Anda di halaman 1dari 10

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan pleh pemerintah

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dalam
UUD RI 1945. UU PDRD diciptakan dalam hal pelaksanaan desentralisasi fiskal dan
peningkatan kemandirian fiskal daerah yang digunakan sebagai acuan hukum dalam
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. UU PDRD digunakan untuk mencapai
tujuannya yakni untuk meningkatkan local taxing power dengan cara menguatkan basis
hukum pajak daerah dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Penyelenggaran
mengharapkan adanya fleksibilitas dalam menerapkan objek dan tarif pajak daerah dan
retribusi daerah di tiap daerah yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tersebut
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah
lebih optimal untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dari peningkatan pelayanan kepada
masyarakat yang didapatkan dari pendapatan PDRD.
Melihat pada status quo bahwa pelaksanaan otonomi daerah terutama pada
desentralisasi fiskal berdasarkan dari belum menghasilkan kinerja optimal terhadap anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD). Hal
tersebut dinilai masih minim-nya kemampuan daerah dalam mengoptimalkan PAD disertai
dengan bukti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap transfer ke daerah dan dana desa
(TKDD) masih tinggi dan TKDD tersebut masih belum optimal dikarenakan sebagian besar
dana alokasi umum yang merupakan bagian dari TKDD digunakan untuk belanja pegawai
yaitu 64,8% serta ketergantungan daerah kepada dana alokasi khusus yang juga menjadi
bagian dari TKDD sebagai salah satu sumber belanja daerah untuk modal. Selanjutnya juga
terdapat pada local taxing power daerah yang masih berada disekitar 1,2% tahun 2022 akibat
adanya COVID-19 sehingga basis pajak daerah ini sangat perlu untuk digali lebih luas untuk
ditingkatkan.

Anggaran belanja yang disusun oleh pemerintah daerah dinilai masih belum optimal
(dari sisi kualitas dan sinkronisasi kebijakan belanja daerah) yang ditunjukkan melalui
program yang belum fokus yakni sejumlah 29.623 program dari 263.135 program yang ada
serta belanja daerah bersifat administratif lebih dominan daripada belanja infrastruktur.
Persentase belanja administratif seperti belanja pegawai sejumlah 32,4% sedangkan belanja
infrastruktur masih rendang sejumlah 11,5% sehingga belanja daerah tersebut masih dinilai
belum optimal. Bukan hanya pada belanja daerah, tetapi pada pembanfataan biaya daerah
kegiatan produktif juga masih belum optimal yang dilihat dari pemanfataan skema KPBU
(Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha) tercermin dari total pinjaman daerah yang
rendang yakni hanya 0,0049%. Penyebab yang terakhir yaitu terkadang masih sering
terjadinya mismatch antara program dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
menyebabkan sinergi fiskal tidak optimal dalam pelaksanaanya. Sinergi yang tidak optimal
berdampak pada penciptaan kesempatan kerja yang baru, penurunan angka kemiskinan yang
susah digapai, dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang sukar untuk dilaksanakan.
Atas permasalahan tersebut mendorong Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri
Mulyani Indrawati untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah ada yakni bahwa diperlukannya
kebijakan baru yang fokus pada kinerja dan kemampuan daerah untuk melaksanakan
peningkatan pelayanan publik yang fokus kepada semua stakeholder termasuk alokasi fiskal
dan penguatan belanja daerah yang lebih efektif, efisien, transparan, fokus, akuntabel, dan
berkeadilan yang tentunya bersinergi dengan belanja pusat. Maka dari itu lahirlah Undang-
Undang HKPD.
UU HKPD diciptakan dalam rangka untuk menghasilkan pemerataan kesejahteraan
masyarakat di seluruh Indonesia termasuk pada pelosok negeri. UU HKPD juga sebagai
penyempurna UU sebelumnya yakni UU Nomor 33 Tahun 20024 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menteri
Skema opsen atas BBNKB menjadi salah satu instrumen penerimaan daerah terbaru
yang tertera dalam UU HKPD. Skema opsen merupakan pungutan pajak tambahan menurut
persentase tertentu. Opsen diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah yang
sebelumnya terlalu bergantung pada dana transfer. Tetapi opsen pajak juga memiliki potensi
yang menimbulkan distorsi perekonomian daerah dikarenakan adanya potensi biaya
tambahan yang harus ditanggung oleh wajib pajak dengan pemungutan ganda.
2.1 Konsep Kebijakan Pajak

Pengertian kebijakan menurut KBBI yaitu suatu rangkaian atas konsep & asas yang
menjadi acuan atas rencana pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. James
E. Anderson menjelaskan definisi mengenai kebijakan sebagai rangkaian tindakan dengan
tujuan tertentu dasn dilaksanakan oleh seseorang untuk memecahkan masalah tertentu. Lalu
mengenai kebijakan pajak, bahwa kebijakan pajak merupakan kebijakan fiskal dalam arti
sempit (Rosdiana dan Irianto, 2012). Kebijakan fiskal ialah kebijakan yang menggunakan
instrumen pungutan pajak dan belanja negara untuk memengaruhi produksi masyarakat,
inflasi, dan peluang kerja (Mansury, 1999).
Kebijakan perpajakan disebutkan oleh Lauddin Marsuni yang dikutip Rahayu (2010)
sebagai berikut:

1. Pilihan dipilih oleh pemerintah untuk penunjangan penerimaan negara, dan


penciptaan kondisi ekonomi kondusif
2. Tindakan pemerintah untuk melakukan pungutan pajak untuk memenuhi kebutuhan
dana negara
3. Keputusan pemerintah untuk melakukan peningkatan penerimaan negara yang
bersumber dari pajak yang digunakan sebagai penyeselaian kebutuhan keuangan
negara.

2.2 Konsep Pajak Daerah


Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang terdapat dalam APBD
setiap tahun periode APBD. Pajak daerah ini merupakan instrument penting untuk membiayai
dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pajak Daerah memiliki empat fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi Anggaran
Pajak daerah digunakan untuk pendanaan rutin belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya
2. Fungsi Mengatur
Pajak daerah digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan ekonomi
pemerintahan
3. Fungsi Stabilitas
Pajak daerah digunakan untuk membantu pemerintah dalam menstabilkan harga
barang dan jasa yang terdapat di daerah tersebut sehingga dapat mengurangi inflasi
4. Fungsi Retribusi Pendapatan
Pajak daerah membiayakan kepentingan umum seperti meciptakan lapangan kerja
baru sehingga pemerataan pendapatan tercapai
Pembagian wewenang pemungutan atas pajak daerah dibagi atas Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hasil pungutan atas pajak daerah masuk ke dalam kas
daerah yang selanjutnya digunakan oleh Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk
membiayai kebutuhan dan pembangunan daerah sesuai yang terdapat dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun bersangkutan. Pembagian wewenang pungutan
pajak daerah sebagai berikut :
Masing-masing pajak daerah diatas memiliki karakteristik dan tarif yang berbeda
sehingga memungkinkan provinsi atau kabupaten/kota untuk mengelola daerah sendiri
tergantung dengan kondisi daerah masing-masing.

2.3 Konsep BBNKB

BBNKB merupakan pajak yang dikenakan atas adanya penyerahan hak milik
kendaraan bermotor akibat dari perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan
yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan
usaha. BBNKB ini dikenakan atas harga jual kendaraan bermotor kepada orang pribadi atau
badan yang menerukan penyerahan kendaraan bermotor.
Kendaraan Bermotor merupakan satu dari banyak bagian objek kekayaan yang juga
berarti bahwa seluruh kendaraan yang memiliki roda beserta dengan gandengannya yang
digunakan atau dioperasikan di jalan darat atau di air yang digerakkan oleh peralatan teknik
lainnya. Peralatan tersebut berfungsi untuk mengubah energi tertentu menjadi energi gerak
kepada kendaraan bermotor tersebut.
Kendaraan bermotor yang masuk dari luar negeri untuk dipakai secara rutin dan tetap
di Indonesia juga termasuk kedalam pengertian kendaraam bermotor, kecuali untuk dijual
kembali, dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia, dan untuk pameran; objek
penelitian; contoh; dan kegiatan olahraga taraf internasional.
2.4 Konsep Skema Opsen

Secara internasional, skema opsen dikenal sebagai piggyback tax. Menurut Talierco
(2004) dalam Handaka (2018) piggyback tax adalah kewenangan kebijakan perpajakan sub-
national government (SNG) dengan cara menambahkan tarif pajak lokal ke pajak pusat.
Definisi lain dikemukakan Hymann (1999) dan Brojonegoro (2003) dalam (Rosdiana, 2012)
bahwa piggyback tax merupakan pembagian kewenangan perpajakan. Pembagian wewenang
tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah secara bersama-sama memiliki
kewenangan perpajakan atas subjek, objek, jenis, dan tarif pajak yang sama pada bagian
substansinya. Sedangkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2022) Indonesia
menyebutkan bahwa opsen merupakan pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
Ciri piggyback tax menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2014) dalam
Handaka (2018) adalah:
a. Pemerintah daerah mempunyai hak untuk menambahkan tambahan pajak atas
sebuah pajak pusat yang diterapkan dalam daerah bersangkutan (jurisdiction).
b. Pemerintah Daerah tidak mempunyai kebebasan dalam hal menentukan
besaran dasar pengenaan pajak (tax base)
c. Administrasi dan pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah pusat yang
selanjutnya pemerintah pusat menyalurkan kembali pajak tersebut ke dalam
kas daerah bersangkutan
Penerapan opsen ditujukan untuk penyederhaaan prosedur administrasi karena opsen
dipungut secara berbarengan dengan pajak basis pemotongannya sehingga dengan opsen ini
apabila wajib pajak akan membayar pajak daerah maka akan secara otomatis membayar
opsen juga dalam satu waktu. Perumusan opsen pajak ditujukan dalam hal pengalihan bagi
hasil pajak provinsi karena sering terjadinya keterlambatan penyaluran dana bagi hasil pajak
provinsi kepada kabupaten/kota yang dilakukan secara periodik.
3.1 Gambaran Umum Skema Bagi Hasil BBNKB

Undang-Undang HKPD mengatur ruang lingkup terkait HKPD yang terdiri atas
pemberian sumber penerimaan daerah, pengelolaan transfer ke daerah (TKD), pengelolaan
belanja daerah, dan lain-lain sehingga pajak juga menjadi salah satu penerimaan bagi daerah
sesuai dengan ruang lingkup HKPD yang sejalan dengan pendapat Kelly (1998) dalam
Hardiana (2011), bahwa salah satu metode pelimpahan atas penerimaan pajak bagi daerah
adalah independent local taxation. Di dalam metode tersebut disebutkan bahwa jenis pajak
tertentu dapat dilimpahkan ke dalam pajak daerah. Maka dari itu, dalam metode ini
pemerintah daerah dapat leluasa mengatur baik dari segi administrasi maupun pengendalian
pajak itu sendiri. Pemerintah daerah dapat mengendalikan secara langsung penerimaan pajak
yang ingin dicapai dari objek pajak tertentu. Metode itu menjadi acuan skema bagi hasil
BBNKB yang sebelumnya dulu diatur di dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a UU PDRD yang
menyebutkan bahwa 30% dari hasil penerimaan BBNKB diserahkan ke kabupaten/kota.
Skema bagi hasil pertama-tama dihitung total penerimaan BBNKB dalam periode tertentu
lalu total penerimaan tersebut dikalikan dengan persentase bagi hasil sesuai dengan tarif yang
berlaku yaitu sejumlah 30%.

3.2 Gambaran Skema Opsen BBNKB

Pengesahan UU HKPD menghadirkan skema opsen untuk beralih dari skema bagi
hasil pajak provinsi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah dengan
tidak menambah beban kepada wajib pajak. Hal ini dikarenakan oleh pendapatan perpajakan
yang akan dicatat sebagai PAD. Skema opsen lebih memberikan kepastian atas pendapatan
dari sisi perpajakan apabila dibandingkan dengan skema bagi hasil karena dalam skema opse
ini langsung membagi pendapatan antara provinsi dan kabupaten/kota tanpa perlu mekanisme
dana bagi hasil dengan perhitungan lebih lanjut.
Sesuai yang dimuat dalam UU HKPD, BBNKB menjadi salah satu yang dikenakan
skema opsen. Pada skema opsen, subjek, objek, hingga wajib pajak opsen sama dengan
subjek yang diopsenkannya. Maka dari itu subjek, objek, dan wajib pajak atas Opsen
BBNKB mempunyai persamaan dengan subjek, objek, dan wajib pajak dari BBNKB. Selain
itu, di dalam UU HKPD juga tertulis bahwa opsen dipungut bersamaan dengan pajak yang
dikenakan opsen. Poin pembeda antara opsen BBNKB dan BBNKB itu sendiri terdapat pada
dasar pengenaan opsennya. Dasar pengenaan opsen bukan berdasarkan nilai transaksi,
melainkan atas besaran bea terutang yang diopsenkan. Maka dari itu, opsen dihitung dengan
cara perkalian tarif opsen dengan besar bea yang diopsenkan.
Besaran tarif opsen BBNKB tercantum pada Pasal 83 ayat (1) huruf a UU HKPD
yang menyebutkan bahwa tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% yang dihitung dari
besaran pajak terutang. Sementara itu, tarif maksimal BBNKB bagi kepemilikan dan/atau
penguasaan Kendaraan Bermotor pertama adalah 20%. Dengan demikian, 66% dari 20%
yaitu 0,132% yang diopsenkan. Besaran tarif 0,132% merupakan persentase tambahan beban
pajak maksimal bagi wajib pajak. Jika ditambah dengan tarif maksimal BBNKB sebesar
20%, maka total tarif maksimal yang harus ditanggung oleh wajib pajak adalah 20,132%.

3.3 Skema Opsen BBNKB sebagai Instrumen Alternatif Pendukung Kemandirian


Fiskal Daerah

Dalam penyaluran kas hasil pemungutan BBNKB bagi hasil, kadang kali terjadi
konflik antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Menurut DJPK (2018)
salah satu permasalahan yang kerap kali dikeluhkan pemerintah kabupaten/kota terkait bagi
hasil BBNKB yaitu mengenai porsi antar daerah penerima dan waktu realisasi penyaluran
yang tidak pasti atau selalu terlambat. Maka dari itu, beberapa ahli percaya bahwa skema
piggyback tax dapat mengatasi permasalahan tersebut yang kemudian dapat mendukung
kemandirian fiskal daerah.
Shome (1995) menyatakan bahwa pajak daerah yang baik adalah ketika beban pajak
daerah tersebut tidak dapat dialihkan ke daerah lain yang apabila wajib pajak daerah terutang
pajak daerah maka beban pajak yang wajib pajak daerah bayar harus kepada daerah terutang.
Sehingga tidak terdapat pengalihan beban pajak ke wajib pajak daerah lain (tax burden
export). Dengan penggunaan skema opsen pada BBNKB, maka beban pajak berupa bea yang
terutang kepada wajib pajak daerah tersebut langsung masuk ke dalam porsi daerah masing-
masing sehingga sesuai dengan kriteria pajak daerah yang ideal .
Poesoro (2015) menyebutkan secara umum local taxing power Indonesia masih lemah
karena pemerintah masih terfokus kepada pembagian hasil penerimaan sehingga pemerintah
daerah tidak bisa menentukan besaran tarif pajak yang akan disalurkan ke daerah terkait.
Dengan adanya skema opsen yang termuat dalam UU HKPD, pemerintah daerah dapat
leluasa menentukan besaran tarif pajak yang akan disalurkan ke daerahnya sesuai dengan
Pasal 83 ayat (1) UU HKPD yang menyebutkan besaran tarif opsen ditetapkan melalui
peraturan daerah. Bird (1999) juga menyatakan bahwa kelebihan dari skema opsen pada sisi
administrasi yaitu bahwa sekma opsen bisa mengandalkan segi administrasi untuk
mengumpulkan pajak terutang oleh pemerintah daerah yang berwenang untuk memungut
pajak daerah. Opsen atas BBNKB sebenarnya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak
provinsi. UU HKPD menjelaskan bahwa hadirnya skema opsen akan memberi keleluasaan
belanja atas penerimaan tersebut kepada pemerintah daerah dibandingkan dengan skema bagi
hasil

3.4 Peningkatan revenue productivity daerah

Pemerintah pusat memberi pengganti atas skema bagi hasil yaitu skema opsen untuk
meningkatkan kemandirian daerah dengan tidak menambah beban kepada wajib pajak.
Skema Opsen dalam BBNKB dinilai dapat meningkatkan revenue productivity suatu negara
tentunya Indonesia.

Asumsi pembagian dana bagi hasil tersebut didapatkan dari potensi penerimaan
dikalikan dengan persentase pembagian pemerintah dengan kabupaten/kota sebesar 40%.
Atas dana bagi hasil tersebut kemudian harus disalurkan paling lambat kepada pemerintah
kabupaten/kota sebelum triwulan berikutnya.

Apabila menggunakan skema opsen, maka untuk menghitung pajak yang akan
diterima harus terlebih dahulu dihitung besaran persentase yang didapatkan oleh provinsi
maupun kabupaten/kota. Perhitungan besaran persentasenya menggunakan asumsi tarif
maksimal BBNKB adalah 20%. Apabila ditambahkan dengan opsen sebesar 40% dari tarif
BBNKB yaitu 8% maka tarif maksimal yang akan dikenakan sebesar 28%. Besar tarif
tersebut sesuai dengan RUU HKPD dan dihitung dengan cara sebagai tarif BBNKB ditambah
Tarif Opsen BBNKB

Persentase Provinsi = 20/28 X 100% = 71,42%


Persentase Kabupaten/kota = 8/28 X 100% = 28,58%
Berdasarkan perhitungan di atas, terlihat jelas bahwa dengan adanya skema opsen
menghasilkan peningkatan penerimaan bagi provinsi yang lebih besar.
Namun, apabila menggunakan tarif BBNKB dan Opsen BBNKB dalam UU HKPD,
presentasi bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota akan berubah. Apabila dikenakan
tarif BBNKB yang 12% dan tarif Opsen BBNKB 66% yaitu 7.92%, maka total tarif pajak
terutang 19.92%.
Persentase Provinsi = 12/19,92 X 100% = 60,24%
Persentase Kabupaten = 7.92/19,92 X 100%= 39,76%

3.5 Potensi Tambahan Beban Pajak

Potensi yang mungkin timbul dari skema opsen pada RUU HKPD yaitu tambahan
beban yang lebih besar bagi para wajib pajak. Dalam RUU HKPD disebutkan direncanakan
bahwa akan diberlakukan skema opsen atas BBNKB dengan tarif opsen sebesar 40%.
Berdasarkan tarif BBNKB maksimal 20%, 40% dari tarif tersebut yakni 8% akan diopsenkan,
sehingga besar tarif yang harus ditanggung wajib pajak adalah 28%. Terdapat kenaikan tarif
8% dari rezim UU PDRD apabila berlaku tarif tertinggi pemungutan BBNKB dalam UU
PDRD, yaitu sebesar 20%. Kenaikan tarif tersebut menuai kritik dan saran dari beberapa
kalangan, sebab berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi walaupun tarif BBNKB telah
diturunkan. Selain itu, tarif pajak yang lebih tinggi tidak pasti selalu diikuti oleh total
penerimaan yang optimal, sebab pendapatan fiskal tidak selalu berpusat pada pengenaan tarif
pajak yang lebih tinggi.
Namun, kemungkinan dampak negatif tersebut hanya dapat terjadi jika RUU HKPD
benar-benar disahkan tanpa adanya revisi atau pertimbangan ulang atas kritik dan 11 saran
yang masuk kepada pemerintah. Nyatanya, baik besaran tarif BBNKB maupun Opsen
BBNKB dalam UU HKPD mengalami perubahan. Tarif maksimal BBNKB bagi kepemilikan
dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama kembali mengalami penurunan, kali ini
sebesar 12%%. Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) huruf a UU HKPD, disebutkan bahwa besaran
tarif Opsen BBNKB adalah 66% dari pokok tarif BBNKB. Akan hal tersebut, jumlah tarif
pajak maksimal yang harus ditanggung oleh wajib pajak adalah 7,92%. Besar tarif tersebut
dihitung dengan cara sebagai berikut:
Total tarif pajak terutang (maksimal) = tarif BBNKB + tarif Opsen BBKNB
= 12% + (66% * 12%)
= 12% + 7,92%
= 19,92%
Apabila dibandingkan dengan tarif pajak maksimal BBNKB berdasarkan UU PDRD
yang berada pada angka 20%, beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak menjadi lebih
ringan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan skema Opsen BBNKB dalam
UU HKPD tidak menimbulkan beban pajak tambahan bagi wajib pajak serta potensi
terjadinya distorsi ekonomi masyarakat dapat dihindarkan.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang diuraikan pada bab 3, penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penerapan BBNKB dalam UU HKPD dapat menyelesaikan konflik pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang dapat mendukung kemandirian fiskal
daerah. Hal itu dikarenakan pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam
menentukan tarif pajak yang akan disalurkan ke daerah dibawahnya yang kemudian
memberikan dampak bagi pemerintah daerah untuk dapat memiliki keleluasaan
belanja atas penerimaan tersebut dibandingkan skema bagi hasil.
2. Penerapan skema Opsen BBNKB dalam UU HKPD tidak menimbulkan beban pajak
tambahan bagi para wajib pajak serta potensi terjadinya distorsi ekonomi masyarakat
dapat dihindarkan. Hal tersebut dikarenakan adanya tarif maksimal BBNKB dari 20%
menjadi 12% serta besaran tarif opsen BBNKB adalah 66% dari pokok tarif BBNKB.
Ketentuan tersebut menjadikan jumlah tarif pajak maksimal yang harus ditanggung
oleh wajib pajak atas tarif BBNKB maupun Opsen BBNKB adalah 19,92%.

4.2 Saran

Dengan diperkenalkan dan diterapkannya skema opsen, pemerintah kabupaten/kota


harus secara aktif mengawasi penerimaan Opsen BBNKB dengan baik. Hal tersebut
dikarenakan oleh penerimaan Opsen BBNKB yang langsung diberikan kepada pemerintah
kabupaten/kota tanpa melalui penyaluran dana Bagi Hasil dari pemerintah provinsi. Terlebih,
pemerintah kabupaten/kota harus dapat memanfaatkan dengan baik atas kewenangan atau
keleluasaan yang telah diberikan guna mencapai kemandirian fiskal daerah.

Anda mungkin juga menyukai