Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

LEMBAGA PENGAWASAN DAN ASPEK PENYELESAIAN SENGKETA DALAM


BISNIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Hukum, Regulasi dan Issue Bisnis Syariah

Dosen Pengampu: Hamdan Permana, M.H

Disusun Oleh:

1. Mauliandini Mufidah (1908204002)


2. Muhammad Arman Maulana (1908204093)
3. Fitri Milenia (1908204109)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH/6C


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkata bantuan dan tuntunan Allah
SWT. Dan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami
menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam
pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Cirebon, 15 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4
C. Tujuan Makalah ................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 5
A. Tinjauan Teoritis Mengenai Otoritas Jasa Keuangan.................................................... 5
B. Tinjauan Teoritis Mengenai Dewan Pengawas Syariah ................................................. 6
C. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi............................................................................. 7
D. Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi .................................................................... 8
E. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase Syariah ................................................................. 13
F. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama ............................................................... 18
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia denganjumlah
penduduk kurang lebih 87,2% (Delapan Puluh Tujuh Koma Dua Persen). Sistem kapitalis dan
sosialis menjadi tidak bisa dielakkan lagi, menerapkan system ekonomi alternatif tersebut terwujud
dalam sistem perekonomian yang menggunakan peraturan agama sebagai landasan hukumnya.

Sistem perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil terutama setelah


diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, karena Undang-
Undang Perbankan yang lama memang sudah sangat tidak memadai lagi menampung
permasalahan dan kompleksitas yang timbul dari industri perbankan sejalan dengan pesatnya
perkembangan sektor perekonomian khususnya perbankan, yang mengikuti tuntutan kebutuhan
masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan. Disamping itu,dari sisi pelaksanaan kebijakan moneter
dan perbankan, agar dapat lebih efektif maka undang-undang perbankan dituntut untuk selalu
akomodatif. Di Indonesia dikenal dua sistem perbankan, yaitu perbankan konvensional dan
perbankan syariah. Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi
landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan
secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dan
nasabahnya.

Dalam perkembangannya untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga keuangan


salah satunya adalah lembaga keuangan syariah. Maka dibentuklah lembaga pengawasan di bidang
Pasar Modal Indonesia dan Lembaga Keuangan non bank lainnya menggantikan Bapepam dan
Lembaga Keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tepatnya pada tahun 2013. Selanjutnya
pada bulan Januari tahun 2014 Otoritas Jasa Keuangan secara resmi menjadi otoritas tunggal
pengawas sektor keuangan dengan latar belakang yuridis dibentuknya Undang-Undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mana diamanatkan dalam salah satu pasalnya yaitu pada Pasal
34 Undang-Undang Bank Indonesia yang menyatakan dibentuknya lembaga pengawas sektor jasa
keuangan independen yang mencakup pengawasan perbankan,pasar modal, industri keuangan non
bank serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Selain
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ternyata dalam pengawasan dibidang perbankan
khususnya dalam perbankan syariah secara umum yang pelaksaannya berprinsip pada ketentuan
Islam (Rulanda, Zaini, and Safitri 2020). Salah satu perbedaan yang mendasar antara struktur
organisasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan lembaga keuangan konvensioanal adalah
adanya keharusan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada lembaga keuangan syariah (Faozan
2014). Berdasarkan latar bekang yang sudah dijelaskan untuk melihat bagaimana pengawasan
perbankan syariah antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
penyusun tertarik untuk mengkaji dan membahas lebih lanjut tentang “Lembaga Pengawasan Dan
Aspek Penyelesaian Sengketa Dalam Bisnis.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-
masalah yang akan dibahas penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan teoritis mengenai otoritas jasa keuangan?


2. Bagaimana tinjauan teoritis mengenai dewan pengawas syariah?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa secara non litigasi [extraordinary court]?
4. Bagaimana penyelesaian sengketa secara litigasi [ordinary court]?
5. Bagaimana penyelesaian sengketa di arbitrase syariah?
6. Bagaimana penyelesaian sengketa di pengadilan agama?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui tinjauan teoritis mengenai otoritas jasa keuangan.
2. Untuk mengetahui tinjauan teoritis dewan pengawas syariah.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa secara non litigasi [extraordinary court].
4. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa secara litigasi [ordinary court].
5. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa di arbitrase syariah.
6. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa di pengadilan agama.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Teoritis Mengenai Otoritas Jasa Keuangan


1. Pengertian OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Secara lebih
lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 tersebut. Tugas
pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara resmi beralih dari
Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan
pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga
Keuangan Mikro pada 2015. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu
lembaga pengawas sector keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus
dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.
2. Fungsi, tugas dan wewenang OJK
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Sementara berdasarkan pasal 6
dari UU No 21 Tahun 2011, tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap (i) kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; (ii) kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal; (iii) kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan,& Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Adapun wewenang yang
dimiliki OJK terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang
meliputi: Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi
bank, serta pencabutan izin usaha bank;
- Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan
aktivitas di bidang jasa;
- Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank; laporan bank
yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit
(credit testing); dan standar akuntansi bank;
Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen
risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; dan pencegahan

5
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; serta pemeriksaan bank (Otoritas Jasa
Keuangan n.d.).
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan memperkuat posisi OJK sebagai
satu satunya lembaga yang melakukan pengaturan dan pengawasan dalam bidang jasa dan
keuangan, dengan jelas menerapkan model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi
(integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional
yang dilakukan sebelumnya oleh Bank Indonesia dan institusi keuangan lainnya di Indonesia.
Dengan diberlakukannya undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini, seluruh fungsi pengaturan
dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di Bank indonesia dan
Bapepam-LK akan menyatu ke dalam Otoritas Jasa Keuangan (Hasan 2012). Oleh karena itu,
dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif
dalam penanganan masalah-masalah yang timbul pada sistem keuangan. Dengan demikian
diharapkan dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan adanya pengaturan
dan pengawasan yang lebih terintegrasi (CLAUDYA 2016).
Pengawasan yang dilakukan OJK berbeda dari pengawasan yang dilakukan oleh DPS, jika
DPS mengawasi secara internal perbankan agar kegiatan management bank yang diawasi
senantiasi mengikuti prinsip syariah. Pengawasan OJK mengedepankan pengawasan terhadap
kepatuhan terhadap peraturan per undang-undangan dan manajemen resiko dari bank yang
diawasi. Pengawasam yang dilakukan OJK tidak berbeda antara bank konvensional maupun
bank syariah, karena melakukan pengawasan manajemen resiko dari bank yang diawasi.
Pengawasan yang dilakukan OJK tidak berbeda antara bank konvensional maupun bank
syariah, karena melakukan pengawasan terhadap kesehatan dan likuiditas bank (Sadhila and
Adnan 2017).

B.Tinjauan Teoritis Mengenai Dewan Pengawas Syariah


1. Pengertian Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Pada umumnya Bank Syariah memiliki struktur organisasi yang sama dengan Bank
Konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Namun, terdapat unsur yang
membedakan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional, yakni keharusan adanya Dewan
Pengawas Syariah. Pengertian DPS menurut Abu Moamer adalah lembaga yang digunakan
untuk memastikan bahwa bank syari’ah bekerja dalam batas-batas hukum Islam, mengetahui
kerangka dan batasan syari’ah, dan menginvestasikan atau meningkatkan kapasitas di dalam
batas-batas ini.” Sementara itu, AAOIFI Governance Standard (Organisasi Akuntansi dan Audit
Untuk Institusi Keuangan Syari’ah) mendefinisikan DPS sebagai lembaga independen yang
terdiri dari ahli fiqh muamalah. Namun DPS bisa memasukkan anggota selain ahli fiqh
muamalah, tapi ia harus ahli dalam bidang IFI (Islamic Financial Institution) dan memiliki
pengetahuan tentang fiqh muamalah. DPS dipercaya untuk memastikan agar bank syari’ah
patuh pada aturan dan prinsip Islam. Dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syari’ah diatur mengenai Penetapan Dewan Pengawas Syari’ah sebagai pihak terafiliasi seperti
halnya akuntan publik, konsultan dan penilai. Tujuan dibentuknya DPS adalah untuk
mengawasi aktivitas operasional bank dan lembaga keuangan syari’ah lainnya agar sesuai

6
dengan garis-garis syari’ah. Untuk itulah DPS bertugas mengawasi operasional bank agar
sesuai dengan ketentuan syari’ah (Nurhasanah 2011).
2. Peran DPS Pada LKS
Untuk lebih mengefektifkan peran Dewan Syarian Nasional (DSN), pada Lembaga Keuangan
Syari'ah (LKS), dibentuk Dewan Pengawas Syari'ah (DPS), sebagai perwakilan DSN pada
lembaga keuangan Syari'ah yang bersangkutan. DPS pada dasarnya merupakan perpajangan
tangan DSN dalam merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan oleh DSN. DPS berperan
sebagai pengawas dari lembaga-lembaga keuangan syariah, yaitu bank syariah, asuransi syariah,
pasar modal syariah, dan lain-lain, agar semua lembaga tersebut bejalan sesuai dengan tuntutan
syariat Islam. Pengawasan selain pada aspek produk-produk keuangan syariah, juga meliputi
manajemen dan administrasi lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah. Di sisi lain,
DPS adalah bagian dari lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, yang penempatannya atas
persetujuan DSN. Peran DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar
sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Sedangkan, fungsi
utamanya adalah pertama, sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit
usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah; dan kedua, sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan
syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN (CLAUDYA 2016)

C. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi


Proses penyelesaian sengketa oleh para pihak yang bersengketa dapat dilakukan melalui jalur
litigasi atau lembaga peradilan negara. Hal ini berarti sengketa tersebut akan diperiksa oleh hakim
pengadilan dalam suatu rangkaian persidangan. Penyelenggaraan peradilan dilaksanakan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Kelebihan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang pasti,bersifat final, menciptakan kepastian hukum dengan
posisi para pihak menang atau kalah (win and lose position), dan dapatdipaksakan pelaksanaan
putusannya apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan (eksekusi).
Oleh Sudikno Mertokusumon dikatakan bahwa putusan pengadilan mempunyai tiga macam
kekuatan yang merupakan keistimewaan penyelesaian sengketa secara litigasi, yakni putusan
pengadilan mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau
kekuatan untuk dilaksanakan.

7
1. Kekuatan Mengikat

Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat, artinyaputusan hakim itu mengikat para
pihak yang berperkara danyang terlibat dalam perkara itu. Para pihak harus tunduk
danmenghormati putusan hakim tersebut. Putusan hakim yang telahmemperoleh kekuatan
hukum tetap tidak dapat diubah,sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi kecuali
denganupaya hukum yang luar biasa (peninjauan kembali/request civil).Terikatnya para pihak
pada putusan hakim itu, baikdalam arti positif maupun negatif. Mengikat dalam arti
positif,yakni apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate
habetur). Mengikat dalam arti negatif, yakni hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang
pernahdiputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenaipokok perkara yang sama
(nebis in idem).

2. Kekuatan Pembuktian

Putusan hakim mempunyai kekuatan pembuktian,artinya dengan putusan hakim itu telah
diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu. Dituangkannya
putusan hakim dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang mungkin diperlukan untuk
mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali atau upaya hukum lainnya, dan untuk
pelaksanaan putusan.

3. Kekuatan eksekutorial

Putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya bahwa suatu putusan


dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau perkara dan menetapkan hak atau
hukumnya saja, melainkan juga realisasi pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.
Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan hakim belum cukup dan tidak akan berarti apabila
putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan.Oleh karena putusan itu menetapkan
dengan tegas hak dan hukumnya untuk kemudian direalisasikan, maka putusan hakim
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan
dalam putusan hakim itu secara paksa oleh alat-alat negara.

D. Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi


Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan) bukanlah merupakan satu-satuya
cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Selain
litigasi, terdapat penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi), yaitu penyelesaian
sengketa melalui negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Selain itu terdapat
pula bentuk penyelesaian sengketa yang sangat akrab diaktualisasikan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, yakni penyelesaian sengketa secara damai oleh kepala desa. Penyelesaian
sengketa dengan cara ini pada dasarnya dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa karena
prosesnya didasarkan pada pengaturan sendiri dan masih kental diwarnai dengan adat kebiasaan
setempat. Semua hal yang telah disepakati merupakan keputusan bersama para pihak yang

8
bersengketa. Metode penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi
Untuk menyelesaikan suatu sengketa, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah para
pihak yang bersengketa melakukan negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian
masalah melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat secara langsung antara pihak-
pihak yang bersengketa yang hasilnya dapat diterima oleh para pihak tersebut. Dalam
praktik negosiasi dilakukan karena dua alasan,yakni:
- Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya
dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa).
- Untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya
para pihak yang bersengketa berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di
antara mereka tanpa perlu beracara di pengadilan. Munir Fuady membedakan penyelesaian
sengketa melalui negosiasi atas dua jenis, yaitu:

a. Negosiasi Kepentingan Negosiasi kepentingan (interestnegotiation) merupakan


negosiasi yang sebelum bernegoisasi sama sekali para pihak tidak ada hak-hak apapun
dari satu pihak kepada pihak lain. Mereka bernegosiasi karena masing-masing pihak
ada kepentingan untuk melakukan negosiasi.
b. Negosiasi Hak. Sebaliknya dalam negosiasi hak (right negotiation), sebelum para
pihak bernegosiasi, di antara para pihak telah terlebih dahulu mempunyai hubungan
hukum tertentu,sehingga antara para pihak telah menimbulkan hak-hak tertentu yang
dijamin pemenuhannya oleh hukum. Kemudian para pihak bernegosiasi bagaimana
agar hak-hak tersebut dapat dipenuhi oleh pihak lawan. Jadi berbeda dengan negosiasi
kepentingan di mana negosiasi tersebut baru dimaksudkan untuk menciptakan
hubungan hukum tertentu, sedangkan dalam negosiasi hak hubungan hukumjustru
telah ada sebelum negosiasi dilakukan.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat diketahui bahwa pada dasarnya para pihak dapat
menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka dalam suatu pertemuan
langsung. Selanjutnya,kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut dituangkan dalam
bentuk ketentuan hukum tentang perdamaian yang terdapat dalam Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1864 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

9
Selanjutnya, Gunawan Wijaya dan Achmad Yani mengemukakan bahwa oleh karena
kesepakatan tertulis hasil negosiasi adalah suatu persetujuan di antarapara pihak,maka
selayaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan telah
dirugikan.Walaupun demikian, masih terbuka kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan,
jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau
kesepakatan yang telah diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu.

Negosiasi pada dasarnya ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama. Dalam
hal ini Sudargo Gautama menyebutkan bahwa negosiasi merupakan proses untuk
mencapai kesepakatan dengan pihak lain, yakni suatu proses interaksi dan komunikasi
yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa sebagaimana manusia itu
sendiri. Apabila para pihak dalam menyelesaikan sengketasecara negosiasi mengalami
jalan buntu atau dengan kata lain tidak tercapai suatu kesepakatan atau persetujuan,
makapara pihak yang bersengketa dapat menempuh cara lain untuk menyelesaikan
sengketanya

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi


Mediasi juga merupakan salah satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Berbeda halnya dengan negosiasi, proses penyelesaian sengketa melalui
mediasi dapat melibatkan orang lain atau pihak ketiga sebagai mediator. Dasar hukum
tentang mediasi dapat ditemukan dalam Pasal 6 ayat (3), (4), (5) UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketentuan hukum tentang mediasi
yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun1999 tersebut merupakan suatu proses kegiatan
sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa. Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengemukakan bahwa dalam hal
sengketa atau beda pendapat antara para pihak yang bersengketa tidak dapat
diselesaikan,maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang
mediator.
Mediasi pada hakekatnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa yang
memberikan pandangan ke depan terhadap para pihak yang bersengketa. Dapat dipahami
bahwa mediasi pada dasarnya merupakan cara dalam menyelesaikan sengketa oleh para
pihak, di mana para pihak dapat menentukan atau menunjuk pihak ketiga untuk bertindak
sebagai penengah atau mediator. Mediator tersebut dapat negara,organisasi, atau individu.
Kedudukan mediator dalam hal ini adalah berusaha memberikan keseimbangan para pihak
yang bersengketa sehingga mereka dapat dipertemukan dalam suatu keadaan yang sama-
sama menguntungkan. Harus pula dipahami bahwa mediator dalam menangani sengketa
para pihak, tidak berada pada posisi yang dapat memaksa salah satu pihak untuk menerima
apa yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Jika saran tersebut tidak dapat diterima oleh para
pihak, maka mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat

10
usulan-usulan baru. Karena itu salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai
solusi, mengidentifikasikan hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak, dan membuat
usulan-usulan baru yang dapat mengakhiri sengketa.

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase


Apabila upaya para pihak dalam menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi dan
mediasi tidak tercapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase.Penyelesaian sengketa
melalui arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat
mengikat dan final.
Arbitrase berasal dari kata arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaiakan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Jadi arbitrase itu sebenarnya adalah lembaga peradilan
oleh hakim partikelir/swasta (particuliererechtspraak). Pasal 1 UU Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luarperadilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan pengertian di atas, ada tiga hal yang mendasari dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.Pertama, arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian
secara non litigasi. Kedua, perjanjian arbitrase harus dibuatdalam bentuk tertulis. Ketiga,
perjanjian arbitrase merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang
dilaksanakan diluar peradilan umum. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak
diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa di luar sengketa.
Achmad Ali mengemukakan bahwa penggunaan arbitrase hanya terbatas pada
penyelesaian sengketa perdata. Arbitrase sering lebih cepat, lebih non formal, lebih murah,
lebih mudah penyelesaiannya dan lebih rahasia ketimbang berperkara ke pengadilan.

Dalam penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah:

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.


b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena halprosedur dan administrasi.
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman sertalatar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil.
d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Apabila para
pihak setuju untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase, maka para pihak
menunjuk seseorang yang dapat bertindak sebagai arbiter. Arbiter tersebut harus betul-

11
betul independen dan tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pihak yang
bersengketa.

4. Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi


Seperti halnya dengan mediasi, konsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral dan tidak memihak. Pada dasarnya, mediator dan konsiliator bertugas
sebagai fasilitator untuk melakukan komunikasi antara para pihak yang bersengketa
sehingga dapat ditemukan solusi yang dapat memuaskan para pihak itu sendiri. Hanya saja
seorang konsiliator berperan sebatas untuk melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur
waktu dan tempat pertemuan para pihak yang bersengketa, mengarahkan topik
pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak
mungkin disampaikan langsung atau para pihak tidak mau bertemu langsung. Sedangkan
mediator, disamping dapat melakukan hal-hal yang dilakukan konsiliator, juga
menyarankan solusi atau proposal penyelesaian sengketa, halmana secara teoritis tidak ada
dalam kewenangan pihak konsiliator. Dalam hal menggunakan konsiliasi atau mediasi.
Keputusan akhir dari suatu sengketa tetap terletak pada persetujuan para pihak yang
bersengketa.

5. Penyelesaian sengketa oleh kepala desa


Sama halnya dengan penyelesaian sengketa melalui negosiasi, mediasi, arbitrase dan
konsiliasi, penyelesaian sengketa oleh kepala desa juga merupakan bentuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang lebih didominasi oleh hukum adat setempat. Cara
penyelesaian sengketa oleh kepala desa sangat aktual dipraktekkan oleh masyarakat di desa
dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya jika terjadi suatu sengketa ,maka pihak-pihak yang
merasa dirugikan lebih dahulu mengadukan kepada kepala desanya untuk diselesaikan
secara damai.
Peran kepala desa dalam menyelesaikan sengketa memiliki arti yang sangat penting,
terutama dalam menciptakansuatu ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat di
dessa.Apabila terjadi suatu sengketa dalam masyarakat, maka kepala desa sebagai
pemimpin pemerintahan desa bertugas dan berkewajiban untuk mendamaikan
persengketaan tersebut,sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) huruf k PP Nomor
72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kepala desa mempunyai kewajiban
mendamaikan perselisihan masyarakat di desa”. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(non litigasi) termasuk yang yang dipraktekkan oleh para kepala desa secara hukum
dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan.Dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan ini
tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan diluar pengadilan negara
melalui perdamaian atau arbitrase”.

12
Kepala desa dalam menangani suatu sengketa akan bertindak sebagai mediator.
Maksudnya, kepala desa dalamposisi sebagai pihak ketiga yang netral akan
mempertemukan dan berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kepala desa
dalam mendamaikan para pihak yang bersengketadapat dibantu oleh lembaga adat desa.
Dalam suatu komunita ssetingkat desa, pada umumnya masyarakat taat pada aturan
adatatau kebiasaan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.
Iman Sudiyati mengemukakan bahwa hukum adat tumbuh, dianut, dan dipertahankan
sebagai peraturan penjagatata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang
bergaul dalam masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan
bahaya yang mungkin atau telah mengancam.Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa dijelaskan bahwa apabila di desa tidak terdapat suatu lembaga adat, maka kepala desa
diperbolehkan meminta kepada tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh masyarakat
lainnya untuk membantu kepala desa dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan adat, agama dan tokoh-tokoh
masyarakat, biasanya kepala desa lebih mudah mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Dengan konsep pemikiran sebagaimana diungkap diatas, maka dapat dipahami bahwa
seorang kepala desa sebagai kepala persekutuan hukum adalah kepala rakyat, bapak
masyarakat, yang secara moral wajib menjaga ketentraman dalam kelompoknya, membuat
dan menjaga hukum kelompoknya, mendamaikan setiap perselisihan sehingga tercipta
kedamaian dan keserasian dalam bertingkah laku dan bermasyarakat (Rosita 2017).

E. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase Syariah


Secara umum, aturan pokok mengenai arbitrase terdapat dalam Undang Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UUAAPS). Undang undang tersebut lahir didasarkan pada Undang Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian
diubah dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 1999. Pasal 3 Undang Undang Kekuasaan
Kehakiman Tahun 1970 menyebutkan “Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar
perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan.” Selanjutnya wujud formal
dari ketentuan pasal itu diwujudkan melalui UUAAPS. Perkembangan undang undang
tentang kekuasaan kehakiman sampai dengan saat ini melalui Undang Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pun tetap mengakui lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (salah satunya arbitrase) bahkan lebih rinci dibanding undang
undang kekuasaan kehakiman sebelumnya. Keberadaan UUAAPS menjadi penting
sebagai umbrella act untuk keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah.

UUAAPS menjadi pedoman dalam pelaksaanaan penyelesaian sengketa secara


arbitrase di Indonesia, baik lembaga arbitrase adhoc yang baru dibentuk ketika ada
permasalahan maupun lembaga arbitrase konstitusional yang telah eksis seperti BANI dan
BASYARNAS. Pasal 3 UUAAPS secara tegas menjelaskan mengenai kompetensi absolut
yang dimiliki oleh pranata arbitrase ini. Sehingga apabila para pihak yang terlibat sengketa

13
di bidang perdata termasuk perbankan syariah dan para pihak tersebut telah bersepakat
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase maka
Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama menjadi tidak lagi wenang untuk
memeriksa apabila memutus sengketa tersebut (Prakoso 2017).

Penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian
arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.

Dalam konteks hukum Islam, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Kata tahkim ini berasal dari kata kerja hakama yang
secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa. Inti
arbitrase menurut pandangan Islam adalah penyelesaian sengketa yang terjadi antara para
subyek hukum melalui cara-cara damai dengan perantara pihak ketiga, dimana pihak
ketiga tersebut berhak untuk mengambil keputusan yang harus diridhoi oleh pihak-pihak
yang bersengketa. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI
(Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan
dalam bisnis Islam, sekarang berubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank
Syariah. Ada juga BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus
menyelesaikan sengketa bisnis non Islam, dan BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia). Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai berikut:

- Cepat dan hemat;


- Kebebasan dalam memilih arbiter;
- Terjamin kerahasiaan;
- Bersifat non-preseden;
- Kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan
oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya;
- Kepercayaan dan keamanan, arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi sangat luas,
juga secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan
ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.

Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dasar utama yang digunakan oleh
Basyarnas adalah Alquran, Hadis, Fatwa DSN MUI, Maqashid Syariah dan tidak terlepas
dari isi akad itu sendiri. Apabila ada ketentuan akad yang tidak sesuai dengan fatwa DSN
MUI sebagaimana seharusnya, barulah Basyarnas akan memberikan jalan penyelesaian

14
agar ketentuan yang mengatur akad yang diperjanjikan untuk diperbaiki. Sehingga tidak
merugikan salah satu pihak. Timbulnya sengketa dapat disebabkan karena ada pihak yang
tidak memahami dengan baik isi akad, sehingga dengan persepsi yang berbeda tentang ini
akad dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Dari segi akad atau perjajian yang dibuat oleh para pihak, ada beberapa bentuk akad
yang berpotensi sengketa di kemudian hari, diantaranya adalah: (Amran Suadi, 2016d:
33).

a. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat
subjektif maupun objektif yang ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut
pembatalan akad;
b. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain dan perbedaan
menafsiran isi akad oleh para pihak sehingga menimbulkan sengekta hukum;
c. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
diperjanjikan;
d. Terjadinya perbuatan melawan hukum;
e. Adanya risiko yang tidak terduga pada saat pembuatan akad.

Dalam perkara tersebut di atas, timbulnya sengketa disebabkan karena salah satu pihak
tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Akan tetapi apabila
Basyarnas memeriksa penyebab timbulnya wanprestasi karena kesalahan salah satu pihak,
maka penyelesaiannya diupayakan secara damai, dan tidak sampai pada eksekusi benda
jaminan. Dan pihak yang bersalah harus membayar ganti kerugian kepada pihak yang
dirugikan. Penyelesaian yang dilakukan Basyarnas tersebut sudah sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.

Perjanjian Arbitrase yang dimaksud Pasal 3 UUAAPS baik yang berupa Pactum de
Compromitendo maupun Acta Compromis harus dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang terlibat dalam kontrak bisnis tersebut. Dalam kaitannya dengan penyelesaian
sengketa di bidang perbankan syariah maka apabila dalam akad yang dibuat antara
nasabah dan pihak bank di dalamnya ada klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi
perselisihan maka memilih arbitrase syariah sebagai lembaga penyelesainya maka
pengadilan agama tidak lagi berwenang untuk mengadili. Selanjutnya regulasi di bidang
perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga
memberikan legalitas terhadap pelaksanaan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan pihak bank. Pasal 55 Undang
Undang Perbankan Syariah menerangkan bahwa sengketa di lingkungan perbankan
syariah dapat diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau
dapat dilakukan dengan mekanisme lain dicantumkan secara tegas dalam akad dengan
catatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Jadi arbitrase syariah berwenang
dan bahkan memiliki kompetensi absolut dalam menyelesaikan sengketa di perbankan

15
syariah apabila para pihak yang terlibat menyatakan kesepakatan secara tertulis dan tegas
untuk menggunakan arbitrase dalam akad yang mengikat para pihak tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Basyarnas yang demikian dapat dikatakan


sudah efektif. Karena apa yang dikehendaki oleh hukum (dalam hal ini) penyelesaian
sengketa ekonomi syariah harus menggunakan juga prinsip-prinsip syariah. Dengan
demikian tujuan yang ingin dicapai dalam sengketa tersebut dapat terwujud. Karena akad
yang telah disepakati adalah akad syariah, maka penyelesaiannya juga harus menggunakan
prinsip syariah (Rosidah and Zaidah 2020).

Kendala dalam Pelaksanaan Arbitrase Syariah di Indonesia

Pelaksanaan arbitrase syariah di Indonesia secara prinsip dilakasanakan oleh


BASYARNAS sebagai satu-satunya lembaga arbitrase institusional yang menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah. Berkaitan dengan kendala dalam pelaksanaan
arbitrase syariah dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kendala dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase syariah. Sebagai lembaga penyelesaian sengketa, pada dasarnya arbitrase
dapat disejajarkan dengan lembaga peradilan karena putusan yang dihasilkan sifatnya final
dan mengikat. Namun salah satu kelemahan mendasar dari arbitrase adalah tidak memiliki
alat kelengkapan sendiri untuk melakukan eksekusi atas putusan yang dihasilkan sehingga
untuk dapat melakukan eksekusi terhadap putusan arbiter diperlukan campur tangan
pengadilan negeri.

Secara umum pedoman yang ada pada UUAAPS menyatakan apabila ternyata tidak
ada itikad baik dari salah salah pihak untuk menjalankan putusan arbitrase dengan sukarela
maka diperlukan upaya paksa. Untuk dapat dilaksanakan secara paksa maka putusan
arbitrase tersebut harus dideponir120 dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan
negeri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan diucapkan dan
apabila lewat jangka waktu ini maka menyebabkan putusan tidak dapat dimohonkan
penetapan eksekusi. Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 61 jo. Pasal 61 ayat (1) UUAAPS
dijelaskan apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah pencatatan dalam akta pendaftaran
di kepaniteraan pengadilan negeri ternyata belum dilaksanakan secara sukarela oleh para
pihak maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk mengeluarkan perintah pelaksanaan eksekusi secara paksa sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.Sebagaimana diketahui bahwa putusan arbitrase bersifat mandiri, final, dan mengikat
maka Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atas
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tetapi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri
terbatas pada pemeriksaan secara formal dan terbatas pada ketentuan Pasal 62 ayat (2)
UUAAPS. Kemudian terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri yang menolak
mengeluarkan penetapan eksekusi diatas maka tidak terbuka upaya hukum apapun.

16
Di bidang hukum syariah,dengan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 memberikan perluasan kewenangan
kepada Pengadilan Agama. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah. Pengadilan
Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syariah. Kewenangan Pengadilan Agama ini juga diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 93/PUU-X/2012 yang menghapuskan
penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, sehingga menjadikan Pengadilan Agama satu-satunya lembaga Peradilan yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Terkait dengan kompetensi pengadilan mana yang berwenang untuk mengabulkan


permohonan untuk eksekusi putusan arbitrase, Mahkamah Agung telah mengeluarkan
Surat Edaran No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Angka 4 surat edaran ini secara tegas menyatakan bahwa dalam hal putusan Badan
Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka berdasarkan permohonan
salah satu pihak yang bersengketa, Ketua Pengadilan Agamalah yang berwenang
memerintakan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Sayangnya, berlakunya
SEMA ini tidak bertahan lama. Dengan direvisinya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU
ini dalam penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase,
termasuk arbitrase syariah, dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Umum.
Kemudian berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun
2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08
Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. Sehingga meskipun secara
yuridis untuk sengketa ekonomi syariah saat ini sudah menjadi kompetensi absolut dari
Pengadilan Agama namun untuk permohonan eksekusi terhadap putusan arbitrase syariah
tetap harus dimohonkan kepada Pengadilan Negeri.

Ketua Pengadilan Negeri berpedoman pada Pasal 62 UUAAPS dalam


mempertimbangkan apakah mengabulkan permohonan atas putusan arbitrase tersebut atau
tidak. Terhadap putusan arbitrase nasional yang ditolak permohonannya maka tidak
terbuka upaya hukum apapun sehingga putusan arbitrase hanya semacam kemenangan
diatas kertas saja. Campur tangan pengadilan dalam penentuan dikabulkan atau tidaknya
permohonan eksekusi ini seakan menempatkan posisi lembaga arbitrase sebagai lembaga
alternatif penyelesaian sengketa non litigasi berada di bawah lembaga litigasi/ pengadilan
(Prakoso 2017).

17
F. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) telah menjadi kewenangan
Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Penetapan Pengadilan Agama sebagai penyelesaian sengketa ekonomi
syariah berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama memberikan perluasan
kewenangan kepada Pengadilan Agama. Dengan perluasan kewenangan Pengadilan
Agama sebagai pemutus sengketa ekonomi syariah membawa konsekuensi hukum bahwa
pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syariah”. Kemudian dalam
Penjelasan Pasal 49 diuraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud “antara orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama.

Berkaitan dengan tata cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan


Agama, pada tahun 2016, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah. PERMA ini untuk menjamin pelaksanaan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan PERMA
Nomor 14 Tahun 2016 maka perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk
gugatan sederhana atau dengan acara biasa.

Penguatan dalam diri peradilan agama harus terus ditingkatkan. Selain


menyelenggarakan pelatihan pada hakim karir, dalam perekrutan Aparatur Sipil Negara
(ASN) di lingkungan peradilan agama hendaknya diperhatikan mengenai pengetahuan
tentang ekonomi syariah bagi calon ASN. Hal ini karena faktor Sumber Daya Manusia
menjadi faktor terpenting dalam kesiapan dan peningkatan mutu pengadilan agama.
Perluasan kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah,
merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran (pegawai dan hakim)
Peradilan Agama. Di satu sisi, seluruh hakim Pengadilan Agama memiliki latar belakang
pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan
ekonomi syariah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syariah sangat terbatas. Di
sisi lain, Pengadilan Agama harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam
menangani sengketa ekonomi syariah. Para hakim juga dituntut untuk memahami segala
perkara yang menjadi kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya,
sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya
tidak ada atau kurang jelas.22 Sejauh ini asumsi yang berkembang di masyarakat masih
mengenal Pengadilan Agama sebagai lembaga penyelesaian perkara cerai. Guna

18
mewujudkan bentuk ideal, pengadilan agama perlahan harus bisa lepas dari kesan ini. Para
hakim harus selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai pertanggungjawaban
moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res
judicata pro veretatur habetur). Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama
dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah. Para hakim ini
dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai
adagium ius curia novit, karena dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya
walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru yang menjadi kewenangannya.
Wawasan yang dimiliki hakim Pengadilan Agama terkait penanganan sengketa ekonomi
syariah masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan,
waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya (Pramudya 2018).

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama mengalami pembaruan.


Hal ini setelah terbit Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 2016 mengatur tentang tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah
di Pengadilan Agama dengan 2 (dua) cara yaitu :

1. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan acara sederhana yang berpedoman


pada peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 (dua) tahun 2015
2. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan acara biasa yang berpedoman pada
hukum acara perdata kecuali yang diatur secara khusus (Salam and Marlina 2021).

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank.
2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) menurut Abu Moamer adalah lembaga yang digunakan
untuk memastikan bahwa bank syari’ah bekerja dalam batas-batas hukum Islam,
mengetahui kerangka dan batasan syari’ah, dan menginvestasikan atau meningkatkan
kapasitas di dalam batas-batas ini. Tujuan dibentuknya DPS adalah untuk mengawasi
aktivitas operasional bank dan lembaga keuangan syari’ah lainnya agar sesuai dengan garis-
garis syari’ah.
3. Penyelenggaraan peradilan (litigasi) dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya. Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
keistimewaan penyelesaian sengketa secara litigasi yaitu kekuatan mengikat, kekuatan
pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
4. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi), yaitu penyelesaian sengketa melalui
negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi.
5. Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian
arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
6. Penguatan Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah dilakukan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Pengadilan. Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung saat ini telah mengadakan berbagai pelatihan baik
dalam maupun diluar negeri untuk meningkatkan kompetensi para hakim pengadilan agama
dalam hal penanganan ekonomi syariah.

20
DAFTAR PUSTAKA
CLAUDYA, ANGELICA RIZA. 2016. “PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS LEMBAGA
PENGHIMPUN DANA MASYARAKAT OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK).”
Fakultas Hukum Unpas.
Faozan, Akhmad. 2014. “Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan
Syariah.” El-Jizya: Jurnal Ekonomi Islam 2 (1): 23–40.
Hasan, Hasbi. 2012. “Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga
Perbankan Syariah (Effective Control of Financial Services Authority on Sharia Banking
Institutions).” DAFTAR ISI, 373.
Nurhasanah, Neneng. 2011. “Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syari’ah (Dps) Di Lembaga
Keuangan Syari’ah.” Syiar Hukum 13 (3): 218–32.
Otoritas Jasa Keuangan. n.d. “FAQ Otoritas Jasa Keuangan.” Ojk.Go.Id. Accessed May 15, 2022.
https://www.ojk.go.id/id/pages/faq-otoritas-jasa-keuangan.aspx.
Prakoso, Andria Luhur. 2017. “Tinjauan Terhadap Arbitrase Syariah Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perbankan Syariah.” Jurnal Jurisprudence 7 (1): 59–67.
Pramudya, Kelik. 2018. “Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah Melalui Penguatan Fungsi
Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa.” Jurnal Rechts Vinding: Media
Pembinaan Hukum Nasional 7 (1): 35–47.
Rosidah, Nur, and Layyin Mahfiana Zaidah. 2020. “Efektifitas Penerapan Prinsip Syariah Dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).” TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law 3 (1): 16.
Rosita, Rosita. 2017. “Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa (Litigasi Dan Non Litigasi).” Al-
Bayyinah 1 (2): 99–113.
Rulanda, Sija Putra, Zulfi Diane Zaini, and Melisa Safitri. 2020. “Kedudukan Hukum Pengawas
Bank Syariah Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dan Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).” Jurnal Supremasi, 36–51.
Sadhila, Sadhila, and Muhammad Akhyar Adnan. 2017. “Analisis Kepatuhan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) Terhadap Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)(Studi Kasus Pada BPRS
Di Yogyakarta).” Reviu Akuntansi Dan Bisnis Indonesia 1 (2): 152–67.
Salam, Safrin, and Andi Marlina. 2021. “Menguji Eksistensi Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.” Indonesian Journal of Criminal Law 3 (1): 24–
32.

21

Anda mungkin juga menyukai