Anda di halaman 1dari 15

PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH

(Reformasi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)

Disusun Oleh :

Nur Fadila Syaqina (2019-30-003)

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Pattimura Ambon
2022

Critical review atas isu “REFORMASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI


DAERAH DI INDONESIA”
1. Latarbelakang Pentingnya Reformasi terhadap Peraturan Perundang-undangan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
Perkembangan atau jalannya suatu peraturan harus didasarkan pada rancangan atau
gagasan dalam perkembangan hukum, yang merupakan suatu kebutuhan yang sifatnya
mutlak dalam meningkatkan dan memajukan suatu Negara. Untuk berhasilnya suatu
pembangunan maka, dipakai produk didalamnya peraturan (hukum) yang mengaturnya.
Dimana hukum berfungsi untuk memberi kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam hal
ini berhubungan dengan pembagian tanggung jawab (kewenangan) dalam pemerintahan
yang sifatnya desentrealistis. Sangat tepat dan diperlukan untuk diterapkan pada Negara
yang geografis wilayahnya kepulauan dan begitu luas. Kemuadian, dengan
keanekaragaman budaya baik itu karakter maupun kebiasan. Salah satu wujud pelaksanaan
desentrealistis yaitu desentralisasi fiskal yang merupakan patokan atau gambaran untuk
sumber-sumber penerimaan bagi Daerah, yang dapat dikelolah dan digunakan sendiri
dengan potensinya masing-masing. Kewenangan daerah tersebut diwujudkan dengan
memungut pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan UU No. 28 tahun 2009
yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 34 tahun 2000 dan peraturan pelaksanaanya
yaitu PP No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP No. 66 tahun 2001 tentang
retribusi daerah. Kriteria utama yang paling mendasar agar pajak daerah dan retribusi
daerah sejalan dengan arti atau hakekat sebenarnya dari pungutan tersebut adalah
diupayakan kesejahteraan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh
rakyat.
Terlepas dari hal-hal di atas perkembangan pengaturan mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah dari masa ke masa yang di mulai dari masa sebelum UU No. 22 tahun
1999; masa UU No. 22 tahun 1999; pokok-pokok perubahan UU pemerintahan daerah dan
kemudian pokok-pokok perubahan UU No. 23 tahun 2014 pemerintah
daerah.Pembaharuan pajak ini meliputi pembaharuan dalam peraturan perundangan-
undangan perpajakan dan perubahan system pemungutan pajak. Hal tersebut menandakan
adanya kesungguhan pemerintah dan wakil rakyat untukmelaksanakan otonomi dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, danpemanfaatan sum
berdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dandaerah. Di
samping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan denganprinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikanpotensi
keanekaragaman daerah. Pemberian otonomi luas kepada daerah tersebut diarahkanuntuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing yang positif
dalamsistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi dan otonomi daerah
dipandang dapat memperbaiki dan meningkatkanefisiensi, karena penyerahan urusan
kepada pemerintah daerah dipandang dapat mempersingkat jalur dari proses masukan
(input), dan akan memperbesar dan mengefektifkan nilai keluaran(output), sebab wakil-
wakil rakyat dan para pejabat pemerintah daerah akan lebihsensitifterhadap kondisi-kondisi
lokal dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal. Desentralisasi pada dasarnya
adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan/wewenangdi bidang tertentu secara vertikal
dari institusi/ lembaga pejabat yang lebih tinggi kepadainstitusi/lembaga/fungsionaris
bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaanatauwewenang tertentu itu berhak
bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut. Disamping itu,
penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsipdemokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dankeanekaragaman daerah. Sentralistik atau desentralistik sistem pemerintahan di
Indonesia dapat terlihat di dalampelaksanaan kebijakan peraturan perundang - undangan
yang mengatur mengenai sistempemerintahan daerah. Peraturan perundang-undangan
tersebut memperlihatkan secara jelas bagaimana kekuasaan dan kewenangan pemerintah
daerah dalam mengambil keputusandansejauh mana pemerintah pusat dapat mencampuri
kebijakan pemerintah di daerah. Sebelum diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999,
kewenangan pemerintah pusat hampir meliputi seluruh aspek pemerintahan di daerah,
contohnya pembangunan pasar tradisional di daerah tertentu harus sesuai dengan rencana
pembangunan yang telah digariskan oleh Bappenas. Padahal, hal tersebut sangat kental
nuansa kedaerahannya dan tidak ada hubungannya denganpemerintah pusat. Demikian
juga halnya dengan kebijakan perpajakan di daerah. Kebijakan perpajakan merupakan hal
utama yang langsung terkait dengan urusan sentralistik atautidaknyasistem pemerintahan.
Melalui sistem perpajakanlah pemerintah pusat biasanya melakukan pengawasan kepada
pemerintahan daerah.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara efektif
berlaku sejak Januari 2001, dilanjutkan dengan penggantinya yaitu UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014
dan terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015. Berkaitan dengan keuangan daerah,
diatur dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004.
Hal tersebut menandakan adanya kesungguhan pemerintah dan wakil rakyat untuk
melaksanakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Di samping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan
dengan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan,
serta memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Pemberian otonomi luas kepada
daerah tersebut diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
meningkatkan daya saing yang positif dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi dan otonomi daerah dipandang dapat memperbaiki dan meningkatkan
efisiensi, karena penyerahan urusan kepada pemerintah daerah dipandang dapat
mempersingkat jalur dari proses masukan (input), dan akan memperbesar dan
mengefektifkan nilai keluaran(output), sebab wakil-wakil rakyat dan para pejabat
pemerintah daerah akan lebih sensitif terhadap kondisi-kondisi lokal dan responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal. Desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau
penyerahan kekuasaan/wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/ lembaga
pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang
diserahi/dilimpahi kekuasaan atau wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama
sendiri dalam urusan tertentu tersebut.
Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah.
Sentralistik atau desentralistik sistem pemerintahan di Indonesia dapat terlihat di dalam
pelaksanaan kebijakan peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai sistem
pemerintahan daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut memperlihatkan secara jelas
bagaimana kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan
dan sejauh mana pemerintah pusat dapat mencampuri kebijakan pemerintah di daerah.
Sebelum diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan pemerintah pusat hampir
meliputi seluruh aspek pemerintahan di daerah, contohnya pembangunan pasar tradisional
di daerah tertentu harus sesuai dengan rencana pembangunan yang telah digariskan oleh
Bappenas. Padahal, hal tersebut sangat kental nuansa kedaerahannya dan tidak ada
hubungannya dengan pemerintah pusat. Demikian juga halnya dengan kebijakan
perpajakan di daerah. Kebijakan perpajakan merupakan hal utama yang langsung terkait
dengan urusan sentralistik atau tidaknya sistem pemerintahan. Melalui sistem
perpajakanlah pemerintah pusat biasanya melakukan pengawasan kepada pemerintahan
daerah.

2. Perjalanan Reformasi Terhadap Peraturan Perundang-undangan Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah di Indonesia
1. Masa UU No. 22 tahun 1999
Era otonomi daerah
Otonomi Daerah yang digulirkan pada tahun 1999 yang ditandai dengan terbitnya UU
No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, telah mengubah
secara signifikan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang semula lebih
sentralitsik menjadi desentralistis. Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab yang dilimpahkan ke daerah, pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber
pendanaan yang memadai dengan mendorong kemandirian daerah. Dalam UU No.25
Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemerintah daerah harus memiliki kekuatan untuk menarik
pungutan (taxing power) dan pemerintah pusat harus membagi sebagian pendapatan
pajaknya kepada pemerintah daerah.
Pada era otonomi daerah ini, terdapat 2 (dua) kebijakan besar di bidang pajak daerah dan
retribusi daerah, masing-masing diatur dengan UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.28
Tahun 2009. Kedua kebijakan tersebut memiliki perbedaan yang sangat fundamental,
khususnya dilihat dari sisi sistem pemungutan, kewenangan daerah, dan sistem
pengawasan.
UU Nomor 34 Tahun 2000
Semangat otonomi daerah memberikan warna baru terhadap kebijakan pajak daerah dan
retribusi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No.34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Perubahan mendasar terletak pada sistem pengawasan pajak daerah dan retribusi
daerah yang semula bersifat preventif diubah menjadi represif.
Pada masa ini, kewenangan daerah untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru
menjadi sangat besar. Meskipun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat
besar, undang-undang tersebut telah mengatur rambu-rambu berupa kriteria yang harus
dipenuhi dan kemungkinan pembatalan oleh pemerintah pusat apabila kemudian ternyata
pungutan daerah tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Beberapa hal yang mendasar dari perubahan UU Nomor 18 Tahun 1997 adalah:
 Jenis pajak daerah dan retribusi daerah ditambah dan disempurnakan.
 Di samping jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam UU No.18
Tahun 1997 daerah diberi keleluasasan dapat memungut jenis pajak daerah dan retribusi
daerah lainnya sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (open list).
 Daerah dapat menetapkan dan memungut pajak daerah dan retribusi daerah baru dengan
menerbitkan peraturan daerah tanpa memerlukan persetujuan ata pengesahan dari
pemerintah, Karena pada masa ini evaluasi pemeintah atas perda yang sudah ditetapkan
 Mekanisme pengawasan yang semula bersifat preventif berubah menjadi represif.
Pemberian peluang untuk menetapkan jenis pungutan baru dan perubahan mekanisme
pengawasan dari preventif menjadi represif tersebut dalam perjalanannya ternyata
memberikan dampak yang kurang baik terhadap perkembangan ekonomi nasional dan
perekonomian daerah. Karena pungutan daerah (yang ditetapkan dengan peraturan daerah)
dapat segera diberlakukan tanpa menunggu persetujuan pemerintah, maka sejak tahun 2000
terlihat kecenderungan daerah untuk menghidupkan kembali jenis-jenis pungutan yang
sebelumnya telah dihapus dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997. Hal ini
mengulangi terjadinya keadaan pada periode sebelum berlakunya UU Nomor 18 Tahun
1997. Dimana obyek pajak daerah dan retribusi daerah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
perpajakan yang baik sehingga berdampak ekses negative di masyarakat.
Adanya otonomi fiskal/keuangan memberikan kewenangan kepada daerah untuk
memungut pajak dan retribusi baru. Namun jenis pemungutan-pemungutan di luar undang-
undang membuat kontribusi dalam peningkatan pendapatan asli daerah menjadi kurang
signifikan. Hampir semua jenis pajak baru yang dipungut oleh daerah pada awal era
otonomi daerah tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, antara lain disebabkan oleh
pungutan daerah yang tumpang tindih dengan pungutan pusat. Demikian juga halnya
dengan retribusi baru, sebagian besar retribusi baru merupakan jenis retribusi yang
sebelumnya telah dihapus dengan diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 1997 karena
mengandung berbagai permasalahan. Banyaknya pungutan daerah yang bermasalah
tersebut, antara lain disebabkan:
 Daerah diberi peluang untuk menciptakan pungutan baru di luar yang telah ditetapkan
sesuai kriteria dalam UU (open list).
 Daerah kurang memahami atau ”mengabaikan” kriteria pungutan yang baik yang
ditetapkan dalam UU;
 Prinsip money follows function belum berjalan dengan baik sehingga banyak daerah
berusaha mendapatkan sumber penerimaan baru untuk memenuhi kebutuhan
pengeluarannya, tetapi kurang memperhatikan kaedah-kaedah pungutan yang baik;
 Pengawasan Perda oleh pemerintah pusat dilakukan secara represif;
 Tidak adanya sanksi bagi daerah yang melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Untuk itu pemerintah merubah pengaturan pada UU mengenai pajak daerah dan retribusi
daerah dari yang bersifat open list menjadi closed list, dan pengawasan dari represif ke
preventif dengan melahirkan UU 28 tahun 2009.
UU Nomor 28 Tahun 2009
Secara umum, ada tiga masalah yang menonjol di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
pada awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu banyaknya jenis pungutan daerah terlebih
cara pemungutannya bermasalah, potensi pajak daerah yang relative kecil daripada biaya
memperolehnya hingga menimbulkan ekses negative terhadap pertumbuhan ekonomi
regional, dan tidak adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan pajak daerah dan retribusi
daerah. Implikasi dari keadaan ini adalah pemberian beban yang berlebihan bagi
masyarakat dan menimbulkan iklim investasi yang tidak kondusif di daerah. Untuk
mengoreksi kelemahan tersebut di atas, pada tahun 2009 diterbitkan UU Nomor 28 Tahun
2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 34
Tahun 2000. Koreksi yang dilakukan dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah:
 Memperbaiki Kewenangan Pemungutan
 Penguatan Local Taxing Power
 Meningkatkan Efektivitas Pengawasan
 Memperbaiki Sistem Pengelolaan

Pasca reformasi, tepatnya tahun 2000, konstitusi ini berganti menjadi UU 34/2000. Namun
lima tahun dijalankan, aspirasi revisi bergaung, sehingga akhirnya revisi jalan lagi dan
berubah menjadi UU 28/2009.
Selain UU, pedoman penyusunan perda pajak dan retribusi daerah adalah PP 65/2000
tentang Pajak Daerah dan PP 66/2000 tentang Retribusi Daerah. Sekalipun sudah hampir
lima tahun dijalankan, ada beberapa hal menarik darinya.
Pertama, UU 28/2009 sejak sebelum lahir, sudah dinilai bisa membatasi secara efektif akan
jenis pajak dan retribusi daerah yang boleh ditarik pemerintah kabupaten-kota.
Atau dalam bahasa hukumnya menggunakan mekanisme daftar tertutup (closed list). Jenis-
jenis pajak dan retribusi sudah disebutkan, demikian juga besaran tarifnya. UU tersebut
sudah mematok jumlah nominal sebagai batas maksimum.
Tidak ada lagi peluang bagi pemda membuat perda pajak dan retribusi di luar yang telah
ditetapkan pemerintah pusat tersebut. Jadi, daerah hanya diberi sedikit kewenangan
menentukan besaran tarif.
Dalam UU 34/2000 pemerintah provinsi diberi hak menarik empat jenis pajak. Yaitu, pajak
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik nama kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Selain jenis pajak tersebut, provinsi tidak
diperbolehkan menambah jenis pajak baru.
Sedangkan pemerintah kabupaten-kota diberi hak untuk menarik tujuh jenis pajak. Yaitu
pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir.
Untuk jenis retribusi, UU 34/2000 menetapkan secara eksplisit. Namun, UU itu juga
membuka peluang bagi provinsi maupun kabupaten-kota untuk terus menggali sendiri
objek retribusi di luar yang telah disebutkan. Namun hal ini malah memicu munculnya
perda-perda retribusi yang cenderung bermasalah.
Urgensi revisi UU PDRD itu tak lain disebabkan maraknya perda-perda bermasalah.
Kebanyakan di antara perda-perda itu merupakan perda retribusi yang bernuansa pungutan.
Pungutan-pungutan itu tidak saja memberatkan masyarakat, tetapi juga memberatkan dunia
usaha. Kita ambil contoh beberapa tahun silam. Hingga 20 Agustus 2008, Kementerian
Keuangan telah menerima 10.504 perda. Yang sudah dievaluasi 7.298 perda, dimana 2.091
perda direkomendasikan dibatalkan atau direvisi. Departemen Keuangan juga menerima
1.855 rancangan perda (raperda). Dari yang sudah dievaluasi 1.835 reperda, diputuskan
1.204 raperda ditolak dan harus direvisi. Sedangkan 631 raperda yang lain dianggap tidak
bermasalah.
Kedua, sekalipun dinilai sudah membenahi banyak hal, namun tidak otomatis sempurna.
Saat ini, aspirasi penyempurnaan UU 28/2009 tetap bermunculan seperti disuarakan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Belum lama ini, DPD RI
mengusulkan revisi dengan usulan memeratakan penarikan retribusi Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebab, banyak daerah yang belum menikmati BPHTB sebagai sumber PAD akibat
pembatasan (patokan) minimum transaksi penjualan tanah dan bangunan sebesar Rp 60
juta sebagai objek BPHTB dengan tarif maksimal 5% yang berlaku secara nasional.
Sedangkan untuk warisan/hibah wasiat minimum Rp 300 juta. DPD menilai patokan nilai
transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan minimal Rp 60 juta untuk menjadi objek
BPHTB menyebabkan sejumlah daerah tidak dapat mengutip BPHTB. Sebab, di sejumlah
daerah khususnya yang masih terpencil masih jarang ditemukan transaksi penjualan tanah
dan bangunan bernilai Rp 60 juta. Padahal, salah satu tujuan UU PDRD yang mengalihkan
sebagian pajak pusat ke daerah untuk menambah sumber PAD bagi daerah guna
meningkatkan pendapatan daerah sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat.

FASE PERTAMA (Sebelum tahun 1997)

Sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1997, perhatian akan pengelolaan daerah terutama
pengelolaan pajak di daerah masih sangat minim dan jauh dari kata efektif efisien,
mengingat fokus pemerintahan masih bersifat sentralistik, yang mengacu pada kegiatan
pelayanan dan pembangunan di daerah hanya dibiayai dari APBN, sementara setiap
pendapatan di daerah masuk ke APBN. Peran pajak daerah pada periode ini hanya sebagai
pelengkap sehingga optimalisasi pemungutan jenis pajak dan retribusi tertentu kurang
mendapat perhatian.

Pada fase ini terbit berbagai peraturan sebagai landasan hukum terkait pajak daerah dan
retribusi daerah yaitu UU 32/56 tentang perimbangan keuangan, UU 11/1957 tentang Pajak
Daerah, dan UU 12/1957 tentang Retribusi daerah. Sementara jenis pajaknya terbagi atas
dua, Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/kota.

1. Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi) :

Terdapat delapan jenis pajak daerah yaitu Pajak Verponding, Rumah Tangga, Kendaraan
Bermotor, Pajak Izin Menangkap Ikan, Pajak Sekolah, Opsen Atas Pajak Kekayaan, Opsen
Atas Pajak (Cukai) Penjualan Bensin, dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 10 jenis
retribusi daerah : izin mengusahakan tambak ikan, pelelangan ikan, timbangan jembatan,
pemakaian air minum, dan lainnya. Pajak daerah provinsi bersifat open list, artinya
provinsi dapat memasuki pajak yang tidak dipungut pusat (UU No 11 Drt Tahun 1957).

2. Tingkat II (Kabupaten/Kota):

Terdapat 37 jenis pajak daerah (penerangan jalan, rumah asap, pajak pendaftaran
perusahaan, dll) dan 60 jenis retribusi daerah (retribusi parkir, bea penguburan, retribusi
pasar, dll). Kota/kabupaten tak boleh memungut bila provinsi telah memungut, tetapi boleh
menambahkan opsen tax pada pajak provinsi. Pada fase ini terdapat berbagai kelemahan,
diantaranya adalah tidak memenuhi kriteria pemungutan pajak yang baik, seperti: tidak
efisien (biaya administrasi lebih tinggi), duplikasi atau tumpang tindih dengan pajak lain
(pajak lain untuk obyek pajak yang sama), dan bersifat retribusi. Dari berbagai kelemahan
tersebut maka dilakukan reformasi fase kedua.

FASE KEDUA : Pembaharuan Sistem Perpajakan Daerah (1997-2000)

Pembaharuan sistem perpajak daerah dimulai pada tahun 1997 dengan menerbitkan UU no.
18 tahun 1997 tentang membangun sistem pungutan yang sederhana, adil, efektif.
Pembaharuan ini ditujukan untuk membangun sistem pungutan daerah yang adil,
sederhana, dan efektif serta mengoreksi kelemahan-kelemahan sistem sebelumnya
terutama terkait efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak. Penyederhanaan sistem
perpajakan lebih ditujukan pada kriteria-kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan seperti
objek dan dasar pengenaan pajak, potensi memadai dan landasan retribusi yang diperkuat.
Sama halnya dengan fase satu pajak daerah digolongkan ke dalam pajak daerah provinsi
dan pajak daerah kabupaten/kota, namun terdapat beberapa perbedaan dari fase
sebelumnya.

1. Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi):

Terdapat tiga pajak yang dipungut yaitu Pajak kendaraan bermotor; Bea balik nama
kendaraan bermotor, dan Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

2. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota)

Terdapat enam pajak yang dipungut yaitu Pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian
golongan C, dan Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Sementara untuk
Retribusi Daerah, dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Pada era ini pengaturan pajaknya bersifat
closed list artinya membatasi pemungutan pajak oleh daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota sesuai yang diatur dalam UU. Pemberlakuan UU no. 18 tahun 1997 juga
belum memberikan dampak besar dari penerimaan daerah. Hal ini dikarenakan pada tahun
1997-2000 Indonesia sedang ditempa krisis ekonomi. Untuk itu setelah era 1997
tumbuhlah era reformasi yang ditandai dengan berubahnya UU tentang Pemerintah Daerah,
UU no. 5 tahun 1974 menjadi UU no. 22 tahun 1999. Perubahan ini menandai perubahan
dalam pajak daerah.

FASE KETIGA : Era Otonomi Daerah (Setelah Tahun 2000)

Era ini ditandai dengan setelah dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, telah
mengubah secara signifikan hubungan keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah yang
semula lebih sentralistik menjadi desentralistis. Pada fase ini untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan ke daerah, Pemerintah Daerah
memerlukan sumber-sumber dana yang memadai dengan mendorong kemandirian daerah.
Dalam UU no. 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah harus memiliki
kekuatah untuk menarik pungutan (taxing power) dan Pemerintah pusat harus membagi
sebagian pendapatan pajaknya ke daerah. Maka dari itu, pada era ini muncul dua aturan
kebijakan yang sangat fundamental yaitu UU no. 34 tahun 200 dan UU no. 28 tahun 2009.

a) Aturan baru masa UU 34/2000 :


 Jenis pajak daerah dan retribusi daerah ditambah dan disempurnakan.
 Di samping jenis PDRD dalam UU 18/1997, daerah diberi keleluasasan memungut jenis
PDRD lain sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (open list).
 Daerah dapat menetapkan dan memungut PDRD baru dengan menerbitkan peraturan
daerah tanpa memerlukan persetujuan dari pemerintah.
 Mekanisme pengawasan yang semula bersifat preventif berubah menjadi represif.

Masalah yang dihadapi : terlalu banyak jenis pungutan, potensi pajak yang kecil daripada
biayanya, dan tidak adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan PDRD. Dampaknya, banyak
jenis PDRD baru yang tidak sesuai kriteria karena kurang memahami/mengabaikan
kriteria, prinsip money follow function kurang berjalan baik, pengawasan represif, sanksi
yang ditiadakan. Maka dari itu dibuat UU 28/2009 serta mengubah sistem yang bersifat
open list menjadi closed list.

b) Aturan Baru UU no. 28 tahun 2009

Untuk mengoreksi berbagai kelamahan dan permasalahan di atas, terbitlah aturan ini
dengan beberapa koreksi dengan menerapkan kebijakan dalam

 memperbaiki Kewenangan Pemungutan


 Penguatan Local Taxing Power
 Meningkatkan Efektivitas Pengawasan, dan
 Memperbaiki Sistem Pengelolaan.
Ketentuan peraturan dalam aturan ini sampai saat ini masih berlaku dalam hal kewenangan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dan diikuti dengan peraturan-peraturan
penunjang di bawahnya yaitu PP 69/2010, PP91/2010, PP 55/2016, PP 97/2012.

3. Dampak Dari Reformasi terhadap Peraturan Perundang-undangan Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah terhadap peningkatan pendapatan daerah.

Terdapat banyak instrumen yang dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai seluruh pengeluaran yang dibebankan kepada pemda akibat
didesentralisasikannya proses pemerintahan. Seluruh jenis pendapatan yang diterima oleh
pemerintah daerah serta seluruh jenis pembiayaan (pengeluaran) daerah yang dilakukannya
dalam menjalankan tugas pemerintahan dan program pembangunan secara jelas tercantum
dalam suatu anggaran pendapatan dan belanja daerah. Secara garis besar, sumber
pembiayaan (pendapatan) ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori sumber
pembiayaan. Kategori pertama adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari
sumber-sumber di luar pemerintah daerah (external source). Pendapatan ini merupakan
pendapatan yang diperoleh dari sumber- sumber yang berasal dari pihak luar dan tidak
secara langsung ditangani sendiri oleh pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan pihak
luar di sini adalah pihak- pihak yang berada di luar pemerintah daerah yang bersangkutan
(selain pemerintah daerah beserta perangkatnya) dan bukan merupakan penduduk daerah
yang bersangkutan, seperti pemerintah pusat, tingkatan pemerintahan yang ada di atas
pemerintahan daerah yang bersangkutan, negara asing, pihak swasta, dan pihak ketiga.
Kategori kedua adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber
yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local source). Kategori kedua
merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari
sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya. Pendapatan yang
termasuk ke dalam kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national
tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan usaha
(local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis pendapatan ini
merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari
sumber- sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya.
Terkait dengan pendapatan asli daerah, seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa
batas 20% perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah.
Sekiranya PAD kurang dari angka 20%, maka daerah tersebut akan kehilangan
kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri. Pajak daerah, sebagai salah satu komponen
PAD, merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang
mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang
diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya.
Retribusi daerah, komponen lain yang juga termasuk komponen PAD, merupakan
penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan tertentu
kepada penduduk mendiami wilayah yurisdiksinya. Perbedaan yang tegas antara pajak
daerah dan retribusi daerah terletak pada kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah
daerah. Jika pada pajak daerah kontraprestasi tidak diberikan secara langsung, maka pada
retribusi daerah kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada
penduduk yang membayar retribusi tersebut. Baik pajak daerah maupun retribusi daerah,
keduanya diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan disetujui
oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur
pemerintah daerah yang bersangkutan. Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan
memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini
sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan
sendiri jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada
intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang
perlu diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum yang dikemukakan serta diterima
oleh para ahli yang menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah,
seperti Nick Devas, Richard M. Bird, dan B. C. Smith. Agar pemerintah daerah memiliki
kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya
mempertimbang- kan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber
pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.
Mungkin hal ini yang paling menjanjikan, dan merupakan jalur yang banyak ditempuh oleh
para pemerintah daerah, untuk mendapatkan struktur pendapatan daerah adalah
memberlakukan retribusi pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Hal ini sangat
dimungkinkan, sebab jika pemerintah daerah ditinjau dari sudut pandang ekonomi, maka
pemerintah daerah dapat dianalogikan sebagai suatu perusahaan milik yang memberikan
beragam jenis layanan layanan atau bahkan termasuk menyediakan sejumlah barang yang
dapat dikonsumsi oleh penduduk setempat. Jenis-jenis pajak yang dipungut di daerah
sangat beragam. Pemungutan pajak daerah ini harus mengindahkan ketentuan bahwa
lapangan pajak yang akan dipungut belum diusahakan oleh tingkatan pemerintahan yang
ada diatasnya. ada perbedaan lapangan pajak antara daerah propinsi dan daerah
kabupaten/kota. Daerah propinsi memiliki 4 jenis pajak daerah, yaitu Pajak Kendaraan
Bermotor dan kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Pajak atas Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Untuk Daerah Kabupaten/Kota, pajak
daerah yang dipungut berjumlah 7 buah, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
dan Pajak Parkir. Dengan adanya reformasi perpajakan yang ditandai dengan lahimya
beberapa UU tentang perpajakan, memberikan dampak penghapusan beberapa komponen
pendapatan daerah,namun juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada
pemerintah daerah untuk menetapkan penerimaan daerah. Dengan demikian diharapkan
ada peningkatan kemandirian pembiayaan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan. Dampak lain dari adanya reformasi perpajakan ini adalah danya
peningkatan efisiensi ekonomi nasional sehingga akan merangsang investor untuk
menanamkan usahanya dimasing-masing daerah. Dalam jangka panjang peningkatan
investasi akan berdampak pada peningkatan volume kegiatan ekonomi, sehingga secara
otomatis juga akan meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak dan retribusi. Namun
demikian agar dampak reformasi perpajakan terhadap masing-masing daerah bisa
maksimal, perlu adanya strategi khusus bagi masing-masing daerah dalam melaksanakan
pembangunan di daerah.

Anda mungkin juga menyukai