SYARIAH
Disusun Oleh:
Satria
Nim.
2114110270
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
yang sangat sederhana. Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
Pada kesempatan kali ini izinkan penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ibu Dr. Muzalifah, S.Pd.I., M.S.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum
Perbankan dan semua pihak yang membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini.
Harapan penulis dengan adanya makalah ini bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita
semua, khususnya para mahasiswa/mahasiswi “Perbankan Syariah” dan semua pihak pada
umumnya.
Terlepas dari itu semua, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik serta saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dalam
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................................17
B. Saran ...........................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak berlakunya Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), kebijakan politik hukum nasional mulai memasuki paradigma baru,
terutama dalam penerapan model pengaturan dan pengawasan terhadap industri
keuangan Indonesia. Keluarnya UU OJK memberikan dampak signifikan terhadap
kelembagaan mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam
bidang jasa keuangan. Dalam perihal perbankan syariah menurut pasal 5 OJK yang
mengintegrasi semua pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan, termasuk
dalam lembaga yang pengaturan dan pengawasannya tunduk oleh OJK. Dalam praktik
pengawasan ini dilakukan secara tidak secara monolith dimana tidak hanya OJK yang
mengatur dan mengawasi bidang perbankan syariah. Dewan pengawas syariah (DPS)
juga ikut mengawasi kegiatan perbankan syariah. Hubungan kemitraan DPS dan OJK
sebagai lembaga pengawas perbankan syariah sangatlah penting utuk masa depan dan
pengembangan perbankan syariah di Indonesia Pengawasan seperti apakah yang
dilakukan masing-masing oleh OJK dan DPS dalam perihal perbankan syariah di
Indonesia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
Indonesia (1), UU Tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU NO 21 Tahun 2011, LN 111 Tahun 2011, TLN
5353, ps. 1 angka 1.
2
Hasbi Hasan, “Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga Perbankan Syariah”,
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3, Oktober 2012, hlm. 373-374.
6
tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank;
b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat
pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil
pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam menjalankan tugas pengawasan
bank, saat ini OJK melakukan sistem pengawasan dengan mengguakan 2
pendekatan.3
1) Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision/CBS)
yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuanketentuan yang terkait
dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk
memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar
menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek
kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan
pengawasan bank berdasarkan risiko;
2) Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision/RBS) yaitu
pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan
risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang
signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan
tepat waktu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang bertanggung jawab atas
pengaturan dan pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Ini termasuk pengawasan
terhadap institusi perbankan, termasuk perbankan syariah. Dalam Perbankan Syariah,
OJK memiliki peran penting dalam memastikan bahwa lembaga-lembaga keuangan
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan Islam dan juga memenuhi
regulasi dan standar yang ditetapkan. Berikut adalah beberapa peran dan tanggung
jawab OJK dalam Perbankan Syariah di Indonesia: Pengaturan dan Pembuatan
Kebijakan: OJK bertanggung jawab untuk mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang
berkaitan dengan perbankan syariah. Ini mencakup penetapan standar operasional,
prinsip-prinsip keuangan Islam, dan peraturan lain yang perlu diikuti oleh bank syariah.
Pengawasan: OJK melakukan pengawasan rutin terhadap bank-bank syariah untuk
memastikan kepatuhan mereka terhadap regulasi yang berlaku. Ini termasuk mengawasi
aspek keuangan, risiko, dan kepatuhan syariah dari operasi bank syariah. Pemberian Izin
Operasional: OJK memberikan izin operasional kepada bank-bank syariah yang
memenuhi syarat. Izin ini mencakup berbagai aspek seperti permodalan, manajemen,
3
Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia, Edisi 3 Maret 2016, hal. 26.
7
dan operasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan Islam. Penyuluhan dan
Edukasi: OJK juga berperan dalam penyuluhan dan edukasi masyarakat tentang
perbankan syariah dan produk-produk keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam
perbankan syariah. Penanganan Pengaduan: OJK memiliki mekanisme untuk menangani
pengaduan dari konsumen terkait dengan bank syariah. Mereka memastikan bahwa hak-
hak konsumen dihormati dan masalah-masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan
adil. Ketahanan dan Stabilitas Keuangan: OJK juga memainkan peran dalam menjaga
ketahanan dan stabilitas sektor perbankan syariah. Mereka berusaha untuk
mengidentifikasi risiko-risiko potensial dan bekerja sama dengan bank-bank untuk
mengelolanya. Kerja Sama Internasional: OJK terlibat dalam kerja sama internasional
dengan regulator keuangan dari negara-negara lain untuk mempromosikan pertukaran
informasi dan praktik terbaik dalam pengaturan dan pengawasan perbankan syariah.
Dengan demikian, OJK memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan dan
pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia sambil memastikan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip keuangan Islam dan regulasi yang berlaku. Ini membantu menciptakan
lingkungan yang stabil dan terpercaya bagi konsumen dan lembaga-lembaga keuangan
syariah di Indonesia.
Fungsi pengaturan dan pengawasan bank, termasuk bank syariah dan unit usaha
syariah berada dalam otoritas Bank Indonesia. Fungsi regulasi dan supervisi ini melekat
pada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-undang. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung. Bank Indonesia
berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat
dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak
terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Dari sisi pengawasan terhadap Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah juga dilakukan oleh Bank Indonesia, sebagaimana pada perbankan
konvensional. Untuk melaksanakan kepentingan tersebut Bank Indonesia telah dibentuk
Departemen Perbankan Syariah. Departemen ini terdiri dari 4 divisi yaitu Divisi
Penelitian, Pengembangan dan Pengaturan Perbankan Syaraiah, Divisis Pengawasan
8
Bank Syariah, Divisi Informasi Perbankan Syariah dan Divisi Perizinan, Administrasi
dan Dokumentasi Perbankan Syariah. 4OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran. 5
Secara kelembagaan ,OJK berada di luar pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK
tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah. 6Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa
OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait
dengan pengawasan di bidang perbankan. Selain itu Pasal 40 UU OJK lebih lanjut
mengatur bahwa untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam
rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk
melaksanakan pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih
dahulu kepada OJK. Penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU OJK menegaskan bahwa
tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK
adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential.
Adapun Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait
macroprudential. Berkaitan dengan hal ini jelas bahwa pengaturan perbankan tidak
sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh OJK karena pengaturan
microprudential dan macroprudential akan sangat berkaitan. 7Setelah adanya Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yang diundangkan tanggal 22 November
2011, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank
Indonesia sebagai bank sentral dialihkan pada OJK. OJK adalah lembaga independen
yang dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini. 8
B. Peran Dewan Pengawas Syariah ( DPS)
Pelanggaran terhadap kepatuhan syariah yang dibiarkan oleh DPS atau luput
dari pengawasan DPS, jelas akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata
masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat pada bank
syariah. Bank syariah sebagai pengumpul dan pendistributor dana publik harus
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dalam masyarakat dan dalam dunia usaha.
4
http ://www.bi.go.id/web/id/Tentang BI/Organisasi/perbankan.htm, tanggal akses 25 Februari 2013.
5
Penjelasan Umum Paragraf 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
6
Penjelasan UMum Paragraf 10 Undang -undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
7
Fransika Ari Indrawati, “Mencermati Celah Independensi OJK dalam UU OJK”, Artikel pada Buletin
Hukum Perbankan dan Kebansentralan. Volume 10, Nomor 1, Januari-April 2012
8
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
9
Reputasi ini bukanlah satu hal yang mudah, tetapi harus diusahakan dengan penuh
disiplin dan bersungguh-sungguh. Apabila amanah telah dicapai, upaya untuk
mempertahankan status ini juga bukan hal yang mudah. Satu hal kecil yang
dapat menggugat keyakinan dan, selanjutnya, akan berubah menjadi bencana. 9 Untuk
itulah peran DPS pada bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi
menjadi DPS harus diperketat, dan formalisasi perannya harus diwujudkan
pada bank syariah tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Pasal 109, menyebutkan: 1. Perusahaan yang menjalankan bisnis yang berbasis
prinsip-prinsip syariah selain memiliki Dewan Komisaris memiliki Dewan
Pengawasan Syariah; 2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas seorang yang ahli syariah atau lebih yang ditunjuk oleh RUPS atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI); 3. Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah petunjuk dan nasihat kepada Direksi dan
mengawasi kegiatan-kegiatan Perusahaan untuk mematuhi prinsip-prinsip Islam.
Berdasarkan undang-undang ini, maka setiap badan hukum atau perusahaan yang
beroperasional berdasarkan prinsip syariah hendaklah memiliki DPS. Oleh karena
itu, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 32 menyebutkan: 1. Dewan Pengawas
Syariah hendaklah didirikan di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki Usaha Unit Syariah (UUS); 2. Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia; 3. Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan-kegiatan bank agar mematuhi
prinsip-prinsip Syariah; 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai berdirinya Dewan
Pengawasan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Bank
Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah Pasal 32, maka
perbankan syariah harus mendirikan DPS seperti yang dimandatkan oleh Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
9
M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah, Bumi Aksara, Jakarta,
2008, hlm. 49.
10
kedua undang-undang di Indonesia termasuk kebutuhan DPS dalam perusahaan
berdasarkan syariah dan institusi perbankan syariah yaitu Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Oleh karena itu, secara yuridis Dewan Pengawas Syariah
(DPS) pada institusi perbankan mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena
kehadirannya adalah sangat penting dan strategis. Pengoptimalan peranan DPS
adalah sangat penting untuk memastikan setiap transaksi sesuai prinsip-prinsip
syariah yang merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, dalam hal ini, fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Pedoman dasar DSN MUI Bab IV ayat
(2) menyatakan bahwa DSN MUI mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di setiap
institusi keuangan syariah dan menjadi dasar bagi para pihak untuk mengambil
tindakan hukum yang berkaitan, yaitu berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN MUI dirujuk oleh DPS.10 DSN merupakan satu-satunya badan yang
mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa Syariah terhadap jenis-jenis
kegiatan, produk, dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa
dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan di Indonesia.11 Di samping itu, peran DPS
dan DSN bukan hanya mengawasi operasional lembaga keuangan syariah saja, tetapi
memiliki peran yang lebih besar lagi yaitu turut mendorong tumbuh
kembangnya ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. 12 Keberadaan DPS yang
disebut dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pada dasarnya DPS
hendaklah didirikan di bank-bank syariah dan bank konvensional yang memiliki
unit-unit usaha syariah, mereka dilantik oleh Rapat Umum pemegang saham
atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS ditugaskan untuk memberikan
nasehat kepada para direktur dan mengawasi kegiatan-kegiatan bank untuk
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. 13 DPS berdasarkan AAOIFI (Accounting
and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions)telah menyediakan
standar untuk DPS, komposisi, dan aspek-aspek yang berkaitan seperti peraturan,
laporan dan sebagainya. Menurut standar ini, lembaga syariah harus menjadi
10
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip
Kemitraan), Cetakan Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 42.
11
Minarni, “Konsep Pengawasan, Kerangka Audit Syariah dan tata Kelola Lembaga Keuangan
Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. VII, No. 1, Juli 2013, hlm. 32.
12
Fitra Nelli, “Problematika Kiprah Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Perbankan Syariah, Jurnal
Al-Masharif, Vol. III, No. 1, Januari - Juni 2015, hlm. 91
13
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), Cetakan
Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 48.
11
lembaga bebas yang terdiri dari para ulama yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan hukum Islam. DPS juga dapat terdiri dari ahli-ahli lain dalam
bidang institusi keuangan syariah dengan pengetahuan sains undang-undang
Islam yang berkaitan dengan transaksi komersial. DPS diamanahkan dengan
tugas mengarahkan, meneliti dan mengawasi kegiatan institusi keuangan syariah
untuk memastikan bahwa ia mematuhi peraturan dan prinsip-prinsip syariah.14
Peranan Dewan Pengawas Syariah dalam Industri Perbankan Syariah Dalam industri
perbankan syariah pelayanan yang diberikan oleh bank kepada nasabah mana pada
umumnya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena pelayanan yang
diberi bukan bertujuan sekedar untuk mendapat keuntungan seperti bank
konvensional maka bank akan mengaplikasikan beberapa kontrak syariah yang
15
sesuai. Dewan Pengawas Syariah memiliki peranan yang amat penting dalam
perbankan syariah selaras dengan kontrak syariah yaitu:
2. Membuat laporan secara rutin pada setiap tahun tentang bank syariah yang berada
dalam pengawasannya bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai
denganketentuan syariah. Dalam laporan tahunan (annual report) institusi
syariah, maka laporan dari DPS mesti dibuat dengan jelas;
14
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu Pribadi, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm. 52.
15
Hailani Muji Tahir, Sanep Ahmad, Aplikasi Fiqh Muamalat dalam Sistem Keuangan syariah,
Pusat Penerbitan Universiti (UPENA), Shah Alam, 2009, hlm. 43.
12
5. Membantu sosialisasi syariah institusi keuangan perbankan/kepada masyarakat;
16
“Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Jamin Dana Nasabah Rp 2 Miliar” dalam Republika, Selasa 14
Oktober 2008. Lo.Cit.
17
Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan R.I), Ibid.
13
penjaminan simpanan tersebut. Regulasi secara positif pengaturan tentang Lembaga
Jaminan Simpanan (LPS) adalah UndangUndang Nomor 24 tahun 2004. Sementara
pengaturan tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Syariah adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005. Adapun dana simpanan yang dijamin oleh
pemerintah di bank syariah, meliputi simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. 18
18
Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS)
Syariah.
14
adalah Rp 2 milyar. Sesuai ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.39 tahun
2005 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tersebut, bahwa simpanan yang
dijamin Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mencakup saldo pada tanggal
pencabutan izin usaha bank. Artinya pada saat tersebut secara juridis tidak lagi
beroperasi. Di pihak lain, untuk simpanan di bank Syariah yang memiliki komponen
atau skim bagi hasil, maka saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang
telah menjadi hak nasabah sampai dengan tanggal pencabutan izin usaha Bank Umum
Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sementara terhadap bank
konvensional yang mengoperasikan Unit Usaha Syariah, maka perhitungan pokok dan
bagi hasilnya ditentukan sejak bank umum konvensional yang menjadi induk UUS di
cabut izin usahanya. Berbeda dengan Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), maka terhadap simpanan nasabah pada Unit
Usaha Syariah UUS bank konvensional, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS),
hanya akan membayar klaim penjaminan apabila izin usaha bank umum konvensional
yang menjadi induk UUS tersebut dicabut oleh LPP/Bank Indonesia. Apabila dalam
praktek hanya izin Unit Usaha Syariah (UUS) nya saja yang dicabut oleh LPP/Bank
Indonesia, baik atas permintaan pemegang saham maupun karena pengenaan sanksi
dari LPP/Bank Indonesia, maka kewajiban Unit Usaha Syariah (UUS) kepada
nasabah penyimpan tersebut menjadi tanggung jawab bank umum konvensional yang
menjadi induk Unit Usaha Syariah (UUS) tersebut. Penetapan bagi hasil pada bank
syariah dapat didasarkan dengan dua cara, yaitu pada pendapatan (revenue sharing)
atau laba/rugi (profit/loss sharing). Mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) mengenai giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan akad mudharabah,
Bank Syariah sebagai mudharib, maka dia harus menutup biaya operasional
pengelolaan simpanan tersebut dengan menggunakan nisbah yang menjadi haknya.
Dengan demikian, bagi hasil yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia
adalah bagi pendapatan (revenue sharing). Dengan diterapkannya bagi pendapatan,
bank syariah (BS) tidak akan membagi kerugian yang timbul dari pengelolaan/
penempatan simpanan kepada nasabah, atau dengan kata lain Bank Syariah (BS)
menjamin pokok simpanan nasabah tidak akan berkurang. Untuk deposito
berdasarkan prinsip mudharabah yang mempunyai jangka waktu lebih dari 1 bulan,
umumnya Bank Syariah (BS) melakukan perhitungan bagi hasil secara bulanan. Bagi
hasil yang telah menjadi hak nasabah pada bulan tertentu oleh Bank Syariah (BS)
ditempatkan dalam rekening tabungan/giro nasabah yang bersangkutan, ditempatkan
15
dalam kewajiban yang harus segera dibayar, atau dibayarkan secara tunai kepada
nasabah. Apabila Bank Syariah (BS) dicabut izin usahanya di tengah periode
perhitungan bagi hasil, besarnya bagi hasil untuk jangka waktu antara tanggal
perhitungan bagi hasil bulanan yang terakhir dengan tanggal pencabutan izin usaha
bank tersebut akan dihitung secara proporsional. Dengan perhitungan tersebut, pada
prinsipnya tidak ada perbedaan perhitungan jumlah simpanan yang dijamin di Bank
Syariah (BS) dan di bank konvensional (BK). Ketentuan maksimum tingkat bunga
penjaminan tersebut hanya diberlakukan untuk simpanan yang mempunyai komponen
bunga, dan tidak diberlakukan untuk simpanan di Bank Syariah (BS) yang tidak
mempunyai komponen bunga. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tidak
menetapkan maksimum bagi hasil yang wajar diterima nasabah penyimpan di Bank
Syariah (BS), mengingat besarnya bagi hasil bersifat fluktuatif dan tidak diperjanjikan
di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di Bank Syariah
(BS) apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return/ER) melebihi
maksimum tingkat bunga penjaminan, simpanan di BS tersebut tetap dijamin oleh
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga Pengawasan Perbankan Syariah (LPPS) adalah entitas yang
bertanggung jawab mengawasi dan mengatur operasi perbankan syariah untuk
memastikan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip syariah. Berikut adalah
beberapa kesimpulan tentang Kendali Prinsip Syariah memiliki peran utama dalam
memastikan bahwa bank-bank syariah mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasi
mereka, termasuk larangan riba, keadilan, transparansi, dan etika bisnis Islam.
Perlindungan Konsumen: Salah satu peran LPPS adalah melindungi kepentingan
konsumen yang menggunakan layanan perbankan syariah. Ini mencakup memastikan
bahwa bank-bank tersebut memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada nasabah.
Pengaturan dan Pengawasan:bertugas mengeluarkan regulasi dan pedoman untuk bank-
bank syariah. Mereka juga melakukan pengawasan terhadap operasi bank-bank ini
untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan Hukum:
memiliki wewenang untuk menegakkan hukum jika bank-bank syariah melanggar
prinsip-prinsip syariah atau peraturan yang ada. Pengembangan Industri: Selain
mengawasi dan mengatur, juga berperan dalam pengembangan industri perbankan
syariah, mendorong inovasi, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
layanan perbankan syariah. Transparansi dan Akuntabilitas: harus beroperasi secara
transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka agar
dapat dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat. Kesimpulannya, merupakan lembaga
yang penting dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah untuk memastikan
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah, melindungi konsumen, dan
mengembangkan industri perbankan syariah secara keseluruhan. Lembaga ini memiliki
peran yang vital dalam menjaga integritas dan keberlanjutan perbankan syariah dalam
ekonomi yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam.
B. Saran
Peningkatan Kapasitas harus terus meningkatkan kapasitas dan keahlian staf mereka
dalam memahami prinsip-prinsip syariah dan pemahaman terkini tentang bisnis
perbankan syariah. Ini akan membantu mereka dalam pengawasan yang lebih efektif.
Transparansi dan Komunikasi harus berkomunikasi secara terbuka dengan bank-bank
syariah dan masyarakat. Mereka dapat memberikan panduan yang lebih jelas kepada
bank-bank tentang apa yang diharapkan dalam hal kepatuhan syariah dan peraturan.
17
Selain itu, mereka juga dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
manfaat dan kebijakan perbankan syariah.Penggunaan Teknologi dapat memanfaatkan
teknologi terkini untuk memudahkan pengawasan. Sistem informasi dan analisis data
dapat membantu mereka dalam mengidentifikasi potensi risiko dan masalah dengan
lebih cepat. Perbankan syariah terus bertransformasi di tengah ramainya teknologi
sehingga perlu lebih banyak penelitian lebih mendalam.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ari Indrawati, Fransika Mencermati Celah Independensi OJK dalam UU OJK Artikel
pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan. 2012
Ayub, Muhammad Understanding Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu Pribadi, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009
Diponegoro 74 Jurnal Pemikiran Sosial-Politik Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,
Tahun VII/2004/No.12/Oktober-Desember 2004.
Hasan,Hasbi Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga
Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia, 2012
Juita, SR, & Astanti, DI (2018). Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam
Melaksanakan Fungsi Pengawasan Terhadap Dewan Perbankan Syariah. Hukum
dan Keadilan , 2 (2), 157-167.
Prabowo, B. A., & Jamal, J. B. (2017). Peranan Dewan Pengawas Syariah terhadap
Praktik Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum, 24(1), 113-129.
Sanep Ahmad Hailani Muji Tahir, Aplikasi Fiqh Muamalat dalam Sistem Keuangan
syariah, Pusat Penerbitan Universiti (UPENA), Shah Alam, 2009, hlm. 43.
Tariqullah Khan, M. Umer Chapra Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah, 2008
19