Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkata bantuan dan tuntunan Allah
SWT. Dan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami
menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia denganjumlah
penduduk kurang lebih 87,2% (Delapan Puluh Tujuh Koma Dua Persen). Sistem kapitalis dan
sosialis menjadi tidak bisa dielakkan lagi, menerapkan system ekonomi alternatif tersebut terwujud
dalam sistem perekonomian yang menggunakan peraturan agama sebagai landasan hukumnya.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-
masalah yang akan dibahas penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui tinjauan teoritis mengenai otoritas jasa keuangan.
2. Untuk mengetahui tinjauan teoritis dewan pengawas syariah.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa secara non litigasi [extraordinary court].
4. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa secara litigasi [ordinary court].
5. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa di arbitrase syariah.
6. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa di pengadilan agama.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; serta pemeriksaan bank (Otoritas Jasa
Keuangan n.d.).
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan memperkuat posisi OJK sebagai
satu satunya lembaga yang melakukan pengaturan dan pengawasan dalam bidang jasa dan
keuangan, dengan jelas menerapkan model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi
(integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional
yang dilakukan sebelumnya oleh Bank Indonesia dan institusi keuangan lainnya di Indonesia.
Dengan diberlakukannya undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini, seluruh fungsi pengaturan
dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di Bank indonesia dan
Bapepam-LK akan menyatu ke dalam Otoritas Jasa Keuangan (Hasan 2012). Oleh karena itu,
dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif
dalam penanganan masalah-masalah yang timbul pada sistem keuangan. Dengan demikian
diharapkan dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan adanya pengaturan
dan pengawasan yang lebih terintegrasi (CLAUDYA 2016).
Pengawasan yang dilakukan OJK berbeda dari pengawasan yang dilakukan oleh DPS, jika
DPS mengawasi secara internal perbankan agar kegiatan management bank yang diawasi
senantiasi mengikuti prinsip syariah. Pengawasan OJK mengedepankan pengawasan terhadap
kepatuhan terhadap peraturan per undang-undangan dan manajemen resiko dari bank yang
diawasi. Pengawasam yang dilakukan OJK tidak berbeda antara bank konvensional maupun
bank syariah, karena melakukan pengawasan manajemen resiko dari bank yang diawasi.
Pengawasan yang dilakukan OJK tidak berbeda antara bank konvensional maupun bank
syariah, karena melakukan pengawasan terhadap kesehatan dan likuiditas bank (Sadhila and
Adnan 2017).
6
dengan garis-garis syari’ah. Untuk itulah DPS bertugas mengawasi operasional bank agar
sesuai dengan ketentuan syari’ah (Nurhasanah 2011).
2. Peran DPS Pada LKS
Untuk lebih mengefektifkan peran Dewan Syarian Nasional (DSN), pada Lembaga Keuangan
Syari'ah (LKS), dibentuk Dewan Pengawas Syari'ah (DPS), sebagai perwakilan DSN pada
lembaga keuangan Syari'ah yang bersangkutan. DPS pada dasarnya merupakan perpajangan
tangan DSN dalam merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan oleh DSN. DPS berperan
sebagai pengawas dari lembaga-lembaga keuangan syariah, yaitu bank syariah, asuransi syariah,
pasar modal syariah, dan lain-lain, agar semua lembaga tersebut bejalan sesuai dengan tuntutan
syariat Islam. Pengawasan selain pada aspek produk-produk keuangan syariah, juga meliputi
manajemen dan administrasi lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah. Di sisi lain,
DPS adalah bagian dari lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, yang penempatannya atas
persetujuan DSN. Peran DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar
sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Sedangkan, fungsi
utamanya adalah pertama, sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit
usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah; dan kedua, sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan
syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN (CLAUDYA 2016)
Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Kelebihan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang pasti,bersifat final, menciptakan kepastian hukum dengan
posisi para pihak menang atau kalah (win and lose position), dan dapatdipaksakan pelaksanaan
putusannya apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan (eksekusi).
Oleh Sudikno Mertokusumon dikatakan bahwa putusan pengadilan mempunyai tiga macam
kekuatan yang merupakan keistimewaan penyelesaian sengketa secara litigasi, yakni putusan
pengadilan mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau
kekuatan untuk dilaksanakan.
7
1. Kekuatan Mengikat
Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat, artinyaputusan hakim itu mengikat para
pihak yang berperkara danyang terlibat dalam perkara itu. Para pihak harus tunduk
danmenghormati putusan hakim tersebut. Putusan hakim yang telahmemperoleh kekuatan
hukum tetap tidak dapat diubah,sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi kecuali
denganupaya hukum yang luar biasa (peninjauan kembali/request civil).Terikatnya para pihak
pada putusan hakim itu, baikdalam arti positif maupun negatif. Mengikat dalam arti
positif,yakni apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate
habetur). Mengikat dalam arti negatif, yakni hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang
pernahdiputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenaipokok perkara yang sama
(nebis in idem).
2. Kekuatan Pembuktian
Putusan hakim mempunyai kekuatan pembuktian,artinya dengan putusan hakim itu telah
diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu. Dituangkannya
putusan hakim dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang mungkin diperlukan untuk
mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali atau upaya hukum lainnya, dan untuk
pelaksanaan putusan.
3. Kekuatan eksekutorial
8
bersengketa. Metode penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi
Untuk menyelesaikan suatu sengketa, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah para
pihak yang bersengketa melakukan negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian
masalah melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat secara langsung antara pihak-
pihak yang bersengketa yang hasilnya dapat diterima oleh para pihak tersebut. Dalam
praktik negosiasi dilakukan karena dua alasan,yakni:
- Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya
dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa).
- Untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya
para pihak yang bersengketa berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di
antara mereka tanpa perlu beracara di pengadilan. Munir Fuady membedakan penyelesaian
sengketa melalui negosiasi atas dua jenis, yaitu:
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat diketahui bahwa pada dasarnya para pihak dapat
menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka dalam suatu pertemuan
langsung. Selanjutnya,kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut dituangkan dalam
bentuk ketentuan hukum tentang perdamaian yang terdapat dalam Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1864 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
9
Selanjutnya, Gunawan Wijaya dan Achmad Yani mengemukakan bahwa oleh karena
kesepakatan tertulis hasil negosiasi adalah suatu persetujuan di antarapara pihak,maka
selayaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan telah
dirugikan.Walaupun demikian, masih terbuka kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan,
jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau
kesepakatan yang telah diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu.
Negosiasi pada dasarnya ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama. Dalam
hal ini Sudargo Gautama menyebutkan bahwa negosiasi merupakan proses untuk
mencapai kesepakatan dengan pihak lain, yakni suatu proses interaksi dan komunikasi
yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa sebagaimana manusia itu
sendiri. Apabila para pihak dalam menyelesaikan sengketasecara negosiasi mengalami
jalan buntu atau dengan kata lain tidak tercapai suatu kesepakatan atau persetujuan,
makapara pihak yang bersengketa dapat menempuh cara lain untuk menyelesaikan
sengketanya
10
usulan-usulan baru. Karena itu salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai
solusi, mengidentifikasikan hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak, dan membuat
usulan-usulan baru yang dapat mengakhiri sengketa.
11
betul independen dan tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pihak yang
bersengketa.
12
Kepala desa dalam menangani suatu sengketa akan bertindak sebagai mediator.
Maksudnya, kepala desa dalamposisi sebagai pihak ketiga yang netral akan
mempertemukan dan berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kepala desa
dalam mendamaikan para pihak yang bersengketadapat dibantu oleh lembaga adat desa.
Dalam suatu komunita ssetingkat desa, pada umumnya masyarakat taat pada aturan
adatatau kebiasaan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.
Iman Sudiyati mengemukakan bahwa hukum adat tumbuh, dianut, dan dipertahankan
sebagai peraturan penjagatata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang
bergaul dalam masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan
bahaya yang mungkin atau telah mengancam.Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa dijelaskan bahwa apabila di desa tidak terdapat suatu lembaga adat, maka kepala desa
diperbolehkan meminta kepada tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh masyarakat
lainnya untuk membantu kepala desa dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan adat, agama dan tokoh-tokoh
masyarakat, biasanya kepala desa lebih mudah mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Dengan konsep pemikiran sebagaimana diungkap diatas, maka dapat dipahami bahwa
seorang kepala desa sebagai kepala persekutuan hukum adalah kepala rakyat, bapak
masyarakat, yang secara moral wajib menjaga ketentraman dalam kelompoknya, membuat
dan menjaga hukum kelompoknya, mendamaikan setiap perselisihan sehingga tercipta
kedamaian dan keserasian dalam bertingkah laku dan bermasyarakat (Rosita 2017).
13
di bidang perdata termasuk perbankan syariah dan para pihak tersebut telah bersepakat
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase maka
Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama menjadi tidak lagi wenang untuk
memeriksa apabila memutus sengketa tersebut (Prakoso 2017).
Penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian
arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Dalam konteks hukum Islam, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Kata tahkim ini berasal dari kata kerja hakama yang
secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa. Inti
arbitrase menurut pandangan Islam adalah penyelesaian sengketa yang terjadi antara para
subyek hukum melalui cara-cara damai dengan perantara pihak ketiga, dimana pihak
ketiga tersebut berhak untuk mengambil keputusan yang harus diridhoi oleh pihak-pihak
yang bersengketa. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI
(Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan
dalam bisnis Islam, sekarang berubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank
Syariah. Ada juga BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus
menyelesaikan sengketa bisnis non Islam, dan BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia). Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai berikut:
Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dasar utama yang digunakan oleh
Basyarnas adalah Alquran, Hadis, Fatwa DSN MUI, Maqashid Syariah dan tidak terlepas
dari isi akad itu sendiri. Apabila ada ketentuan akad yang tidak sesuai dengan fatwa DSN
MUI sebagaimana seharusnya, barulah Basyarnas akan memberikan jalan penyelesaian
14
agar ketentuan yang mengatur akad yang diperjanjikan untuk diperbaiki. Sehingga tidak
merugikan salah satu pihak. Timbulnya sengketa dapat disebabkan karena ada pihak yang
tidak memahami dengan baik isi akad, sehingga dengan persepsi yang berbeda tentang ini
akad dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Dari segi akad atau perjajian yang dibuat oleh para pihak, ada beberapa bentuk akad
yang berpotensi sengketa di kemudian hari, diantaranya adalah: (Amran Suadi, 2016d:
33).
a. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat
subjektif maupun objektif yang ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut
pembatalan akad;
b. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain dan perbedaan
menafsiran isi akad oleh para pihak sehingga menimbulkan sengekta hukum;
c. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
diperjanjikan;
d. Terjadinya perbuatan melawan hukum;
e. Adanya risiko yang tidak terduga pada saat pembuatan akad.
Dalam perkara tersebut di atas, timbulnya sengketa disebabkan karena salah satu pihak
tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Akan tetapi apabila
Basyarnas memeriksa penyebab timbulnya wanprestasi karena kesalahan salah satu pihak,
maka penyelesaiannya diupayakan secara damai, dan tidak sampai pada eksekusi benda
jaminan. Dan pihak yang bersalah harus membayar ganti kerugian kepada pihak yang
dirugikan. Penyelesaian yang dilakukan Basyarnas tersebut sudah sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.
Perjanjian Arbitrase yang dimaksud Pasal 3 UUAAPS baik yang berupa Pactum de
Compromitendo maupun Acta Compromis harus dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang terlibat dalam kontrak bisnis tersebut. Dalam kaitannya dengan penyelesaian
sengketa di bidang perbankan syariah maka apabila dalam akad yang dibuat antara
nasabah dan pihak bank di dalamnya ada klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi
perselisihan maka memilih arbitrase syariah sebagai lembaga penyelesainya maka
pengadilan agama tidak lagi berwenang untuk mengadili. Selanjutnya regulasi di bidang
perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga
memberikan legalitas terhadap pelaksanaan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan pihak bank. Pasal 55 Undang
Undang Perbankan Syariah menerangkan bahwa sengketa di lingkungan perbankan
syariah dapat diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau
dapat dilakukan dengan mekanisme lain dicantumkan secara tegas dalam akad dengan
catatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Jadi arbitrase syariah berwenang
dan bahkan memiliki kompetensi absolut dalam menyelesaikan sengketa di perbankan
15
syariah apabila para pihak yang terlibat menyatakan kesepakatan secara tertulis dan tegas
untuk menggunakan arbitrase dalam akad yang mengikat para pihak tersebut.
Secara umum pedoman yang ada pada UUAAPS menyatakan apabila ternyata tidak
ada itikad baik dari salah salah pihak untuk menjalankan putusan arbitrase dengan sukarela
maka diperlukan upaya paksa. Untuk dapat dilaksanakan secara paksa maka putusan
arbitrase tersebut harus dideponir120 dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan
negeri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan diucapkan dan
apabila lewat jangka waktu ini maka menyebabkan putusan tidak dapat dimohonkan
penetapan eksekusi. Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 61 jo. Pasal 61 ayat (1) UUAAPS
dijelaskan apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah pencatatan dalam akta pendaftaran
di kepaniteraan pengadilan negeri ternyata belum dilaksanakan secara sukarela oleh para
pihak maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk mengeluarkan perintah pelaksanaan eksekusi secara paksa sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.Sebagaimana diketahui bahwa putusan arbitrase bersifat mandiri, final, dan mengikat
maka Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atas
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tetapi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri
terbatas pada pemeriksaan secara formal dan terbatas pada ketentuan Pasal 62 ayat (2)
UUAAPS. Kemudian terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri yang menolak
mengeluarkan penetapan eksekusi diatas maka tidak terbuka upaya hukum apapun.
16
Di bidang hukum syariah,dengan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 memberikan perluasan kewenangan
kepada Pengadilan Agama. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah. Pengadilan
Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syariah. Kewenangan Pengadilan Agama ini juga diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 93/PUU-X/2012 yang menghapuskan
penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, sehingga menjadikan Pengadilan Agama satu-satunya lembaga Peradilan yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
17
F. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) telah menjadi kewenangan
Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Penetapan Pengadilan Agama sebagai penyelesaian sengketa ekonomi
syariah berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama memberikan perluasan
kewenangan kepada Pengadilan Agama. Dengan perluasan kewenangan Pengadilan
Agama sebagai pemutus sengketa ekonomi syariah membawa konsekuensi hukum bahwa
pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syariah”. Kemudian dalam
Penjelasan Pasal 49 diuraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud “antara orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama.
18
mewujudkan bentuk ideal, pengadilan agama perlahan harus bisa lepas dari kesan ini. Para
hakim harus selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai pertanggungjawaban
moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res
judicata pro veretatur habetur). Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama
dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah. Para hakim ini
dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai
adagium ius curia novit, karena dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya
walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru yang menjadi kewenangannya.
Wawasan yang dimiliki hakim Pengadilan Agama terkait penanganan sengketa ekonomi
syariah masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan,
waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya (Pramudya 2018).
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank.
2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) menurut Abu Moamer adalah lembaga yang digunakan
untuk memastikan bahwa bank syari’ah bekerja dalam batas-batas hukum Islam,
mengetahui kerangka dan batasan syari’ah, dan menginvestasikan atau meningkatkan
kapasitas di dalam batas-batas ini. Tujuan dibentuknya DPS adalah untuk mengawasi
aktivitas operasional bank dan lembaga keuangan syari’ah lainnya agar sesuai dengan garis-
garis syari’ah.
3. Penyelenggaraan peradilan (litigasi) dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya. Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
keistimewaan penyelesaian sengketa secara litigasi yaitu kekuatan mengikat, kekuatan
pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
4. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi), yaitu penyelesaian sengketa melalui
negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi.
5. Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian
arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
6. Penguatan Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah dilakukan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Pengadilan. Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung saat ini telah mengadakan berbagai pelatihan baik
dalam maupun diluar negeri untuk meningkatkan kompetensi para hakim pengadilan agama
dalam hal penanganan ekonomi syariah.
20
DAFTAR PUSTAKA
CLAUDYA, ANGELICA RIZA. 2016. “PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS LEMBAGA
PENGHIMPUN DANA MASYARAKAT OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK).”
Fakultas Hukum Unpas.
Faozan, Akhmad. 2014. “Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan
Syariah.” El-Jizya: Jurnal Ekonomi Islam 2 (1): 23–40.
Hasan, Hasbi. 2012. “Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga
Perbankan Syariah (Effective Control of Financial Services Authority on Sharia Banking
Institutions).” DAFTAR ISI, 373.
Nurhasanah, Neneng. 2011. “Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syari’ah (Dps) Di Lembaga
Keuangan Syari’ah.” Syiar Hukum 13 (3): 218–32.
Otoritas Jasa Keuangan. n.d. “FAQ Otoritas Jasa Keuangan.” Ojk.Go.Id. Accessed May 15, 2022.
https://www.ojk.go.id/id/pages/faq-otoritas-jasa-keuangan.aspx.
Prakoso, Andria Luhur. 2017. “Tinjauan Terhadap Arbitrase Syariah Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perbankan Syariah.” Jurnal Jurisprudence 7 (1): 59–67.
Pramudya, Kelik. 2018. “Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah Melalui Penguatan Fungsi
Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa.” Jurnal Rechts Vinding: Media
Pembinaan Hukum Nasional 7 (1): 35–47.
Rosidah, Nur, and Layyin Mahfiana Zaidah. 2020. “Efektifitas Penerapan Prinsip Syariah Dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).” TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law 3 (1): 16.
Rosita, Rosita. 2017. “Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa (Litigasi Dan Non Litigasi).” Al-
Bayyinah 1 (2): 99–113.
Rulanda, Sija Putra, Zulfi Diane Zaini, and Melisa Safitri. 2020. “Kedudukan Hukum Pengawas
Bank Syariah Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dan Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).” Jurnal Supremasi, 36–51.
Sadhila, Sadhila, and Muhammad Akhyar Adnan. 2017. “Analisis Kepatuhan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) Terhadap Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)(Studi Kasus Pada BPRS
Di Yogyakarta).” Reviu Akuntansi Dan Bisnis Indonesia 1 (2): 152–67.
Salam, Safrin, and Andi Marlina. 2021. “Menguji Eksistensi Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.” Indonesian Journal of Criminal Law 3 (1): 24–
32.
21