Anda di halaman 1dari 10

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TANGERANG SELATAN

Tugas Kelompok Mata Kuliah Budaya Nusantara dan


Pengembangan Kepribadian
"Identifikasi Sistem Religi Pada Suku Mayoritas di Pulau
Kalimantan"

Disusun Oleh :
Dhia Thirafi (4121220023)
Kuncoro Wibowo Aji (

Dosen Pengampu :
Dinar Ayu Adeline

Mahasiswa Program D-IV Manajemen Keuangan Negara


Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
2023/2024

BAB I
PENDAHULUAN

Perpajakan merupakan salah satu instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah
dalam mengumpulkan pendapatan yang diperlukan untuk membiayai berbagai
program dan kegiatan publik. Di tengah dinamika perekonomian suatu negara,
perpajakan bukan hanya sekadar alat pengumpul dana, melainkan juga memiliki peran
yang sangat penting dalam mengatur distribusi kekayaan, mendorong pertumbuhan
ekonomi, serta mempengaruhi keputusan investasi dan konsumsi masyarakat.

Dalam setiap proses pemilihan umum, isu perpajakan sering menjadi sorotan utama,
mengingat pentingnya peran pajak dalam membiayai pengeluaran pemerintah dan
mempengaruhi arah kebijakan ekonomi suatu negara. Pada debat calon wakil presiden
pertama, calon wakil presiden paslon no urut 02, Gibran Rakabuming Raka sempat
menyebut tentang peningkatan tax ratio yang digadang sebagai salah satu program
unggulan mereka. Beliau membahas terkati rasio pajak dan bedanya dengan tarif
pajak, hal ini pun lantas menjadi sorotan serta banyak perspektif yang mengira bahwa
hal tersebut akan memberatkan. Tax ratio, yang mengacu pada rasio antara
pendapatan pajak dan total produk domestik bruto (PDB), serta tax rate, yang
merupakan tarif pajak yang dikenakan pada berbagai jenis penghasilan atau transaksi,
sebagian orang mungkin asing mendengarnya, tentunya kedua hal iti memiliki
perbedaan tersendiri dari segi objek dan peruntukan.

Polemik seputar tax ratio dan tax rate ini muncul karena dampaknya yang signifikan
terhadap keseimbangan fiskal dan kinerja ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia.
Tax ratio yang rendah bisa mengindikasikan rendahnya efisiensi dalam mengumpulkan
pajak, sementara tax rate yang tinggi dapat menjadi beban berat bagi pengusaha dan
masyarakat umumnya. Di Indonesia, di mana tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan infrastruktur menjadi prioritas, pemilihan antara meningkatkan tax ratio
atau tax rate menjadi pertimbangan yang kompleks.

Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki perbedaan antara tax ratio dan tax rate dalam
konteks perpajakan Indonesia, serta dampaknya terhadap perekonomian. Dengan
memahami polemik ini secara lebih mendalam, diharapkan kita dapat melihat
bagaimana kebijakan perpajakan dapat membentuk jalannya perekonomian Indonesia
dalam jangka panjang.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenal Pajak serta PolemikTarif dan Rasio Pajak di Dalamnya


Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, dijelaskan bahwa pajak merupakan kewajiban
kontribusi kepada pemerintah yang harus diserahkan oleh individu atau entitas
hukum secara paksa sesuai dengan peraturan undang-undang, tanpa adanya
imbalan langsung, dan digunakan untuk kepentingan negara guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat semaksimal mungkin.

Pajak memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena
merupakan sumber pendanaan pembangunan di Indonesia, dan juga memiliki
fungsi-fungsi berikut ini :

Selanjutnya, kita perlu mengetahui komponen dalam sistem perpajakan yang ada
khususnya di Indonesia. Terdapat tax rate & tax ratio sebagai unsur utama dalam
sistem pemungutan pajak. Keduanya merupakan komponen yang berbeda memliki
aspek dan peruntukan yang berbeda pula.

- Tax Rate
Tax rate merujuk pada tarif atau persentase yang dikenakan pada berbagai
jenis pajak yang berlaku di setiap sistem pemungutan pajak. Tax rate ini
bervariasi tergantung pada jenis pajak yang dikenakan, seperti pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB),
dan sebagainya.
Sebagai contoh, dalam pajak penghasilan, terdapat tarif pajak berjenjang yang
biasanya meningkat (progresif) seiring dengan besarnya penghasilan individu
atau perusahaan. Sedangkan untuk PPN, tarifnya ditetapkan pada persentase
tertentu dari nilai barang atau jasa yang dikenakan pajak. Begitu pula dengan
tarif pajak lainnya, yang disesuaikan dengan jenis dan tujuan dari masing-
masing pajak.

Perubahan dalam tax rate dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian dari
kebijakan fiskal untuk mengatur aliran pendapatan negara, mendorong
investasi, mengendalikan inflasi, atau mencapai tujuan ekonomi dan sosial
lainnya (Johansson, 2008). Penyesuaian tax rate ini juga bisa terjadi sebagai
respons terhadap kondisi ekonomi atau perubahan kebutuhan pembangunan
negara. Untuk Indonesia, pemerintah sudah menerapkan perubahan tingkat
pajak di beberapa jenis pajak yang berbeda mulai dari tahun 2022 lalu, mulai
dari PPN 11% (Direncanakan mencapai angka 12% di tahun 2025), Perubahan
PPh 21 dengan Tarif Efektif Pemotongan PPh 21 (Terhitung sejak 2024),
Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), 10% rokok dan 15% rokok
elektrik (Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 dan 192 Tahun 2022
tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 192/PMK.010/2021).

- Tax Ratio
Tax ratio dalam sistem perpajakan mengacu pada rasio atau persentase
pendapatan nasional atau pendapatan domestik bruto (GDP) yang
disumbangkan oleh pendapatan pajak. Ini memberikan gambaran tentang
seberapa besar pemerintah mengumpulkan pajak relatif terhadap ukuran
ekonomi suatu negara. Tax ratio yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah
mengumpulkan jumlah pajak yang signifikan dalam hubungannya dengan
pendapatan nasional atau GDP. Ini bisa menjadi indikator penting untuk
mengevaluasi keefektifan dan keberhasilan sistem perpajakan suatu negara
dalam menghasilkan pendapatan yang cukup untuk mendukung pengeluaran
pemerintah dan pembangunan ekonomi.

Indonesia menggunakan dua pendekatan untuk menghitung tax ratio, yakni


dalam konteks sempit dan luas. Dalam konteks sempit, ini mencakup
perhitungan pendapatan pajak yang diterima oleh pemerintah pusat, termasuk
pajak, kepabeanan, dan cukai. Sementara dalam konteks luas, ini merujuk
pada perhitungan yang dilakukan oleh Organisation for Economic Cooperation
and Development (OECD).
Tax Ratio Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan
beberapa negara tetangga dan bahkan negara-negara maju. Dalam data,
OECD mencatat bahwa tax ratio Indonesia hanya bisa melewati angka dari
negara laos dan Bhutan. Ini menjadi catatan bagi pemerintah Indonesia
khususnya agar bisa lebih gencar akan peningkatan tax ratio. Hal tersebtu
beberapa dapat ditinjau dari faktor yang memengaruhi tingkat tax ratio, baik
secara makro maupun mikro. Faktor-faktor makro mencakup tarif pajak,
pendapatan per kapita, dan efisiensi tata kelola pemerintahan serta
transformasi strategi pada sistem perpajakan.

B. Analisis Implikasi Tax Rate & Tax Ratio Terkhusus Untuk


Perekonomian di Indonesia
Pajak merupakan salah satu pilar utama dalam perekonomian nasional,
menyumbang hampir 80 persen dari total penerimaan negara. Keberhasilan
penerimaan negara sangat penting untuk menjaga keberlangsungan APBN
yang sehat guna mendukung pembangunan menuju Indonesia maju. Oleh
karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan untuk memperbaiki fondasi sistem
perpajakan. Dengan kata lain, pajak menjadi salah satu faktor kunci dalam
menggerakkan perekonomian Indonesia, di mana aspek pajak terlibat dalam
setiap transaksi keuangan. Hal ini akan merangsang pengeluaran pemerintah
(G) dalam kerangka GDP, terutama di Indonesia.

Penerimaan pajak dihitung berdasarkan tarif yang telah ditetapkan oleh


pemerintah untuk setiap jenis pajak yang berlaku. Dalam konteks ini, semakin
tinggi tarif pajak yang ditetapkan, semakin besar pula penerimaan pajak yang
dihasilkan, yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan negara. Ini
akan memungkinkan proses pengeluaran negara menjadi lebih efisien dengan
setiap peningkatan penerimaan. Namun, apakah peningkatan tarif pajak selalu
merupakan langkah yang tepat?
Menurut pandangan seorang ekonom Amerika Serikat, Arthur Betz Laffer, ia
mengemukakan bahwa tarif pajak yang optimal akan memaksimalkan
pendapatan. Ketika tarif pajak terlalu rendah, penerimaan pajak dianggap
belum maksimal. Dalam situasi tersebut, pemerintah memiliki kesempatan
untuk menaikkan tarif dan meningkatkan pendapatan. Namun, jika tarif terlalu
tinggi, hal itu akan memberatkan wajib pajak dan akhirnya menghasilkan
pendapatan yang lebih rendah.

Laffer memperkenalkan konsep ini pada tahun 1974, menarik perhatian para
pembuat kebijakan saat itu. Pada masa itu, pendekatan umum ekonomi adalah
Keynesian, yang menganjurkan peningkatan pengeluaran pemerintah dan
penurunan pajak untuk merangsang permintaan agregat dan pertumbuhan
ekonomi. Dengan meningkatnya permintaan, bisnis meningkatkan produksi,
menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang lebih tinggi bagi rumah
tangga, sehingga meningkatkan penerimaan pajak. Namun, Laffer menyatakan
bahwa perekonomian tidak stagnan karena kurangnya permintaan, melainkan
karena beban pajak yang terlalu tinggi. Tarif pajak yang tinggi dapat
mengurangi insentif produsen untuk meningkatkan output dan mendorong
rumah tangga untuk bekerja. Tidak hanya lingkup produsen, bagi setiap pekerja
yang ingin memenuhi tingkat konsumsinya, mereka akan merasa keberatan
dan cenderung menghindari pajak di kemudian hari (Cindy, 2023) . Pada
akhirnya pun beberapa pihak merasa diberatkan dengan kebijakan kenaikan
tax rate ini dan berakibat pada penurunan produktivitas perekonomian.

Selanjutnya, apakah sistematika ini sama halnya dengan tax ratio? Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa rasio pajak memiliki dasar dan
aspek yang berbeda, walapun kenaikan kedua komponen ini sama-sama
menaikkan penerimaan perpajakan, tetapi dasar pengenaan dari rasio pajak ini
bukan pada nilai setiap objek pajak yang meningkat, melainkan jumlah subjek
dikenai sebagai wajib pajak yang meningkat. Secara sederhana jika tax rate itu
seperti kenaikan tarif PPn dari 11% menjadi 12%, tetapi jika tax ratio ialah
jumlah setiap orang yang membayarkan tarif tersebut mengalami kenaikan,
bukan objeknya tetapi orang yang membayar pajaknya.
C. Langkah Menaikkan Tax Ratio ketimbang Tax Rate apakah tepat?

Pada pembahasan sebelumnya, kita menyoroti tentang peran perpajakan


dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia, dalam hal penerimaan
negara. Namun, penerimaan negara dari perpajakan yang sangat tinggi pun
belum tentu mengindikasikan bahwa setiap kesejahteraan masyarakat terjamin
di dalamnya (Laffer). Perlu adanya efektifitas dalam setiap langkah perputaran
ekonomi. Untuk itu, Indonesia perlu melakukan transformasi perpajakan tidak
hanya berfokus pada kenaikan tingkat penerimaan, namun juga
mengedepankan aspek pembangunan ekonomi ketimbang pertumbuhan
ekonomi. Di mana, pembangunan ekonomi ini fokus utamanya terletak pada
perekonomian yang tumbuh berlandaskan pembangunan aspek kesejahteraan
masyarakat khususnya Indonesia.

Jika dilihat dari segi implementasi serta implikasi yang dihadirkan, tax rate
dirasa kurang efektif juga mempertimbangkan kesejahteraan, hal ini merupakan
momok bagi para mereka baik itu produsen ataupun konsumen dalam praktik
berekonomi di kesehariannya. Dan jika melihat secara skala nasional sejak
pandemi Covid-19, tax ratio Indonesia turun menjadi 8,33% dari 9,77%,
padahal kita memiliki tren GDP yang positif, mengapa demikian?

Hal ini disinyalir karena penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di
Indonesia, salah satu penyebabnya karena perubahan tingkata tarif pajak di
saat kondisi perekonomian Indonesia sedang buruk karena ditimpa Covid-19.
Berdasarkan riset, bahwa dengan menurunkan tarif pajak pun belom tentu
dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, apalagi jika kita menaikkan tarif
pajaknya (Ghozali, 2017). Oleh karena itu, tarif perpajakan tidak semata-mata
sebagai komponen yang bisa menjadi tumpuan negara dalam meningkatkan
penerimaan untuk stimulus perekonomian. Tax ratio yang turun merupakan
indirect impact dari tarif perpajakan yang ada, sehingga fokus pemerintahan
ialah bukan kepada tarifnya, melainkan memperluas pihak yang terlibat dalam
kewajiban perpajakan di Indonesia atau meningkatkan Tax ratio Indonesia.

Meningkatkan rasio pajak tidak dapat dicapai dengan cepat; diperlukan strategi
besar-besaran untuk mencapai audiens, yaitu masyarakat sebagai calon wajib
pajak. Partisipasi seluruh warga Indonesia yang memenuhi syarat objektif dan
subjektif dapat dianggap sebagai wajib pajak, baik individu maupun entitas
hukum, dan ini terlihat dari kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun,
hanya sekitar 20-21% dari total penduduk Indonesia yang tercatat sebagai
wajib pajak sejak kuartal III-IV 2023, yang merupakan jumlah yang kecil
mengingat jumlah penduduk yang bekerja hampir mencapai 140 juta orang dan
sebagian besar belum terdaftar sebagai wajib pajak.

Dari sini, terlihat bahwa rasio pajak dapat ditingkatkan dengan memulai dari
strategi terkecil, yaitu meningkatkan partisipasi subjek sebagai wajib pajak di
Indonesia. Pada tahun 2022, pemerintah telah menetapkan potensi perluasan
basis pajak dengan mempertimbangkan empat aspek: meningkatkan
kepatuhan dengan manajemen risiko, pengawasan yang efektif, penyesuaian
basis pajak, dan penyesuaian sistem perpajakan dengan struktur ekonomi yang
lebih sehat, adil, dan kompetitif.
Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Kementerian
Keuangan, menyampaikan bahwa tantangan utama dalam hal penerimaan
pajak adalah stagnasi atau bahkan penurunan dalam basis pajak. Namun,
pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan rasio pajak dengan
mengidentifikasi basis pajak melalui analisis data kepatuhan formal dan
substansial dari wajib pajak.

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan utama untuk memulihkan


ekonomi Indonesia. Dengan meningkatkan rasio pajak, ini akan berdampak
positif pada ekonomi negara. Secara keseluruhan, peningkatan penerimaan
negara akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran negara. Jika
pengeluaran negara meningkat, ini akan menghasilkan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang melebihi peningkatan pengeluaran negara ketika
pengeluaran pemerintah diberikan kepada sektor domestik. Ini akan
mengakibatkan efek multiplier, yang pada gilirannya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

Dengan kata lain, jika pengeluaran pemerintah naik karena peningkatan


pendapatan pajak sebesar Rp1.000, pertumbuhan PDB akan melebihi Rp1.000
jika peningkatan pengeluaran dialokasikan untuk pengeluaran domestik. Oleh
karena itu, peningkatan rasio pajak akan memiliki dampak besar pada ekonomi
secara keseluruhan. Bahkan dengan kenaikan rasio pajak sebesar 1% dari
PDB Indonesia, dampak yang dihasilkan untuk ekonomi Indonesia akan
signifikan, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara secara
substansial.
BAB III
KESIMPULAN
Perpajakan memiliki peran utama dalam mengumpulkan pendapatan yang
diperlukan untuk mendukung program dan kegiatan publik serta mengatur
distribusi kekayaan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mempengaruhi
keputusan investasi dan konsumsi masyarakat. Dalam konteks Indonesia, isu
perpajakan sering menjadi fokus utama, terutama dalam proses pemilihan
umum, seperti yang terlihat dalam debat calon wakil presiden, di mana
peningkatan tax ratio menjadi salah satu program unggulan.
Dalam mengenal perpajakan, penting untuk memahami perbedaan antara tax
ratio dan tax rate. Tax rate merujuk pada tarif pajak yang dikenakan pada
berbagai jenis pajak, sementara tax ratio mengacu pada rasio antara
pendapatan pajak dan total Produk Domestik Bruto (PDB). Polemik seputar tax
ratio dan tax rate muncul karena dampaknya yang signifikan terhadap
keseimbangan fiskal dan kinerja ekonomi suatu negara.
Analisis implikasi dari tax rate dan tax ratio menunjukkan bahwa kenaikan tarif
pajak bisa menjadi beban bagi pengusaha dan masyarakat umumnya,
sementara peningkatan rasio pajak akan memiliki dampak positif pada
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun, meningkatkan tax ratio
bukanlah tugas yang mudah, mengingat rendahnya kepatuhan pajak dan
kurangnya partisipasi subjek sebagai wajib pajak di Indonesia.
Langkah untuk meningkatkan tax ratio perlu diambil dengan strategi yang
terintegrasi, termasuk peningkatan kepatuhan pajak, pengawasan yang efektif,
perluasan basis pajak, dan penyesuaian sistem perpajakan dengan struktur
ekonomi yang lebih sehat. Meskipun tantangan dalam meningkatkan tax ratio
sangat besar, hal ini menjadi kunci untuk memperkuat fondasi sistem
perpajakan Indonesia dan mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif
dan berkelanjutan.
Dengan demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan tax ratio akan
memberikan dampak positif yang signifikan bagi perekonomian Indonesia
secara keseluruhan. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang
perbedaan antara tax ratio dan tax rate serta implikasinya terhadap
perekonomian, diharapkan kita dapat merumuskan kebijakan perpajakan yang
lebih efektif dan berkelanjutan untuk mendukung pembangunan Indonesia
menuju masa depan yang lebih sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Cindy, C. (2023). Polemik Pemungutan Pajak di Indonesia. Indonesia Journal of Business Law, 2(1),
38–46. https://doi.org/10.47709/ijbl.v2i1.2030

Ghozali, E. E. (2017). Pengaruh Tingkat Pendapatan, Tarif Pajak, Denda Pajak, dan Probabilitas
Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Pajak. Diponegoro Journal of Accounting, 6, 1–13.

Johansson, Å., Heady, C., Arnold, J. M., Brys, B., & Vartia, L. (n.d.). Taxation and Economic Growth.
https://doi.org/10.1787/241216205486

https://www.pajakku.com/read/62f092eaa9ea8709cb18b854/Tax-Ratio-Meningkat-Apa-
Dampak-Bagi-Perekonomian-

https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/kenaikan-tarif-ppn-dalam-kerangka-
reformasi-perpajakan

https://www.belasting.id/ekonomi/78255/Headlines-Hari-Ini-Tren-Penurunan-Tax-Ratio-Jadi-
Tantangan-Pemerintah/

Anda mungkin juga menyukai