Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban
,menyajikan ,Melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatannya yang menjadi tanggungjawabnya kepada
pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban tersebut .
Akuntabilitas ada dua macam yaitu , akuntabilitas vertikal dan vorizontal.
Penanggungjawaban vertikal yaitu tanggung jawab atas pengelolaan dana kepada otoritas tertinggi ,misal umit-
unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah , pemerintah daerah ke pusat , pusat ke MPR . Pertanggungjawaban horizontal
adalah pertanggung jawaban kepada masyarakat luas. Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik
terdiri atas beberapa dimensi menurut Ellwod (1993) :
1. Akuntabilitas Kejujuran dan akuntabilitas hukum yaitu, terkait dengan penghinaran penyalahgunaan jabatan
sedangkan yang hukum terkait jaminan adanya kepatuhan hukum dan peraturan lain yang di syaratkan dalam
penggunaaan sumber dana publik
2. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melakanakan tugas sudah cukup baik dalam
hal kecukupan SIA , SIM dan prosedur administrasi , melakukan pemriksaan adanya mark up dan pungutan lain diluar
yang ditetapkan, dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambatan dalam pelayanan.
3. Akuntabilitas program , terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dicapai apa tidak dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang membrikan hasil optimal dengan biaya minimal
4. Akuntabilitas kebijakan , terkait dengan penanggungjawban pemerintah baik pusat maupun daerah dan kebijakan-
kebijakan yang diambil pemrintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
PRIVATISASI
Perusahaan publik juga tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi,nepotisme,inefisiensi,dan sumber
pemborosan negara . Keluhar “birokrat tidak mampu berbisnis” ditujukan untuk mengkritik buruknya kinerja perusahaan
publik. Di indonesia sediri banyak perusahaan milik negara (BUMN dan BUMD) yang dijalankan secara tidak efisien .
Inefisiensi yang dialami oleh BUMN dan BUMD antara lain disebabkan adanya intervensi politik , sentralisasi , rent seeking
behaviour dan manajemen yang buruk.
BUMN dan BUMD dalam era globalisasi akan menhadapi beberapa tekanan dan tuntutan , yaitu :
• Regulation & political pressure , BUMN/BUMD dituntut untuk memberikan bagian laba perusahaan kepada pemerintah
. Tuntutan tsb diperkuat misalnya dengan adanya perda yang mewajibkan BUMD utk menyetorkan bagian laba perusahaan
kepada pemerintah untuk menambah pendapatan asli daerah.
• Social pressure BUMN/BUMD akan menghadapi tekanan yang semakin besar dari masyarakat untuk mrnghasilkan
produk murah dan kualitas tinggi , untuk itu pendaptan harga dan subsidi sangat penting.
• Rent seeking behaviour BUMN/D akan berhdapan dengan orang-orang yang mencoba melakukan rent seeking
,korupsi,kolusi,nepotisme.
• Economic & efficiency , BUMN/D disisi lain dituntut untuk ekonomis dan efisien agar menjadi entitas bisnis yang
profesional.
Prvatisasi merupakan salah satu upaya mereformasi perusahaan publik untuk meningkatkan efisiensi dan efetivitas
perushaan-perusahaan publik. Privatisasi berarti pelibatan modal swasta dalam struktur modal perusahaan publik shgga
kinerja finansia dapat dipengaruhi scr langsung oleh investor melalui mekanisme pasar uang. Privatisasi perusahaan publik
memiliki fungsi ganda , mengurangi beban belanja publik , meningkatkan pendapatan negara dan mendorong perkembangan
sektor swasta.
OTONOMI DAERAH
Perkembangan ASP , khususnya di indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ketetapan MPR yaitu Tap MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah ; pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI” merupakan
landasan hukum ,yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintaha Daerah, dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai dasar penyelenggara otonomi
daerah.
Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi . Desentralisasi tidak hanya berarti
pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintahan yang lebih rendah , tetapi juga pelimpahan beberapa
wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi.
Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu : pertama ,
mendorong peningkatan partisipasi , prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan , serta mendorong
pemertaan hasil-hasil pembangunan ( keadilan ) di seluruh daerah . Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya
produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang
memiliki informasi yang paling lengkap ( Shah,1997) . Hasil penelitian Huther dan Shah (1998) di 80 negara
menunjukkan bahwa desentralisasi memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan.
Implikasi otonomi daerah terhadap akuntansi sektor publik adalah bahwa dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah , pemerintahan daerah dituntut untuk mampu memberikan informasi keuangan kepada
publik , DPRD , dan pihak-pihak yang menjadi stakeholder pemerintah daerah . Untuk itu, pemerintah
daerah perlu memiliki sistem akuntansi dan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang
memadai . Selain itu , pemerintah daerah juga perlu melakukan perbaikan mekanisme audit terhadap
instansi pemerintah daerah.
Pengembangan sistem akuntansi pemerintah daerah merupakan suatu tantangan karena
lingkungan sektor publik yang sangat kompleks membutuhkan kompetensi tersendiri untuk mendesain
sistem akuntansi yang akan diterapkan.