Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah menyebabkan
perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi
daerah.

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah
untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan
masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan
persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.

Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu


menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli
Daerah (PAD).

Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya


kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan
personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar.
Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat
kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun
jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari
Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam
meningkatkan PADnya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam
pembelanjaan APBD-nya.

Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal,


namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah
sejak lama menjadi unsur PAD yang utama.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan


otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya
dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam
pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah
Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak
daerah dan retribusi daerah.

1
Walaupun baru satu tahun diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 serta peraturan
perundang-undangan pendukung lainnya, berbagai macam respon timbul dari daerah-
daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi
daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah memperlihatkan hasil yang
menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya
secara signifikan. Namun, kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak
terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan
dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya
menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap
memberikan batasan kriteria pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh
Pemerintah Daerah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan daerah
2. Bagaimana prinsip dan kriteria perpajakan daerah
3. Bagaimana ketentuan pungutan pajak dan retribusi daerah
4. Bagaimana peningkatan penerimaan pajak daerah
5. Bagaimana peran pajak dan retribusi daerah dalam mendukung pembiyaan daerah
6. Bagaimana optimalisasi pungutan pajak dan retribusi daerah dalam rangka
meningkatkan kemampuan keuangan daerah
7. Bagaimana kebijakan fiscal dan macam nya
8. Bagaimana tujuan kebijakan fiscal
9. Bagaimana kebijakan moneter

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan daerah
2. Untuk mengetahui prinsip dan kriteria perpajakan daerah
3. Untuk mengetahui ketentuan pungutan pajak dan retribusi daerah
4. Untuk mengetahui peningkatan penerimaan pajak daerah
5. Untuk mengetahui peran pajak dan retribusi daerah dalam mendukung pembiyaan
daerah
6. Untuk mengetahui optimalisasi pungutan pajak dan retribusi daerah dalam rangka
meningkatkan kemampuan keuangan daerah
7. Untuk mengetahui kebijakan fiscal dan macam nya
8. Untuk mengetahui tujuan kebijakan fiscal
9. Untuk mengetahui kebijakan moneter

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pembahasan

2.1.1. pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan daerah

Dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan


peningkatan kemandirian fiskal daerah, telah ditetapkan UU No. 28 tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan  local taxing
power melalui penguatan basis perpajakan daerah dan peningkatan kepatuhan
(compliance) wajib pajak. Fleksibilitas penerapan jenis dan tarif PDRD di
daerah, diharapkan dapat mendorong pendapatan PDRD menjadi lebih optimal
dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam arti yang
lebih luas.

Sejak diberlakukannya UU 28/2009 pada tanggal 1 Januari 2010


dengan ketentuan peralihan masing-masing pajak daerah yang beragam,
perkembangan nominal PDRD menunjukkan peningkatan dari Rp63,9 triliun
pada tahun 2010 menjadi Rp167,3 triliun pada tahun 2016 atau meningkat
sebesar 262%. Meskipun secara nominal PDRD mengalami peningkatan dan
merupakan komponen terbesar dari PAD, perkembangan PDRD sejak tahun
2010 sampai dengan tahun 2016 dirasakan belum optimal dalam
meningkatkan tax effort atau rasio perolehan pajak terhadap potensi/kapasitas
pajaknya (Fenochietto & Pessino, 2013) dan juga peranannya sebagai salah satu
sumber pendapatan daerah.  

Perkembangan rasio PDRD terhadap Pendapatan Domestik Regional


Bruto (PDRB) menunjukkan peningkatan dari 0,93% di tahun 2010 menjadi
1,32% pada tahun 2016. Meskipun meningkat, rasio tersebut masih relatif
rendah, sejalan dengan tingkat elastisitas PDRD yang merupakan cerminan
bagaimana perubahan pada pajak merespon perubahan pada tingkat pendapatan
(PDRB) (Tahir, 2004) dimana dalam dua tahun terakhir (2015-2016) tingkat
elastisitas PDRD terhadap PDRB yang kurang dari satu (inelastis). Hal ini
menunjukkan masih terdapat ruang yang luas untuk meningkatkan pendapatan
daerah yang bersumber dari PDRD.

Di sisi lain, perkembangan PDRD sebagai bagian sumber


pendapatan daerah dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun total
pendapatan secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan lagi. Rasio PDRD
terhadap Total Pendapatan Daerah sebagai cerminan kemandirian daerah
meningkat dari 14,23% pada tahun 2010 menjadi 16,51% pada tahun 2016,

3
tetapi peningkatan tersebut belum merata di seluruh wilayah di Indonesia
terutama Indonesia bagian timur yang mempunyai rasio di bawah 5%. Rasio
PDRD terhadap PAD sebagai komponen utama PAD menunjukan hal yang
sama, PDRD yang seharusnya menjadi komponen utama PAD menunjukkan
rasio yang menurun dari 78,64% pada tahun 2010 menjadi 72,94% pada tahun
2016, penurunan rasio terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini harus
menjadi perhatian bagi seluruh pihak terkait untuk meningkatkan optimalisasi
PDRD sebagai sumber pendapatan daerah.

Beberapa hal yang menjadi penyebab kurang optimalnya PDRD


adalah: (i) kendala internal, yang meliputi sumber daya manusia yang terbatas,
kurangnya sarana prasarana pemungutan pajak, dan sistem informasi dan
teknologi yang belum merata, (ii) kendala eksternal yang meliputi aturan hukum
pemungutan PDRD yang belum jelas, kurangnya sinergi eksekutif dan legislatif
daerah, dan tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, serta (iii)
terdapat beberapa isu teknis lain pemungutan PDRD seperti Nilai Jual Kena
Pajak yang belum dapat diterapkan optimal di semua daerah, pembatasan
pemungutan PDRD oleh aturan hukum lain (seperti Peraturan Menteri
Kesehatan mengenai pajak reklame rokok dan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral mengenai reservoir migas), serta makin terbatasnya
lahan parkir yang berdampak pada penurunan penerimaan dari pajak parkir.

Dalam rangka meningkatkan optimalisasi pendapatan PDRD serta


mengatasi permasalahan dalam pemungutan PDRD, diusulkan beberapa
rekomendasi kebijakan sebagai berikut: 1) peningkatan kuantitas dan kualitas
aparatur pemungut pajak daerah melalui rekrutmen, pelatihan serta kebijakan
mutasi dan transfer knowledge; 2) peningkatan sarana, prasarana dan
ketersediaan perangkat teknologi informasi yang dapat mendukung proses
bisnis pemungutan PDRD melalui pelaksanaan belanja modal yang efektif dan
monitoring serta evaluasi anggaran secara berkala; 3) peningkatan efisiensi dan
efektifitas penerbitan peraturan daerah (perda) tentang PDRD dengan
memberikan sosialisasi dan pendampingan tata cara penyusunan perda PDRD
yang baik bagi pemerintah daerah; 4) peningkatan sinergi melalui dialog
berkelanjutan antara eksekutif dan legislatif daerah mengenai perhitungan target
PDRD, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi dari Pemerintah Pusat atas
penetapan target tersebut; 5) penyempurnaan aturan hukum pemungutan PDRD
dengan menuangkan penjelasan yang lebih rinci dan mudah dipahami oleh
aparatur pemungut PDRD; serta 6) harmonisasi aturan pemungutan PDRD
dengan aturan hukum lain yang saling bersinggungan. 

Melalui perbaikan kualitas dan kuantitas aparatur pemda, kejelasan


aturan hukum, serta tersedianya sarana prasarana penunjang pemungutan PDRD
yang memadai, diharapkan dapat lebih meningkatkan kemudahan wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban membayar pajak. Dengan demikian diharapkan
dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses pemungutan PDRD
yang pada akhirnya dapat meningkatkan optimalisasi penerimaan PDRD
sebagai sumber pendapatan daerah dan mendorong peningkatan kemandirian
fiskal daerah.
4
2.1.2. prinsip dan kriteria perpajakan daerah

Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan


tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena
hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan
mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi
dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam
Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan
merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut
oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah
yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum
tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah
naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota
kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan
memuaskan bagi si wajib pajak.
4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang
hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada
dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik
bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan


daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya
yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
1. pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
2. relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara
tajam.
3. tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit)
dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

5
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka
pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum,
seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai
pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak
harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak
dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter dan fungsi
regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas
negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan
sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras
dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman
keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor
komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di
dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997)3, beberapa kriteria dan
pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan
kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok
untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi
tanggungjawab Pemerintah Pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu
“mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar
pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke
daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak
terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak
yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk
alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada
daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas
(seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile”
merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat
pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya
jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya
pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).

6
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai
untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil
penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak
terlalu berfluktuasi.
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi
secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi
jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan
komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan
secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan
kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang
manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

2.1.3. ketentuan pungutan pajak dan retribusi daerah

Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah dalam UU No.18 Tahun 1997 selama ini dianggap kurang
memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru.
Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada
daerah namun harus ditetapkan dengan PP. Sehingga pada waktu UU No. 18
Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan
baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu,
pengaturan agar Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus
mendapat pengesahan dari Pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi
daerah. Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun
2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu
PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah.
Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP
No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang
dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota.
Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA);
(iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT
& AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat
memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah
jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait
dengan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya
meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah
Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu.

7
Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi dapat tidak memungut jenis
pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai.
Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang
ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65
Tahun 2001.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi
kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii)
Pajak Restoran;(iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan
Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir.
Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota
diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain
yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan
menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan
kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud adalah :

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi;


2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan;
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak
Pusat;
5. Potensinya memadai;
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
8. Menjaga kelestarian lingkungan.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak


Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih
tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan
adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut
oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.

8
Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang pajak dan
retribusi yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah harus disampaikan kepada
Pemerintah Pusat paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditetapkan. Dalam
hal Perda-perda dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah Pusat melalui
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat
membatalkan perda dimaksud dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sejak
diterimanya peraturan dimaksud. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam
pasal 5A dan pasal 25A UU No 34 Tahun 2000 juncto Pasal 80 ayat (2) PP
No.65 Tahun 2001 dan Pasal17 ayat (2) PP No.66 Tahun 2001. Namun
demikian, walaupun Perda-perda tersebut sudah dibatalkan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung (MA) segera setelah mengajukannya kepada Pemerintah berdasarkan
pasal 114 ayat (4) UU No.22 Tahun 1999.

2.1.4. Peningkatan penerimaan pajak daerah


strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio bisa
ditempuh dengan beberapa cara.
Pertama, memperbaiki administrasi data dengan memanfaatkan
teknologi informasi untuk menciptakan sistem yang terintegrasi. Pemerintah
harus melakukan investasi besar-besaran untuk menciptakan sistem teknologi
informasi perpajakan, sehingga WP yang tidak patuh akan sangat mudah
dideteksi melalui sistem ini.
Kedua, meningkatkan kuantitas dan kualitas petugas pajak.
Khusus untuk peningkatan kualitas, ini harus menjadi fokus awal karena
petugas pajak di lapangan sering dikeluhkan memberikan pelayanan yang
tidak memuaskan atau memberikan penjelasan yang multi-interpretasi.
Contoh yang paling nyata adalah saat program tax amnesty, petugas pajak
memberikan penjelasan yang berbeda-beda tentang nilai wajar dari aset yang
ingin dideklarasikan oleh WP.
Ketiga, memperbaiki law enforcement dan aturan pajak. Namun,
necessary condition yang harus dipenuhi adalah enforcement di internal
petugas pajak sendiri sehingga intergritas mereka terjaga dan dipercaya.
Keempat, memperluas basis pajak, yaitu menambah jumlah orang yang
seharusnya membayar pajak tapi belum membayar pajak dengan benar.
“Artinya, pemerintah fokus pada upaya meningkatkan compliance wajib
pajak, baik yang sudah punya NPWP maupun yang belum punya NPWP.

9
2.1.5. Peran pajak dan retribusi daerah dalam mendukung pembiyaan daerah

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk


peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah
dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan
penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang
merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,
tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat
diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan
ini diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI
bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI4 bahwa banyak permasalahan
yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD,
terutama hal ini disebabkan oleh :
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota
dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun,
melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria
pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak
Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah
dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak
ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver
keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari
segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini
mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih
mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk
memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh
biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat
buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem
“target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih
condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan
ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat
melampaui target yang ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah.

10
Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan
pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari
10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai
kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%5. Variasi dalam penerimaan ini
diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah
penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula,
distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar
daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai
600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat
rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar
dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang
relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya
penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas
dari ‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan
kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-
pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu), seperti : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi
kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah
penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total
penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah) – lihat Tabel-1.
Ketimpangan dalam penguasaaan sumber- sumber penerimaan pajak tersebut
memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu
”sentralistis”.

2.1.6. Optimalisasi pungutan pajak dan retribusi daerah dalam rangka


meningkatkan kemampuan keuangan daerah

Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu


berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah
otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus
seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah
harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat
mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD
perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan.
Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera
dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau
sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan
teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau
11
obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa
harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang
memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi
informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan
karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung
tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan
yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara
parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan
pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya : baik dalam hal data
wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan
target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi
intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat
dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap
potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak
baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek,
memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis
pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu
antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya
tarif retribusi dan peningkatan SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan
pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses
pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi
terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yang diberikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi
administrasi dan menekan biaya pemungutan Tindakan yang dilakukan
oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak
melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi
pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas
6. penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.

12
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu
melalui kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan
yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya
perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem
pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih
tepat dipungut oleh daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada gagasan yang berkembang di
kalangan para pakar internasional, akademisi maupun praktisi di bidang
desentralisasi fiskal, untuk menambahkan taxing power kepada Pemerintah
Daerah. Hal ini dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD dan
APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam
APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di
lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari
consolidated expenditures. Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated
revenues yang hanya 5,30% tersebut menunjukkan betapa sentralistisnya sisi
penerimaan antara Kabupaten/Kota dan Provinsi di satu pihak dan Penerimaan
Dalam Negeri dalam APBN di lain pihak. Sebagai perbandingan yang sama,
masing-masing untuk developing countries, transition countries dan OECD
countries rata-rata sebesar 9,27%, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang
mendukung akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah, dimana
keterbatasan dana transfer dari Pusat untuk membiayai kebutuhan Daerah
idealnya dapat ditutup oleh Daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif
pajak daerahnya. Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing
power Daerah antara lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak Pusat
kepada Daerah (artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif
maupun administrasi pemungutannya), pengalihan sebagian Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing
tax dan piggy backing system. Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan
pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh memungut pajak sampai
dengan besaran tertentu. PBB dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak
Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk
menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas
tertentu atas kedua jenis pajak tersebut, meskipun untuk sementara waktu
administrasinya akan tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/Pasal 29 Orang Pribadi yang
sekarang dibagihasilkan kepada Daerah dapat dialihkan dalam bentuk Opsen
atau piggy back, dimana Daerah seyogyanya diberikan kewenangan
mengenakan opsen sampai dengan batas tertentu dibawah wewenang penuh
Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini sekaligus diharapkan dapat
menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang
berdampak distortif terhadap perekonomian.

13
Tabel
Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemerintah
Daerah Terhadap Konsolidasi APBN dan APBD,

Termasuk Perkiraan Transfer PBB, BPHTB,


dan PPH Untuk Menjadi Pendapatan
Kabupaten/Kota.6

Negara Persentase Terhadap Persentase


Terhadap Total PAD Total Pengeluaran

Negara Berkembang Tahun 1990-an 9,27 13,78


Negara Transisi Tahun 1990-an 16,59 26,12
Negara-negara OECD Tahun 1990-an 19,13 32,41
Republik Indonesia TA 1989/1990 4,69 16,62
Republik Indonesia TA 1994/1995 6,11 22,97
Republik Indonesia TA 2001 5,30 27,78
Republik Indonesia TA 2001 *) 7,96 27,78

Berdasarkan pada perkiraan pengaruh Desentralisasi dari PBB, BPHTB dan PPh.

 Di lain pihak, dilihat dari sisi kewenangan yang menjadi tanggung jawab
Daerah, Indonesia tergolong Negara yang melaksanakan desentralisasi
dengan

 Bank Dunia dan Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Indonesia pada
berbagai tah

14
suatu proses yang “big-bang”. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran
expenditure assignment yang dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an sebesar
16,59% dati Total Consolidated Expenditure (APBD+APBN) meningkat menjadi
27,78% pada tahun 2001.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah


akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber
pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam
upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan
rumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari jumlah PAD yang
dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi
daerah dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh
kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerah.

2.1.7. kebijakan fiscal dan macam nya


 Pengertian kebijakan fiscal

Kebijakan fiskal di Indonesia merujuk pada kebijakan pemerintah


yang ditujukan untuk mengarahkan ekonomi suatu negara lewat pengeluaran
serta pendapatan pemerintah. Lantas, dari sinilah muncul pertanyaan mengenai
perbedaan kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter. Lalu, Apa pengertian
kebijakan fiskal dan tujuannya?

Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh


pihak pemerintah guna mengelola dan mengarahkan kondisi perekonomian ke
arah yang lebih baik atau yang diinginkan dengan cara mengubah atau
memperbarui penerimaan dan pengeluaran pemerintah, saalah satu hal yang
ditonjolkan dari kebijakan fiskal ini adalah pengendalian pengeluaran dan
penerimaan pemerintah atau negara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiskal berkaitan


dengan urusan pajak atau pendapatan negara.Kata fiskal sendiri berasal dari
Bahasa Latin, fiscus yaitu nama seorang pemegang kuasa atas keuangan pertama
pada zaman Romawi kuno. Secara harfiah berarti keranjang atau tas. Adapun
kata fisc dalam bahasa Inggris berarti pembendaharaan atau pengaturan keluar
masuknya uang dalam kerajaan. Fiskal digunakan untuk menjelaskan bentuk
pendapatan Negara atau kerajaan yang dikumpulkan dari masyarakat dan oleh
pemerintahan Negara atau kerajaan dianggap sebagai pendapatan lalu digunakan
sebagai pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian
terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan pula
sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian.

15
 Macam-macam kebijakan fiskal

Kebijakan fiskal dibagi menjadi 2 (dua) yaitu menurut segi teori dan menurut
jumlah penerimaan dan pengeluaran.

a) Berdasarkan Teori

Kebijakan fiskal dari segi teori adalah bagaimana kebijakan itu dilihat secara
non-praktis. Adapun macam-macam kebijakan fiskal dari segi teori adalah:

1) Kebijakan Fungsional

Merupakan kebijakan untuk pertimbangan pengeluaran anggaran dan


penambahan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah karena
akibat tidak langsung dari pendapatan nasional.

2) Kebijakan Disengaja

Merupakan kebijakan fiskal yang dimaksudkan untuk mengatasi


masalah-masalah ekonomi yang sedang dihadapi dengan cara
memanipulasi anggaran belanja secara sengaja, baik melalui perubahan
perpajakan maupun perubahan pengeluaran pemerintah. Ada tiga bentuk
dari macam kebijakan fiskal ini, yaitu:

 Membuat perubahan pada pengeluaran pemerintah

 Membuat perubahan pada sistem pemungutan pajak

 Membuat perubahan secara serentak baik pada pengelolaan


peerintah maupun sistem pemungutan pajak

3) Kebijakan Tak Disengaja


Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengendalikan kecepatan siklus bisnis
supaya tidak terlalu fluktuatif. Dalam kondisi depresi, kebijakan ini
dimaksudkan untuk menambah aktivitas kegiatan ekonomi yang terjadi.
Sedangkan dalam keadaan inflasi, kebijakan ini akan mengurangi
aktivitas tersebut. Jenis penstabil otomatis atau kebijakan fiskal tak
disengaja yaitu pajak proporsional, pajak progresif, kebijakan harga
minimum, asuransi pengangguran.

16
b) Berdasarkan Jumlah Penerimaan & Pengeluaran

1) Kebijakan Fiskal Seimbang

Kebijakan fiskal seimbang merupakan kebijakan yang membuat antara


penerimaan dan pengeluaran menjadi sama jumlahnya. Salah satu
kelebihan dari  kebijakan fiskal seimbang yaitu Negara tidak perlu
meminjam dana dari pihak dalam Negeri atau luar Negeri. Sedangkan
kelemahannya, kondisi perekonomian akan menjadi terpuruk apabila
keadaan perekonomian negara dalam kondisi tidak menguntungkan.

2) Kebijakan Fiskal Surplus

Kebijakan fiskal surplus merupakan  kebijakan yang mana jumlah


pendapatan harus sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
pengeluaran. Kebijakan fiskal ini merupakan cara untuk menghindari
inflasi.

3) Kebijakan Fiskal Defisit

Kebijakan fiskal defisit yaitu kebijakan yang berlawanan dengan


kebijakan surplus. Berarti jumlah pendapatan lebih rendah dari jumlah
pengeluaran. Beberapa kelebihan dari kebijakan fiskal ini adalah bisa
mengatasi kelesuan dan depresi pertumbuhan perekonomian. Sedangkan
untuk kekurangannya adalah anggaran negara selalu dalam keadaan
kekurangan.

4) Kebijakan Fiskal Dinamis

Kebijakan fiskal dinamis merupakan suatu kebijakan yang mirip dengan


kebijakan fiskal seimbang namun dengan ditambah improvisasi yaitu
sama besar jumlahnya tetapi seiringnya waktu kedua-duanya akan
bertambah besarnya. Kegunaan dari kebijakan ini adalah menyediakan
pendapatan yang bisa untuk memenuhi kebutuhan pemerintah yang
bertambah seiring berjalannya waktu.

17
2.1.8. tujuan kebijakan fiscal

Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan fiskal adalah untuk


menentukan arah, tujuan, sasaran, dan prioritas pembangunan nasional serta
pertumbuhan perekonomian bangsa. Adapun tujuan-tujuan dikeluarkannya
kebijakan fiskal secara rinci adalah sebagai berikut.

 Mencapai kestabilan perekonomian nasional.


 Memacu pertumbuhan ekonomi.
 Mendorong laju investasi.
 Membuka kesempatan kerja yang luas.
 Mewujudkan keadilan sosial.
 Sebagai wujud pemerataan dan pendistribusian pendapatan.
 Mengurangi pengangguran.
 Menjaga stabilitas harga barang dan jasa agar terhindar dari inflasi.

2.1.9. Kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah seperangkat kebijakan ekonomi


yang mengatur ukuran dan tingkat pertumbuhan pasokan uang dalam suatu
perekonomian negara. Ini adalah tindakan terukur untuk mengatur variabel
makroekonomi seperti inflasi dan pengangguran.

Kebijakan moneter dilaksanakan melalui cara, termasuk


penyesuaian suku bunga, pembelian atau penjualan sekuritas pemerintah, dan
mengubah jumlah uang tunai yang beredar dalam pasar.

Bank sentral atau badan negara pengatur yang bertanggung


jawab atas hal ini yang berhak merumuskan kebijakan ini. Untuk di Indonesia
sendiri kebijakan moneter diatur tunggal oleh Bank sentral yaitu Bank Indonesia

18
1. Tujuan Kebijakan Moneter
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah manajemen inflasi atau pengangguran,
dan pemeliharaan nilai tukar mata uang. berikut adalah penjelasan lebih
lengkapnya:
1. Inflasi
Kebijakan moneter dapat menargetkan tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang
rendah dianggap sehat bagi perekonomian sebuah negara. Namun, jika
inflasi sudah sangat tinggi, kebijakan moneter diharapkan dapat mengatasi
masalah ini.
2. Pengangguran
Kebijakan moneter akan mempengaruhi tingkat pengangguran dalam
suatu negara. Sebagai contoh, kebijakan  ekspansif umumnya mengurangi
pengangguran karena pasokan uang yang lebih tinggi merangsang
kegiatan bisnis yang mengarah pada perluasan pasar kerja.
3. Nilai tukar mata uang
Dengan menggunakan otoritas fiskal, bank sentral dapat mengatur nilai
tukar antara mata uang domestik dan asing. Sebagai contoh, bank
Indonesia dapat meningkatkan jumlah uang beredar dengan mengeluarkan
lebih banyak uang cetak. Dalam kasus seperti itu, mata uang negara
tersebut menjadi lebih murah dibandingkan dengan mata uang negara
lain.
2. Instrumen Kebijakan Moneter
Bank-bank sentral menggunakan berbagai instrumen untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut. instrument yang banyak digunakan
meliputi:
1. Penyesuaian tingkat suku bunga
Bank sentral dapat mempengaruhi suku bunga dengan mengubah tingkat
diskonto. Tingkat diskonto (tarif dasar) adalah suku bunga yang
dikenakan oleh bank sentral kepada bank untuk pinjaman jangka pendek.
Sebagai contoh, jika bank sentral meningkatkan tingkat diskonto, biaya
pinjaman untuk bank meningkat.
Selanjutnya, bank akan meningkatkan suku bunga yang mereka tetapkan
kepada pelanggan mereka. Dengan demikian, biaya pinjaman dalam
perekonomian akan meningkat, dan jumlah uang beredar akan berkurang.

19
2. Penyesuaian Giro Wajib Minimum (GWM)
Bank sentral biasanya mengatur jumlah giro wajib minimum yang harus
dipegang oleh bank komersial. Giro Wajib Minimum (GWM) sendiri
adalah simpanan minimum yang wajib diperlihara dalam bentuk giro pada
Bank Indonesia bagi semua bank.
Dengan mengubah jumlah yang diperlukan, bank sentral dapat
mempengaruhi jumlah uang beredar di pasar. Jika bank sentral
meningkatkan giro wajib minimum, bank komersial hanya akan
menyediakan sedikit uang tunai untuk diberikan kepada pelanggan dan
dengan demikian, suplai uang menurun.
3. Operasi pasar terbuka
Bank sentral dapat membeli atau menjual surat berharga yang diterbitkan
oleh pemerintah untuk mempengaruhi jumlah uang beredar. Misalnya,
bank sentral dapat membeli obligasi pemerintah . Akibatnya, bank akan
memperoleh lebih banyak uang untuk meningkatkan pinjaman dan uang
beredar dalam pasar.
3. Jenis Kebijakan Moneter
Berdasarkan tujuannya, ada 2 kebijakan moneter yang biasa dipakai banyak
negara, yaitu kebijakan ekspansi dan kebijakan kontraktif. Berikut adalah
penjelasan dari 2 jenis kebijakan tersebut :
1. Kebijakan Ekspansif
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pasokan uang dalam
perekonomian dengan menurunkan suku bunga, membeli sekuritas
pemerintah oleh bank-bank sentral, dan menurunkan persyaratan cadangan
untuk bank.
Bersamaan dengan itu, kebijakan ekspansif juga akan menurunkan tingkat
pengangguran dan merangsang aktivitas bisnis dan kegiatan belanja
konsumen. Tujuan keseluruhan dari kebijakan moneter ekspansif adalah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun resikonya, kebijakan ini
dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi.
2. Kebijakan Kontraktif
Tujuan dari kebijakan moneter kontraktif adalah untuk mengurangi jumlah
uang beredar dalam perekonomian. Ini dapat dicapai dengan menaikkan
suku bunga, menjual obligasi pemerintah, dan meningkatkan persyaratan
cadangan untuk bank. Kebijakan kontraksi digunakan ketika pemerintah
ingin mengendalikan tingkat inflasi.

20

Anda mungkin juga menyukai