Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2

HUKUM PAJAK DAN


ACARA PERPAJAKAN

Disusun oleh :

ADHI SAIFUDDIN
NIM : 044265131
PRODI S1 ILMU HUKUM
Pajak Daerah di Indonesia: Antara Close List dan Open List System
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menemukan momentumnya pada masa reformasi, yakni
dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-
undang ini merupakan pintu gerbang reformasi di bidang birokrasi dan ekonomi. Dengan berlakunya
undang-undang ini, pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk mengambil tanggung jawab yang
lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat serta mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Alokasi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis dari
desentralisasi sistem pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah. Di mana dalam desentralisasi
pemerintahan menghendaki adanya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintahan di daerah
atau lokal untuk dapat mengelola sendiri sebagian urusannya.Penyerahan urusan pemerintahan
kepada daerah otomatis akan diiringi dengan penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak
daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan untuk menjalankan urusan
pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Oleh karenanya daerah harus mempunyai
sumber keuangan agar mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di
daerahnya.Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli
daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.Dalam skema
pengelolaan pajak daerah di Indonesia, pengaturan induknya ada di tingkat undang-undang, yaitu
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Ini
artinya, penetapan pajak berdasarkan undang-undang diselaraskan dengan konstitusi negara yaitu
UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa timbulnya pajak-pajak dan/atau pungutan lain hanya boleh
ditetapkan berdasarkan undang-undang saja, tidak boleh dengan peraturan lain.
Adam Smith’s Canon telah memberikan panduan dalam menyusun perundang-undangan pajak. Ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun undang-undang pajak, yaitu:
a. Syarat yuridis, syarat ini mengharuskan undang-undang pajak yang normatif harus
memberikan kepastian hukum dan keadilan di bawah prinsip equality dan equity.
b. Syarat ekonomis, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa tanpa
imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Pajak dijadikan sebagai instrumen ekonomi
negara yang harus dikelola secara hati-hati oleh pemerintah.
c. Syarat finansial, pajak dipungut untuk mengisi anggaran keuangan negara.
d. Syarat sosiologis, pajak adalah gejala sosial, hanya ada dalam masyarakat. Untuk itu pajak
harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan keadaan dan
situasi masyarakat.
Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah dipraktikkan open list
system maupun close list system secara bergantian.
Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia pemberian
otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional yang lebih besar harus lebih
diutamakan daripada semangat kedaerahan yang cenderung partisan. Serta pada kenyataannya
daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu membentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerah-daerah itu akan merepresentasikan wajah
Indonesia.

Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28 Tahun
2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di Indonesia.
Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di daerah otonom.
UU PDRD yang merombak prinsip-prinsip dalam ketentuan sebelumnya juga ingin memperluas objek
pajak daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
kemandirian daerah. UU PDRD menetapkan lima jenis pajak untuk provinsi dan 11 jenis pajak untuk
kabupaten/ kota. Meningkat dari sebelumnya yang ada empat jenis pajak provinsi dan tujuh jenis
pajak kabupaten/kota.
Namun, UU PDRD menutup sama sekali inovasi daerah untuk menambah sendiri jenis pajak yang
baru. Dengan kata lain, pemerintah sekarang menerapkan close list system. UU hanya memberikan
diskresi kepada daerah dalam hal menetapkan tarif pajak yang berlaku. Itupun dengan batasan ketat
yang telah diatur oleh pemerintah.
Bahkan UU PDRD juga mengatur lebih lanjut detail substansi dan mekanisme pemungutan setiap jenis
pajak daerah. Hal ini mudah dipahami mengingat aspek kepastian hukum dan harmonisasi berbagai
pungutan di daerah harus menjadi prioritas dan tidak boleh menjadi faktor penghambat kegiatan
ekonomi dan investasi di daerah yang notabene masih wilayah NKRI.
Pemerintah telah memperhitungkan dengan cermat perkembangan global dan posisi Indonesia saat
ini. Sebagai negara yang sedang mengejar daya saing, Indonesia masih membutuhkan banyak
investasi dari luar guna memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi. Oleh karena itu segala hal
yang dapat menghambat masuknya investasi perlu dikurangi bahkan dihilangkan
Salah satu dari hambatan investasi itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari
investor luar mengenai faktor-faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi dilakukan
dengan cara membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-kotanya. Oleh
karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-apa tanpa membenahi
hambatan-hambatan yang ada di daerah.
Laporan Doing Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia tahun 2019
dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa peringkat daya siang
Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73 dari 190 negara.
Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6. Menariknya, aspek perpajakannya
menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112 menjadi 81 dari 190 negara. Tentu capaian ini tak
terlepas dari upaya pemerintah dan segenap stakeholder yang telah bekerja keras memperbaiki
regulasi dan sistem perpajakan, baik di pusat maupun daerah.
Di mana kebijakan pajak daerah yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah
memperhatikan keseragaman, keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal penentuan
objek, subjek, wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal teknis pemungutan,
pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan pemanfaatan/alokasinya.
Sumber: https://yoursay.suara.com/news/2020/11/28/191431/pajak-daerah-di-indonesia-antara-
close-list-dan-open-list-system
1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan pemungutan
pajak daerah?
2. Apa hal-hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah mengenai pergantian dari
open list system menjadi close list system?
3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?

Jawab :
1. Otonomi daerah telah diatur dalam berbagai undang-undang yang ada di Indonesia antara lain
adalah UU No 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah namun Undang-undang
tersebut telah diubah oleh UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, kemudian
disempurnakan kembali dengan dicabut sebagian oleh UU No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Pada UU No 28 Tahun 2009
mengatur khusu tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurut UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 1 ketentuan umum, otonomi daerah memiliki makna
bahwasanya “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Hal tersebut memungkinkan daerah untuk
mengatur daerahnya masing masing sesuai koridor hukum yang ada. Desentralisasi juga
dicantumkan dalam UU No 23 Tahun 2014 Tersebut “Desentralisasi adalah penyerahan Urusan
Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.” Disini
dapat disimpulkan segala kebijakan yang menyangkut pengambilan kebijakan diwilayah daeah
adalah hak pimpinan daerahnya. Adapun klasifikasi urusan pemeritahan dibagi menajdi 3 urusan
pemerintahan yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan
pemerintahan umum (Pasal 9). Letak otonomi daerah berada pada urusan pemerintahan
konkuren dimana ini menjadi dasar bagi pelaksanaan otonomi. UU No 1 Tahun 2022 Tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menerangkan bahwa
Pendapatan asli daerah diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pasal 1 Ketentuan umum nomor 21 “Pajak Daerah yang selanjutnya
disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ada berbagai jenis pajak yang ditarik oleh pemerintah, namun untuk urusan pajak daerah maka
dengan berlakunya undang-undang ini akan memberikan keleluasaan terhadap pemerintah
daerah sebagai daerah otonom untuk menarik pajak daerahnya hal ini tertuang dalam Bab IIPajak
Daerah dan Retribusi Daerah pasal 4 UU No 1 Tahun 2022 ayat (1) dan (2)
(1) Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri
atas:
a. PKB;
b. BBNKB;
C. PAB;
d. PBBKB;
e. PAP;
f. Pajak Rokok; dan
g. Opsen Pajak MBLB.
(2) Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota
terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak $arang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
Pada pasal 6 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)”. Sehingga pajak selain daripada pajak
yang telah ditentukan oleh pasal 4 bukan merupakan wewenang dari pemerintah daerah untuk
memungutnya. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah maka Pemerintah daerah
memiliki kemudahan dalam hal kewenangan untuk memungut pajak daerah secara langsung
masuk kepada APBD yang kemudian pajak tersebut dikelola oleh pemerintah daerah demi
keperluan daerah yang memberi manfaat kepada rakyat yang sebesar-besarnya.

2. Hal yang menjadi dasar perubahan kebijakan pemerintah mengenai pergantian dari open list
system menjadi close list system adalah dalam hal pengawasan terhadap regulasi Peraturan
Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pengawasan ini tadinya yang diatur dalam UU
No. 34 Tahun 2000 menggunakan pengawasan represif yaitu sistem pengawasan yang dilakukan
terhadap peraturan daerah PDRD yang harus disampaikan kepada Pemerintah daerah kepada
Menteri dalam negeri dan Menteri keuangan paling lama 15 hari setelah ditetapkan. Dalam hal
peraturan daerah bertentangandengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi maka Menteri dalam negeri dengan pertimbangan Menteri keuangan
dapat membatalkan peraturan daerah tersebut. Pengawasan tersebut lain halnya dengan yang
diatur dalam UU No 28 tahun 2009 yang menganut penagwasan secara preventif dimana sudah
pengawasan dilakukan sejak rancangan peraturan daerah (Raperda) yang disetujui oleh Kepala
Daerah dan DPRD sehingga dengan pengawasan preventif ini diharapkan tidak terjadi
ketimpangan peraturan daerah dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
Hal ini dapat menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan sehingga dana dapat digunakan
untuk kepentingan masyarakat yang lainnya.

3. Maksud daripada open list system dan close list system yang sebagaimana dalam UU No 28 Tahun
2009 merupakan sebuah sifat pemungutan pajak. close list system memilki artian bahwa daerah
tidak boleh menambah jenis pajak daerah selain yang ditentukan dalam Undang-undang yang
berlaku, bahkan apabila jenis pajak yang ditentukan daalam undang-undang potensinya kurang
memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dalam peraturan
daerah bisa saja tidak dapat dipungut. Sedangkan dalam sifat open list system pada perpajakan,
memungkinkan suatu daerah dapat memungut pajak yang lain maupun menambah pajak lainnya
selain yang ditentukan oleh undang-undang sepanjang pungutan pajak tersebut tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau undang-undang maupun peraturan lainnya
yang lebih tinggi.

Sumber :
BMP HKUM4407
UU No 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
UU No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah
UU No 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Perpajakan

Anda mungkin juga menyukai