Di Indonesia, desentralisasi seperti yang tertuang pada UU No. 22 Tahun 1999 dimaknai sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Asas otonomi berupa pemberian hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
• Asas tugas perbantuan dalam bentuk penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebelum UU ini berlaku, bentuk perimbangan keuangan pusat dan daerah menggunakan metode
dana Instruksi Presiden (Inpres) dan subsidi daerah otonom, ada yang bersifat block grant dan
specific grant.
Pada Pasal 3 di UU No. 25 Tahun 1999 diatur sumber-sumber penerimaan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi adalah: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c)
Pinjaman Daerah; dan (d) Lain-lain Penerimaan yang sah.
Khusus mengenai Dana Perimbangan, selain bersumber dari bagian daerah dari penerimaan
beberapa jenis pajak, bea, dan sumber daya alam, juga bersumber dari Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sedangkan DAK merupakan
dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan tertentu.
UU No. 25 Tahun 1999 kemudian diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004, seiring dengan
diubahnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No 32 Tahun 2004.
Alasan perubahan UU Pemerintahan Daerah tersebut adalah karena adanya perubahan
(amandemen) UUD 1945, adanya tuntutan pengaturan pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan
penilaian sementara pihak bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 terlalu ‘progresif’ sehingga
menyebabkan terjadinya kondisi yang kurang harmonis terutama menyangkut kewenangan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, hubungan antar daerah kabupaten, dan
hubungan antara kepala daerah dan DPRD.
Terdapat sejumlah perubahan pada UU No. 32 Tahun 2004. Beberapa hasil kajian mengenai
topik ini menyebutkan sejumlah aspek yang diperbaiki menurut versi pihak-pihak yang
mendukung perubahan UU tersebut, yaitu:
Akan tetapi, oleh para pengkritiknya, UU tersebut justru dinilai telah mereduksi substansi
desentralisasi dengan mengubah istilah kewenangan menjadi urusan, mengurangi kewenangan
daerah (kabupaten/kota) dengan penerapan asas dekonsentrasi yang memperbesar peran
provinsi/gubernur, serta melemahnya akuntabilitas karena kepala daerah hanya bertanggung
jawab kepada institusi di atasnya.
Terlepas dari polemik tersebut, secara umum perubahan UU pemerintahan daerah dan
perimbangan keuangan di atas juga berkaitan dengan adanya peralihan fase kebijakan keuangan
baru yang ditandai dengan adanya sejumlah perubahan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang keuangan negara, diantaranya: UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah, UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Perubahan-perubahan tersebut kemudian diperjelas dengan
dikeluarkannya kerangka Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN DF) Tahun 2005-
2009.
Beberapa hal yang menonjol dalam pelaksanaan desentralisasi—dilihat dari aspek desentralisasi
politik, administrasi, fiskal dan ekonomi—yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
Beberapa hal yang menonjol dari dinamika desentralisasi politik di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir diantaranya adalah berlakunya kembali sistem multi partai sehingga jumlah partai
politik menjadi sedemikian banyak (bahkan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah berdiri
partai lokal/daerah), dimulainya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung,
dan telah dimungkinkannya calon perseorangan ikut serta dalam Pilkada.
Ketentuan mengenai calon perseorangan merupakan salah satu isu yang diatur dalam UU No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 yang ditetapkan pada 28
April 2008, sebagai kelanjutan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Isu lain yang
juga diatur UU tersebut adalah mekanisme penggantian kepala daerah dan wakilnya jika
berhalangan tetap/mengundurkan diri/meninggal dan mengenai pengintegrasian jadwal Pilkada.
Isu utama dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia di bidang sosial-politik ini adalah
bagaimana memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di
tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk dapat mewujudkan kondisi tersebut
diperlukan adanya keterlibatan berbagai institusi masyarakat sipil dalam mendorong
meningkatnya praktik transparansi dan partisipasi publik serta meningkatnya kualitas kebijakan
dan pelayanan publik, khususnya di daerah. Mengingat beragamnya kapasitas pengelolaan
kelembagaan dan program advokasi pada berbagai institusi masyarakat sipil tersebut, dukungan
dari berbagai pihak dalam meningkatkan kapasitas mereka mungkin masih amat diperlukan.
Selain itu, pengukuran atas kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pelayanan publik di daerah juga merupakan isu yang penting untuk mengukur keberhasilan
pelaksanaan desentralisasi. Pengukuran ini juga perlu diterapkan sebagai tindak lanjut dari telah
disahkannya PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Pemerintahan Daerah.
Isu utama dalam pelaksanaan desentralisasi bidang administrasi di Indonesia diantaranya yang
berkaitan dengan:
• Kejelasan urusan dan batasan kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai unit dan
tingkat pemerintahan (PP No. 38 Tahun 2007 tentang penugasan fungsi pemerintah di
tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota).
• Penetapan dan pelaksanaan pelayanan publik berdasar standar pelayanan publik yang
realistis dan efektif, termasuk mekanisme alternatif dalam pelayanan publik tersebut
seperti penyediaan layanan satu atap.
• Penataan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dan personil di organisasi
pemerintahan daerah.
• Peningkatan kualitas tata perencanaan/kelola wilayah.
Pemekaran atau pembentukan daerah baru terus menerus terjadi. Sejak tahun 1999 sampai
dengan akhir tahun 2007 telah disahkan 179 daerah pemekaran atau otonom baru. Pemerintah
kini sedang menyiapkan kegiatan evaluasi kinerja pemerintahan daerah serta kemampuan
penyelenggaraan otonomi daerah dan daerah otonom baru.
Sementara itu pemerintah juga telah mengesahkan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi
dan Tugas Perbantuan. Meskipun demikian, sebagian pihak masih menilai status gubernur yang
memegang peranan ganda, baik sebagai kepala daerah juga sebagai perwakilan pemerintah pusat
di daerah, masih perlu diperjelas, termasuk peran para aparatnya.
Desentraliasi di bidang fiskal ini seringkali dianggap sebagai salah satu komponen utama dalam
pelaksanaan desentralisasi. Isu utama dalam desentralisasi fiskal ini diantaranya mengenai pajak
dan retribusi daerah (seperti: ‘close list tax’, Perda evaluasi untuk pajak dan retribusi), dana
perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), Bagi Hasil Penerimaan (yaitu Bagi Hasil Penerimaan Sumber Daya Alam),
restrukturisasi utang dan pinjaman daerah, cadangan anggaran daerah, pengelolaan pendapatan
asli daerah, dan lainnya.
Saat ini Pemerintah sedang menyusun National Action Plan for Fiscal Decentralization yang
telah disepakati oleh Departemen Keuangan, Bappenas dan Departemen Dalam Negeri untuk
merencanakan kegiatan desentralisasi secara terstruktur dan melaksanakan berdasarkan
prioritasnya.
Desentralisasi bidang ekonomi umumnya lebih dianggap sebagai dampak dari pembagian
kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dimana terjadi pergeseran
kewenangan perijinan dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat lainnya. Perubahan ini
mempengaruhi kegiatan ekonomi di daerah dan pada akhirnya akan mempengaruhi iklim
investasi pula. Isu pada pelaksanaan desentralisasi di bidang ekonomi diantaranya adalah
mengenai tingkat penyebaran penduduk, aktivitas ekonomi dan kebijakan pemerintahan daerah
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan dan kemiskinan di daerah.
Pemerintah daerah perlu memainkan peranan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan-
keputusan yang berhubungan dengan upaya mengurangi urbanisasi, melalui pemerataan
pembangunan dan pembukaan lapangan kerja lebih banyak di daerah. Masalah kejelasan dan
kemudahan prosedur perizinan juga perlu mendapat perhatian.
Di era otonomi daerah, terdapat banyak kasus kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah
dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan hierarki kebijakan yang yang
lebih tinggi, merugikan kepentingan umum atau menyulitkan investasi di daerah, selain karena
alasan kualitas Perda yang buruk. Sebagai catatan, sejak tahun 1999 hingga November 2007 ada
sebanyak 1.406 Perda dibatalkan karena alasan di atas. Hal ini mengisyaratkan perlu adanya
upaya peningkatan kualitas produk hukum yang lebih intensif di daerah.
Kebijakan dan praktik desentralisasi (politik, administrasi, fiskal dan ekonomi) di Indonesia
tampaknya masih akan terus berubah. Di tengah banyaknya catatan miring berupa makin
maraknya pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah di daerah (selain di
provinsi dan pusat), pengelolaan sumber daya alam dan kerusakan alam yang buruk dan memicu
bencana alam, masih tingginya jumlah penduduk miskin, meningkatnya konflik politik
berkenaan dengan Pilkada, dan banyaknya keluhan masyarakat mengenai kualitas pelayanan
publik di daerah, tentunya patut menjadi bahan pemikiran: desain dan praktek desentralisasi
macam apa yang akan diterapkan di Indonesia di masa depan?
The Decentralization Support Facility (DSF) sebagai wadah kerjasama dan harmonisasi antar
lembaga donor dapat turut berperan membantu pemerintah dan berbagai institusi masyarakat
sipil dalam perumusan kebijakan dan program yang relevan dengan pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia.
Bentuk dukungan yang dapat diberikan berupa pengembangan konsep, wacana dan pengetahuan
mengenai desentralisasi, harmonisasi dan koordinasi atas berbagai inisatif yang dikembangkan
oleh lembaga donor yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi, dan perumusan desain
baru dalam harmonisasi intervensi lembaga donor di Indonesia.
DSF akan berupaya mendukung program-program yang diusulkan pemerintah berkaitan dengan
pelaksanaan desentralisasi politik, administrasi, fiskal dan ekonomi di Indonesia.