Disusun Oleh :
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Pattimura Ambon
2022
Pasca reformasi, tepatnya tahun 2000, konstitusi ini berganti menjadi UU 34/2000. Namun
lima tahun dijalankan, aspirasi revisi bergaung, sehingga akhirnya revisi jalan lagi dan
berubah menjadi UU 28/2009.
Selain UU, pedoman penyusunan perda pajak dan retribusi daerah adalah PP 65/2000
tentang Pajak Daerah dan PP 66/2000 tentang Retribusi Daerah. Sekalipun sudah hampir
lima tahun dijalankan, ada beberapa hal menarik darinya.
Pertama, UU 28/2009 sejak sebelum lahir, sudah dinilai bisa membatasi secara efektif akan
jenis pajak dan retribusi daerah yang boleh ditarik pemerintah kabupaten-kota.
Atau dalam bahasa hukumnya menggunakan mekanisme daftar tertutup (closed list). Jenis-
jenis pajak dan retribusi sudah disebutkan, demikian juga besaran tarifnya. UU tersebut
sudah mematok jumlah nominal sebagai batas maksimum.
Tidak ada lagi peluang bagi pemda membuat perda pajak dan retribusi di luar yang telah
ditetapkan pemerintah pusat tersebut. Jadi, daerah hanya diberi sedikit kewenangan
menentukan besaran tarif.
Dalam UU 34/2000 pemerintah provinsi diberi hak menarik empat jenis pajak. Yaitu, pajak
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik nama kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Selain jenis pajak tersebut, provinsi tidak
diperbolehkan menambah jenis pajak baru.
Sedangkan pemerintah kabupaten-kota diberi hak untuk menarik tujuh jenis pajak. Yaitu
pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir.
Untuk jenis retribusi, UU 34/2000 menetapkan secara eksplisit. Namun, UU itu juga
membuka peluang bagi provinsi maupun kabupaten-kota untuk terus menggali sendiri
objek retribusi di luar yang telah disebutkan. Namun hal ini malah memicu munculnya
perda-perda retribusi yang cenderung bermasalah.
Urgensi revisi UU PDRD itu tak lain disebabkan maraknya perda-perda bermasalah.
Kebanyakan di antara perda-perda itu merupakan perda retribusi yang bernuansa pungutan.
Pungutan-pungutan itu tidak saja memberatkan masyarakat, tetapi juga memberatkan dunia
usaha. Kita ambil contoh beberapa tahun silam. Hingga 20 Agustus 2008, Kementerian
Keuangan telah menerima 10.504 perda. Yang sudah dievaluasi 7.298 perda, dimana 2.091
perda direkomendasikan dibatalkan atau direvisi. Departemen Keuangan juga menerima
1.855 rancangan perda (raperda). Dari yang sudah dievaluasi 1.835 reperda, diputuskan
1.204 raperda ditolak dan harus direvisi. Sedangkan 631 raperda yang lain dianggap tidak
bermasalah.
Kedua, sekalipun dinilai sudah membenahi banyak hal, namun tidak otomatis sempurna.
Saat ini, aspirasi penyempurnaan UU 28/2009 tetap bermunculan seperti disuarakan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Belum lama ini, DPD RI
mengusulkan revisi dengan usulan memeratakan penarikan retribusi Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebab, banyak daerah yang belum menikmati BPHTB sebagai sumber PAD akibat
pembatasan (patokan) minimum transaksi penjualan tanah dan bangunan sebesar Rp 60
juta sebagai objek BPHTB dengan tarif maksimal 5% yang berlaku secara nasional.
Sedangkan untuk warisan/hibah wasiat minimum Rp 300 juta. DPD menilai patokan nilai
transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan minimal Rp 60 juta untuk menjadi objek
BPHTB menyebabkan sejumlah daerah tidak dapat mengutip BPHTB. Sebab, di sejumlah
daerah khususnya yang masih terpencil masih jarang ditemukan transaksi penjualan tanah
dan bangunan bernilai Rp 60 juta. Padahal, salah satu tujuan UU PDRD yang mengalihkan
sebagian pajak pusat ke daerah untuk menambah sumber PAD bagi daerah guna
meningkatkan pendapatan daerah sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat.
Sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1997, perhatian akan pengelolaan daerah terutama
pengelolaan pajak di daerah masih sangat minim dan jauh dari kata efektif efisien,
mengingat fokus pemerintahan masih bersifat sentralistik, yang mengacu pada kegiatan
pelayanan dan pembangunan di daerah hanya dibiayai dari APBN, sementara setiap
pendapatan di daerah masuk ke APBN. Peran pajak daerah pada periode ini hanya sebagai
pelengkap sehingga optimalisasi pemungutan jenis pajak dan retribusi tertentu kurang
mendapat perhatian.
Pada fase ini terbit berbagai peraturan sebagai landasan hukum terkait pajak daerah dan
retribusi daerah yaitu UU 32/56 tentang perimbangan keuangan, UU 11/1957 tentang Pajak
Daerah, dan UU 12/1957 tentang Retribusi daerah. Sementara jenis pajaknya terbagi atas
dua, Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/kota.
Terdapat delapan jenis pajak daerah yaitu Pajak Verponding, Rumah Tangga, Kendaraan
Bermotor, Pajak Izin Menangkap Ikan, Pajak Sekolah, Opsen Atas Pajak Kekayaan, Opsen
Atas Pajak (Cukai) Penjualan Bensin, dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 10 jenis
retribusi daerah : izin mengusahakan tambak ikan, pelelangan ikan, timbangan jembatan,
pemakaian air minum, dan lainnya. Pajak daerah provinsi bersifat open list, artinya
provinsi dapat memasuki pajak yang tidak dipungut pusat (UU No 11 Drt Tahun 1957).
2. Tingkat II (Kabupaten/Kota):
Terdapat 37 jenis pajak daerah (penerangan jalan, rumah asap, pajak pendaftaran
perusahaan, dll) dan 60 jenis retribusi daerah (retribusi parkir, bea penguburan, retribusi
pasar, dll). Kota/kabupaten tak boleh memungut bila provinsi telah memungut, tetapi boleh
menambahkan opsen tax pada pajak provinsi. Pada fase ini terdapat berbagai kelemahan,
diantaranya adalah tidak memenuhi kriteria pemungutan pajak yang baik, seperti: tidak
efisien (biaya administrasi lebih tinggi), duplikasi atau tumpang tindih dengan pajak lain
(pajak lain untuk obyek pajak yang sama), dan bersifat retribusi. Dari berbagai kelemahan
tersebut maka dilakukan reformasi fase kedua.
Pembaharuan sistem perpajak daerah dimulai pada tahun 1997 dengan menerbitkan UU no.
18 tahun 1997 tentang membangun sistem pungutan yang sederhana, adil, efektif.
Pembaharuan ini ditujukan untuk membangun sistem pungutan daerah yang adil,
sederhana, dan efektif serta mengoreksi kelemahan-kelemahan sistem sebelumnya
terutama terkait efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak. Penyederhanaan sistem
perpajakan lebih ditujukan pada kriteria-kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan seperti
objek dan dasar pengenaan pajak, potensi memadai dan landasan retribusi yang diperkuat.
Sama halnya dengan fase satu pajak daerah digolongkan ke dalam pajak daerah provinsi
dan pajak daerah kabupaten/kota, namun terdapat beberapa perbedaan dari fase
sebelumnya.
Terdapat tiga pajak yang dipungut yaitu Pajak kendaraan bermotor; Bea balik nama
kendaraan bermotor, dan Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
Terdapat enam pajak yang dipungut yaitu Pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian
golongan C, dan Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Sementara untuk
Retribusi Daerah, dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Pada era ini pengaturan pajaknya bersifat
closed list artinya membatasi pemungutan pajak oleh daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota sesuai yang diatur dalam UU. Pemberlakuan UU no. 18 tahun 1997 juga
belum memberikan dampak besar dari penerimaan daerah. Hal ini dikarenakan pada tahun
1997-2000 Indonesia sedang ditempa krisis ekonomi. Untuk itu setelah era 1997
tumbuhlah era reformasi yang ditandai dengan berubahnya UU tentang Pemerintah Daerah,
UU no. 5 tahun 1974 menjadi UU no. 22 tahun 1999. Perubahan ini menandai perubahan
dalam pajak daerah.
Era ini ditandai dengan setelah dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, telah
mengubah secara signifikan hubungan keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah yang
semula lebih sentralistik menjadi desentralistis. Pada fase ini untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan ke daerah, Pemerintah Daerah
memerlukan sumber-sumber dana yang memadai dengan mendorong kemandirian daerah.
Dalam UU no. 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah harus memiliki
kekuatah untuk menarik pungutan (taxing power) dan Pemerintah pusat harus membagi
sebagian pendapatan pajaknya ke daerah. Maka dari itu, pada era ini muncul dua aturan
kebijakan yang sangat fundamental yaitu UU no. 34 tahun 200 dan UU no. 28 tahun 2009.
Masalah yang dihadapi : terlalu banyak jenis pungutan, potensi pajak yang kecil daripada
biayanya, dan tidak adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan PDRD. Dampaknya, banyak
jenis PDRD baru yang tidak sesuai kriteria karena kurang memahami/mengabaikan
kriteria, prinsip money follow function kurang berjalan baik, pengawasan represif, sanksi
yang ditiadakan. Maka dari itu dibuat UU 28/2009 serta mengubah sistem yang bersifat
open list menjadi closed list.
Untuk mengoreksi berbagai kelamahan dan permasalahan di atas, terbitlah aturan ini
dengan beberapa koreksi dengan menerapkan kebijakan dalam
Terdapat banyak instrumen yang dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai seluruh pengeluaran yang dibebankan kepada pemda akibat
didesentralisasikannya proses pemerintahan. Seluruh jenis pendapatan yang diterima oleh
pemerintah daerah serta seluruh jenis pembiayaan (pengeluaran) daerah yang dilakukannya
dalam menjalankan tugas pemerintahan dan program pembangunan secara jelas tercantum
dalam suatu anggaran pendapatan dan belanja daerah. Secara garis besar, sumber
pembiayaan (pendapatan) ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori sumber
pembiayaan. Kategori pertama adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari
sumber-sumber di luar pemerintah daerah (external source). Pendapatan ini merupakan
pendapatan yang diperoleh dari sumber- sumber yang berasal dari pihak luar dan tidak
secara langsung ditangani sendiri oleh pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan pihak
luar di sini adalah pihak- pihak yang berada di luar pemerintah daerah yang bersangkutan
(selain pemerintah daerah beserta perangkatnya) dan bukan merupakan penduduk daerah
yang bersangkutan, seperti pemerintah pusat, tingkatan pemerintahan yang ada di atas
pemerintahan daerah yang bersangkutan, negara asing, pihak swasta, dan pihak ketiga.
Kategori kedua adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber
yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local source). Kategori kedua
merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari
sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya. Pendapatan yang
termasuk ke dalam kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national
tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan usaha
(local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis pendapatan ini
merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari
sumber- sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya.
Terkait dengan pendapatan asli daerah, seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa
batas 20% perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah.
Sekiranya PAD kurang dari angka 20%, maka daerah tersebut akan kehilangan
kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri. Pajak daerah, sebagai salah satu komponen
PAD, merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang
mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang
diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya.
Retribusi daerah, komponen lain yang juga termasuk komponen PAD, merupakan
penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan tertentu
kepada penduduk mendiami wilayah yurisdiksinya. Perbedaan yang tegas antara pajak
daerah dan retribusi daerah terletak pada kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah
daerah. Jika pada pajak daerah kontraprestasi tidak diberikan secara langsung, maka pada
retribusi daerah kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada
penduduk yang membayar retribusi tersebut. Baik pajak daerah maupun retribusi daerah,
keduanya diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan disetujui
oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur
pemerintah daerah yang bersangkutan. Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan
memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini
sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan
sendiri jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada
intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang
perlu diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum yang dikemukakan serta diterima
oleh para ahli yang menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah,
seperti Nick Devas, Richard M. Bird, dan B. C. Smith. Agar pemerintah daerah memiliki
kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya
mempertimbang- kan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber
pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.
Mungkin hal ini yang paling menjanjikan, dan merupakan jalur yang banyak ditempuh oleh
para pemerintah daerah, untuk mendapatkan struktur pendapatan daerah adalah
memberlakukan retribusi pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Hal ini sangat
dimungkinkan, sebab jika pemerintah daerah ditinjau dari sudut pandang ekonomi, maka
pemerintah daerah dapat dianalogikan sebagai suatu perusahaan milik yang memberikan
beragam jenis layanan layanan atau bahkan termasuk menyediakan sejumlah barang yang
dapat dikonsumsi oleh penduduk setempat. Jenis-jenis pajak yang dipungut di daerah
sangat beragam. Pemungutan pajak daerah ini harus mengindahkan ketentuan bahwa
lapangan pajak yang akan dipungut belum diusahakan oleh tingkatan pemerintahan yang
ada diatasnya. ada perbedaan lapangan pajak antara daerah propinsi dan daerah
kabupaten/kota. Daerah propinsi memiliki 4 jenis pajak daerah, yaitu Pajak Kendaraan
Bermotor dan kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Pajak atas Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Untuk Daerah Kabupaten/Kota, pajak
daerah yang dipungut berjumlah 7 buah, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
dan Pajak Parkir. Dengan adanya reformasi perpajakan yang ditandai dengan lahimya
beberapa UU tentang perpajakan, memberikan dampak penghapusan beberapa komponen
pendapatan daerah,namun juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada
pemerintah daerah untuk menetapkan penerimaan daerah. Dengan demikian diharapkan
ada peningkatan kemandirian pembiayaan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan. Dampak lain dari adanya reformasi perpajakan ini adalah danya
peningkatan efisiensi ekonomi nasional sehingga akan merangsang investor untuk
menanamkan usahanya dimasing-masing daerah. Dalam jangka panjang peningkatan
investasi akan berdampak pada peningkatan volume kegiatan ekonomi, sehingga secara
otomatis juga akan meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak dan retribusi. Namun
demikian agar dampak reformasi perpajakan terhadap masing-masing daerah bisa
maksimal, perlu adanya strategi khusus bagi masing-masing daerah dalam melaksanakan
pembangunan di daerah.