I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Tujuan
1. Mengetahui pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah
sesuai dengan paradigma keuangan publik
2. Mengetahui dampak pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan
daerah tersebut
BAB II
I. Isi
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
2
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
3
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi
fiskal, yaitu:
a. Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)
Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena Pemerintah Daerah memiliki
informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan Pemerintah
Pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang dibuat oleh Pemerintah daerah akan
lebih responsif terhadap keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat.
b. Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local Governments)
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen untuk
menjelaskan hal ini dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai "The
Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang
publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi
masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di
lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara
pelayanan publik dari Pemerintah Daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak
untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut
dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 2002).
Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi
ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Stabilitas Makro Ekonomi
Penelitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi
(macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi inheren
dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan
pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan
perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi
dibandingkansistem fiskal yang tersentralisasi”. Faktanya, negara-negara federal yang
terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki
kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah.
Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro
ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya desentralisasi
fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika suatu negara
mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan
sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Atau, Daerah akan
menekan Pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau
4
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
pinjaman yang lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-
kasus di negara Federasi Rusia. Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada
pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana Daerah dapat menurun dan
ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul.
Keadilan (Equity)
Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan
redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik, redistribusi
biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk
mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan.
Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi: keadilan
horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity). Keadilan horizontal
merujuk pada tingkat kapasitas Pemerintah Daerah (subnational governments) dalam
memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi
munculnya ketidakadilan horizontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda secara
signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang
mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan
horisontal ini, maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources)
yang lebih besar kepada Daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization
grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal
tersebut.
Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah miskin
hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan redistribusi juga
memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-
locality equity). Dalam merancang kebijakan redistribusi, Pemerintah Daerah memerlukan
dukungan dari Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengambil kebijakan redistribusi
secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil Pemerintah Daerah untuk
menggunakan kebijakan redistribusi. Jika Pemerintah Daerah mengeluarkan program
redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi
penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong penduduk
berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi
pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.
Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi
kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Pertama,
proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan
tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki
kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari
5
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu,
seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level
pemerintahan yang lain.
Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis
baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun
masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan
kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja
aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan
masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Di samping itu, Sidik (2002) juga
berpendapat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, maka Pemerintah Daerah harus
didukung sumbersumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue,
pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan
berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya Pemerintah
Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement dan (2) terdapat
keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan
retribusi Daerah.
Tujuan desentralisasi fiskal
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, pada dasarnya bertujuan untuk :
1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks
kebijaksanaan ekonomi makro.
2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi
antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan
memperbesar taxing power Daerah.
3. Mengkoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar Daerah dalam kemampuan
keuangannya, dimana relatif masih sangat bervariasi
4. Akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah
Daerah.
5. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
6. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik
(demokratisasi).
6
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
7
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
miskin tidak berdaya secara politis, dan bahwa rendahnya kemampuan SDM pemerintah
ditambah dengan korupsi menyebabkan rendahnya kualitas layanan publik. Dengan
demikian, upaya mengentaskan kemiskinan membutuhkan pengembangan kelembagaan,
perubahan struktur politik, perbaikan tata kelola, dan juga perubahan sikap terhadap
kelompok miskin. Kebijakan desentralisasi akan punya implikasi atau kaitan yang erat
dengan kedua pendekatan ini.
Desentralisasi dapat memfasilitasi desain program teknokratis agar lebih efektif,
sebab pentargetan daerah bisa dilakukan, akuntabilitas birokrat bisa diperkuat, dan
manajemen program pengentasan kemiskinan dapat dikembangkan. Lalu, desentralisasi
juga bisa melahirkan kerangka legal yang akan menjadi alat untuk memfasilitasi pendekatan
kelembagaan dalam upaya pengentasan kemiskinan, dimana partisipasi publik (termasuk
rakyat miskin) menjadi signifikan.
8
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
anggaran Daerah terutama yang berupa transfer dari Pusat dapat diperkecil atau bahkan
ditiadakan.
Pemerintah Pusat harus tetap mempertahankan komitmennya terhadap pelaksanaan
desentralisasi dengan mematuhi perundang-undangan yang berlaku, sehingga kegiatan-
kegiatan dalam rangka desentralisasi sepenuhnya kewenangan diberikan kepada Daerah.
Bantuan Pemerintah Pusat yang berbentuk general grants (DAU) maupun revenue sharing
(bagi hasil) diarahkan untuk (i) penciptaan keseimbangan fiskal baik vertikal maupun
horizontal; (ii) menumbuhkan insentif dan/atau adanya kendali bagi Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan segala fungsi/ kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya dengan
baik.
Sementara untuk specific grants (DAK) diarahkan kepada pemberian insentif kepada
Pemerintah Daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat
prioritas.
Konsep perhitungan DAU harus mengacu pada konsep Fiscal Gap (Kebutuhan
Daerah – Kapasitas Daerah), dimana kebutuhan Daerah diukur dengan pendekatan
pengukuran Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB) masing-
masing Daerah.
9
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
alasan yang digunakan sebagai dasar keputusan pemekaran daerah ini. Tetapi yang jelas,
implikasi fiskalnya cukup terasa ke APBN, karena daerah-daerah baru tersebut pada
umumnya amat menggantungkan penerimaan APBD-nya kepada bantuan transfer dari
APBN yang berwujud Dana Perimbangan.
Indikasi juga menunjukkan adanya inefisiensi di dalam sistem administrasi daerah-
daerah baru, sebab belanja per kapita daerah-daerah ini sangat tinggi untuk kualitas
layanan yang tidak berbeda dengan daerah lain.
Persoalan lain yang sangat serius adalah, khususnya di sebagian besar daerah-
daerah baru, kapasitas SDM yang kurang memadai menyebabkan kinerja mereka (dalam
arti efisiensi dan efektivitas) terutama di sektor dasar seperti pendidikan, kesehatan dan
penyediaan fasilitas umum sangat lemah. Ketergantungan yang amat sangat terhadap
transfer dari pemerintah pusat, diringi dengan besarnya fungsi atau kewenangan di era
desentralisasi ini justru memunculkan satu dampak kurang bagus bagi perekonomian.
Sebagian daerah berkeinginan untuk meningkatkan peran pendapatan asli daerah (PAD)-
nya, sebagai refleksi otonomi fiskal mereka. Namun, karena kurangnya pemahaman akan
prinsip-prinsip perpajakan yang baik, maka banyak upaya yang mereka lakukan justru
mengganggu (distortif) terhadap aktivitas perekonomian daerah tersebut, dan juga terhadap
perekonomian kawasan secara keseluruhan.
Berbagai penelitian yang pernah dilakukan menemukan bahwa pungutan-pungutan
yang dilakukan daerah justru mengganggu iklim investasi dan dunia usaha di daerah.
Sebagai konsekuensi logis, daya saing dan iklim investasi nasional pun sangat terganggu.
Keadaan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi
secara umum, dan desentralisasi fiskal secara khusus, pada hakekatnya bertujuan
mendekatkan pemerintah dengan masyarakat sedemikian sehingga akan meningkatkan
efisiensi sektor publik, dari sisi tranparansi dan akuntabilitas pengambilan kebijakan untuk
penggunaan dana publik dalam rangka penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal. Disinilah krusialnya pengaturan mengenai pembagian
kewenangan dan urusan pemerintah yang PP-nya masih dinantikan. Masih kurang jelasnya
pembagian urusan dapat menimbulkan kesimpang-siuran, ketidakpastian dan fragmentasi
pendanaan. Dapat saja terjadi suatu fungsi didanai dari berbagai sumber, dan beberapa
observasi cukup memberi indikasi yang kuat tentang hal ini. Misalnya, satu kegiatan fisik
tertentu yang menjadi urusan daerah didanai dari (dan atas beban) APBN melalui Dokumen
Isian Pelaksanaan Anggaran Kementerian dan Lembaga (DIPA-K/L). Atau, kegiatan fisik
tertentu yang menjadi urusan pusat didanai dari (dan atas beban) APBD melalui Dokumen
Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Kerja Daerah (DPA-SKPD). Itulah
sebabnya, UU No 32 Tahun 2004 (Pasal 155) pun secara umum menggariskan perlunya
pemisahan sumber-sumber pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan/fungsi
pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
10
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
didanai dari dan atas beban APBD. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah di
daerah didanai dari dan atas beban APBN. Ini dipertegas lagi dalam Pasal 4 UU No 33
Tahun 2004.
11
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
12
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
BSC pun dapat dipergunakan di dalam pemerintahan. Karena dengan BSC pimpinan
pemerintahan dapat mengetahui apa harapan rakyat dan apa kebutuhan pegawai
pemerintah untuk memenuhi harapan rakyat itu.
Ada beberapa keuntungan bagi pemerintahan apabila menggunakan BSC, diantaranya:
1. BSC menempatkan seluruh organisasi dalam proses pembelajaran;
2. Keputusan penganggaran yang lebih rasional;
3. Memfasilitasi perbaikan kinerja;
4. Memperbaiki komunikasi kepada stakeholders;
5. Memberikan data untuk acuan (benchmark).
Sedangkan Robert S.Kaplan dan David P.Norton dalam bukunya Balanced
Scorecard Translating Strategy Into Action membahas konsep BSC dengan lebih
menekankan pada perspektif bisnis (private). Namun dalam perkembangannya, konsep
BSC sudah mulai diadopsi dalam sektor publik. BSC digunakan sebagai suatu alat
manajemen untuk mencapai tujuan yang berbasis pada perencanaan stratejik, yang
menekankan pada pencapaian tujuan yang berbasis pada visi dan misi. Penjabaran visi dan
misi dalam suatu rencana stratejik dilakukan dalam empat persprektif yang meliputi
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Penerapan BSC pada sektor publik dimaksudkan untuk pemberdayaan institusi,
pengambilan keputusan penganggaran yang lebih rasional, peningkatan kinerja,
meningkatkan komunikasi kepada pihak-pihak berkepentingan (stakeholders), dan
penyediaan data untuk benchmarking. Pada dasarnya, pengembangan BSC baik pada
sektor swasta maupun publik dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kepuasan untuk
para pelanggan. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan maupun pihak-pihak yang
berkepentingan.
Penerapan BSC untuk sektor bisnis dimaksudkan untuk meningkatkan persaingan
(competitiveness), sedangkan untuk sektor publik lebih menekankan pada nilai misi dan
pencapaian (mission value and effectiveness). Dari aspek keuangan, untuk sektor bisnis
akan mengutamakan keuntungan, pertumbuhan dan pangsa pasar, sedangan pada sektor
publik dimaksudkan untuk pengukuran produktivitas dan tingkat efisiensi. Demikian juga
halnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan, sektor bisnis akan lebih mengutamakan
para pemegang saham, pembeli, dan manajemen, sedangkan untuk sektor publik akan
meliputi para pembayar pajak, pengguna jasa (recipients), dan legislatif.
Secara umum, penerapan konsep BSC dalam organisasi publik dapat dilakukan
mulai dari proses pembelajaran dibidang keahlian, pengetahuan, data, maupun masyarakat.
Proses pembelajaran ini akan mempengaruhi proses internal organisasi. Proses internal
akan mewarnai mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun para wakil
rakyat, mempengaruhi nilai dan manfaat, serta mempengaruhi keuangan dan biaya sosial,
13
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
dan secara keseluruhan akan bermuara pada misi organisasi yang telah ditetapkan terlebih
dahulu.
Secara konsepsional, kebijakan Pemerintah di bidang hubungan keuangan Pusat
dan Daerah akan mengacu pada berbagai konsep pembaruan untuk mewujudkan clean and
good governance. Salah satunya akan dapat dikembangkan konsep BSC. Konsep BSC
yang meskipun tidak 100% tapi secara filosofis dapat dianalogkan, seperti halnya dengan
perencanaan stratejik yang telah menjadi acuan dalam perencanaan pemerintah baik di
tingkat Pusat mapun Daerah. Secara formal hal ini sudah diatur dalam Inpres 7 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sama halnya
dengan tujuan BSC, yaitu untuk meningkatkan kinerja organisasi, Inpres 7/1999
mengamanatkan agar setiap pengalokasian atau pengeluaran anggaran pemerintah harus
didasarkan pada pencapaian tujuan sesuai dengan visi dan misi setiap unit organisasi yang
telah ditetapkan terlebih dahulu. Ukuran kinerja didasarkan pada pencapaian output,
outcome, benefit, dan impact.
Di bidang hubungan keuangan Pusat dan Daerah, khususnya berkaitan dengan
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah telah ditetapkan berbagai tujuan
stratejik yang meliputi pemerataan kemapuan keuangan antar daerah (horizontal equity)
maupun pemerataan antar tingkat pemerintahan (vertical equity). Untuk mencapai tujuan
tersebut telah ditetapkan suatu rumus yang transparan, pasti, dan adil, sehingga setiap
daerah yang akan menerima dana alokasi umum dari Pusat akan dapat mengetahui secara
pasti bari segi jumlah dan waktu maupun cara memperoleh angka atau jumlah DAU
dimaksud. Tentunya, kebijakan dimaksud bukan hanya menekankan pada aspek
pencapaian hasil, hal yang tidak kalah penting juga dengan menekankan pada aspek
partisipatif dan aspiratif dalam proses perumusan. Artinya, dalam proses perumusan
kebijakan DAU tidak lagi semata-mata hanya melibatkan unsur pemerintah tetapi sudah
melibatkan para stakeholders, termasuk perguruan tinggi, pemerintah daerah sebagai
penerima dana perimbangan, dan legislatif.
14
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
BAB III
I. Penutup
a. Kesimpulan
15
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011
baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun
pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.
Pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah harus
memperhatikan berbagai aspek demi terjadinya keseimbangan nasional. Selain itu,
hubungan pemerintah pusat dan daerah, walaupun dalam pelaksanaannya menemui
berbagai macam kendala, pemerintah harus dapat belajar dari berbagai pihak sehingga
kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan tercipta hubungan pemerintah yang baik yang
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat.
Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang berupa desentralisasi
harus dapat menjadi titik awal dari terciptanya pemerintahan yang baik. Desentralisasi harus
membawa perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab karena saat
ini tidak ada pilihan lain untuk mencapai pemerintahan yang baik selain pelaksanaan
desentralisasi yang tepat dan seimbang karena pemerintah tidak mungkin menerapkan
kembali sistem desentralisasi yang terbukti tidak mampu membawa perbaikan terhadap
pemerintahan dan negara.
16