Oleh:
NI LUH AYU DEVI FARADILLA EKA PUTRI
044407069
Alokasi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis
dari desentralisasi sistem pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah. Di mana dalam
desentralisasi pemerintahan menghendaki adanya pemberian otonomi yang luas kepada
pemerintahan di daerah atau lokal untuk dapat mengelola sendiri sebagian
urusannya.Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otomatis akan diiringi dengan
penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun
berupa dana perimbangan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangannya. Oleh karenanya daerah harus mempunyai sumber keuangan agar mampu
memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.Sumber-sumber
pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas desentralisasi.Dalam skema pengelolaan pajak daerah di Indonesia, pengaturan induknya
ada di tingkat undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Ini artinya, penetapan pajak berdasarkan undang-
undang diselaraskan dengan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa
timbulnya pajak-pajak dan/atau pungutan lain hanya boleh ditetapkan berdasarkan undang-
undang saja, tidak boleh dengan peraturan lain.
Adam Smith’s Canon telah memberikan panduan dalam menyusun perundang-undangan pajak.
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun undang-undang pajak, yaitu:
a. Syarat yuridis, syarat ini mengharuskan undang-undang pajak yang normatif harus
memberikan kepastian hukum dan keadilan di bawah prinsip equality dan equity.
b. Syarat ekonomis, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa
tanpa imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Pajak dijadikan sebagai instrumen
ekonomi negara yang harus dikelola secara hati-hati oleh pemerintah.
c. Syarat finansial, pajak dipungut untuk mengisi anggaran keuangan negara.
d. Syarat sosiologis, pajak adalah gejala sosial, hanya ada dalam masyarakat. Untuk itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan
keadaan dan situasi masyarakat.
Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah dipraktikkan open
list system maupun close list system secara bergantian.
Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia pemberian
otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional yang lebih besar harus
lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan yang cenderung partisan. Serta pada
kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu membentuk wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerah-daerah itu akan
merepresentasikan wajah Indonesia.
Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28
Tahun 2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di
Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di
daerah otonom.
Salah satu dari hambatan investasi itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari
investor luar mengenai faktor-faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi
dilakukan dengan cara membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-
kotanya. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-
apa tanpa membenahi hambatan-hambatan yang ada di daerah.
Laporan Doing Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia
tahun 2019 dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa peringkat
daya siang Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73 dari 190 negara.
Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6. Menariknya, aspek
perpajakannya menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112 menjadi 81 dari 190 negara.
Tentu capaian ini tak terlepas dari upaya pemerintah dan segenap stakeholder yang telah
bekerja keras memperbaiki regulasi dan sistem perpajakan, baik di pusat maupun daerah.
Di mana kebijakan pajak daerah yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah
memperhatikan keseragaman, keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal
penentuan objek, subjek, wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal
teknis pemungutan, pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan pemanfaatan/alokasinya.
Sumber: https://yoursay.suara.com/news/2020/11/28/191431/pajak-daerah-di-indonesia-
antara-close-list-dan-open-list-system
1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan
pemungutan pajak daerah?
Dalam UU No. 23 tahun 2014 pasal 1 ayat 6, pengertian Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Atau sederhananya, desentralisasi fiskal adalah
penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Fiskal
sendiri berarti terkait urusan pajak atau pendapatan publik. Dengan begitu,
desentralisasi fiskal diatur pemerintah daerah dalam kewenangannya mengatur
keuangan daerah termasuk pemungutan pajak. Desentralisasi fiskal merupakan salah
satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan
negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat,
maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom (Sun’an dan Senuk 2017).
Desentralisasi fiskal dan pemungutan pajak daerah tidak dapat dilepaskan dari
pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia, desentralisasi fiskal berperan penting sebagai sarana mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi daerahnya
masing-masing. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah.
Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang
perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah tersebut
diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah untuk terus berupaya untuk
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya yang berasal dari pajak
daerah dan retribusi daerah. Desentralisasi fiskal sejauh ini sudah memberikan dampak
positif terhadap otonomi daerah di Indonesia namun belum diatur secara khusus dalam
undang-undang. Instrumeninstrumen hukum yang ada dalam mengatur desentralisasi
fiskal kini berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, membangun
kegiatan perekonomian daerah dan menjadi landasan dalam membuat peraturan
perundang- undangan mengenai desentralisasi fiskal di masa yang akan datang.
Kebijakan desentralisasi fiskal memberi kesempatan kepada Pemerintah Daerah agar
dapat memanfaatkan potensi ekonomi daerahnya sendiri untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan. Pemerintah Daerah dapat merumuskan peraturan daerah mengenai
desentralisasi fiskal di daerahnya berdasarkan hal- hal tersebut agar pengambilan
keputusan lebih didengarkan oleh masyarakat karena sesuai dengan karakter dan
potensi daerah. Karena itu, hubungan antara ketimpangan dan tuntutan otonomi
kompleks dan bergantung pada karakteristik daerah (Sambanis & Milanovic, 2014).
Pemerintah Daerah juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk
pengaturan mengenai desentralisasi fiskal di tingkat yang lebih tinggi yaitu undang-
undang.
Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-
undang bilamana diperlukan. Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni
pemerintah daerah hanya boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan
dalam undang-undang.
Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
pemerintah daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan
daerahnya. Di satu sisi, sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah. Namun di sisi lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan
bisnis yang lebih luas.
Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif
dan kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan
daerahnya. Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih
besar karena ketundukannya kepada pemerintah pusat. Hal yang melatarbelakangi
perubahan kebijakan pemerintah mengenai pergantian dari open list system menjadi
close list system adalah karena pemerintah menginginkan kepastian hukum yang lebih
baik untuk pemerintah daerah karena ketundukannya kepada pemerintah pusat.
3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?
Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-
undang bilamana diperlukan. Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni
pemerintah daerah hanya boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan
dalam undang-undang.
Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
pemerintah daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan
daerahnya. Di satu sisi, sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah. Namun di sisi lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan
bisnis yang lebih luas.
Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif
dan kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan
daerahnya. Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih
besar karena ketundukannya kepada pemerintah pusat.