Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 2

HUKUM PAJAK DAN ACARA PERPAJAKAN

NAMA : IDA AYU PUAN MAHARANI


NIM : 045232333
Pertanyaan :

1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan


pemungutan pajak daerah?
2. Apa hal-hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah mengenai
pergantian dari open list system menjadi close list system?
3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?

Jawaban :

1. Adanya otonomi daerah, maka akan menyebabkan terjadinya desentralisasi fiskal dan
pemungutan pajak daerah. Desentralisasi fiskal dan pemungutan pajak daerah tidak
dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah.

Keterkaitan Otonomi Daerah dengan Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.


Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut.
Menurut Sun’an dan Senuk dalam jurnal berjudul Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah
di Indonesia karya Adissya Mega Christia dan Budi Ispriyarso, desentralisasi fiskal dimaknai
sebagai berikut:

"Desentralisasi fiskal adalah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan


yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, dengan tujuan untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan."

Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, desentralisasi fiskal berperan penting


sebagai sarana mempercepat terciptanya kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai
dengan potensi daerahnya masing-masing.
Kendati demikian, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara lex
specialis mengatur mengenai desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah.
Keterkaitan Otonomi Daerah dengan Pemungutan Pajak Daerah
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan
otonomi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah.
Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan
atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah tersebut diharapkan
dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah untuk terus berupaya untuk mengoptimalkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi
daerah.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus sesuai dengan
fungsinya. Dijelaskan dalam buku Roots of wisdom: inti kebijakan karya Zicheng Hong dan
Zhizhong Cai, fungsi pajak bagi negara di antaranya sebagai berikut:

 Sebagai sumber pendapatan negara terbesar (fungsi budgetair), digunakan untuk


membiayai seluruh kegiatan penyelenggaraan negara.
 Sebagai alat pengatur kegiatan ekonomi (fungsi regular), dengan pajak pemerintah
dapat mengatur kegiatan konsumsi dan produksi melalui PPnBM dan PPN.
 Sebagai alat pemerataan pendapatan masyarakat, masyarakat yang berpenghasilan
tinggi dikenakan pajak penghasilan yang tinggi pula dan sebaliknya.
 Sebagai alat keseimbangan keuangan (fungsi moneter).
 Sebagai alat pengalokasian sumber-sumber dana bagi kepentingan umum (fungsi
alokasi).
 Sebagai alat kebijakan pemerintah dalam memperluas kesempatan kerja, stabilisasi
harga barang, dan menjamin peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mantap (fungsi
stabilitas).

2. Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia


pemberian otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional
yang lebih besar harus lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan yang
cenderung partisan. Serta pada kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan
menyatu membentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerahdaerah itu akan merepresentasikan
wajah Indonesia. Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD,
Undang-undang No. 28 Tahun 2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum
bagi pelaksanaan pajak daerah di Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis
pajak apa saja yang boleh berlaku di daerah otonom. UU PDRD yang merombak
prinsip-prinsip dalam ketentuan sebelumnya juga ingin memperluas objek pajak
daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah.
UU PDRD menetapkan lima jenis pajak untuk propinsi dan 11 jenis pajak untuk
kabupaten/ kota. Meningkat dari sebelumnya yang ada empat jenis pajak propinsi dan
tujuh jenis pajak kabupaten/kota. Namun, UU PDRD menutup sama sekali inovasi
daerah untuk menambah sendiri jenis pajak yang baru. Dengan kata lain, pemerintah
sekarang menerapkan close list system. UU hanya memberikan diskresi kepada
daerah dalam hal menetapkan tarif pajak yang berlaku. Itupun dengan batasan ketat
yang telah diatur oleh pemerintah. Bahkan UU PDRD juga mengatur lebih lanjut
detail substansi dan mekanisme pemungutan setiap jenis pajak daerah. Hal ini mudah
dipahami mengingat aspek kepastian hukum dan harmonisasi berbagai pungutan di
daerah harus menjadi prioritas dan tidak boleh menjadi faktor penghambat kegiatan
ekonomi dan investasi di daerah yang notabene masih wilayah NKRI.
Pemerintah telah memperhitungkan dengan cermat perkembangan global dan posisi
Indonesia saat ini. Sebagai negara yang sedang mengejar daya saing, Indonesia masih
membutuhkan banyak investasi dari luar guna memacu pertumbuhan ekonomi lebih
cepat lagi. Oleh karena itu segala hal yang dapat menghambat masuknya investasi
perlu dikurangi bahkan dihilangkan. Salah satu dari hambatan investasi itu adalah
kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari investor luar mengenai faktor-
faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi dilakukan dengan cara
membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-kotanya.
Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-
apa tanpa membenahi hambatan-hambatan yang ada di daerah. Laporan Doing
Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia tahun
2019 dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa
peringkat daya siang Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73
dari 190 negara. Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6.
Menariknya, aspek perpajakannya menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112
menjadi 81 dari 190 negara. Tentu capaian ini tak terlepas dari upaya pemerintah dan
segenap stakeholder yang telah bekerja keras memperbaiki regulasi dan sistem
perpajakan, baik di pusat maupun daerah. Dengan demikian apa yang ditetapkan oleh
UU PDRD ini telah sejalan dengan misi pemerintah untuk meningkatkan daya saing
bangsa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Di mana kebijakan pajak daerah yang
diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah memperhatikan keseragaman,
keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal penentuan objek, subjek,
wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal teknis pemungutan,
pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan pemanfaatan/alokasinya.

3. Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah


dipraktikkan open list system maupun close list system secara bergantian.
Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-
undang bilamana diperlukan.
Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni pemerintah daerah hanya
boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada pemerintah
daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan daerahnya. Di satu sisi,
sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah. Namun di sisi
lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan bisnis yang lebih luas.

Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif dan
kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan daerahnya.
Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih besar karena
ketundukannya kepada pemerintah pusat.
Sumber referensi:
- BMP HKUM4407 “Hukum Pajak Dan Acara Perpajakan
- https://news.ddtc.co.id/penerapan-open-list-dan-close-list-system-dalam-
rezim-pajak-daerah-32801

Anda mungkin juga menyukai