Anda di halaman 1dari 12

1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

1
PAJAK DAERAH DAN
RETRIBUSI DAERAH

Hal. 1 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Chapter 1
Filosofi dan Prinsip-prinsip Keuangan Daerah dan Pajak Daerah

Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami filosifi dan prinsip-
prinsip keuangan daerah dan pajak daerah.

Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat


diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang
luas dengan keanekaragaman budaya majemuk seperti Indonesia ini. Disamping memudahkan
koordinasi dalam pemerintahan, system desentralisasi lebih demokratis karena implementasi
kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.

Perdebatan mengenai bentuk Negara kesatuan versus Negara federal di Indonesia muncul
kembali seirama dengan gelombang gerakan reformasi sesudah jatuhnya Soeharto.Perdebatan
tersebut muncul sebagai akibat maraknya pemikiran untuk memisahkan diri pada beberapa
daerah di Indonesia, seperti; Aceh, Papua, Riau dam Kalimantan Timur. Mereka yang mendukung
gagasan Negara Federal mungkin merupakanalternatif solusi bagi Negara yang hamper pecah ini.
Namun pada kenyataannya di beberapa daerah tuntutan-tuntutan tersebut semakin melunak
seiring dengan munculnya gagasan otonomi daerah. Mereka yang mendukung tetap tegaknya
NKRI menawarkan suatu formula untuk mengadopsi unsur-unsur Negara federal kedalam Negara
kesatuan. Alasan yang dikemukakan oleh para pakar yang mendukung gagasan ini, antara lain:
Pertama, dari sisi geografis, pembagian wilayah antar provinsi di Indonesia tampaknya sudah
hampir final. Kedua, perbaikan pada bentuk Negara kesatuan lebih mudah untuk dilakukan
daripada mengubahnya menjadi Negara federal. Ketiga, transfer pegawai dari pusat ke daerah
dan sebaliknya jauh lebih mudah dilakukan daripada dalam sistem federal. Keempat, dari sudut
cita-cita politik kohesi perasaan menjadi Indonesia dapat lebih mudah terpelihara dalam bentuk
Negara kesatuan meskipun pada penerapan awal otonomi daerah saat ini masih terlihat kuatnya
perasaan kedaerahan atau provinsialisme.

Pemberian otonomi yang luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Bahkan,
secara ideal otonomi daerah dapat menciptakan pembangunan daerah yang berkeadilan serta
berbagai hal yang indah-indah. Namun perlu diwaspadai bahwa otonomi daerah pada
kenyataannya tidak seindah harapan yang dibayangkan. Selain menjanjikan harapan,
kemakmuran dan kemandirian daerah, ternyata tersembunyi ancaman bahaya yang mengerikan

Hal. 2 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

karena penyakit “keakuan” dan perpecahan horizontal dan vertical, bahkan ada yang menjurus
pada pemaksaan kehendak untuk mencapai tujuan dengan isu berpisah dari Negara kesatuan.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan


yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali sebagaimana ditentukan dalam
pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 seperti kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Disamping itu, keleluasaan otonomi ditafsirkan pula
mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Sesuai dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 8 UU No,22 Tahun 1999 yang dijabarkan
melalui PP No. 25 Tahun 2000 yang diatur dalam Pasal 12 UU No.32 Tahun 2004, dan terakhir
dijabarkan secara terklasifikasi dalam Bab IV UU No. 23 Tahun 2014, penyerahan kewenangan
pemerintahan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi harus disertai dengan penyerahan
pembiayaan, prasarana, personel dan dokumen sesuai dengan kewenangan yang diserahkan.
Implikasi langsung dari penyerahan kewenangan tersebut diperlukan biaya yang wajib ditanggung
oleh pemerintah daerah, antara lain biaya pembangunan, pengelolaan, dan perawatan sarana dan
prasarana yang merupakan keharusan pemerinta daerah untuk melakukan pelayanan kepada
masyarakat. Demikian juga gaji pegawai di daerah harus ditanggung oleh pemerintah daerah itu
sendiri. Menurut Arifin dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik untuk pengeluaran rutin
maupun pengeluaran pebangunan, diperlukan banyak dana. Sumber dana tersebut diperoleh, baik
dari dalam maupun luar negeri yang pada asasnya dikelola secara ketat oleh pemerintah.

Kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah tersebut dibiayai melalui sumber-
sumber PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sistem
pembiayaan tersebut merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturan yang
selama ini berlaku karena dengan pengaturan tersebut system pembiayaan daerah menjadi
semakin jelas. Dengan terbitnya UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hal tersebut semakin jelas, yakni dinyatakan bahwa
penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan
sumber pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri atas PAD, dana perimbangan dan lain-lain,
sedangkan sumber pembiayaan adalah sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan
pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Berkaitan dengan pembiayaan otonomi daerah (desentralisasi fiskal), UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memberikan kewenangan

Hal. 3 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan di sisi penerimaan (tax policy) dalam rangka
memperkuat kemampuan membiayai program pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah
daerah melalui peningkatan penerimaan, khususnya yang berasal dari PAD. Kewenangan
meningkatkan PAD tersebut dibatasi bahwa pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan
daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan yang menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, serta kegiatan impor/ekspor.

Salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah penentuan sumber-sumber penerimaan
bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sesuai dengan potensi nya masing-masing.
Kewenangan daerah tersebut diwujudkan dengan memungutpajak dan retribusi yang diatur
dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Wewenang mengenakan pungutan pajak atas penduduk setempat untuk membiayai layanan
masyarakat merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintahan daerah. Di Indonesia,
pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan mengenakan
pajak, meskipun jumlah penerimaan pajak daerah relative kecil dibandingkan dengan penerimaan
pajak nasional. Sistem pajak daerah yang digunakan selama ini mengandung banyak kelemahan
sehingga manfaat yang diperoleh lebih kecil daripada besarnya beban pajak yang diemban oleh
masyarakat. Oleh karena itu, dalam tahun-tahun terakhir, pemerintah tengah melakukan
perubahan besar dalam sistem pajak nasional dan sistem pajak daerah.

Keleluasaan dan kewenangan daerah dalam memungut pajak dan retribusi dan diatur dengan UU
No.28 tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur, antara lain:

1. Ditetapkannya jenis pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu lima jenis pajak provinsi dan 11
jenis pajak kabupaten/kota ditambahkan dengan PBB, BPHTB dan pajak sarang burung
wallet, dan tiga golongan retribusi sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan.
2. Tarif pajak provinsi diatur secara seragam dengan pertimbangan untuk mengurangi mobilitas
objek pajak, sedangkan untuk pajak daerah kabupaten/kota dapat bervariasi hingga pada
tariff maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang.
3. Kewenangan daerah kabupaten/kota untuk memungut jenis pajak dan retribusi baru selain
ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang memenuhi kriteria-kriteria
tertentu yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
4. Sistem pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dilakukan secara preventif dimana Perda
yang mengatur pungutan tersebut harus mendapat pengesahan dari pusat.

Hal. 4 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Dalam pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dijelaskan bahwa: Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang
yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda. Dalam hal ini, Pemerintahan
daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan
undang-undang. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka pungutan daerah yang dimaksud
adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah sebagaimana dijelaskan pada pasal 157 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Selanjutnya sebagai langkah strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal dan penunjang
Otonomi Daerah, maka pada tanggal 18 Agustus 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang. Pengesahan Undang-undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 tahun 2009 yang merupakan pengganti dari
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan tersebut dikarenakan adanya perubahan kebijakan yang
cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah.

A. Arah Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


Tujuan dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dijelaskan seperti di bawah ini:

1. Kewenangan Pemungutan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan
retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan


pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.

3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan
sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Adapun arah kebijakan penerapan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan tujuan
yang telah dijelaskan di atas adalah meliputi:

- Kewenangan pemungutan.
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus
memperhatikan prinsip tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal

Hal. 5 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

nasional. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pungutan daerah tersebut tidak
akan menurunkan perkembangan ekonomi di masyarakat.

- Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List)
Pada peraturan sebelumnya, Provinsi boleh menambah jenis retribusi daerah sepanjang
memenuhi keriteria yang ditetapkan Undang-Undang. Begitu pula dengan Kabupaten.Kota
yang boleh menambahkan jenis pajak daerah dan retribusi daerah sepanjang memenuhi
keriteria yang ditetapkan Undang-Undang. Namun dengan peraturan Undang-Undang
PDRD yang baru, ditetapkan bahwa Daerah tidak boleh memungut pajak selain yang
ditetapkan dalam Undang-Undang (closed list). Khusus untuk retribusi, dimungkinkan
adanya tembahan jenis retribusi yang penetapannya ditetapkan dengan Undang-Undang.

- Local Taxing Power


Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas
tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang. Dalam rangka
memperbaiki implementasi desentralisasi fiscal, local taxing power harus
diperkuat.Penguatan Local taxing power dapat dilakukan melalui: Perluasan basis pajak
daerah dan retribusi daerah, Penambahan jenis pajak dan retribusi daerah, Pengalihan
/pen-daerah-an pajak pusat, meningkatkan tarif maksimum pajak daerah, dan Pemberian
diskresi penetapan tarif pajak.

- Pengelolaan
Pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah meliputi bagaimana bagi hasilnya antara
Provinsi dengan Kabupaten/Kota, earmarking, dan insentif pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah

- Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah


Dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur
pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi
Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.

B. Materi yang Diatur dalam Undang-Undang PDRD


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa untuk memperbaiki implementasi
desentralisasi fiskal, local taxing power harus diperkuat. Maka materi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meliputi:

1. Penambahan jenis pajak daerah

Hal. 6 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah


3. Perluasan Basis Pajak Daerah
4. Perluasan Basis Retribusi Daerah, dan
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah

Adapun materi-materi tersebut dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

1. Penambahan Jenis Pajak Daerah


Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu : 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak
kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak
daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi
yang baru adalah Pajak Rokok. Sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru antara
lain PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai
catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang
sebelumnya merupakan pajak provinsi.

2. Penambahan Jenis Retribusi Baru


Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu :a) Retribusi Tera/ Tera Ulang, b)
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, c) Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan d)
Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut
oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.

3. Perluasan Basis Pajak Daerah


Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor termasuk kendaraan pemerintah, Pajak Hotel yang mencakup
seluruh persewaan di hotel dan Pajak Restoran termasuk katering/jasa boga.

4. Perluasan Basis Retribusi Daerah


Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi
Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan
yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi
AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah


Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus untuk
kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.

Hal. 7 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10% menjadi 20%.
Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%.
Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah. Tarif
maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%. Tarif maksimum Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C),
dinaikkan dari 20% menjadi 25%.

C. Pengertian Pajak Daerah


Sebagai salah satu komponen penerimaan PAD, potensi pemungutan pajak daerah lebih
banyak memberikan peluang bagi daerah untuk dimobilisasi secara maksimal bila dibandingkan
dengan komponen-komponen penerimaan PAD lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, terutama karena potensi pungutan pajak daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang
jelas, baik ditinjau dari tataran teoritis, kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya.

Definisi atau pengertian pajak menurut mardiasmo (2009) mengatakan bahwa, “Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Sedangkan pengertian pajak menurut Abut (2007) menyatakan bahwa: “Pajak merupakan iuran
kepada Negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dari beberapa pengertian pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran
wajib dari rakyat kepada Negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan, yang
pengenaannya didasarkan pada undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung,
serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

Sejalan dengan penjelasan diatas, UU No. 28 Tahun 2009 tentang DPRD, sebagai pengganti
dari UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.34 Tahun 2000 juga
lebih mempertegas pengertian pajak dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah (daerah),
sebagai berikut: “Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”

Hal. 8 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

D. Prinsip Pemungutan Pajak Daerah


Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga
pemungutannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dari sejumlah prinsip
yang umum digunakan di bidang perpajakan, di bawah ini diuraikan beberapa prinsip
pokok dari suatu pajak yang baik, antara lain:

1. Prinsip Keadilan (Equality)


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan
masing-masing subjek pajak daerah. Yang dimaksud dengan keseimbangan
atas kemampuan subjek pajak adalah dalam pemungutan pajak tidak ada
diskriminasi di antara sesama wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama.
Pemungutan pajak yang dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing, sehingga dalam prinsip equity ini
setiap masyarakat yang dengan kemampuan yang sama dikenai pajak yang
sama dan masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda memberikan
kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

2. Prinsip Kepastian (Certainty)


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi aparatur pemungut
maupun wajib pajak. Kepastian di bidang pajak daerah antara lain mencakup
dasar hukum yang mengaturnya; kepastian mengenai subjek, objek, tarif dan
dasar pengenaannya; serta kepastian mengenai tata cara pemungutannya.
Adanya kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam
menjalankan kewajiban membayar pajak daerah, karena segala sesuatunya diatur
secara jelas.

3. Prinsip Kemudahan (Convenience)


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib
pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya. Pemungutan pajak daerah
sebaiknya dilakukan pada saat wajib pajak daerah menerima penghasilan. Dalam
hal ini negara tidak mungkin melaksanakan pemungutan pajak daerah jika
masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk membayar. Bahkan daerah
seharusnya memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk

Hal. 9 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

memperoleh peningkatan pendapatan, dan setelah itu mereka layak


memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk pajak daerah.

4. Prinsip Efisiensi (Efficiency)


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya
yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar
dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip ini terkandung pengertian
bahwa pemungutan pajak daerah sebaiknya memperhatikan mekanisme yang
dapat mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya
yang sekecil- kecilnya.

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus


memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak
negara sedang berkembang, adalah:

1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, yang berarti perbandingan


antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos
pemungutannya;
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-
kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam;
3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan
(benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

E. Kriteria Pajak Daerah


Ada beberapa kriteria mengenai pajak daerah, yaitu:

1. Pungutan bersifat Pajak dan bukan retribusi. Pungutan tersebut harus sesuai
definisi pajak yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu merupakan
kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah:
- Tanpa imbalan secara langsung
- Dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang
- Digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah, serta hanya melayani
masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Hal. 10 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan


umum. Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara
pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan
kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
4. Potensi pajak memadai, artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari
biaya pemungutan.
5. Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat. Jenis pajak yang
bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda (double tax),
yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih
dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau seluruh
hasilnya diterima oleh daerah.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Pajak tidak mengganggu
alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi
antardaerah maupun kegiatan ekspor-impor.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Aspek keadilan,
antara lain;
- Objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya
- Jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak; dan
- Tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak.
8. Aspek kemampuan masyarakat
Pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan
beban pajak, sehingga sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak
dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu.
9. Menjaga kelestarian lingkungan
Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan
pajak tidak memberikan peluang kepada daerah atau pusat atau masyarakat
luas untuk merusak lingkungan.

Hal. 11 dari 12
1 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Daftar Pustaka

Ismail, Tjip. 2018. “Potret Pajak Daerah di Indonesia”. Jakarta: Prenamedia Grup
Zuraida, Ida. 2012. “Teknik Penyusunan Peraturan Daerah”. Jakarta: Sinar Grafika
Kurniawan,Panca dan Agus Purwanto,2004.”Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di
Indonesia”.Malang:BayuMedia
Mardiasmo,2011.”Perpajakan”.Yogyakarta:Penerbit Andi
Republik Indonesia.2009.Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 5049. Skretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia.2010.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 91 Tahun 2010 Tentang
Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan PenetapanKepala Daerah Atau Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak.Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 79 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Hal. 12 dari 12

Anda mungkin juga menyukai