Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Sistem Operasional Bank Syariah

Akuntansi Perbankan Syariah (Teori dan Praktik Kontemporer)

Dosen Pengampu : Rusman Azizoma, M.Acc

Disusun Oleh :

NAMA : SHAQILA ANGGRIAINI


NIM : 200502100
KELAS : 3 C PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Akuntansi Perbankan
Syariah dengan judul “Sistem Operasional Bank Syariah ”.

Makalah ini di susun bertujuan untuk memenuhi tugas ujian tengah semester
(UTS) dalam mata kuliah Akuntansi Perbankan Syariah. Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami dan Sekiranya makalah yang sudah disusun ini dapat berguna bagi saya
sendiri maupun orang yang membacanya.

Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan di hati dan saya memohon kritik dan saran yang bersifat membangun, demi
perbaikan di masa depan.

Akhir kata saya sampaikan Terimakasih atas kesempatan saudara untuk membaca
dan memahami makalah ini, semoga Allah Swt. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin ya Rabbal Alamin

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mataram, 05 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

C. Tujuan ............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3

A. Pengertian, dan Asas Bank Syariah ................................................................................ 3

B. Tujuan Bank Syariah....................................................................................................... 5

C. Fungsi Bank Syariah ....................................................................................................... 6

D. Sistem Operasional Bank Syariah ................................................................................... 9

E. Prinsip-Prinsip dalam Penghimpunan Dana Bank Syariah........................................... 11

F. Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah ........................................................................ 14

G. Prinsip-Prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan ........................17

H. Larangan bagi Bank Syariah .........................................................................................20

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 22

KESIMPULAN .................................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan perantara perantara keuangan yang seharusnya mampu melakukan
pengumpulan dana secara seimbang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk
mencapai hal itu, maka perlunya ada landasan sistem operasional bank syariah. Munculnya
banyak lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah ahkirakhir ini
merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dicermati. Dengan diberlakukannya
Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang perbankan pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa
salah satu bentuk usaha bank adalah menyediakan pembiayaan atau melakukan kegiatan
lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank
Indonesia. Semakin banyak bank-bank yang menggunakan sistem bagi hasil (Bank
Syariah), maka di Indonesia memberikan sebuah solusi bagi umat Islam dalam dunia
perekonomian.
Adapun sistem operasional bank syariah yang meliputi aspek penghimpunan dan
penyaluran dana. Relevansi Pembahasan makalah tentang Sistem Operasional Bank
syariah adalah sebagai landasan untuk memahami model interaksi antara bank dengan
nasabah yang tidak bertentangan dengan syariah. Larangan memperoleh pendapatan
dengan cara riba telah mendorong fungsi intermediasi bank sebagai pemberi pinjaman
beralih pada fungsi-fungsi lain yang tidak bertentangan, yaitu manajer investasi, investor,
dan fungsi sosial.
Makalah ini akan dibahas secara khusus tentang sistem operasional bank syariah,
yaitu alternatif mekanisme penghimpunan dan penyaluran dana. Semoga dengan adanya
makalah ini, kita dapat memahami Berbagai alternatif skema operasional bank syariah
yang dapat digunakan dalam hal penghimpunan, penyaluran, dan penyediaan jasa layanan
keuangan lain kepada nasabah. Dan dapat mengembangkan penalarannya dengan memilih
skema yang ada secara tepat untuk berbagai jenis transaksi yang dibutuhkan oleh nasabah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan asas dari Bank Syariah?
2. Apakah tujuan dari Bank Syariah ?
3. Apakah fungsi dari Bank Syariah ?

1
4. Bagaimanakah sistem operasional Bank Syariah ?
5. Bagaimanakah prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah ?
6. Bagaimanakah prinsip penyaluran dana Bank Syariah ?
7. Bagaimanakah prinsip-prinsip dalam pelaksanaan fungsi jasa keuangan perbankan ?
8. Apasaja larangan bagi Bank Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan asas dari Bank Syariah.
2. Untuk mengetahui tujuan dari Bank Syariah.
3. Untuk mengetahui fungsi Bank Syariah.
4. Untuk mengetahui sistem operasional Bank Syariah.
5. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam penghimpunan dana Bank Syariah.
6. Untuk mengetahui prinsip penyaluran dana Bank Syariah.
7. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam pelaksanaan fungsi jasa keuangan
perbankan.
8. Untuk mengetahui larangan bagi Bank Syariah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, dan Asas Bank Syariah.


1. Pengertian Bank Syariah

Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi
intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem
operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa
Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun),
kemaslahatan (maslahah) , universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar,
maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga
mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan
fungsi seperti lembaga baitul mal.

Pelaksanaan fungsi dan pengawasan perbankan syariah dari aspek pelaksanaan kehati-
hatian dan tata kelola yang baik dilaksanakan oleh OJK sebagaimana halnya pada
perbankan konvensional, namun dengan pengaturan dan sistem pengawasan yang
disesuiakan dengan sistem operasional perbankan syariah. Masalah pemenuhan prinsip
syariah memang hal yang unik bank syariah, karena hakikinya bank syariah adalah bank
yang menawarkan produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan pada prinsip
syariah menjadi sangat fundamental karena hal inilah yang menjadi alasan dasar
eksistensi bank syariah. Selain itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang sebagai sisi
kekuatan bank syariah. Dengan konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah maka
kemaslhahatan berupa kestabilan sistem.

Sistem dan mekanisme untuk menjamin kepatuhan terhadap syariah yang menjadi isu
penting dalam pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki peran
penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang dijalankan
oleh organ khususnya DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa suatu produk bank. Kemudian

3
Peraturan Bank Indonesia (sekarang POJK) menegaskan bahwa semua produk perbankan
syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari
DSN-MUI dan memperoleh izin dari OJK. Pada tataran operasional pada setiap bank
syariah juga diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memiliki fungsi,
pertama fungsi pengawasan syariah dan kedua fungsi penasehat (penasehat) ketika bank
mengajukan pertanyaan mengenai apakah suatu aktivitasnya sesuai syariah apa tidak,
serta dalam proses pengembangan produk yang akan disampaikan kepada DSN untuk
memperoleh fatwa. Selain itu dalam perbankan syariah juga diarahkan fungsi audit
internal yang fokus pada pengawasan syariah untuk membantu DPS, serta dalam
pelaksanaan audit eksternal yang digunakan bank syariah adalah auditor yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi di bidang syariah.

Secara umum terdapat bentuk usaha bank syariah terdiri atas Bank Umum dan BPRS,
dengan perbedaan pokok BPRS dilarang menerima simpanan berupa giro dan ikut serta
dalam lalu lintas sistem pembayaran. Secara kelembagaan bank umum syariah ada yang
berbentuk bank syariah penuh dan terdapat pula dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS)
dari bank umum konvensional. Pembagian tersebut serupa dengan bank konvensional,
dan sebagaimana diatur dalam UU perbankan, UU Perbankan Syariah juga mewajibkan
setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk
simpanan atau investasi berdasarkan prinsip syariah harus terlebih dahulu mendapat izin
OJK.

2. Asas Bank Syariah

Pasal 2 UU Perbankan Syariah menyebutkan bahwa bank syariah berasaskan pada


tiga prinsip utama yaitu Prinsip Syariah, Demokrasi Ekonomi, dan Prinsip Kehati-hatian.
" Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah,
demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian".

Dalam penjelasan atas UU Perbankan Syariah, dijelaskan bahwa Kegiatan usaha yang
berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung
unsur:

a) Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu

4
penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b) Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti
dan bersifat untung-untungan;
c) Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali
diatur lain dalam syariah;
d) Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e) Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang
mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedang Yang
dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib
dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Tujuan Bank Syariah

Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan
demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang
dihadapi oleh dunia perbankan syariah. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa
belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna
menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan
membangun model teori ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan
ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan.

Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan
bank syariah didirikan. Setelah di dalam perjalanan sejarah bank-bank yang telah ada
(bank konvesional) dirasakan mengalami kegagalan menjalankan fungsi utamanya
menjembatani antara pemilik modal atau kelebihan dana dengan pihak yang
membutuhkan dana, maka dibentuklah bank-bank Islam dengan tujuan-tujuan sebagai
berikut :

5
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara islami agar
terhindar dari praktek riba,
2. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank non–Islam
(konvesional) yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank,
3. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan
keuntungan yang sah menurut islam,
4. Menghindari bunga bank uang yang dilaksanakan bank konvesional,
5. Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis,
berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka,
6. Menghindari Al Iktinaz yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya
menganggur dan tidak berputar,
7. Untuk membantu menanggulangi (mengentaskan) masalah kemiskinan, yang
pada umumnya merupakan program utama dari negara–negara yang sedang
berkembang,
8. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan melalui kegiatan investasi,
9. Menjaga kestabilan ekonomi/ moneter pemerintah, dan
10. Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan Islam menurut syariah Islam
dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank-bank dengan sistem
lain.

C. Fungsi Bank Syariah

Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,


disebutkan bahwa Bank Syariah wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat. Bank Syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam
bentuk lembaga baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,
hibah, atau dana sosial lainnya (antara lain denda terhadap nasabah atau ta’zir) dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu, bank syariah juga dapat
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

6
Dalam beberapa literatur perbankan syariah, bank syariah dengan beragam skema
transaksi yang dimiliki dalam skema non-riba memiliki setidaknya empat fungsi, yaitu
(1) fungsi manajer investasi; (2) fungsi investor; (3) fungsi sosial; dan (4) fungsi jasa
keuangan. Keempat fungsi tersebut akan dibahas secara detail sebagai berikut :

1. Fungsi Manajer InvestasiInvestasi


Fungsi ini dapat dilihat pada segi penghimpunan dana oleh bank syariah,
khususnya dana mudharabah. Dengan fungsi ini, bank syariah bertindak sebagai
manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus
dapat disalurkan pada penyaluran yang produktif, sehingga dana yang dihimpun
dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah
dan pemilik dana.
Berbeda dengan bank konvensional, imbalan yang diberikan kepada para
deposan bank konvensional memiliki sifat tetap tanpa dipengaruhi oleh kinerja
bank dan jumlahnya dapat ditentukan di muka karena hanya didasarkan pada
persentase tertentu terhadap jumlah uang yang disimpan di bank konvensional.
Sebaliknya, imbalan bank syariah kepada deposan sangat bergantung pada
pendapatan yang diperoleh oleh bank sebagai mudharib dalam mengelola dana
mudharabah. Makin besar pendapatan bank yang dapat dibagihasilkan, makin
besar pula imbalan yang akan diberikan kepada pemilik dana yang memercayakan
uangnya dikelola oleh bank syariah. Sebaliknya, makin kecil pendapatan bank
yang dapat dibagihasilkan, makin kecil pula imbalan yang akan diberikan kepada
pemilik dana, kendati nominal uang yang ditempatkan oleh nasabah di bank
syariah tersebut adalah sama dengan jumlah yang ditempatkan pada bulan atau
periode sebelumnya.Dalam hal bagi hasil kepada nasabah, bank syariah
menggunakan konsep nisbah bagi hasil atas persentase pendapatan yang
diperoleh. Hal ini menyebabkan besar atau kecilnya imbalan bagi pemilik dana
tidak semata ditentukan oleh makin besarnya porsi bagi hasil oleh nasabah,
melainkan juga oleh kualitas penyaluran dana oleh bank. Salah satu implikasi dari
mekanisme ini adalah bank syariah tidak disarankan untuk menerima dana apabila
tidak mampu menyalurkan dana tersebut pada hal yang produktif. Ini disebabkan
karena keterbatasan hasil yang diperoleh juga akan dibagi kepada pemilik dana

7
yang baru, yang dananya belum bisa disalurkan. Hal ini tentu akan merugikan
pemilik dana yang lama, yang sekiranya pemilik dana baru tidak ada, mereka
akan memperoleh imbalan bagi hasil lebih besar.
2. Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik
dana). Sebagai investor, penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus
dilakukan pada sektorsektor yang produktif dengan risiko yang minim dan tidak
melanggar ketentuan syariah. Selain itu, dalam menginvestasikan dana bank
syariah harus menggunakan alat investasi yang sesuai dengan syariah. Investasi
yang sesuai dengan syariah meliputi akad jual beli (murabahah, salam, dan
istishna’), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa-menyewa
(ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik), dan akad lainnya yang dibolehkan oleh
syariah.
3. Fungsi Sosial
Fungsi sosial bank syariah merupakan sesuatu yang melekat pada bank
syariah. Setidaknya ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam
menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen Zakat, Infak, Sadaqah, dan Wakaf
(ZISWAF) dan instrumen qardhul hasan.
Instrumen ZISWAF berfungsi untuk menghimpun ZISWAF dari masyarakat,
pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Dana yang
dihimpun melalui instrumen ZISWAF selanjutnya disalurkan kepada yang berhak
dalam bentuk bantuan atau hibah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak
memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sedekah yang tidak ditentukan
peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi. Selanjutnya, dana qardhul
hasan disalurkan untuk (1) pengadaan atau perbaikan kualitas fasilitas sosial dan
fasilitas umum masyarakat (terutama bagi dana yang berasal dari penerimaan
yang tidak memenuhi kriteria halal); (2) sumbangan atau hibah kepada yang
berhak; dan (3) pinjaman tanpa bunga yang diprioritaskan pada masyarakat
golongan ekonomi lemah, tetapi memiliki potensi dan kemampuan untuk
mengembalikan pinjaman tersebut.
4. Fungsi Jasa Keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda
8
dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso,
pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, dalam hal mekanisme mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,
bank syariah tetap harus menggunakan skema yang sesuai dengan pinsip syariah.

D. Sistem Operasional Bank Syariah

Sistem operasional bank syariah dapat ditunjukkan mekanmenya dengan alur sebagai
berikut :

1. Sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat. Penghimpunan dana dapat dilakukan dengan skema investasi maupun
skema titipan. Dalam penghimpunan dana dengan skema investasi dari nasabah
pemilik dana (shahibul maal), bank syariah berperan sebagai pengelola dana atau
biasa disebut dengan mudharib. Adapun pada penghimpunan dengan skema
penitipan, bank syariah berperan sebagai penerima titipan.
2. Dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai
pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa
9
barang atau jasa yang disediakan oleh bank syariah. Pada saat dana disalurkan
dalam bentuk investasi, bank syariah berperan sebagai pemilik dana. Pada saat dana
disalurkan dalam kegiatan jual beli, bank syariah berperan sebagai penjual dan pada
saat disalurkan dalam kegiatan pengadaan objek sewa, berperan sebagai pemberi
sewa.
3. Dari penyaluran dana kepada berbagai pihak, bank syariah selanjutnya menerima
pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa
dan berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrumen penyaluran dana lain
yang
dibolehkan.
4. Pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran selanjut dibagikan kepada
nasabah pemilik dana atau penitip dana. Penyaluran dana kepada pemilik dana
bersifat wajib sesuai dengan porsi bagi hasil yang disepakati. Adapun penyaluran
dana kepada nasabah penitip dana bersifat sukarela tanpa ditetapkan di muka
sebelumnya dan biasa disebut dengan istilah bonus.
5. Selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam
sistem operasionalnya juga memberikan layanan jasa keuangan seperti jasa ATM,
transfer, letter of credit, bank garansi, dan lain sebagainya. Oleh karena jasa
tersebut dilakukan tanpa menggunakan dana dari pemilik dana maupun penitip
dana, maka pendapatan yang diperoleh dari jasa tersebut dapat dimiliki sepenuhnya
oleh bank syariah tanpa harus dibagi.

Dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat disimpulkan terdiri atas
sistem penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan
jasa keuangan. Jika dibandingkan dengan antara sistem operasional bank syariah dengan
bank konvensional, perbedaannya terletak pada mekanisme pemerolehan keuntungan
pada pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bank.
Mekanisme pemerolehan pendapatan pada bank konvensional menggunakan sistem
bunga, yaitu sistem yang menjanjikan pihak yang menyimpan uangnya atau yang
menyalurkan dananya dengan persentase tertentu terhadap dana yang disimpan atau
disalurkan. Dengan demikian, pemerolehan pendapatan oleh penabung atas uang yang
ditabungkan tidak memiliki kaitan dengan pendapatan yang diperoleh bank dari

10
mekanisme penyaluran dananya. Dalam hal ini, nasabah bank konvensional bisa
langsung menghitung pendapatan yang akan diterimanya dari bank pada saat ia
menyimpan uangnya di bank konvensional.

Berbeda dengan bank konvensional, mekanisme pemerolehan keuntungan nasabah


penabung pada penghimpunan dana bank syariah terkait erat dengan hasil pemerolehan
pendapatan pada kegiatan penyaluran dana oleh bank syariah. Hal ini disebabkan karena
bank syariah menggunakan prinsip penghimpunan yang berbeda dengan bank
konvensional. Demikian juga halnya dengan pemerolehan pendapatan bank dari kegiatan
penyaluran dana kepada nasabah yang dibiayai. Berikut akan dibahas secara berurutan
prinsip penghimpunan dan penyaluran dana pada bank syariah. Pembahasan kemudian
dilanjutkan dengan prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan fungsi jasa keuangan
perbankan, di luar penghimpunan dan penyaluran seperti jasa transfer dana, bank garansi,
anjak piutang, dan lain sebagainya.

E. Prinsip-Prinsip dalam Penghimpunan Dana Bank Syariah

Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank konvensional maupun
syariah dilakukan dengan menggunakan instrumen tabungan, deposito, dan giro yang
secara total biasa disebut dengan dana pihak ketiga. Akan tetapi, pada bank syariah,
klasifikasi penghimpunan dana bank syariah tidak didasarkan pada nama instrumen
tersebut melainkan berdasarkan pada prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN), prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank
syariah ada dua, yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah.

1. Penghimpunan Dana dengan Prinsip Wadiah


Wadiah berarti titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan oleh yang penerima titipan,
kapan pun si penitip menghendaki. Wadiah dibagi atas dua, yaitu wadiah yad-
dhamanah dan wadiah yad-amanah. Wadiah yad-dhamanah adalah titipan yang
selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima
titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan, maka
seluruhnya menjadi hak penerima titipan. Prinsip titipan wadiah yad amanah
adalah penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai
11
si penitip mengambil kembali titipannya.
Islam tidak membatasi secara khusus objek yang bisa dititipi, sehingga hal
yang dititipi tidak saja barang melainkan juga bisa uang. Penerima titipan dalam
transaksi wadiah dapat meminta imbalan (ujrah) kepada penitip atas jasanya
dalam menjaga barang atau uang titipan. Sebaliknya, jika si penerima titipan,
khususnya yang menggunakan akad wadiah yad-dhamanah merasa mendapat
manfaat atas sesuatu yang dititipi, maka si penerima titipan boleh memberikan
bonus kepada penitip dari hasil pemanfaatannya dengan syarat bonus tersebut
tidak dijanjikan sebelumnya dan besarnya bergantung pada penerima titipan.
Berdasarkan fatwa DSN tentang tabungan wadiah, baik giro wadiah dan tabungan
wadiah sifatnya adalah titipan yang bisa diambil kapan pun oleh penitip tanpa
adanya imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian atau bonus
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Prinsip wadiah yang lazim digunakan dalam perbankan syariah adalah wadiah
yaddhamanah dan biasa disingkat dengan wadiah. Prinsip ini dapat diterapkan
pada kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Giro wadiah adalah
titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu Automatic Teller Machine
(ATM), sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan.
Adapun tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang
penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan
menggunakan kuitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya, atau
dengan cara pemindahbukuan. Berdasarkan observasi penulis, prinsip wadiah
cenderung digunakan bank syariah di Indonesia untuk kegiatan penghimpunan
melalui giro, sedangkan penghimpunan dana melalui tabungan cenderung
menggunakan prinsip lain, yaitu prinsip mudharabah.
2. Penghimpunan Dana dengan Prinsip Mudharabah
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha di mana pihak
pertama menyediakan dana dan pihak kedua bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha. Pihak yang menyediakan dana biasa disebut dengan istilah shahibul maal,
sedang pihak yang mengelola usaha biasa disebut dengan istilah mudharib.
Keuntungan hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisbah bagi hasil yang
disepakati bersama sejak awal.
12
dibagikan sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati bersama sejak awal.
Akan tetapi, jika terjadi kerugian, shahibul maal akan kehilangan sebagian
imbalan dari hasil kerjanya selama proyek berlangsung.
Berdasarkan PSAK 105, mudharabah dibagi atas tiga, yaitu mudharabah
muthlaqah, mudharabah muqayyadah, dan mudharabah musytarakah.
Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah yang memberi kuasa kepada
mudharib secara penuh untuk menjalankan usaha tanpa batasan apa pun yang
berkaitan dengan usaha tersebut. Batasan yang dimaksud berupa jenis usaha,
tempat, pemasok, dan konsumen usaha. Mudharabah muthlaqah biasa disebut
juga dengan investasi tidak terikat. Mudharabah muqayyadah, yaitu shahibul
maal, memberi batasan kepada mudharib dalam pengelolaan dana berupa jenis
usaha, tempat, pemasok, maupun konsumen. Mudharabah muqayyadah biasa
disebut juga dengan investasi terikat. Mudharabah musytarakah adalah bentuk
muedharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam
kerja sama investasi. Akad musytarakah ini merupakan perpaduan antara akad
mudharabah dan akad musyarakah. Dalam mudharabah musyatarakah, pengelola
dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan juga dananya dalam investasi
bersama (berdasarkan akad musyarakah).
Dalam penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah muthlaqah,
kedudukan bank syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana),
sedangkan penabung atau deposan adalah pemilik dana (shahibul maal).
Selanjutnya, hasil usaha yang diperoleh bank dibagi antara bank dengan nasabah
pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati di muka. Dalam
penghimpunan dana dengan pinsip mudharabah muqayyadah, kedudukan bank
hanya sebagai agen, karena pemilik dana adalah nasabah pemilik dana
mudharabah muqayyadah, sedang pengelola dana adalah nasabah pembiayaan
mudharabah muqayyadah. Pembagian hasil usaha dilakukan antara nasabah
pemilik dana mudharabah muqayyadah dengan nasabah pembiayaan mudharabah
muqayyadah. Bank sebagai agen dalam hal ini menerima fee. Pola investasi
terikat (mudharabah muqayyadah) dapat dilakukan dengan cara channeling dan
executing. Pola channeling adalah apabila semua risiko ditanggung oleh pemilik
dana dan bank sebagai agen tidak menanggung risiko apa pun. Pola executing
adalah apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko. Dana mudharabah
13
muqayyadah yang disalurkan dengan pola executing disajikan dalam neraca bank
syariah, sedangkan dana mudharabah yang disalurkan dengan pola channeling,
disajikan dalam laporan investasi terikat dan terpisah dari neraca bank syariah.
Pada dasarnya, semua bentuk kegiatan penghimpunan dana bank syariah
(tabungan, deposito, dan giro) dapat menggunakan prinsip mudharabah
muthlaqah. Dalam praktik, untuk keperluan kegiatan tabungan dan deposito,
perbankan syariah di Indonesia umumnya menggunakan prinsip mudharabah
muthlaqah. Kendati hanya ditulis tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah, skema yang dimaksud pada dasarnya adalah tabungan mudharabah
muthlaqah dan deposito mudharabah muthlaqah.

F. Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah

Penyaluran dana bank syariah dilakukan dengan menggunakan skema jual beli, skema
investasi, dan skema sewa. Skema jual beli memiliki beberapa bentuk, yaitu murabahah,
salam, dan istishna’. Skema investasi terdiri atas dua jenis, yaitu mudharabah dan
musyarakah. Sementara itu, skema sewa terdiri atas ijarah dan ijarah muntahiya
bittamlik.

1. Prinsip Jual Beli

Prinsip jual beli terdiri atas tiga, yaitu murabahah, salam, dan istishna’.

a. Jual Beli dengan Skema Murabahah


Jual beli dengan skema murabahah adalah jual beli dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Skema ini
dapat digunakan oleh bank untuk nasabah yang hendak memiliki suatu barang,
sedang nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada saat pembelian.
Pada pembiayaan dengan skema murabahah, bank adalah penjual, sedang
nasabah yang memerlukan barang adalah pembeli. Keuntungan yang diperoleh
bank dalam pembiayaan ini adalah berupa margin atau selisih antara barang
yang dijual oleh bank dengan harga pokok pembelian barang. Setelah barang
diperoleh nasabah, barang tersebut dapat dibayar secara tunai maupun secara
angsuran kepada bank dalam jangka waktu yang disepakati.
14
b. Jual Beli dengan Skema salam
Jual beli dengan skema salam adalah jual beli yang pelunasannya dilakukan
terlebih dahulu oleh pembeli sebelum barang pesanan diterima. Skema ini dapat
digunakan oleh bank untuk nasabah yang memiliki cukup dana, sedang yang
bersangkutan kurang memiliki bargaining power dengan penjual disbanding
sekiranya pembelian barang dilakukan oleh bank. Dalam skema ini, bank
sebagai penjual memperoleh keuntungan dari selisih harga jual kepada nasabah
dengan harga pokok pembelian barang yang dilakukan pada pemasok.
c. Jual Beli dengan Skema istishna’
Jual beli dengan skema istishna’ adalah jual beli yang didasarkan atas
penugasan oleh pembeli kepada penjual yang juga produsen untuk
menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan spesifikasi yang
disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Berbeda
dengan murabahah, barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi istishna’
dilakukan belum ada dan memerlukan waktu untuk membuatnya terlebih
dahulu. Skema ini dapat digunakan bank untuk membantu nasabah yang
memerlukan produk konstruksi seperti bangunan, kapal, dan pesawat terbang
yang belum jadi dan memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya.
Oleh karena bank hanya sebagai penjual, sedang pembuatan produk
dilakukan oleh pihak lain, yaitu produsen, bank biasanya juga melakukan
kontrak istishna’ dengan produsen untuk membeli produk sebagaimana
diinginkan oleh nasabah pembiayaan. Skema double istishna’ ini biasa disebut
dengan istishna’ paralel. Cara pembayaran skema ini dapat berupa pembayaran
di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu akad.
2. Prinsip Investasi

Prinsip investasi dalam pembiayaan oleh bank syariah terdiri atas investasi dengan
skema mudharabah dan investasi dengan skema musyarakah.

a. Investasi dengan skema mudharabah


Pada dasarnya, penyaluran dana dengan skema mudharabah sama dengan
penghimpunan dana. Dalam transaksi penghimpunan, bank adalah mudharib
(pengelola dana), sedang nasabah penabung/deposan adalah shahibul maal
(pemilik dana). Akan tetapi, pada transaksi penyaluran dana dengan skema
15
mudharabah, bank bertindak sebagai shahibul maal, sedang nasabah yang
menerima pembiayaan bertindak sebagai pengelola dana. Dalam skema ini,
seluruh modal berasal dari bank sebagai shahibul maal.
Penyaluran dana dengan skema mudharabah terdiri atas dua jenis, yaitu
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah
muthlaqah, bank berperan sebagai shahibul maal yang memberi kewenangan
kepada mudharib untuk menjalankan usaha tanpa adanya batasan tempat, jenis
produk, pelanggan maupun pemasok. Bank memperoleh pendapatan dari nisbah
bagi hasil yang menjadi hak bank. Adapun pada mudharabah muqayyadah,
bank hanya berperan sebagai agen yang menghubungkan nasabah pembiayaan
mudharabah muqayyadah yang telah menetapkan batasan tertentu dalam
kegiatan investasi oleh nasabah yang menerima pembiayaan mudharabah
muqayyadah. Dari upaya bank memfasilitasi pemilik dana dan pengelola dana
mudharabah muqayyadah tersebut, bank memperoleh fee sejumlah tertentu
yang telah disepakati.
b. Investasi dengan skema musyarakahmusyarakah
Investasi dengan skema musyarakah adalah kerja sama investasi para
pemilik modal yang mencampurkan modal mereka pada suatu usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung semua pemilik
modal berdasarkan porsi modal masing-masing. Pada skema ini, hubungan
antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah hubungan kemitraan sesama
pemilik modal. Dalam hal ini, bank dan mitra sama-sama menyediakan modal
untuk membiayai suatu usaha tertentu baik yang sudah berjalan maupun yang
baru berjalan. Selanjutnya, mitra dapat mengembalikan modal tersebut beserta
bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus
kepada bank.
3. Prinsip Sewa

Prinsip sewa terdiri atas dua skema, yaitu skema ijarah dan skema ijarah muntahiya
bittamlik.

a. Sewa dengan skema ijarah


Sewa dengan skema ijarah adalah transaksi sewa-menyewa antara
16
pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek
sewa yang disewakan. Dalam transaksi sewa dengan skema ijarah, bank
adalah pemilik objek sewa, sedang nasabah adalah penyewa. Transaksi ini
dapat diterapkan bank pada nasabah yang hanya menginginkan manfaat dari
objek sewa yang disediakan bank dan tidak untuk memilikinya. Skema ini
oleh perbankan syariah dapat dipergunakan untuk keperluan sewa barang
maupun sewa jasa. Beberapa bank belakangan ini mulai menggunakan skema
ini untuk memfasilitasi nasabah membiayai kebutuhannya terhadap jasa
pendidikan, kesehatan, dan bahkan aktivitas rekreasi yang memerlukan biaya
tertentu.
Dengan skema ini, nasabah difasilitasi oleh bank untuk menggunakan
jasa kesehatan di rumah sakit, jasa pendidikan di suatu institusi pendidikan,
ataupun jasa rekreasi melalui biro perjalanan. Selanjutnya, atas penggunaan
fasilitas tersebut, nasabah membayar kepada bank baik secara tunai maupun
secara angsuran.
b. Sewa dengan skema ijarah muntahiya bittamlik
Sewa dengan skema ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa-
menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi perpindahan hak
milik pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Berbeda dengan transaksi
ijarah, transaksi ijarah muntahiya bittamlik memberi hak pilih pada penyewa
untuk memiliki barang yang disewa.

G. Prinsip-Prinsip dalam Pelaksanaan Fungsi Jasa Keuangan Perbankan

Pelaksanaan fungsi jasa keuangan perbankan dapat menggunakan prinsip-prinsip


transaksi syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Beberapa prinsip itu adalah prinsip
wakalah, kafalah, sharf, Hawalah, dan ijarah.

1. Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam
konteks muamalah, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
(muwakkil) kepada yang lain (wakil) dalam hal-hal yang diwakilkan (Antonio,
2001). Berdasarkan Fatwa DSN Nomor 10 Tahun 2000, seorang muwakkil haruslah
17
pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan. Adapun wakil
haruslah orang yang dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya. Halhal
yang diwakilkan haruslah (1) diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, (2)
tidak bertentangan dengan syariah Islam, dan (3) dapat diwakilkan menurut syariah.
Islam.Sebagai pihak yang mengerjakan suatu tugas, bank syariah berhak
mendapatkan imbalan (fee) sesuai dengan kesepakatan. Berdasarkan fatwa DSN,
wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak. Dalam praktik perbankan, prinsip wakalah dapat digunakan untuk transaksi
berikut ini :
a. Letter of Credit (L/C)
b. Setoran kliring
c. Kliring antarkota
d. RTGS
e. Inkaso
f. Transfer
g. Transfer valuta asing
h. Pajak online
i. Pajak impor
2. Prinsip Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung
(makfuul ’anhu ’ashil) (Antonio, 2001). Dalam fatwa DSN Nomor 11 Tahun 2000,
kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul
’anhu ’ashil).
DSN mensyaratkan: (1) pihak penjamin dalam hal ini bank syariah, berhak
penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut; (2) pihak yang berutang (ashiil makfuul ’anhu)
sanggup menyerahkan tanggungannya kepada penjamin; (3) pihak yang berpiutang
(makfuul lahu) dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa. DSN juga
mensyaratkan objek penjamin (makful bihi): (1) merupakan tanggungan pihak yang
berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan; (2) bisa dilaksanakan oleh

18
penjamin; (3) merupakan piutang yang mengikat yang tidak mungkin hapukecuali
setelah dibayar atau dibebaskan; (4) jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, serta (5)
tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Dalam praktik perbankan, prinsip kafalah digunakan dalam transaksi bank
garansi. Bila pihak yang dijamin gagal memenuhi kewajiban pembayarannya,
pemegang bank garansi dapat melakukan klaim kepada bank penerbit atas bank
garansi tersebut. Bank garansi itu sendiri dapat digunakan antara lain untuk :
a. Tender, yang diberikan oleh bank kepada kontraktor atau pemasok.
b. Perdagangan, yang diberikan oleh bank kepada produsen atau pemasok.
c. Uang muka kerja, yang diberikan oleh bank kepada pelaksana proyek untuk
uang muka proyek dalam kontrak-kontrak tertentu.
3. Prinsip Sharf
Prinsip sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata
uang, baik antarmata uang sejenis maupun antarmata uang berlainan jenis.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 28 Tahun 2002, terdapat beberapa syarat transaksi
jual beli mata uang, yaitu (1) tidak untuk spekulasi (untung-untungan); (2) ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); (3) apabila transaksi
dilakukan terhadap mata uang sejenis maka, nilainya harus sama dan secara tunai;
dan (4) apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
4. Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada
orang lain yang menanggungnya (muhal ’alaih) (Antonio, 2001). Dalam transaksi
hawalah, pada saat A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), B masih
mempunyai piutang pada C (muhal ’alaih). Begitu B tidak mampu membayar
utangnya pada A, ia lalu mengalihkan utang tersebut kepada C. Selanjutnya, C
harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B
dianggap selesai.Dalam praktik perbankan, prinsip hawalah dapat digunakan untuk
transaksi anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut
dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu (Antonio, 2001).
5. Prinsip Ijarah
Prinsip ijarah merupakan prinsip yang sangat banyak digunakan dalam
19
pelaksanaan fungsi jasa keuangan bank syariah. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 9
Tahun 2000, disebutkan bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang
dan/atau jasa. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut
sewa-menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat orang
disebut upah-mengupah (Karim, 2004).
Menurut Karim (2004), ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang
pembayarannya bergantung pada kinerja yang disewa (ju’alah), di mana orang
bersangkutan memperoleh success fee, dan ijarah yang pembayarannya tidak
bergantung pada kinerja yang disewa atau disebut dengan ijarah di mana orang
bersangkutan memperoleh gaji dan upah. Dalam praktik perbankan, transaksi
berikut banyak diimplementasikan dengan menggunakan skema ijarah.

H. Larangan bagi Bank Syariah

Larangan bagi BUS dan UUS diatur dalam Pasal 24 UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Dalam Pasal 24 disebutkan bahwa baik BUS maupun UUS
dilarang untuk:

1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;


2. Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
3. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
tentang kegiatan BUS dan UUS; dan
4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran
produk asuransi syariah.

Adapun larangan bagi BPRS diatur dalam Pasal 25 yang meliputi larangan untuk:

1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;


2. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
3. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing
dengan izin Bank Indonesia;
4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran
produk asuransi syariah;
5. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk

20
menanggulangi kesulitan likuiditas BPRS; dan
6. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 tentang kegiatan BPRS.

21
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, atau
prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip
keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah) , universalisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram.
Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan
fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal.

Bank syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan imbalan atas dana
yang digunakan atau dititipkan suatu pihak. Perbedaan sistem dan mekanisme
operasional tersebut didasari oleh perbedaan konsep, prinsip, dan akad-akad muamalah
dalam Islam. Akad-akad muamalah tersebut, terutama berkaitan dengan konsep bagi hasil
yang merupakan bagian dari kerja sama bisnis dalam Islam.

Pada sistem operasional bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak
dengan motif mendapatkan bunga, melainkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah,
kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan perjanjian pembagian
keuntungan sesuai kesepakatan. Dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat
disimpulkan terdiri atas sistem penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun,
dan sistem penyediaan jasa keuangan. Jika dibandingkan dengan antara sistem
operasional bank syariah dengan bank konvensional, perbedaannya terletak pada
mekanisme pemerolehan keuntungan pada pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana bank. Mekanisme pemerolehan pendapatan pada
bank konvensional menggunakan sistem bunga, yaitu sistem yang menjanjikan pihak
yang menyimpan uangnya atau yang menyalurkan dananya dengan persentase tertentu
terhadap dana yang disimpan atau disalurkan. Dengan demikian, pemerolehan
pendapatan oleh penabung atas uang yang ditabungkan tidak memiliki kaitan dengan
pendapatan yang diperoleh bank dari mekanisme penyaluran dananya. Dalam hal ini,

22
nasabah bank konvensional bisa langsung menghitung pendapatan yang akan
diterimanyadari bank pada saat ia menyimpan uangnya di bank konvensional.

Berbeda dengan bank konvensional, mekanisme pemerolehan keuntungan nasabah


penabung pada penghimpunan dana bank syariah terkait erat dengan hasil pemerolehan
pendapatan pada kegiatan penyaluran dana oleh bank syariah. Hal ini disebabkan karena
bank syariah menggunakan prinsip penghimpunan yang berbeda dengan bank
konvensional. Demikian juga halnya dengan pemerolehan pendapatan bank dari kegiatan
penyaluran dana kepada nasabah yang dibiayai. Berikut akan dibahas secara berurutan
prinsip penghimpunan dan penyaluran dana pada bank syariah. Pembahasan kemudian
dilanjutkan dengan prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan fungsi jasa keuangan
perbankan, di luar penghimpunan dan penyaluran seperti jasa transfer dana, bank garansi,
anjak piutang, dan lain sebagainya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ya ya , Riz al , dkk. 2018. A kunt ansi Pe rbankan Sy ari ah : Teori dan prakt ik

kontemporer, Edisi 2. Jakarta selatan : Salemba Empat.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani.

Undang - Undang Nomor 10/1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.

Undang - Undang Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah.

Syariah Pedia (2019). Asas, Tujuan, dan Fungsi Bank Syariah (Artikel Online).

https:// www.sya riahpe dia.com/2019 /09/a sas-t ujuan -dan- fungsi -bank-
syariah.html?m=1#:~:text.=Pasal.%202%20UU.%20Perbankan.%20Syariah,
%2C.%20da.%20prinsip.%20kehati.%2Dhatian.

(Di akses pada Jum'at 05 November 2021 pukul 13.45).

O J K ( 2 0 2 1 ) . P e r b a n k a n S y a r i a h d a n K e l e m b a g a a n n y a ( A r t i ke l O n l i n e ) .

https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang -syariah/pages/PBS-dan-
Kelembagaan.aspx#:~:text=Sesuai%20UU%20No.%2021%20tahun,kemaslahatan
% 2 0 ( m a s l a h a h ) % 2 C % 2 0 u n i v e r s a l i s m e % 2 0

(Di akses pada 04 November 2021 pukul 22.05).

24
K o m p a s i a n a ( 20 2 1 ) . S i s t e m O pe r a s i o n a l Ba n k S y a ri a h ( A rt i ke l O n l i n e ) .

https://www.kompas.com/skola/read/2021/01/02/145651369/sistem-operasi-bank-
syariah (Di akses pada 05 November pukul 14.25).

25

Anda mungkin juga menyukai