Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FILSAFAT PERBANKAN SYARIAH

LEMBAGA-LEMBAGA DALAM KEGIATAN OPERASIONAL


PERBANKAN SYARIAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Perbankan Syariah

DOSEN PENGAMPU:
DR. SITI FATIMAH, SE,. MM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6

NABILA RAJAB 90500120086


WINDA AULYA 90500120113
NUR KHAIRUNNISA 90500120110

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Lembaga-
Lembaga Dalam Kegiatan Operasional Perbankan Syariah” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Filsafat Perbankan Syariah. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
tentang lembaga yang terkait dalam kegiatan operasional bank syariah bagi para
pembaca dan juga penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Siti Fatimah, SE,. MM
selaku dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai bidang yang kami tekuni.
Makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Samata, 13 April 2022

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 2
C. TUJUAN MASALAH ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. BANK INDONESIA ......................................................................................... 3
1. Visi, Misi Dan Sasaran Strategi Bank Indonesia .......................................... 4
B. OTORITAS JASA KEUANGAN .................................................................... 5
1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan .............................................................. 5
2. Peran Otoritas Jasa Keuangan Pada Bank Syariah ....................................... 6
C. DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI (DSN-MUI) ................................... 10
1. Visi, Misi, Tugas Dan Wewenang Dsn-Mui .............................................. 10
2. Peran Dsn-Mui Pada Bank Syariah ............................................................ 12
D. DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS) .................................................... 15
1. Peran Dewan Pennngawas Syariah Pada Bank Syariah ............................. 15
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 18
A. KESIMPULAN ............................................................................................... 18
B. SARAN ............................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lembaga keuangan syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN)

adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang

mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI,2003).

Definisi ini menegaskan bahwa LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur

kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas dalam operasi sebagai lembaga

keuangan.

Dalam konteks perbankan nasional-Indonesia, bank Islam diistilahkan dengan

Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang pembiayaannya berdasarkan pada

prinsip-prinsip syariah. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan

uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu bedasarkan persetujuan atau

kesepakantan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai

untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu

dengan imbalan atau bagi hasil. Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara

bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan

usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah; antara lain:

pembiayaan berdasarkan prinsib bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan

prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan

memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan

prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah).

Lembaga keuangan bank dibutuhkan sebagai suatu lembaga intermediary

(perantara) antara pihak yang surplus dana kepada pihak yang devisit dana.

1
Perkembangan selanjutnya lembaga keuangan bank maupun non bank semakin

berkembang pesat diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Menurut Surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792 Tahun 1990, lembaga keuangan di

beri batasan sebagai semua badan yang kegiatannya dibidang keuangan, melakukan

penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai

investasi perusahaan. Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan

diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan namun peraturan tersebut tidak

berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan hanya untuk investasi

perusahaan. Dalam kenyataannya, kegiatan pembiayaan lembaga keuangan bisa

diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi dan kegiatan distribusi

barang dan jasa.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Itu Bank Indonesia?

2. Apa Itu Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?

3. Apa Itu Lembaga Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI)?

4. Apa Itu Lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS)?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk Mengetahui Lembaga Bank Indonesia

2. Untuk Mengetahui Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

3. Untuk Mengetahui Lembaga Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI)

4. Untuk Mengetahui Lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS)

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BANK INDONESIA

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Dimana merupakan

lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau

pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-

undang. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank

Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan

intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Status dan kedudukan

yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan

fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.Tujuan Bank

Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Bank Indonesia

mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;

c. Mengatur dan mengawasi Bank.


Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia

berwenang :

a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju

inflasi yang ditetapkannya;

b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang

termasuk tetapi tidak terbatas pada:

 Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;

 Penetapan tingkat diskonto;

3
 Penetapan cadangan wajib minimum;

 Pengaturan kredit atau pembiayaan.

1. Visi, Misi Dan Sasaran Strategis Bank Indonesia

a. Visi

Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional

melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi

yang rendah dan nilai tukar yang stabil.

b. Misi

 Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi

kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang

berkualitas.

 Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien

serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk

mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi

pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.

 Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang

berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas

sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan

kepentingan nasional.

 Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang

menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta

melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka

melaksanakan tugas yang diamanatkan UU.

4
c. Sasaran Strategi

Untuk mewujudkan Visi, Misi tersebut, Bank Indonesia menetapkan

sasaran strategis jangka menengah panjang, yaitu :

 Memperkuat pengendalian inflasi dari sisi permintaan dan penawaran

 Menjaga stabilitas nilai tukar

 Mendorong pasar keuangan yang dalam dan efisien

 Menjaga SSK yang didukung dengan penguatan surveillance SP

 Memelihara SP yang aman, efisien, dan lancar

 Memperkuat pengelolaan keuangan BI yang akuntabel

 Mewujudkan proses kerja efektif dan efisien dengan dukungan SI,

kultur, dan governance

 Mempercepat ketersediaan SDM yang kompeten

 Memperkuat aliansi strategis dan meningkatkan persepsi positif BI

 Memantapkan kelancaran transisi pengalihan fungsi pengawasan bank

ke OJK

B. OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga independen yang

bebas dari campur tangan pihak atau lembaga lain. Lembaga ini memliki fungsi,

tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyelidikan.

OJK didirikan atas UU Nomor 21 Tahun 2011 untuk menyelenggarakan sistem

kebutuhan untuk melakukan penataan kembali lembaga-lembaga yang

melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan.

5
2. Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pada Bank Syariah

Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan

syariah dan unit usaha syariah pada awalnya berada dalam otoritas Bank

Indonesia. Regulasi ini melekat pada Bank Indonesia sebagai mana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

menjadi Undang-Undang.

Pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit Usaha Syari’ah juga

dilakukan Bank Indonesia, sebagai mana pada perbankan konvensional. Untuk

melaksanakan kepentingan tersebut Bank Indonesia, sebagaimana pada

perbankan konvensional. Untuk melaksanakan kepentingan tersebut Bank

Indonesia telah dibentuk perbankan syariah. Depertement ini terdiri dari 4 devisi

yaitu Divisi Penelitian Pengembangan dan Pengaturan Perbankan Syariah,

Divisi Pengawasan Bank Syariah, Divisi Informasi Perbankan Syariah dan

Divisi Perijinan, Administrasi dan Dokumentasi Perbankan Syariah.

Menurut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank

Indonesia mengatur bahwa fungsi pengawasan tidak lagi berada di bawah

otoritas Bank Indonesia tetapi akan diserahkan kepada lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang.

Ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan yang mengokohkan kedudukan lembaga OJK sebagai lembaga

keuangan yang independen dan bebas campur tangan dari pihak lain, yang

6
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,

dan penyidikan sebagai mana diatur dalam undang-undang di maksud. Lembaga

tersebut melaksanakan lembaga sektor perbankan, pasar modal, perasuransian,

dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan lainnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas

dari campur tangan pihak lain, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,

pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Otoritas Jasa Keuangan.

Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut tidaklah sepenuhnya

diberikan kepada OJK. Akan tetapi OJK tetap bekerjasama dengan BI dan

memiliki kewenangannya masing-masing dalam menjalankan fungsi pengaturan

dan pengawasan. Pengaturan dan Pengawasan kelembagaan, kesehatan, aspek

kehati-hatian, dan pemeriksa bank merupakan lingkup microprudential yang

menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan

macroprudential merupakan tugas dan wewenang BI. Dalam rangka pengaturan

dan pengawasan macroprudential, OJK berkordinasi dengan BI untuk

melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan.

Adapun dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini OJK

melaksanakan sisitem pengawasannya dengan mengadakan 2 pendekatan yaitu:

 Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance Based Supervision/CBS),

yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang

terkait dengan operasi dan pengelolaan bank dimasa lalu dengan tujuan

untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik

dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap

7
pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan risiko.

 Pengawasan berdasarkan risiko (Risk Based Supervision/RBS) yaitu

pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metologi berdasarkan

risiko yang memungkinkan pengawas bank mendeteksi risiko yang

signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai

dan tepat waktu.

Adapun tujuan OJK dibentuk adalah sebagai berikut:

 Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel

 Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan

dan stabil, serta

 Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Maka dengan tujuan tersebut diharapkan OJK dapat menjalankan

fungsinya dengan baik menjadi lembaga keuangan yang memiliki peran

penting meningkatkan perekonomian di Indonesia, menjaga kepentingan

nasional dan menjaga segala kegiatan sektor jasa keuangan berjalan dengan

baik dan sesuai aturan termasuk hubungan lembaga keuangan termasuk

perbankan syariah dengan nasabah. OJK diharapkan dapat menghindarkan

perbankan syariah dari perbuatan sewenang-wenang yang dapat merugikan

nasabah dalam hal ini penerapan kelausula eksonerasi atau pengalihan

tanggung jawab pada klausula baku yang dibuat oleh pihak perbankan syariah

sebagai pelaku usaha yang mana perbuatan tersebut jelas melanggar ketentuan

yang berlaku.

8
Terkait dengan pengembangan sistem pengawasan perbankan syariah,

telah dilakukan pengembangan Sistem Informasi Perbankan (SIP) Modul

Syariah untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS),

laporan bulanan BUS, Sistem Pengawasan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

(BPRS), Rencana Bisnis Bank (RBB) untuk BPRS serta sosialisasi dan

pelatihan kepada pengawas bank syariah. Guna meningkatkan efektifitas dan

efisiensi pelaksanaan tugas OJK terkait pengawasan lembaga keuangan

syariah, termasuk perbankan syariah, Dewan Komisioner OJK telah

menetapkan pembentukan Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah

(KPJKS) dan Tim Kerja Pengembangan Jasa Keuangan Syariah.

Akan tetapi OJK masih dirasa kurang berkompeten dalam mengawasi

kegiatan operasional perbankan syariah ditandai dengan masih banyaknya

kasus-kasus yang melibatkan perbankan syariah ditandai dengan masih

banyaknya kasus-kasus yang melibatkan perbankan syariah sebagai pelaku

usaha yang melakukan pelanggaran dalam akadnya. OJK diharapkan menjadi

lembaga yang mampu melindungi segala kepentingan para pihak dalam sektor

jasa keuangan dan mampu menjalankan perannya dalam mengawasi

terlaksananya kegiatan operasional perbankan syariah dengan baik dan sesuai

aturan yang berlaku termasuk atas penyalahgunaan wewenang perbankan

syariah sebagai pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam membuat

perjanjian baku yang menerapkan klausula eksonerasi atau pengalihan

tanggung jawab yang merugikan nasabah.

9
C. DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI (DSN-MUI)

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk

dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian

dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang

dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Pembentukan DSN-MUI

merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu

yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/kasus

yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh

kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas

Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah Untuk mendorong penerapan

ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa

dan berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat

Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan.

1. Visi, Misi, Tugas dan Wewenang DSN-MUI

a. Visi

Memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi

masyarakat.

b. Misi

Menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan/bisnis

syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa.

c. Tugas

 Menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS,

dan LPS lainnya;

10
 Mengawasi penerapan fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS

lainnya;

 Membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan fatwa

tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat

diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya;

 Mengeluarkan Surat Edaran (Ta’limat) kepada LKS, LBS, dan LPS

lainnya;

 Memberikan rekomendasi calon anggota dan/atau mencabut

rekomendasi anggota DPS pada LKS, LBS, dan LPS lainnya;

 Memberikan Rekomendasi Calon ASPM dan/atau mencabut

Rekomendasi ASPM;

 Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Keselarasan Syariah

bagi produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait;

 Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan,

produk, dan jasa di LKS, LBS, dan LPS lainnya;

 Menerbitkan Sertifikat Kesesuaian Syariah bagi LBS dan LPS lainnya

yang memerlukan;

 Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS,

LBS, dan LPS lainnya;

 Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi

keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan

 Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan

perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.

11
2. Peran DSN-MUI Pada Bank Syaiah

Perkembangan dunia perbankan di Indonesia memang tidak terelakkan

lagi. Dalam bidang perbankan kini semakin berkembang lembaga keuangan

dengan menggunakan prinsip syariah (hukum islam). Perkembangan perbankan

syariah dalam beberapa tahun terakhir ini memang mengalami peningkatan yang

sangat signifikan. Hal tersebut juga didukung dengan upaya pemerintah dalam

melakukan akselerasi kegiatan perbankan syariah, salah satunya dengan di

undangkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah.(UUPS No. 21 Tahun 2008). Sejarah perkembangan ekonomi syariah

(islam) secara formal sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu

sejak berdirinya organisasi syarikat dagang islam yang dibidanioleh

entrepreneur dan para tokoh muslim saat itu.

Pada dasawarsa terakhir, perhatian umat islam Indonesia terhadap ajaran

ekonomi syariah mulai tumbuh dan berkembang. Hal tersebut disebabkan, selain

sistem ekonomi konvesional ternyata tidak memenuhi harapan, kesadaran umat

untuk syariah secara kaffah (menyeluruh) dalam berbagai aspek kehidupan

ternyata juga terus meningkat. Berbicara bidang syariah, atau lebih spesifik

tentang perbankan syariah, maka topik bahasan tersebut tidak bisa mengabaikan

eksistensi lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau sub bidang dari

lembaga MUI yang menangani khusus mengenai bidang ekonomi syariah, yaitu

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Peran MUI dan DSN-MUI dalam kegiatan perbankan syariah telah

terlegitimasi dalam ketentuan perundang-undangan nasional, yang tercermin

dalam ketentuan Pasal 1 ayat (12) UUPS 21 Tahun 2008: “prinsip syariah adalah

12
prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang

dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa

dibidang syariah”. Kemudian secara ekplisit, lembaga MUI disebut dalam

ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPS 21 Tahun 2008: “prinsip syariah sebagaimana

dimaksud ayat satu difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia”, dan Pasal 32

ayat (2): “Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama

Indonesia”.

Perkembangan pesat lembaga keuangan syariah memerlukan regulasi

yang berkaitan dengan kesesuaian oprasional lembaga keuangan syariah dengan

prinsip-prinsip syariah. Persoalan muncul karena institusi regulator yang

mempunyai otoritas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan syariah, yaitu

Bank Indonesia (BI) dan kementrian keuangan tidak dapat melaksanakan

otoritasnya dibidang syariah. Ke dua lembaga pemerintahan tersebut tidak

memiliki otoritas untuk merumuskan prinsip-prinsip syariah secara langsung

dari teks-teks keagamaan dalam bentuk peraturan (regulasi) yang bersesuaian

untuk setiap lembaga keuangan syariah. Selain itu, lembaga tersebut tidak

dibekali peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otoritas dalam

mengurus masalah syariah.

Berdasarkan hal tersebut, muncullah gagasan untuk dibentuk DSN, yang

jauh sebelumnya memang sudah diwacanakan, tepatnya pada tanggal 19-20

Agustus tahun 1990 ketika acara lokakarya dan pertemuan yang membahas

tentang bunga bank serta pengembangan ekonomi rakyat yang akhirnya

merekomendasikan kepada pihakpemerintah agar memfasilitasi pendirian bank

13
berdasarkan prinsip syariah. Sehingga pada 14 Oktober 1997 diselenggarakan

lokakarya ulama tentang Reksadana Syariah, dan salah satu rekomendasinya

adalah pembentukan DSN-MUI. Rekomendasi tersebut kemudian ditindak

lanjuti sehingga tersusunlah DSN-MUI secara resmi pada tahun 1998.

DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara

struktural berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang

berkaitan dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan langsung dengan

lembaga keuangan syariah ataupun lainnya. Pada prinsipnya, pendirian DSN-

MUI dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama

dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan

keuangan, selain itu DSN-MUI juga diharapkan dapat berperan sebagai

pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaranislam

dalam kehidupan ekonomi.

Berkaitan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah itulah,

keberadaan DSN-MUI beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI

yang merupakan lembaga negara pemegang otoritas dibidang perbankan, seperti

tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999, di

mana pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan

usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN-MUI”,

lebih lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “demikian pula

dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam

Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiatan usaha yang dimaksudkan belum

difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum

melakukan usaha kegiatan tersebut”.

14
D. DEWAN PENGAWAS SYARIAH

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang terdiri dari

para pakar syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan dalam bidang

perbankan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi

pelaksanaan keputusan DSN pada lembaga keuangan syariah tersebut. Posisi DPS

adalah sejajar dengan dewan komisaris, karena harus mendapat persetujuan RUPS

dan mewakili kepentingan RUPS dari segi pengawasan kesyariahan.

1. Peran Dewan Pengawas Syariah Pada Bank Syariah

Pada dasarnya DPS melanjutkan perpanjangan tangan DSN dalam

merealisasikan fatwa yang telah diputuskan oleh DSN. DPS berperan sebagai

pengawas dari lembaga keuangan syariah yang mengawasi setiap operasional

kegiatan pebankan syariah baik itu bank syariah, asuransi syariah, pasar modal

syariah dan lain-lain, sehingga semua lembaga keuangan syariah dapat berjalan

sesuai dengan tuntutan syariat Islam. DPS tidak terlibat secara langsung dalam

pelaksanaan manajemen lembaga keuangan syariah, karena hal ini sudah

menjadi tanggung jawab langsung di bawah wewenang Direksi suatu lembaga

keuangan syariah. DPS berhak memberikan masukan kepada pihak pelaksana

lembaga keuangan syariah (Sultoni 2019, 108).

DPS adalah badan independen yang terdiri dari para pakar syariah

muamalah yang juga memiliki pengetahuan dalam bidang perbankan yang ada

di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan

DSN pada lembaga keuangan syariah tersebut. DPS merupakan badan

independen, sehingga untuk menjamin mengeluarkan pendapat maka harus

diperhatikan beberapa hal: (a) DPS bukan staf bank, dalam arti bahwa mereka

15
tidak tunduk dibawah kekuasaan administratif. (b) DPS dipilih oleh rapat umum

pemegang saham (RUPS). (c) Honorarium DPS ditentukan oleh RUPS. (d) DPS

mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu seperti halnya badan pengawas

lainnya.

DPS memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip

syariah di perbankan syariah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua

produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena

pentingnya peran DPS ini, maka dua undang-undang di Indonesia

mencantumkan keharusan adanya DPS di perusahaan syariah dan lembaga

perbankan syariah, yaitu undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang

perseroan terbatas dan undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan

syariah. Dengan demikian, secara yuridis, DPS di lembaga perbankan

menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis

(Ilyas 2019, 199).

Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya

operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan

syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah

sangat khusus jika dibanding bank konvensial. Karena itu, diperlukan garis

panduan ini disusun dan ditentukan oleh DSN (Irham 2019, 447). Prinsip

syariah merupakan acuan utama bagi DSN dalam menyusun fatwa terkait

aktivitas keuangan berbasis syariah yang ditujukan bagi industri keuangan

syariah. Tidak hanya itu, adanya prinsip syariah digunakan untuk

mengakomodasi DPS dalam pengawasan kepada industri keuangan syariah baik

bank (IKBS) maupun nonbank (IKNB). Karena setiap industri keuangan syariah

16
baik bank maupun nonbank diwajibkan memiliki dewan pengawas, yang secara

otomatis baik industri keuangan syariah bank maupun non-bank terikat dengan

adanya aturan-aturan syariah sebagaimana yang telah ditetapkan, hal ini

dinamakan dengan kepatuhan syariah (syariah compliance) (Kurrohman 2017,

55).

Menurut undang-undang nomor 40 tahun 2007 pasal 109: (1) Perseroan

yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai

dewan komisaris wajib mempunyai DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas

rekomendasi MUI. (3) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas

memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan

perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan

hukum perseroan terbatas wajib mempunyai DPS. Sejalan dengan itu, undang-

undang nomor 21 tahun 2008 pasal 32 menyebutkan: (a) DPS wajib dibentuk di

bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. (b) DPS

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh RUPS atas rekomendasi

MUI. (c) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan

nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai

dengan prinsip syariah. (d) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan DPS

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan bank Indonesia.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut kedudukan DPS sudah sangat jelas

dan mantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah dan

perusahaan syariah.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keberadaan UU Perbankan Syariah tidak hanya memberikan landasan hukum

yang kuat bagi industri perbankan syariah secara nasional, tapi juga memberikan

lingkungan bagi perkembangannya industri yang lebih mapan dan kondusif. UU

Perbankan Syariah secara umum juga memberikan arah kebijakan dan bentuk

industri perbankan syariah ke depan, bahkan juga menyatakan adanya beberapa

lembaga yang menjadi infrastruktur penting bagi industri perbankan syariah seperti

DSN-MUI dan peradilan agama.

Selain diatur dalam UU, perbankan syariah juga diatur dengan peraturan lain

yang dikeluarkan oleh lembaga otoritas perbankan, yaitu Bank Indonesia (BI) dan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI memiliki peran penting dalam mengatur dan

mengembangkan lembaga perbankan syariah diawal pertumbuhannya. Sejak tahun

1999 BI memberikan izin untuk mejalankan prinsp-prinsip syariah. Berbagai

strategi, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh BI sejak saat itu untuk

mengembangkan perbankan syariah.

Kemudian, berdasarkan amanat UU No. 1 tahun 2011 tentang OJK, terhitung

mulai tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan

pengawasan lembaga perbankan, baik perbankan konvensional maupun perbankan

syariah, beralih dari BI ke OJK.

18
B. SARAN

Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih

kepada semua pihak yang ikut andil wawasannya dalam penulisan ini. Kami

menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,

untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami

perhatikan. Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, R. (2021). Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Perbankan Syariah. Jurnal
Perbankan Syariah, 2(1), 42-53.
Nofinawati. (2015). Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia. JURIS, 14(2), 169-
183.
Prabowo, B. A., & Jamal, J. B. (2017). Peranan Dewan Pengawas Syariah terhadap
Praktik Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 24(1), 113-129.
Segara, T., & Jumeri. (2020). Mengenal Otoritas Jasa Keuanga Dan Industri Jasa
Keuangan. Jakarta: PT. Mediakarya Produktama.
Zamroni, M. (2018). Peran Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam
Kegiatan Perbankan Syariah. Jurnal Tasyri', 25(1), 45-56.

20

Anda mungkin juga menyukai