Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2

HUKUM PAJAK DAN ACARA PERPAJAKAN

Oleh:
NI LUH AYU DEVI FARADILLA EKA PUTRI
044407069

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTASHUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
Soal Tugas Tutorial 2
Pajak Daerah di Indonesia: Antara Close List dan Open List System

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menemukan momentumnya pada masa


reformasi, yakni dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini merupakan pintu gerbang reformasi di bidang
birokrasi dan ekonomi. Dengan berlakunya undang-undang ini, pemerintah daerah diberikan
kesempatan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada
masyarakat serta mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Alokasi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis
dari desentralisasi sistem pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah. Di mana dalam
desentralisasi pemerintahan menghendaki adanya pemberian otonomi yang luas kepada
pemerintahan di daerah atau lokal untuk dapat mengelola sendiri sebagian
urusannya.Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otomatis akan diiringi dengan
penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun
berupa dana perimbangan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangannya. Oleh karenanya daerah harus mempunyai sumber keuangan agar mampu
memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.Sumber-sumber
pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas desentralisasi.Dalam skema pengelolaan pajak daerah di Indonesia, pengaturan induknya
ada di tingkat undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Ini artinya, penetapan pajak berdasarkan undang-
undang diselaraskan dengan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa
timbulnya pajak-pajak dan/atau pungutan lain hanya boleh ditetapkan berdasarkan undang-
undang saja, tidak boleh dengan peraturan lain.

Adam Smith’s Canon telah memberikan panduan dalam menyusun perundang-undangan pajak.
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun undang-undang pajak, yaitu:

a. Syarat yuridis, syarat ini mengharuskan undang-undang pajak yang normatif harus
memberikan kepastian hukum dan keadilan di bawah prinsip equality dan equity.
b. Syarat ekonomis, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa
tanpa imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Pajak dijadikan sebagai instrumen
ekonomi negara yang harus dikelola secara hati-hati oleh pemerintah.
c. Syarat finansial, pajak dipungut untuk mengisi anggaran keuangan negara.
d. Syarat sosiologis, pajak adalah gejala sosial, hanya ada dalam masyarakat. Untuk itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan
keadaan dan situasi masyarakat.
Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah dipraktikkan open
list system maupun close list system secara bergantian.

Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia pemberian
otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional yang lebih besar harus
lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan yang cenderung partisan. Serta pada
kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu membentuk wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerah-daerah itu akan
merepresentasikan wajah Indonesia.

Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28
Tahun 2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di
Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di
daerah otonom.

UU PDRD yang merombak prinsip-prinsip dalam ketentuan sebelumnya juga ingin


memperluas objek pajak daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dan kemandirian daerah. UU PDRD menetapkan lima jenis pajak untuk
provinsi dan 11 jenis pajak untuk kabupaten/ kota. Meningkat dari sebelumnya yang ada empat
jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota.
Namun, UU PDRD menutup sama sekali inovasi daerah untuk menambah sendiri jenis pajak
yang baru. Dengan kata lain, pemerintah sekarang menerapkan close list system. UU hanya
memberikan diskresi kepada daerah dalam hal menetapkan tarif pajak yang berlaku. Itupun
dengan batasan ketat yang telah diatur oleh pemerintah.
Bahkan UU PDRD juga mengatur lebih lanjut detail substansi dan mekanisme pemungutan
setiap jenis pajak daerah. Hal ini mudah dipahami mengingat aspek kepastian hukum dan
harmonisasi berbagai pungutan di daerah harus menjadi prioritas dan tidak boleh menjadi
faktor penghambat kegiatan ekonomi dan investasi di daerah yang notabene masih wilayah
NKRI.
Pemerintah telah memperhitungkan dengan cermat perkembangan global dan posisi Indonesia
saat ini. Sebagai negara yang sedang mengejar daya saing, Indonesia masih membutuhkan
banyak investasi dari luar guna memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi. Oleh karena
itu segala hal yang dapat menghambat masuknya investasi perlu dikurangi bahkan dihilangkan

Salah satu dari hambatan investasi itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari
investor luar mengenai faktor-faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi
dilakukan dengan cara membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-
kotanya. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-
apa tanpa membenahi hambatan-hambatan yang ada di daerah.
Laporan Doing Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia
tahun 2019 dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa peringkat
daya siang Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73 dari 190 negara.
Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6. Menariknya, aspek
perpajakannya menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112 menjadi 81 dari 190 negara.
Tentu capaian ini tak terlepas dari upaya pemerintah dan segenap stakeholder yang telah
bekerja keras memperbaiki regulasi dan sistem perpajakan, baik di pusat maupun daerah.
Di mana kebijakan pajak daerah yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah
memperhatikan keseragaman, keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal
penentuan objek, subjek, wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal
teknis pemungutan, pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan pemanfaatan/alokasinya.

Sumber: https://yoursay.suara.com/news/2020/11/28/191431/pajak-daerah-di-indonesia-
antara-close-list-dan-open-list-system
1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan
pemungutan pajak daerah?

Dalam UU No. 23 tahun 2014 pasal 1 ayat 6, pengertian Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Atau sederhananya, desentralisasi fiskal adalah
penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Fiskal
sendiri berarti terkait urusan pajak atau pendapatan publik. Dengan begitu,
desentralisasi fiskal diatur pemerintah daerah dalam kewenangannya mengatur
keuangan daerah termasuk pemungutan pajak. Desentralisasi fiskal merupakan salah
satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan
negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat,
maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom (Sun’an dan Senuk 2017).
Desentralisasi fiskal dan pemungutan pajak daerah tidak dapat dilepaskan dari
pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia, desentralisasi fiskal berperan penting sebagai sarana mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi daerahnya
masing-masing. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah.

Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang
perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah tersebut
diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah untuk terus berupaya untuk
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya yang berasal dari pajak
daerah dan retribusi daerah. Desentralisasi fiskal sejauh ini sudah memberikan dampak
positif terhadap otonomi daerah di Indonesia namun belum diatur secara khusus dalam
undang-undang. Instrumeninstrumen hukum yang ada dalam mengatur desentralisasi
fiskal kini berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, membangun
kegiatan perekonomian daerah dan menjadi landasan dalam membuat peraturan
perundang- undangan mengenai desentralisasi fiskal di masa yang akan datang.
Kebijakan desentralisasi fiskal memberi kesempatan kepada Pemerintah Daerah agar
dapat memanfaatkan potensi ekonomi daerahnya sendiri untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan. Pemerintah Daerah dapat merumuskan peraturan daerah mengenai
desentralisasi fiskal di daerahnya berdasarkan hal- hal tersebut agar pengambilan
keputusan lebih didengarkan oleh masyarakat karena sesuai dengan karakter dan
potensi daerah. Karena itu, hubungan antara ketimpangan dan tuntutan otonomi
kompleks dan bergantung pada karakteristik daerah (Sambanis & Milanovic, 2014).
Pemerintah Daerah juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk
pengaturan mengenai desentralisasi fiskal di tingkat yang lebih tinggi yaitu undang-
undang.

2. Apa hal-hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah mengenai


pergantian dari open list system menjadi close list system?

Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-
undang bilamana diperlukan. Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni
pemerintah daerah hanya boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan
dalam undang-undang.

Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
pemerintah daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan
daerahnya. Di satu sisi, sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah. Namun di sisi lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan
bisnis yang lebih luas.

Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif
dan kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan
daerahnya. Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih
besar karena ketundukannya kepada pemerintah pusat. Hal yang melatarbelakangi
perubahan kebijakan pemerintah mengenai pergantian dari open list system menjadi
close list system adalah karena pemerintah menginginkan kepastian hukum yang lebih
baik untuk pemerintah daerah karena ketundukannya kepada pemerintah pusat.

3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?

Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-
undang bilamana diperlukan. Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni
pemerintah daerah hanya boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan
dalam undang-undang.

Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
pemerintah daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan
daerahnya. Di satu sisi, sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah. Namun di sisi lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan
bisnis yang lebih luas.

Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif
dan kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan
daerahnya. Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih
besar karena ketundukannya kepada pemerintah pusat.

Anda mungkin juga menyukai