diharapkan mampu memberikan pe - luang bagi terciptanya pemerintahan
yang baik, seperti meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi da lam bidang
ekonomi, sosial, dan berbagai keputusan po li tik; membantu kapasitas rakyat yang masih
dalam taraf berkembang, dan memperluas tanggung jawab, transpa ran si, dan
akuntabilitas (UNDP, 1997: 4).
Dalam hal ini, reformasi desentralisasi mensyaratkan adanya reformasi dalam
hubungan pusat dan daerah disertai otonomi pemerintahan daerah. Ketika pemerintah
daerah dan masyarakat lokal mencapai tingkatan otonomi, keduanya dapat
memberdayakan sumberdaya lokal demi mencapai taraf pembangunan ekonomi yang
tinggi di daerahnya masing-masing.
Pada dasarnya prinsip desentralisasi itu mencakup aktivitas ekonomi,
interaksi sosial, aktivitas politik, pembuatan keputusan, produksi, dan seterusnya. Jadi,
ada sebuah pengakuan bahwa sebagian aktivitas harus terjadi pada tingkatan yang
lebih tersentralisasi, tapi bebannya ada pada sentralisasi pendukung mereka untuk
membenarkan penggunaannya. Struktur dan proses yang terdesentralisa si menjadi
normanya.
Intinya, desentralisasi adalah transfer tanggung jawab dalam hal
perencanaan, manajemen, dan pemunculan sumber daya dan alokasinya dari
pemerintah pusat kepada:
1. Unit-unit lapangan dari kementrian pemerintah pusat
2. unit-unit atau tingkat pemerintahan yang berada di bawahnya
3. otoritas atau korporasi publik semi-otonom
4. otoritas regional atau fungsional yang berarea luas, atau
5. organisasi sektor privat dan sukarela (Rondinelli, 1981).
Dari pemahaman ini, desentralisasi dengan demikian memfokuskan pada:
pertama, hubungan di antara tiga sektor utama pemerintahan, yaitu, sektor publik,
sektor privat, dan sektor sukarela; kedua, dalam sektor publik sendiri, di mana
desentralisasi memfokuskan pada struktur dan proses pembuatan keputusan dan
tentang sumber daya dan alokasi tanggung jawab di antara tingkatan pemerintahan,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I (provinsi), dan tingkat II
(kabupaten).
Desentralisasi: Apa dan Mengapa?
Teorema desentralisasi (decentralization theorem) dipopulerkan oleh Oates (1972),
berangkat dari suatu pemikiran bahwa “setiap pelayanan publik mestinya disediakan
oleh yuridiksi tertentu yang memiliki kontrol atas wilayah geografi minimum yang akan
menginternalisasi manfaat dan ongkos provisi tertentu.” Hal ini mengingat:
a) pemerintah daerah memahami apa yang menjadi concern penduduknya;
b) pembuatan keputusan akan lebih responsif kepada pihak-pihak yang diberikan
pelayanan, dengan demikian akan ada tanggung jawab anggaran dan efisiensi,
khususnya apabila pendanaan pelayanan pun didesentralisasikan;
c) layer-layer yang sekiranya tidak bermanfaat dapat dieliminir; dan
d) kompetisi dan inovasi akan ada di antara berbagai yuridiksi.
Disamping itu, pemerintah pusat tidak mungkin dapat mencapai
keadilan sosial dan ekonomi masyarakat hanya dengan mengandalkan
kapasitasnya sendiri. Pemerintah yang inovatif, karenanya, berupaya semaksimal
mungkin mentransfer kewenangan, risorsis, dan tanggung jawab kepada
pemangku kepentingan di tingkat lokal sekaligus sebagai upaya membuka keran
demokrasi di tingkat lokal yang kerap kali tersumbat oleh dominasi elit di tingkat
pusat dan daerah. Dengan demikian tidak ada penelantaran terhadap berbagai
aspirasi daerah dalam segenap proses pembangunan.
Teori yang menegaskan pentingnya desentralisasi di tingkat lokal dan
peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan pentingnya nilai-nilai
efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957), misalnya, mengedepankan 2
prinsip: 1) semakin dekat pemerintah yang representatif kepada masyarakat,
semakin baik kinerja pemerintah tersebut; 2) publik berhak untuk memilih macam
dan jumlah pelayanan publik yang diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan
bahwa pembuatan keputusan seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat
terendah pemerintah dengan tujuan agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang
dan jasa publik.
Pro dan Kontra Kebijakan Desentralisasi
Pro Desentralisasi:
Implementasi kebijakan desentralisasi di berbagai negara disikapi secara beragam
oleh berbagai pihak. Bagi para pendukung kebijakan ini, desentralisasi diyakini
membantu percepatan pembangunan ekonomi, meningkatkan akuntabilitas politik,
dan meningkatkan partisipasi publik dalam tata pemerintahan. Desentralisasi juga
dapat mendobrak bottleneck yang selama ini ada dalam birokrasi yang “terlalu”
hirarkis dan menyederhanakan prosedur yang terlalu kompleks serta menjamin
berbagai keputusan dibuat dan diimplementasikan secara lebih cepat. Disamping
itu, desentralisasi dapat meningkatkan finansial pemerintah daerah dan padanya
ada fleksibilitas untuk merespon secara lebih efektif berbagai kebutuhan dan
tuntutan daerah.
Namun jelas tidaknya kebijakan desentralisasi sangat tergantung pada apakah
seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up)
(Bird, 2000). Jika dilihat dari perspektif bottom up, desentralisasi umumnya menekankan
nilai politis – misalnya, perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan
menerima saran dan partisipasi politik lokal – dan efisiensi alokasi dalam arti perbaikan
kesejahteraan. Hasilnya, dukungan yang lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki
stabilitas politik. Permasalahan menjadi tidak begitu jelas ketika desentralisasi dilihat dari
perspektif top down. Dasar pemikiran desentralisasi, misalnya, meringankan beban pusat
dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke
bawah. Kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik hal ini dapat
membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional.
Dikaitkan dengan konteks governance, desentralisasi dipastikan akan
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, sektor privat, dan organisasi masyarakat madani.
Desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas bagi representasi politik terhadap
kelompok-kelompok politik, etnik, keagamaan, dan kultural tanpa menimbulkan destabilitasi
negara. Desentralisasi kemudian menciptakan ketiga pilar institusi – pemerintah, sektor
privat, dan organisasi masyarakat madani untuk bisa menjadi lebih kreatif dan inovatif
dalam merespon kebutuhan-kebutuhan publik. Dalam negara yang desentralistis, terjadi
perimbangan pembangunan antar daerah, memberdayakan masyarakat, dan memobilisasi
sumber daya privat untuk pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur.
Kontra Desentralisasi:

Meskipun memiliki manfaat seperti dikemukakan di atas, mewujudkan konsep


desentralisasi dalam tata pemerintahan yang demokratis tidak selamanya berjalan mulus
atau tanpa hambatan. Disamping banyak manfaat yang bisa dipetik, dalam desentralisasi
tersemai beberapa persoalan pokok. Di banyak negara berkembang, desentralisasi
berpotensi meningkatkan elit capture dalam pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak
mampu meningkatkan risorsis finansial yang memadai untuk menunjang pelayanan secara
lebih efektif. Disamping itu, disparitas ekonomi dan sosial menjadi lebih menganga serta
korupsi dan nepotisme di tingkat daerah tumbuh secara massif.
Sejumlah temuan juga menunjukkan pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan
ekonomi, partisipasi publik, dan pemberian layanan publik. Meskipun desentralisasi
seringkali dikaitkan dengan argumentasi allocative-efficiency, temuan empiris
menunjukkan hubungan yang terbalik antara desentralisasi dan variabel pembangunan.
Beberapa studi bahkan tidak menemukan keterkaitan langsung antara desentralisasi fiskal
dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa studi lain kian menegaskan bahwa
desentralisasi fiskal justru membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat dan
ketimpangan fiskal menjadi lebih besar. Hal ini ditopang dengan adanya indikasi yang kuat
bahwa desentralisasi cenderung meningkatkan pengeluaran infrastruktur publik namun
memiliki skala ekonomi yang kecil.
REORIENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI

Reformasi tata pemerintahan telah menjadi agenda yang paling mendesak dewasa ini untuk
menjawab berbagai tantangan di sektor publik. Namun, apapun yang dilakukan atas nama
reformasi, diharapkan pemerintah senantiasa memegang teguh tiga prinsip yang berlaku.
Pertama, harus ada responsive governance: pemerintah sedapat mungkin melakukan hal-hal
yang benar (do the right things). Kekeliruan seringkali terjadi karena pemerintah
melaksanakan hal-hal yang tidak benar menurut kacamata masyarakat. Dikatakan demikian
karena acapkali pelayanan yang diberikan tidak sejalan dengan preferensi publik. Kedua,
harus ada responsible governance: pemerintah harus mengerjakan dengan benar (do it
right) hal-hal yang benar tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan berbagai sumber daya,
khususnya fiskal, harus dilakukan secermat mungkin. Ketiga, harus ada prinsip accountable
governance, yakni pemerintah harus akuntabel kepada para pejabat terpilih (elected
official). Hal ini karena para pejabat terpilih dicitrakan sebagai representrasi dari aspirasi
masyarakat.
LITERASI BUKU DESENTRALISASI
DALAM PERSPEKTIF GOVERNANCE

Anda mungkin juga menyukai