Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pemberlakukan Sistem Otonomi Daerah Kabupaten Bandung

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan
pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan
(unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Dengan demikian, adanya daerah
yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, haruslah diletakkan dalam bingkai pemahaman negara yang berbentuk
kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas. Otonomi merupakan hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga secara sendiri tanpa adanya campur tangan
maupun intervensi pihak lain.

Otonomi memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah


dalam mengatur daerahnya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan bisa
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan, dan
mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah, dimana sebelumnya
pembangunan yang dirasakan masyarakat masih bersifat sentralistik. Karenanya,
keberhasilan pelaksanaan otonomi tidak terlepas dari kemampuan keuangan yang
dimiliki suatu pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, memberikan kewenangan atau
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara
proposional. Implementasi dari UU tersebut di atas diwujudkan dalam pemanfaatan
seluruh sumber daya yang ada di daerah dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat.

Adapun tujuan dari pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi


daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan
sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah. Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2014
pasal 1 ayat (6) Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan
dengan hal tersebut peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil atau
tidaknya untuk menciptakan kemandirian daerah yang selama ini selalu didambakan
seluruh lapisan masyarakat. Sehingga otonomi daerah diharapkan bisa menjadi cara
terbaik dalam mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan antar
daerah dibandingkan dengan sistem pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak
dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin besarnya
ketimpangan antar daerah. Berkaitan dengan uraian diatas, Halim (2004:187)
menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi
yaitu:

(1). Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.

(2). Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan
asli daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung
oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah
daerah menjadi lebih besar.

Dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dan peningkatan pelayanan kepada


masyarakat serta melaksanakan pembangunan daerah, maka daerah membutuhkan
sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai. Sumber Pendapatan daerah terdiri
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah,
mempunyai peranan penting dalam pembangunan daerah yang serasi dan terpadu
disertai perencanaan pembangunan yang baik, efisien dan efektif maka akan tercipta
kemandirian daerah dan kemajuan yang merata diseluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah daerah
diperkenankan untuk melakukan pemungutan pajak di daerah. Pemungutan pajak
daerah di suatu daerah disesuaikan dengan potensi dan kebijakan daerah yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Dengan demikian,perlu dilakukan
usaha–usaha untuk meningkatkan penerimaan dari sumber–sumber penerimaan
daerah. Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berlaku, memberikan dampak
yang sangat luas terhadap perkembangan pemerintahan di daerah. Otonomi yang
diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Semakin tinggi kewenangan keuangan yang dimiliki daerah, maka semakin tinggi
peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur keuangan daerah.

Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang


idealnya sumber penerimaan utama daerah adalah berasal dari PAD. Perkembangan
target maupun realisasi PAD menunjukkan perbedaan yang tinggi pada
pertumbuhannya, yang berarti tingkat kepastiannya masih rendah. Kondisi ini
mungkin terjadi, mungkin disebabkan oleh belum optimalnya strategi dan kebijakan
Pemerintah Pusat, karena memang sumber pendapatan daerah diperoleh dari pajak
daerah yang rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Oleh karena itu dengan
pertimbangan bahwa pajak daerah saat ini masih menjadi sumber utama pendapatan
asli daerah dan bersifat closed list serta pertumbuhannya memiliki keterbatasan
(terbatasi oleh ketersediaan ruang dan sarana prasarana), maka perlu segera mencari
terobosan untuk mendapatkan sumber pendapatan lain yang prospektif
Salah satu upaya Pemerintah Kabupaten/Kota Bandung dalam upaya
meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya adalah melalui pajak daerah. Sumber
penerimaan pajak daerah di Kabupaten Bandung yang berasal dari pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan
logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, dan BPHTB. Terwujudnya otonomi
daerah terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/ kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi desentralisasi
memerlukan kemampuan daerah membiayai pelaksanaan kekuasaan/ kewenangan
yang dimilikinya. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber
pembiayaan yang disebut PAD (Pendapatan Asli Daerah), dimana komponen
utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi
daerah. Terdapat banyak instrumen yang dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah
untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dibebankan kepada pemda akibat
didelegasikannya proses pemerintahan.
Seluruh jenis pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah serta seluruh
jenis pembiayaan daerah yang dilakukannya dalam menjalankan tugas pemerintahan
dan program pembangunan secara jelas tercantum dalam suatu anggaran pendapatan
dan belanja daerah. Secara garis besar, sumber pendapatan ini dapat diklasifikasikan
ke dalam dua kategori sumber pembiayaan. Kategori pertama adalah pendapatan yang
diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber di luar pemerintah daerah (external
source). Kategori kedua adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari
sumber-sumber yang dikelola pemerintah daerah itu sendiri (local source). Kategori
pendapatan yang kedua ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri
pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah
yurisdiksinya.
Pajak daerah, sebagai salah satu komponen local source, merupakan pajak
yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah
yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh
pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya. Retribusi
daerah, komponen lainnya local source, juga merupakan penerimaan yang diterima
oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan tertentu kepada penduduk
mendiami wilayah yurisdiksinya. Perbedaan yang tegas antara pajak daerah dan
retribusi daerah terletak pada kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Jika pada pajak daerah kontraprestasi tidak diberikan secara langsung, maka pada
retribusi daerah kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada
penduduk yang membayar retribusi tersebut. Baik pajak daerah maupun retribusi
daerah, keduanya diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
dan disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang
berada di dalam struktur pemerintah daerah yang bersangkutan. Jenis-jenis pajak dan
retribusi yang dipungut di daerah sangat beragam. Untuk Daerah Kabupaten/Kota,
pajak daerah yang dipungut berjumlah 11 buah antara lain Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung
Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta yang terakhir Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Faktanya di lapangan, belum semua kota/
kabupaten/ provinsi baru ini disertai kemampuan pengeloaan keuangan daerah
mumpuni. Belum banyak yang benar-benar bisa optimalkan potensi pendapatan di
wilayahnya. Alih-alih ingin berdikari dalam mengelola keuangan, faktanya tetap
masih banyak yang bergantung kucuran dana dari pemerintah pusat. Padahal, seperti
pernah diungkapkan dalam riset World Bank, jika sebuah DOB tidak punya
pendapatan asli daerah 20% dari total APBD, maka sebenarnya otonomi daerah akan
sulit dijalankan. Minimal 20% pendapatan asli daerah harus ada di tangan, barulah
DOB bisa efektif berjalan. Oleh karena itu, akan menjadi titik yang baik manakala
otonomi daerah mampu melihat seberapa besar kontribusi pajak dan retribusi terhadap
wilayahnya. Apakah memang sudah benar-benar mampu menopang (sedikitnya 20%),
atau masih jauh dari kebutuhan sesungguhnya.

SUMBER:
Udang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah daerah tentang pemungutan pajak di
daerah
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang retribusi daerah
Otonomi VS Federal, PT Remaja Bandung : Rosdakarya
Krisna D. Darumurti, SH (dkk). (2003). Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan
Pelaksanaan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Agustino, Leo. (2006). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Halim, A. (penyunting). 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi.
Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
bapenda.jabarprov.go.id

Anda mungkin juga menyukai