Anda di halaman 1dari 7

WeBAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterkaitan yang erat antara kegiatan pemerintahan dengan sumber pembiayaan pada
hakikatnya memberikan petunjuk bahwa pengaturan hubungan keuangan Pusat dan
Daerah tidak terlepas dari masalah pembagian tugas antara Pemerintahan Pusat dan
Daerah. Masalah hubungan keuangan antara Pusat dengan Daerah dapat dipecahkan
dengan sebaik-baiknya hanya apabila masalah dalam pembagian tugas dan kewenangan
antara Pusat dan Daerah juga dipecahkan dengan jelas. Pemerintah daerah sudah tentu
harus memiliki kewenangan membelanjakan sumber-sumber daya keuangannya agar
dapat menjalankan fungsi-fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Keadaan keuangan
daerah yang sangat menentukan arah pemerintahan suatu daerah. Sehubungan dengan
pentingnya kedudukan dari keuangan daerah ini maka pemerintah daerah tidak akan bisa
menjalankan fungsinya secara efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan dan pembangunan. Keuangan merupakan salah satu dasar kriteria
untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya
sendiri (Kaho 2010). Tanpa adanya biaya yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin
bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada
padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi juga ciri pokok dan
mendasar dari suatu daerah otonom akan hilang. Otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU
ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta
pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan
pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi
pembangunan daerah.Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia saat era Reformasi
secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut diawali dengan pengesahan
Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (PKPD). Hingga kini, kedua regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali
revisi hingga yang terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Awalnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia
ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai konsekuensinya,
daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal serta keagamaan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Desentralisasi Fiskal


Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN
yang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan
fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap
aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal
diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang
sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah otonom (Sun’an dan Senuk 2017).
Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia. Sama halnya seperti otonomi daerah, desentralisasi fiskal juga pada dasarnya
memiliki tujuan untuk meningkatkan potensi daerah, dalam hal ini adalah dari segi fiskal.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam provinsi- provinsi kemudian dibagi
lagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan sendiri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya dengan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan.
Desentralisasi fiskal sampai sejauh ini sudah memberikan dampak yang positif terhadap
otonomi daerah di Indonesia, namun belum diatur secara khusus dalam undang-undang.
Instrumen-instrumen hukum yang ada dalam mengatur desentralisasi fiskal kini berguna
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi daerah, membangun kegiatan perekonomian
daerah dan menjadi landasan dalam membuat peraturan perundang- undangan mengenai
desentralisasi fiskal di masa yang akan datang. Kebijakan desentralisasi fiskal memberi
kesempatan kepada Pemerintah Daerah agar dapat memanfaatkan potensi ekonomi
daerahnya sendiri untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Pemerintah Daerah dapat
merumuskan peraturan daerah mengenai desentralisasi fiskal di daerahnya berdasarkan
hal- hal tersebut agar pengambilan keputusan lebih didengarkan oleh masyarakat karena
sesuai dengan karakter dan potensi daerah.
Karena itu, hubungan antara ketimpangan dan tuntutan otonomi kompleks dan
bergantung pada karakteristik daerah (Sambanis & Milanovic, 2014). Pemerintah Daerah
juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk pengaturan mengenai
desentralisasi fiskal di tingkat yang lebih tinggi yaitu undang-undang. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal di samping itu juga memberikan dampak positif juga memungkinkan
tindak korupsi karena memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola
keuntungan potensi daerahnya.

B. Permasalahan Desentralisasi Fiskal


Untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab
bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Butuh waktu dan proses yang cukup
panjang. Demikian pula dengan  Indonesia yang baru memulai tahap awal pelaksanaan
otonomi daerah, pasti akan menjumpai banyak hal yang belum sesuai, belum baik dan
juga belum sempurna. Masalah-masalah yang mungkin muncul berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi fiskal, adalah :
1. Ketidaksesuaian (missmatch) pembiayaan, yaitu kesenjangan antara kebutuhan
dan ketersediaan dana, terutama yang disebabkan oleh belum jelasnya pemisahan
kewenangan pusat, propinsi, dan kabupaten/kota.
2. Evaluasi pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah.
3. Penerapan dan penetapan standar minimum bagi pelaksanaan setiap pelayanan
masyarakat pada masing-masing bidang atau sektor pemerintah.
4. Penyelesaian aset pemerintah dari pusat ke daerah.
5. Perkiraan biaya dari setiap penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat,
dan pembangunan.

Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah adanya suara-suara kekhawatiran


para donor internasional atas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan masalah pinjaman luar negeri oleh daerah. Pengalaman empirik dunia
internasional menunjukkan dampak-dampak negatif bagi negara-negara yang telah
memberikan peluang kepada daerah untuk langsung meminjam ke luar negeri. Potensi
ekonomi daerah akan sangat menentukan usaha peningkatan kemampuan keuangan
daerah dalam penyelenggaraan rumah tangganya. Pada kenyataannya yang terjadi,
seringkali beban tugas yang harus dikerjakan oleh daerah tidak seimbang dengan situasi
dan kondisi keuangan daerah itu sendiri. Dengan demikian daerah harus dapat
menciptakan kebijakan dan program yang dapat mengembangkan potensi dan
meningkatkan kemampuan keuangan daerah sehingga otonomi daerah dapat berjalan
dengan baik

C. Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah


Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan alat utama dalam
pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah,
dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Bagian daerah pada
dasamya merupakan salah satu komponen dana perimbangan yang mendasarkan
perhitungan perimbangan keuangan berdasarkan potensi daerah penghasil.
Dana alokasi umum (DAU) adalah salah satu komponen dana perimbangan yang
pendistribusiannya didasarkan pada suatu rumus yang mempunyai tujuan pemerataan
dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan daerah. Ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan DAU yaitu:
1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri (netto)
yaitu penerimaan dalarn negeri setelah dikurangi dengan bagian daerah dan dana
rebaoisasi untuk daerah.
2. Formula atau rumus DAU ditetapkan dalam PP nomor 104 tahun 2000 tentang
dana perimbangan, sebagai berikut:

D. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Desentrallisasi


Untuk mensukseskannya otonomi daerah, peran serta kontribusi masyarakat dan
dunia usaha sebagai mitra pemerintah tentu sangat diperlukan. Keduanya mempunyai
kekuatan yang cukup siginifikan untuk dapat saling mempengaruhi dalam berbagai aspek
kehidupan. Di sisi lain perlu disadari pula bahwa sebagian penerimaan daerah juga untuk
pembiayaan pembangunan daerah, yang pada gilirannya juga merupakan pembangunan
untuk kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah merupakan siklus partisipasi
dari, oleh, dan untuk kita semua.
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat bergantung pada desain,
proses implementasi, dukungan politis yang diberikan, kesiapan administrasi
pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme
koordinasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor
publik. Agar desentralisasi dapat berjalan dengan baik, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi yaitu :
1. Kesatuan nasional telah mencapai tingkat yang tinggi. Sebab apabila tidak, maka
akan mengakibatkan disintegrasi bangsa yang merugikan.
2. Tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis disesuaikan dengan pengembangan
institusi, sistem, prosedur, dan mekanisme koordinasi di lingkup pemerintahan serta
pengembangan sumber daya manusia.
3. Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan pengalihan pembiayaan, sarana
dan prasarana sumber daya manusia dan dokumen.
4. Desain dan kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan
keuangan dan kewenangan fiskal yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat
yang diwakili oleh DPRD dalam penyediaan barang publik diharapkan mampu
didukung oleh partisipasi masyarakat dalam menanggung biaya atas penyediaan
barang publik tersebut.
5. Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang trasnparan tentang beban yang harus
mereka tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut
terutama melalui sosialisasi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi
peningkatan kebutuhan barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
6. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam
penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak-
kehendak masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputusan
pada tingkat pemerintahan daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu peraturan
daerah tentang penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya.
7. Adanya sistem jaminan akuntasi publik, transparasi dan tersedianya informasi
keuangan dan pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan
masyarakat untuk memantau kinerja aparat pemerintah daerah, dan memberikan
kesempatan pada masyarakat untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja
pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lingkungan ini
memungkinkan aparat daerah maupun DPRD dituntut untuk responsif terhadap
aspirasi masyarakatnya.
8. Instrumen desentralisasi terutama yang menyangkut aspek ketentuan perundangan,
kelembagaan struktur pelayanan kelembagaan yang menjadi tugas pemerintah daerah,
mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan harus di desain sedemikian rupa
sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis dari masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai