Anda di halaman 1dari 100

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Reformasi politik yang pada tahun 1998 telah berhasil menumbangkan
rezim yang sentralistik dan digantikan oleh pemerintahan yang desentralistik.
Otonomi Daerah dimulai sejak 1 Januari 2001. Daerah-daerah otonom kabupaten
dan kota diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab disertai dengan kewenangan yang mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah
yang memadai. Lahirnya otonomi daerah telah memberikan kewenangan daerah
untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan
sumber-sumber penerimaan lainnya.Untuk itu kebijakan keuangan daerah
diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali
sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Kebijakan
ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar
akuntansi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan


dan pengawasan keuangan daerah.
Tujuan keuangan daerah adalah : (1) Menjamin tersedianya keuangan
daerah guna pembiayaan pembangunan daerah; (2) Meningkatkan pengelolaan
keuangan daerah yang memenuhi prinsip,norma,asas dan standar akuntansi; (3)
Meningkatkan pendapatan asli secara kreatif melalui penggalian potensi,
intensifikasi dan ekstensifikasi. Menurut Suparmoko (2002) Pada era sentralistik,
pembangunan di daerah bersifat control oriented, akibatnya terjadi ketimpangan
vertikal (pusat-daerah) dan horisontal (antardaerah), yang ditujukan dengan
tingginya derajat sentralisasi fiskal, yakni ketergantungan yang tinggi dari
pemerintah pusat. Dengan kata lain, kontrol ekonomi dan politik pembangunan
daerah sedikit sekali dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini mendorong
munculnya tuntutan daerah dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi yang
semakin luas dan nyata, yang mengarah kepada ancaman terjadinya disintegrasi
bangsa. Salah satu bentuk tuntutan reformasi tersebut adalah pelaksanaan otonomi
daerah yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab. Selain itu, perimbangan
keuangan yang lebih adil, proporsional dan transparan antartingkat pemerintahan
menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat.
Menurut Suparmoko (2002) untuk meningkatkan pendapatan daerah
dewasa ini masing-masing daerah dituntut harus mampu berusaha untuk
meningkatkan pendapatana, maka penggalian potensi ekonomi daerah dan
penggunaan potensi yang tepat adalah jalan yang terbaik, karena tanpa
memperhitungkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah serta tanpa
pengembangan pembangunan dan pendapatan daerah tidak akan mencapai hasil

yang optimal atau sesuai yang diharapkan. Potensi ekonomi daerah merupakan
kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak
dikembangkansehingga akan terus berkembang menjadi sumber kehidupan
masyarakat setempat dan juga dapat menolong perekonomian secara keseluruhan
untuk berkembang dengan sendirinya dan berkelanjutan.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan pemerintah
daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam keuangan daerah.Oleh
karena itu, peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat menentukan kinerja
keuangan daerah. Pengukuran kinerja keuangan daerah yang banyak dilakukan
saat ini antara lain dengan melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada dasarnya
semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin
kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, sebaliknya semakin kecil
kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin besar
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Satu hal yang perlu diingat
adalah peningkatan PAD bukan berarti daerah harus mencaridan membuat pajak
baru, tetapi lebih upaya memanfaatkan penerimaan pajak daerah secara optimal
dan mengurangi kebocoran penerimaan pajak daerah. Dilaksanakannya otonomi
daerah dan desentralisasi pembangunan, maka pembangunan daerah, termasuk
daerah terbelakang dapat lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada
pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan
tersebut, maka asiprasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan lebih
tergali. Selain itu, setiap wilayah juga diberikan dalam bentuk Block Grant
berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber

Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dengan demikian diharapkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan
akan dapat ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan pula dapat dikurangi.
Penegasan desentralisasi fiskal terjadi perubahan-perubahan dalam
struktur keuangan terdiri dari : (1) Penerimaaan daerah dari bagi hasil sumber
daya alam dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang
memiliki sumber daya alam seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan,
kehutanan, perkebunan dan perikanan. (2) Penerimaan daerah bagi hasil pajak
yang merupakan dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan (BPHTB), bagian daerah ini tergolong
sebagai penerimaan daerah yang persentase pembagian tidak mengalami
perubahan ; dan (3) Skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana
Alokasi Umum (DAU) yang sebelum desentralisasi merupakan Subsidi Daerah
Otonom (SDO).
Perubahan-perubahan

tersebut

diatas

memungkinkan

adanya

efek

ketimpangan. Ketika pemerintah pusat mengeksplorasi sumber daya alam maka


yang terjadi adalah ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah), maka untuk
mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah) dilakukan dengan
mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH). Efek sampingnya mekanisme Dana Bagi
Hasil (DBH) adalah ketimpangan fiskal horizontal (antar daerah) maka dilakukan
dengan mekanisme transfer daerah yaitu Dana Alokasi Umum (DAU).

Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya


dalam dua hal yaitu : (1) Lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar
penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta
memanfaatkan sumber daya yang belum optimal melalui bagi hasil dan
peningkatan dana transfer, dan (2) Lebih berorientasi pada efektivitas pengeluaran
yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta program
pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
.Dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah harus lebih responsif
terhadap kebutuhan penduduknya. Pada negara berkembang, termasuk di
Indonesia, jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi oleh karenanya
diharapkan akan menciptakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan
penduduk miskin. Isu utama masalah pembangunan regional dewasa ini adalah
disparitas pembangunan yang meliputi ; (1) Disparitas antar wilayah, (2)
Disparitas antar sektor ekonomi, (3) Disparitas antar golongan masyarakat dan
individuPermasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan
yang sentralistik, top down, dan seragam. Konsep pembangunan ekonomi lebih
menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai
dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selama ini ternyata menyisakan
ketimpangan. Penyebab disparitas pembangunan karena faktor alami, kondisi
sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijkan. Faktor alami meliputi kondisi,
sumber daya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan aktivitas ekonomi,
wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi.Sementara faktor sosial budaya
meliputi tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan kewirausahaan.Sedangkan
keputusan kebijakan adalah sejauh mana kebijakan yang mendukung secara

langsung atau tidak langsung terjadinya disparitas pembangunan. Disparitas antar


wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah, disparitas antar
wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri,
perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan
infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan
sebagainya. Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain (1)
Faktor Geografis. Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi
pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya
mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik, dan
ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan
berkembang dengan baik. (2) Faktor Historis. Perkembangan masyarakat dalam
suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di
masa lalu.Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa
lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan
sistem insentif terhadap kapasitas kerja. (3)

Faktor Politis. Tidak stabilnya

kondisi politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu


wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau
melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak
berkembang. Bahkan pelarian modal keluar wilayah untuk di investasikan ke
wilayah yang lebih stabil. (4) Faktor Kebijakan Terjadinya kesenjangan antar
wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah.Kebijakan pemerintah yang
sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan
membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan

kesenjangan antar daerah. (5) Faktor Administratif. Kesenjangan wilayah dapat


terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan
administrasi yang baik cenderung lebih maju wilayah yang ingin maju harus
mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih dengan sistem
administrasi yang efisien. (6) Faktor Sosial. Masyarakat dengan kepercayaankepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang
cenderung dan menghambat perkembangan ekonomi.Sebaliknya masyarakat yang
relatif maju pada umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk
berkembang, perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah
(7) Faktor Ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan
wilayah adalah kemiskinan yang menyebabkan kondisi masyarakat tertinggal,
standar hidup rendah, dan pengangguran yang meningkat serta ketidakmerataan
pembangunan yang cenderung terkonsentrasi pada wilayah yang maju.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah
kesenjangan

dalam

distribusi

pendapatan

antar

kelompok

masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi


perndapatan semakin besar antar kelompok masyarakat akan menyebabkan
adanya kemiskinan yang semakin meluas. Oleh karena itu orientasi dari
pemerataan merupakan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Anggapan bahwa
jika pertumbuhan ekonomi berjalan cepat maka kemiskinan dengan sendirinya
akan terkikis melalui proses trickle down effect. Ternyata kondisi tersebut tidak
terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan tumbuhnya perekonomian
diikuti

pula

terjadinya

ketimpangan

distribusi

pendapatan

yang

dapat

menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan.Oleh sebab itu muncul

strategi pembangunan, dimana pemerataan distribusi pendapatan dan pengikisan


kemiskinan

merupakan

bagian

tak

terpisahkan

dalam

pembangunan.

(Rindayanti,2009).
Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi, masalah redistribusi memiliki
dua dimensi, yiaut kesetaraan horizontal (antar wilayah) dan kesetaraan di dalam
wilayah. Kesetaraan horizontal mengacu pada daerah memiliki kapasitas yang
sama dalam penyediaan barang publik Ada dua faktor utama yang mempengaruhi
ketimpangan horizontal, yaitu tax base yang sangat berbeda antara wilayah dan
karakteristik wilayah, dimana kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi
penentuan biaya dan penyediaan barang publik. Hubungan positif antara
ketimpangan wilayah dan desentralisasi fiskal merupakan pendapat yang
mendominasi diantara peneliti. Tiebout dalam (Stiglitz,2000) menjelaskan
hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan wilayah
melalui sifat mobilitas wajib pajak, dimana masyarakat (wajib pajak) memiliki
kemapuan voting by feet (dapat secara bebas) dalam melilih wilayah mana yang
akan ditempati melalui dua pertimbangan yaitu selera dan besarnya pajak di
daerah tersebut. Sehingga wilayah yang lebih maju (wealth regions) dengan
fasilitas dan pelayanan publik yang lebih baik akan lebih menarik untuk dijadikan
tempat tinggal dibandingkan wilayah yang kurang maju (poor regions). Oleh
sebab itu berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
Analisis Peranan Dana Transfer Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Ketimpangan Kemampuan Keuangan Pada Provinsi Sulawesi
Selatan

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian diatas, maka penulis menganalisis rumusan

masalah sebagai berikut :


1. Bagaimana pola sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan celah fiskalnya
2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) berpengaruh terhadap ketimpangan kemampuan keuangan di
Sulawesi Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian


Dalam melakukan penelitian ini tujuan yang diharapkan oleh penulis adalah :
1. Untuk mengetahui pola sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan celah fiskalnya.
2. Untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap pemerataan kemampuan
keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masing-masing
pihak sebagai berikut
1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan
yang ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.
2. Bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan dalam mengambil
kebijakan menyangkut keuangan daerah serta kinerja ekonomi.
3. Bagi masyarakat, mahasiswa dan peneliti lain,diharapkan penelitian ini
dapat menjadi menjadi bahan informasi,tambahan pengetahuan dan
sumber rujukan bagi yang berminat di keuangan daerah.

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis


Dalam pengelolaan keuangan negara dapat digunakan prinsip Musgrave
Trilogy (Musgrave,1959) yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan
negara sebagai instrumen stabilisasi, distribusi dan alokasi. Fungsi stabilitasi
merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat
pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan harga. Dalam hal ini pemerintah
menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan
harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Fungsi distibusi adalah
peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk
menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan.Fungsi alokasi
adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar

11

tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa
yang tidak bisa disediakan oleh para pelaku pasar.
Dalam pelaksanaan desentralisasi didukung oleh teori yang dikemukakan
oleh Tiebout yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang terkenal dengan
istilah Love it or leave it (Stiglitz,2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat
dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar
oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dan pemerintah
daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran
daerahnya memenuhi preferensi yang pailng tinggi antara pelayanan publik dari
pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika
masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan
pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan
bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di
wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah
kebijakan pemerintah lokal melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
setempat.Dalam hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi
untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan
barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz,2000) Model Tiebout ini menunjukkan
kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan
barang publik yang bersifat lokal pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang
dikenal sebagai the market for local services would be perfectly competitive
(Stiglitz,2000) Inilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan
publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD setempat.
Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa
pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka

12

untuk meningkatkan pengeluaran agrerat (atau merangsang pengeluaran agregat).


Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun
tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun bersifat kontraktif dan
ekspansif.
Myrdal dalam (Jhingan,1990) menyatakan bahwa ketimpangan regional
dalam suatu negara berakar pada dasar nonekonomi. Ketimpangan berkaitan erat
dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh Motif laba. Motif inilah yang
mendorong pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan
laba tinggi, sementara wilayah lain menjadi terlantar. Dalam teori ini dijelaskan
pertumbuhan suatu wilayah akan mempengaruhi wilayah yang ada disekitarnya
melalui dampak baik (Backwash Effect) dan dampak sebar (Spread Effect). Terjadi
saat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.Spread effect didefinisikan sebagai
suatu pengaruh yang menguntungkan (favourable effect) yang mencakup aliran
kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash
effect didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable effect) yang
mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar termasuk aliran modal ke wilayah
inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah
pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan
wilayah inti. Lebih lanjut, Myrdal mengemukakan ketimpangan regional terjadi
akibar besarnya pengaruh backwash effect dibandingkan dengan spread effect di
negara-negara terbelakang.Perbedaan wilayah berarti tidak samanya kemampuan
untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah terjadinya ketidakmerataan antar
daerah. Sehubungan dengan hal ini muncul pendapat dan studi-studi empiris yang
menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada satu posisi yang dikotomis.

13

Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat


kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per
kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata.
Sering kali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih
menekankan penggunaan model dari pada penggunaan tenaga kerja sehingga
keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat
saja.Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh
seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi
ketimpangan.
Simon Kuznets dalam (Todaro,2006) mengemukakan bahwa pada tahap
awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendaptan cenderung memburuk, namun
pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. suatu hipotesis yang
terkenal dengan sebutan Hipotesis U terbalik. Hipotesis ini dihasilkan melalui
suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, pada
tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan
pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal
pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor perekonomian modern
perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja.
Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor ekonomi modern dan
sektor ekonomi tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena
perkembangan disektor modern lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Akan
tetapi dalam jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai kedewasaan
(maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas serta mobilitas semua
faktor-faktor produksi antar negara tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka

14

perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil
bersamaan dengan tingkat pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan rataratanya yang semakin tinggi di setiap negara yang akhirnya mengalami
kesenjangan. Salah satu kajian yang menguatkan hipotesis Kuznets adalah
Williamson (1956) dalam (Tambunan,2003), Williamson untuk pertama kalinya
menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan
coefficient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam
studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi
disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada
wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sedah relatif maju, misalnya dalam
pembangunan

industri,infrastruktur,

dan

SDM.

Kemudian

dalam

tahap

pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan


dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Dalam pembangunan
ekonomi regional, Williamson (1965) dalam (Tambunan,2003), meneliti
hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan, diparitas
regional akan menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi pada daerahdaerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang, dilihat dari pertumbuhan ekonomi
tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan
signifikan.
Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilisasi sumbersumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut
antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki.
Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi

15

suatu daerah.Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional


marupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.Pembangunan yang
dilakukan

di

suatu

wilayah

saat

ini

masih

sering

dilakukan

tanpa

mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan


ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengskploitasi
sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi)
dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, sering
pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor.
Pendapatan perkapita suatu daerah banyak digunakan tolak ukur untuk
mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak terlihat dari
tingginya melainkan apakah pendapatan itu terdistribusi secara merata atau tidak
ke seluruh masyarakat.Dalam World Bank melaporkan menyatakan bahwa faktorfaktor geografis dan historis yang mendasari ketimpangan antar wilayah sangat
kompleks dan tumpang tindih. Kemampuan mengelola sumber daya yang rendah
dan jarak dari pasar yang jauh dapat menghambat proses pembangunan di
kawasan-kawasan yang maju dan yang tertinggal, serta kelemahan institusional
pada waktu sebelumnya.
Hirschman dalam Teori Linkage Effect dan Industrial Linkage Model
mengemukakan model yang secara eksplisit menjelaskan elemen spasial yang
dinamis yang mempunyai tujuan yaitu polarisasi. Menurut Hirschman sekali
pertumbuhan dimulai akan cenderung terkonsentrasi pada sekitar titik awal
pertumbuhan yang disebabkan oleh ekonomi eksternal seperti biaya produksi
yang lebih rendah, lokasi perusahaan yang berkaitan dengan ekspansi pasar.

16

Daerah lain akan menerima efek positif dan negatif dari wilayah yang menjadi
titik

pertumbuhan

secara

geografis.

Hirschman

menyebut

efek

yang

menguntungkan sebagai trickling down forces dan efek yang merugikan sebagai
polarization effect. Kemajuan pada kutub pertumbuhan ke bawah ke daerah
terbelakang melalui migrasi tenaga kerja yang menurunkan tekanan penduduk di
daerah tersebut. Sebaliknya, semakin besar kemampuan berkompetisi diantara
industri, kesempatan investasi lebih baik di kutub pertumbuhan dan mengambil
sumber daya terbaik dari daerah terbelakang sehingga menyebabkan polarisasi
pada titik pertumbuhan tersebut dan menghambat pertumbuhan wilayah
hinterland-nya. Kesimpulan dari teori Hirschman dalam jangka panjang
cenderung terjadi konvergensi pendapatan perkapita. Hal ini disebabkan oleh
adanya diseconomics return to scale effect karena kemacetan industri-industri dan
ketidakcukupan pasar domestik. Pada akhirnya menurut Hirschman, trickle down
effect akan cenderung mendominasi polarization effect selama komplementaritas
kuat antar daerah (Arsyad,1999)
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar terhadap dalam persentase terhadap PDB. Apabila
terjadi peningkatan pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum wagnerdikenal
dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut
adalah pengamatan empiris dari Negara-negara maju (Amerika Serikat, Jepang,
Jerman). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin beasr
disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.
Kelemahan mengenai hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori

17

mengenai pemilihan barang-barang publik.Wagner mendasarkan pandangannya


dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic
theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu,
peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatknya
PDB menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang semakin besar.

2.2

Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan

kebijakan penerimaan dan pengeluaran Negara. Kebijakan fiskal melalui


instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1) Kebijakan yang
menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) Kebijakan yang
menyangkut perpajakan, dan 3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer
(seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan
veteran atau pensiunan) kepada rumah tangga. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu
1) menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran Negara bagi perbaikan
kondisi perekonomian, penurunan tingkat pengangguran, dan kestabilan harga 2)

18

Pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan


ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, 3) Pengembangan
aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan instrument kebijakan fiskalyang terdiri dari pengeluaran
pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat
mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Apabila
pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal yang
dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran
pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan agregat
akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan
harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif
dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan
meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian.
Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah, dan
pembayaran transfer. Artinya, dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka
variabel-variabel tersebut bisa diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan. Jika
pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga,maka kebijakan fiskal diusahakan
kontraktif. Hal itu ditandai dengan penurunan pengeluaran pemerintah atau
peningkatan pajak. Dengan demikian permintaan agregat di dalam perekonomian
akan turun dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga.
Sebaliknya, jika pemerintah ingin meningkatkan tingkat lapangan kerja untuk
mengurangi pengangguran, maka kebijakan fiskal yang di tempuh adalah bersifat

19

ekspansif. Dimana pengeluaran pemerintah dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal


ini akan menigktakan permintaan agregat dalam perekonomian sehingga terjadi
ekspansi dalam perekonomian.
2.3

Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma

hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam
UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya
Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi
sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya
otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen
undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan
kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada
pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No.33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang
dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total
dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu
sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat
daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga
disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.
Meskipun telah dilakukan berbagai macam penyempurnaan kebijakan,
desentralisasi fiskal di Indonesia masih mempunya berbagai kelemahan dan
kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat

20

peraturan yang saling berbenturan satu dengan yang lain, masih terdapat
perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan
dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi tafsir dalam
implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan
persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi
fiskal.
desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan jika faktor
kelembagaannya diurus dengan baik. Pada Negara yang sedang melakukan proses
reformasi, desentralisasi ekonomi dapat dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri
(institutional environment). Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai rules of the
game pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perpektif
ini berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari kelembagaan makro dan
mikro yang dibuat.Jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka
pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar
investasi terjadi, misalnya dengan penciptaan regulasi perizinan yang murah dan
sederhana. Sementara itu, apabila tujuan dari desentralisasi difokuskan kepada
hubungan antar pelaku ekonomi, maka pemerintah lokal berkonsentrasi kepada
desain kebijakan yang membatasi proses eksploitasi satu pelaku ekonomi kepada
pelaku ekonomi lainnya, misalnya jaminan upah yang layak dan system bagi hasil
yang setara di sektor pertanian (Yustika,2006)

21

Bahl (2000) mengemukakan bahwa desentralisasi harus memacu adanya


persaingan diantara pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a
champion for fiscal decentralization). Hal ini semakin dilihat dari semakin
membaiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk
memahami benar dan memberikan yang terbaik apa yang dibutuhkan oleh
masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran serta
masyarakat yang semakin besar meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,
partisipasi masyarakat rakyat setempat dalam pemerintahan setempat dan lainlain. Bahl (2001) mengemukakan desentralisasi fiskal harus diikuti oleh
kemampuan pemerintah dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori
adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah memiliki sumber dana
pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah ini secara teori
dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa
tax revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai macam
infrastuktur dan membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Sebaliknya,
dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan karena pajak
dapat menimbulkan deadweight loss of tax. Ketika pajak dikenakan oleh
barang, maka pajak akan mengurangi surplus produsen dan konsumen.
Menurut Oates (1972), dalam (Haryanto,2009) desentralisasi fiskal akan
mampu menigkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena
pemerintah sub nasional / pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi
dan penyediaan barang-barang public. Pengambilan keputusan pada level
pemerintah local akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal

22

dan lebih berguna bagi efisiensi alokasi. Oates juga menyatakan bahwa
desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan
dengan dinamika pertumbuhan ekonomi.Perbelanjaan infrastruktur dan sektor
sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada
kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam
membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan
kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya
Desentralisasi

menyangkut

berbagai

bentuk

dan

dimensi

yang

beragam,terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan


sistem pemerintahan,serta pembagunan sosial dan ekonomi (Muallim,2010).
Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) menjelaskan bahwa desentralisasi
merupakan proses transfer kekuasaan dalam membuat keputusan pada
pemerintahan daerah. Menurut Saragih (2003) desentralisasi adalah berkurangnya
atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke
daerah-daerah. Sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom,
yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara
bebas.
Dalam desentralisasi dan otonomi terdapat perbedaan pengertian, dalam
desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat
pemerintahan

yang

rendah,sedangkan

lebih

otonomi

tinggi
berarti

ke

tingkat

adanya

pemerintahan

kebebasan

yang

menjalankan

lebih
atau

melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayah / teritori dalam
kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Saragih,2003)

23

Menurut Oates (1972), dalam (Haryanto,2009) desentralisasi fiskal


merupakan derajat kebebasan dalam membuat keputusan mengenai pembagian
pelayanan publik dalam berbagai tingkat pemerintahan. Berdasarkan tingkat
kebebasannya maka desentralisasi fiskal dibedakan menjadi 3 hal yaitu
dekonsentrasi,delegasi, dan devolusi (Bird dan Vaillancourt,1998) Pertama,
dekonsentrasi merupakan dispersi tanggung jawab antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah mengenai unit administrasi. Pemerintah pusat
menggeser beberapa kewenangannya kepada pemerintah daerah, sehingga
pemerintah pusat memiliki sedikit wewenang (power) dalam membuat
keputusan.Kedua, delegasi merupakan situasi dimana pemerintah daerah
bertindak

sebagai

pemerintah

pusat

dalam

mengeksekusi

fungsi-fungsi

pemerintah pusat yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dalam kasus
ini, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur pelayanan publik, tapi
mereka harus mengikuti aturan dan permintaan pemerintah pusat, dengan kata lain
pemerintah daerah harus mengikuti role of the game pemerintah pusat. Ketiga,
devolusi merupakan situasi dimana tidak hanya implementasi tetapi otoritas untuk
menentukan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini,
pemerintah daerah independen dalam membuat keputusan sehingga mereka dapat
merespon preferensi dan kebutuhan atas pelayanan sektor publik masyarakat
setempat.
Oates (1993), menyatakan bahwa aktivitas fiskal pemerintah di dominasi
oleh komponen fundamental dalam menentukan sumber daya. Oleh karena itu
independensi fiskal dalam menentukan kewenangan pada pemerintah yang
berbeda levelnya mungkin diukur dari kepentingan fiskal setiap level

24

pemerintahan, seperti misalnya pelayanan publik A disediakan oleh pemerintah


pusat dan daerah. Kedua level pemerintahan tersebut dapat membuat keputusan
fiskal mengenai pembagian wewenang atas pelayanan publik A. kemudian
bagaimana proporsi pendanaan atas pelayanan sektor publik A tersebut baik
pemerintah

pusat

maupun

pemerintah

daerah.

Prud`home

(1990)

menyederhanakan definisi desentralisasi fiskal menjadi 3 kriteria, yaitu : (1) share


pajak daerah terhadap pajak pusat (2) share pengeluaran pemerintah daerah
terhadap pajak pusat (3) share besarnya subsidi pemerintah pusat terhadap total
sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah.
Sistem desentralisasi diekspektasikan memperoleh respon yang lebih baik
atas preferensi dan kebutuhan daerah serta mendukung kompetisi antar unit
daerah dalam pembagian barang publik dan pelayanan pada sektor publik.
Efisiensi diperbaiki sebagai penyesuaian penawaran (supply) terhadap permintaan
(demand). Oates (1993), menyatakan bagaimana sistem desentralisasi dapat
meminimalkan welfare loss atas pembagian pelayanan publik daripada sistem
sentralisasi. Oates dan Schwab (1991), dalam (Haryanto,2009) juga menunjukkan
efisisensi pada perkembangan interjurisdiksi identik dengan outcome yang
dihasilkan dari kompetisi inter jurisdiksi identik dengan outcome yang muncul
jika satu menggantikan pemeritnah daerah di mana di dalamnya terdapat
perusahan-perusahaan yang kompetitif, yang akan menyediakan barang publik
kepada perusahaan dan rumah tangga dengan marginal cost. Dengan kata lain,
desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh
wewenang pemerintah pusat ke daerah, sehingga daerah yang menerima
kewenangan yang bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri

25

berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas,sesuai dengan wewenang yang


diserahkan kepada daerah. (Smoke , 2001) dalam (Haryanto,2009)
Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik berbagai kebijakan
ditentukan secara nasional oleh pusat.Anggaran belanja pemerintah daerah sangat
bergantung pada alokasi yang diberikan pemerintah pusat termasuk dalam
pemanfaatannya. Keleluasaan dan kewenangan daerah dalam melaksanakan
aktivitas pemerintahan dan pembangunan sangat terbatas.Secara umum alasan
yang mendukung sentralisasi adalah pemerintah pusat dapat mengalokasikan
anggaran yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan
secara nasional. Berbeda dengan sistem desentralisitik, pada sistem desentralisasi
peran pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan
pengelolaan anggaran sangat besar. Desentralisasi fiskal adalah penyerahan
kewenangandan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dengan

desentralisasi

kewenangankepada

fiskal

akan

pemerintah

daerah

diwujudkan
untuk

dalam

melakukan

penyerahan
pembelanjaan,

memungut pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari
pemerintah pusat.
Desentralisasi dalam kaitannya dengan tingkat kemandirian, pengambilan
keputusan oleh daerah dapat dibagi menjadi tiga bentuk.Pertama, Dekonsentrasi
(deconcentration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pejabat yang berada dalam hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. Kedua
Devolusi (devolution) yaitu pelimpahan wewenang dalam bidang keuangan atau
tugas pemerintahan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan daerah

26

dan pihak pemerintah daerah mendapatkan diskresi yang tidak dikontrol oleh
pusat. Apabila pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan
tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pelaksanaan tugas tersebut. Ketiga, Pendelegasian (delegation or institutional
pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi
yang berada di luar struktur birokrasi regular yang di kontrol secara tidak
langsung oleh pemerintah pusat.Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur
dengan

ketentuan

perundang-undangan.Pihak

yang

menerima

wewenang

mempunyai diskresi dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun


wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang. Beberapa argumen yang
mendukung desentralisasi adalah (1) pemerintah daerah menghayati kebutuhan
masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah daerah sangat responsif terhadap
kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, (3) persaingan
antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah daerah meningkatkan inovasinya.
Pada dasarnya desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang
fiskal kepada daerah yang meliputi, (1) Self financing atau cost recovery
dalam pelayanan publik dalam bentuk retribusi daerah ; (2) Cofinancing atau
coproduction yaitu pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk
kontribusi kerjasama atau pembayaran jasa ; (3) Transfer dari pusat ke daerah
terutama yang berasal dari sumbangan umum,sumbangan khusus,sumbangan
darurat serta bagi hasil pajak dan non pajak; (4) Kebebasan daerah untuk
melakukan pinjaman.

27

2.3.1 Teori Desentralisasi Fiskal


Otonomi daerah menurut UU 32/2004, diartikan sebagai hak wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan
pemberian

otonomi

daerah

adalah

untuk

memungkinkan

daerah

yang

bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka


meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi
pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai upaya untuk
mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk
melaksanakan urusan pemerintahan.
Kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah adalah salah satu bentuk
implementasi

dari

kebijakan

demokratisasi.Dalam

konteks

administrasi

pemerintahan, demokratisasi memang bergandengan tangan dengan dengan


desentralisasi. Artinya tidak ada demokratisasi pemerintahan tanpa desentralisasi.
Ini terutama relevan dengan Negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar,
karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus

28

dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup di dalam proses
pengambilan keputusan. (Rasyid,2007)
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk dan komponen utama
dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal banyak digunakan negaranegara

sedang

ketidakefisienan

berkembang
pemerintahan,

untuk

mengurangi

ketidakstabilan

ketidakefektifan

ekonomi

makro,

dan
dan

ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi. (Bahl dan Linn,1992).Apabila pemerintah


daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam
pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka
harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun
dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Bahl (1999) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan desentralisasi
fiskal prinsip rules money should follow function merupakan salah satu prinsip
yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap pelimpahan wewenang
pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Otonomi daerah tanpa desentralisasi fiskal
kurang mendukung tercapainya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam
pelayanan publik (Saragih,2003) Oleh sebab itu otonomi daerah membutuhkan
kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk
mencapai kemampuan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan kepada
masyarakatnya, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Hal ini

29

diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan perimbangan antara


keuangan pusat dan daerah Mardiasmo (2004) dalam (Mualim,2010).
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik susuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih:2003) .
Sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Bird dan Vaillancourt (2003) bahwa
desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik,sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
Ebel (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal terkait dengan
masalah (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar jenjang pemerintahan; (2)
transfer antar jenjang pemerintahan ; (3) penguatan sistem pendapatan daerah atau
perumusan sistem pelayanan publik di daerah ; (4) swastanisasi perusahaan milik
pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintah daerah); dan (5)
penyediaan jaring pengaman sosial.
Kumorotomo

(2000)

dalam

(Mualim,2010)

menjelaskan

bahwa

desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal,khusunya utnuk


mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan fiscal
sustainability, dan tetap memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk
mengadakan koreksi atas ketimpangan anatar daerah, sehingga taxing power yang
diberikan kepada daerah tetap tidak terlalu besar. Kendatipun perdebatan

30

mengenai manfaat dari desentralisasi fiskal di Indonesia masih terus berlangsung,


kini timbul harapan besar bahwa desentralisasi fiskal dapat memberikan manfaat
seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
pengentasan orang miskin, manajemen ekonomi makro yang lebih baik, serta
sistem tata pemerintahan (governance) yang lebih baik.

2.4 Transfer Pusat


Hubungan keuanganantar pemerintah (intergovermental fiscal relations )
merupakan hubungan keuangan antar berbagai tignkatan pemeritnahan dalam
suatu negara dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan negara dan pola
pengeluarannya (Suparmoko, 2002) Salah satu bentuk instrument yang digunakan
dalam intergovernmental fiscal relations adalah grants, adamya transfer dana dari
pemerintah pusat kepada pemerintah yang lebih rendah. Menurut Musgrave dan
Musgrave (1980). Aspek lain dari perbedaan fiskal masing-masing daerah
terceremin dari posisi fiskalnya. Beberapa pengertian yang terkait dengan konsep
posisi fiskal adalah kapasitas fiskal, kebutuhan fiskal, effort, dan kinerja
(perfomance). Masing-masing konsep memiliki pengertian yang berbeda tetapi
kombinasi atas konsep-konsep tersebut akan membentuk suatu pengertian tentang
posisi fiskal suatu negara.
Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

31

pemerintah daerah.Sejalan dengan desentralisasi tersebutaspek pembiayaannya


juga ikut terdesentralisasi. Implikasiya daerah dituntut untuk dapat membiayai
sendiri dana pembangunannya, tetapi banyak daerah di berbagai negara belum
mampu membiayai seluruh pengeluaran daerah. Implikasi dari kondisi tersebut
transfer dana dari pemerintah pusat (intergovernmental transfer) merupakan
sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara,
terutama negara berkembang seperti Indonesia.Pada dasarnya transfer pemerintah
pusat kepada pemeirntah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan
(revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini adalah
pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan horizontal (horizontal
equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial
externalities),

mengarahkan

prioritas

(redirecting

priorities),

melakukan

eksperimen dengan ide-ide baru, stabilisai dan kewajiban untuk menjaga


tercapainya Standar Pelayanan Minimum (SPM) di setiap daerah.
Vertical Equalization Transfer
Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagain besar sumbersumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Pemerintah daerah
hanya menguasai sebagian kecil sumber penerimaan negara atau hanya
berwenanguntuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknnya bersifat lokal dan
mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaanya relatif kurang
signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian tujuan dari vertical

32

equalization transfer ini adalah untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan yang


diperoleh setiap tingkat pemerintahan.
Penerapan vertical equalization transfer di Indonesia berlaku sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Latar belakang
dilakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh kebijakan selama
Orde Baru dengan kekuasaan pemerintah pusat yang begitu dominan dalam
menguasai sumber-sumber penerimaan negara. Daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam, seperti Aceh dan Papua terpaksa harus menjadi daerah miskin
karena hasil dari sumber daya alam mereka disetor ke Pusat. Kondisi ini berubah
setelah dikeluarkannya UU 25 Tahun 1999, yaitu daerah penghasil mendapat
bagian dengan jumlah persentase tertentu, selain tiu kabupaten/kota serta provinsi
yang letaknya satu administrasi dengan kabupaten/kota penghasil (letaknnya
dalam provinsi yang sama) juga mendapat bagian.
Horizontal Equalization Transfer
Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk
menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal, artinya dengan tarif
pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama
seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah.
Simanjuntak
menghasilkan

(2002)

mengemukakan

pendapatan

sangat

bahwa

bervariasi,

kemampuan
tergantung

daerah
kondisi

untuk
daerah

bersangkutan memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah
dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah.Kondisi ini

33

berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapaistas fiskal di daerah-daerah


bersangkutan.
Disisi lain daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat
bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut
usia,anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Adapula daerah-daerah yang
berbentuk kepulauan luas dengan sarana transportasi dan infrastuktur lainnya
masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah
penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki infrastruktur yang lengkap.
Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari suatu
daerah. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut diatas
maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masingmasing daerah sebaiknya ditutup oleh transfer dari pemerintah pusat. Dengan
kata lain tujuan horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah
fiskal yang dimiliki setiap daerah.
Penerapan horizontal equalization transfer di Indonesia setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dengan Dana Alokasi Umum
(DAU). Secara faktual peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana
bagian daerah yang didasarkan atas daerah penghasil yang cenderung
menyebabkan ketimpangan antar daerah, karena daerah yang mempunyai potensi
pajak dan SDA hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal
equalization DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk
menghitung kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal daerah. Sehingga melalui suatu

34

formula dapat dihitung celah fiskal yang akan ditutup dengan transfer DAU dari
pemerintah pusat.
Correcting Spatial Externalities
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki efek
eksternalitas ke wilayah lain artinya pemanfaatannya tidak biasa dibatasi hanya
untuk masyarakat tertentu, misalnya perguruan tinggi,pemadam kebakaran, jalan
raya penghubung antar daerah, rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa
pendapatan yang menguntungkan, umumnya daerah kurang tertarik di bidang
pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan
transfer ataupun menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan publik demikian
dapat dipenuhi daerah.
Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam
penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya dan prioritas tersebut dapat
berbeda, misalnya pemerintah pusat berkeinginan untuk mengutamakan
pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait
dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum
berlangsung, namun keinginan tersebut tidak sinkron dengan pola kebijakan
pemerintah daerah yang menginginkan pembagunan di sektor kesehatan yang
mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat.Agar
keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara pararel,
sebaiknya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah.
Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan membantu

35

mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat dengan keinginan yang


diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.
2.4.1

Jenis-Jenis Transfer Pusat


Pada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompkookan menjadi dua

kategori, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grants,general purpose


grant,block grant), (2) transfer dengan syarat (conditional grant,categorical
grant, specific purpose grant) (BPPK; Depkeu 2004)
2.4.1.1 Transfer Tanpa Syarat (Unconditional Transfer)
Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya
pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah shingga setiap daerah dapa
melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan
dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang memiliki sifat
horizontal. Ciri utama dari transfer ini adalah pemerintah daerah memiliki diskresi
penuh dalam memanfaatkan dana transfer sesuai dengan pertimbanganpertimbangan atau prioritas daerah, transfer tanpa syarat biasanya dibagikan
berdasarkan suatu formula tertentu.
2.4.1.2 Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer)
Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting
oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah.
Transfer ini dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu transfer pengimbang
(matching grants) dan transfer bukan pengimbang (nonmatching grants).
Matching grants adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan

36

atas jenis urusan tertentu. Di sini pemerintah daerah telah mengalokasikan


sejumlah dana pendapatan daerahnnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut,
hanya dana tersebut belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan
tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk
membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Matching grants dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu transfer pegimbang tidak terbatas (open-ended matching
grants) dan transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Open
ended matching grants adalah transfer yang ditujukan untuk menutup seluruh
kekurangan

dana

.misalnya

sebuah proyek

pembangunan

rumah

sakit

membutuhkan dama Rp.100 miliar, daerah hanya mampu menyediakan dana


sebesar 10 persen dari total kebutuhan dana atau Rp.10 miliar, maka kekurangan
dana sebesar Rp.90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat.
Dana Alokasi Khusus (DAK) termasuk jenis transfer yang masuk dalam
kategori open-ended matching grants. DAK adalah dana yang bersumber dari
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus, yaitu kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen dan prioritas
nasional. Daerah yang mendapatkan DAK diwajibkan untuk menyediakan dana
pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan.
Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants) merupakan
transfer yang terdapat batasan jumlah dana maksimum yang daapt digunakan.
Transfer ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (pemerintah pusat) karena
walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah

37

besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu pemberi bantuan dapat


mencukupkan bantuannya. Misalnya sebuah proyek membutuhkan dana sebesar
Rp.50 miliar dan pemerintah daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar
Rp.5 miliar sehingga pemerintah pusat menanggung 45 miliar. Akan tetapi dalam
proses pengeerjaan proyek, estimasi biaya meningkat menjadi Rp.55 miliar atau
mengalami kekurangan 5 miliar. Mengingat pemerintah pusat tidak lagi
mengucurkan dana maka poryek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
anggaran semula yaitu Rp.50 miliar.
Sementara itu, transfer bukan pengimbang (non-matching grants) adalah
transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
menambah

dana

penyelenggaraan

suatu

jenis

urusan

tertentu

tanpa

mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri akan mengalokasikan


dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintah pusat
untuk

menjadi

sarana

untuk

menginternalisasikan

limpahan

manfaat

(eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat


tersebut.

Jadi

meskipun

pemerintah

daerah

yang

bersangkutan

telah

mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan


urusan itu, namun karena pelaksanaanya menghasilkan limpahan manfaat besar
kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pemrintah pusat untuk
mendorong pemerintah daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan
pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.
2.5 Penelitian Terdahulu

38

Untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa


penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu
bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat atas hasil analisis yang
dilakukan yang merujuk dari beberapa hasil studi, baik yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini terdapat beberapa perbedaan dari
penelitian terdahulu yang diambil oleh peneliti, diantaranya lokasi,kondisi
keuangan daerah dan potensi daerah.
Jorge Martinez-Vazquez dan Robert McNab (2001) dalam (Sasana,2009).
Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dijelaskan bahwa hubungan desentralisasi fiskal dan
pertumbuhan ekonomi belum tentu memiliki dampak secara langsung.
Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi
yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau
pembelanjaan publik.
Jaime Bonet (2006) pernah meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap
ketimpangan pendapatan wilayah dengan bukti pengalaman dari negara
Kolombia. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Bonet membuktikan bahwa
proses desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan regional. Akan
tetapi ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lessmann (2006) yang
menganalisis mengenai Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Regional :
Menggunakan Pendekatan Data Panel Pada Negara-Negara OECD. Dalam
penelitiannya Lessmann menemukan bahwa derajat dari desentralisasi yang tinggi
menyebabkan

rendahnya

ketimpangan

regional.

Jadi,

wilayah-wilayah

39

terbelakang atau miskin tidak akan dirugikan dengan adanya desentralisasi,


begitupun sebaliknya.
Brodjonegoro (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan model
ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap
perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU,
DBH, disparitas ekonomi antardaerah akan semakin meningkat ditunjukkan oleh
meningkatnya angka Indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi
daerah, dengan skema yang sama menghasilkan teingkat pertumbuhan yang
berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi
menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Waluyo (2007), meneliti tentang dampak desentralisasi terhadap
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan model ekonometrika persamaan simultan
dengan menggunakan data panel antar propinsi. Asumsi yang digunakan adalah
tidak adanya keterkaitan antar daerah, tidak ada migrasi antar daerah, tidak ada
pergerakan barang dan modal antar daerah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih
tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah kaya sumber daya alam daripada daerah
bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Daerah-daerah yang miskin
sumber daya alam dan bukan pusat bisnis dan industry akan mengandalkan
penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Desentralisasi Fiskal akan berdampak
mengurangi ketimpangan pendapatan daerah terutama antar Kawasan Barat
Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), hal ini disebabkan oelh

40

mekanisme equalizing transfer melalui dana perimbangan. Hal ini, juga


ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari KTI, sedangkan
di Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan
ekonomi dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Secara umum kebijakan
desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan
antardaerah.
Shah (1994), meniliti tentang The Reform Of Intergovermental Fiscal
Relation in Developing and Emerging Market Economies, menyatakan Filipina
merupakan

salah

satu

Negara

ASEAN

yang

karakteristik

struktur

pemerintahannya hampir sama atau mirip dengan Indonesia. Filipina dalam


menentukan alokasi dana transfer mempertimbangkan aspek jumlah penduduk,
luas wilayah, pertimbangan etnis. Tapi dalam kesimpulannya dikatakan bahwa
walaupun Filipina sudah memasukkan variabel yang dianggap cukup objektif dan
rasional namun formula tersebut belum bisa mengoreksi ketimpangan fiskal
horizontal, sehingga perlu dimasukkan dalam formula unsur potensi yang ada
dalam daerah untuk meningkatkan pendapatan.
Mahi (2001) meneliti tentang dampak desentralisasi dengan judul Fiscal
decentralization : It`s Impact on Cities Growth.Menggunakan model
ekonometrika simultan two stage least square model. Variabel desentralisasi fiskal
diukur dengan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Hasil penelitian disimpulakn bahwa, (1) dana alokasi umum lebih menjanjikan
pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan yang lainnya walaupun desain
kebijakan dana alokasi umum tidak mendukung pemerataan ekonomi antar

41

daerah. (2) Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi.
(3) Kebutuhan bagi hasil sumber daya alam berpotensi mengurangi tingkat
pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah.
Hartina (2012) dalam studinya berjudul Analisis Peranan Dana Alokasi
Umum Dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Di
Provinsi Sumatera Barat.Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode analisis
regresi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan PDRB
perkapita

Kabupaten/Kota.adalah

variabel

ketimpangan

DAU

perkapita

Kabupaten/Kota, dan ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkapita dari


Provinsi Sumatera barat ke Kabupaten/Kota. Sedangkan variabel bebas yang tidak
berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota
adalah variabel Ketimpangan DBH perkapita Kabupaten/Kota.
Hamid (2005), yang berjudul Formula Alternatif

DAU dalam Upaya

Mengatasi Ketimpangan Fiskal dalam Era Otonomi Daerah. Penelitian ini


bertujuan untuk mengkaji ketimpangan fiskal vertikal dan merumuskan formula
transfer Pemerintah Pusat ke Daerah khususnya Formula DAU. Kesimpulan
penelitian ini disarankan menggunakan formula DAU IPM untuk perwujudan
pemerataan alokasi antar daerah dan penerimaan alokasi per kapita, formula DAU
IPM lebih sesuai ditetapkan di Indonesia.Dengan formula ini dari segi distribusi
DAU bisa mencapai sasaran sehingga terwujud pemerataan dan keadilan antar
daerah atau memperkecil ketimpangan fiskal.Formula ini memasukkan unsur
variabel pembangunan manusia, dan menghasilkan pemerataan penerimaan
daerah dengan semakin kecilnya koefisien variasi dan Indeks Williamson-nya.

42

Dengan formula ini juga menunjukkan provinsi yang kaya SDA (Riau,
Kalimantan Timur, dan Papua) dan empat dari lima provinsi di Jawa ( DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur) mengalami penurunan DAUnya. Dikatakan juga transfer DAU yang diharapkan dapat memperkecil
ketimpangan fiskal horizontal yang diakibatkan oleh hasil-hasil sumber daya alam
yang merasa dieksploitasi tanpa kompensasi yang memadai.
Menurut penelitian dari Rusydi (2010) tidak signifikannya PAD dalam
mempengaruhi belanja daerah termasuk celah fiskal disebabkan karena rendahnya
kontribusi PAD terhadap belanja daerah dan celah fiskal. Tingginya proporsi dana
perimbangan sebagai sumber penerimaan daerah mengakibatkan PAD hanya
berkontribusi kecil. Rendahnya penerimaan daerah dari PAD disebabkan oleh
rendahnya upaya penggalian potensi daerah yang tercerminkan oleh fluktuatifnya
tax effort di daerah. Padahal tax effort di daerah mencerminkan usaha pemerintah
daerah dalam mengumpulkan pendapatannya.
Siagian (2010) meneliti tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Wilayah (Studi Kasus Provinsi
Jawa Barat).Hasil dari penelitiannya adalah Ketimpangan wilayah di Provinsi
Jawa Barat, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertumbuhan ekonomi dan
desentralisasi

fiskal.Pertama,

pertumbuhan

ekonomi

dan

fiskal.Pertama, pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yan

desentralisasi

g signifikan dan

positif terhadap ketimpangan wilayah.Kedua, desentralisasi fiskal memiliki


hubungan yang negatif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.

43

Aulia Fabia (2006) dalam penelitiannya tentang Analisis Dampak


Otonomi

Daerah

Terhadap

Kondisi

Ketimpangan

Pendapatan

Antar

Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera. Hasil penelitiannya adalah Diberlakukannya


kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai
konvergensi dan menurunnya kesenjangan antar daerah.
2.6 Kerangka Konsepsional
Dalam pengelolaan keuangan negara dapat digunakan prinsip Musgrave
Trilogy (Musgrave,1959), yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan
negara sebagai instrumen stabilisasi, distribusi dan alokasi. Otonomi daerah yang
mulai diterapkan pada 1 Januari 2001 membuat pemerintah melakukan
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal fiskal, yaitu daerah dituntut
agar dapat mengelola fiskal agar dapat mencapai kemandirian fiskal dan bertujuan
untuk mencapai kemampuan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan
kepada masyarakatnya.Dana transfer daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum
(DAU), merupakan dana perimbangan.

44

CELAH FISKAL (Y) :


KEBUTUHAN FISKAL KAPASITAS FISKAL
( KEBUTUHAN FISKAL : IKK,IPM,LUAS
WILAYAH,JUMLAH PENDUDUK dan PDRB/Kapita )
(KAPASITAS FISKAL : PAD + DBH)

DANA ALOKASI
UMUM (DAU) (X1)

DANA ALOKASI
KHUSUS (DAK)
(X2)

KETIMPANGAN KEMAMPUAN
KEUANGAN

Celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas


fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan rumus celah fiskal dengan
menggunakan rumus dana transfer daerah yang dihitung berdasarkan, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Luas

45

Wilayah dan Jumlah Penduduk dalam suatu daerah, sedangkan mengukur


kapasitas fiskal melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil
(DBH). Celah fiskal merupakan variabel independen (Y) dan dana transfer daerah
yang terdiri dari DAU (X1) DAK (X2). Ketimpangan kemampuan keuangan
diukur berdasarkan celah fiskalnya sebagai proxy variabel atau variabel
pendekatan. Apakah celah fiskal suatu kabupaten/kota berada di atas rata-rata atau
dibawah rata-rata.

2.7 Hipotesis
Berdasarkan teori-teori dan pembahasan diatas maka, penulis menduga
bahwa :
1. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi bervariasi.
2. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan celah
fiskalnya adalah bervariasi.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ketimpangan kemampuan keuangan di Provinsi Sulawesi
Selatan.

46

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Daerah Penelitian


Dalam penulisan skripsi ini penulis mengadakan penelitian di wilayah
Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan, atau tepatnya penelitian ini dilakukan
di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendapatkan
data-data yang diperlukan dan di perpustakaan untuk memperoleh sumber-sumber
referensi yang memadai.

3.2 Metode Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan informasi dan data yang akurat yang akan
menjelaskan tentang pembahasan masalah yang akan diteliti, maka pengumpulan
data yang digunakan adalah dengan cara berikut.

47

Studi kepustakaan (Library Research)


Yaitu suatu bentuk metode penelitian dengan cara menggunakan sarana
kepustakaan

dengan

menelaah

bahasan

teoritis

dari

berbagai

macam

literatur,referensi yang berupa buku-buku, jurnal, hasil penelitian, peraturan


perundang-undangan, bahan bacaan di internet yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini.
Penulis juga melakukan pencarian data-data dan informasi yang berasal
dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan yang dianggap
berhubungan dan mendukung penelitian skripsi ini.

3.3 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder , yakni data yang
berasal pengumpulan data-data dari literatur atau bahan bacaan yang mendukung
penelitian ini. Adapun data-data yang ada berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Sulawesi Selatan. Data-data yang digunakan meliputi.
1. Data kualitatif, berupa data yang diperoleh dari buku-buku referensi
dan berbagai macam artikel,jurnal, karya ilmiah mengenai peranan
DAU dan PAD terhadap pemerataan kemampuan keuangan pada
Kab./Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Dan biasanya data kualitatif
hanya bersifat deskriptif.
2. Data kuantitatif berupa data-data yang diperoleh penulis melalui Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan yang akan diolah dan
dianalisis dengan menggunakan metode analisis model ekonometrika.

48

3.4

Metode Analisis Data


Dalam melakukan penelitian maka, dibutuhkan cara dalam menganalisis

guna mendukung penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, dalam hal ini
penulis menggunakan metode analisis sebagai berikut.
Sebelum menghitung dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda maka harus dihitung terlebih dahulu Rumus Dana Alokasi Umum
(Rumus DAU) yang terdiri dari Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK) merupakan cerminan dari suatu
nilai bangunan/konstruksi, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu
unit bangunan persatuan ukuran luas di suatu kabupaten/kota atau provinsi.TKK
diperoleh

melalui

pendekatan

terhadap

harga

sejumlah

bahan

bangunan/konstruksi dan harga sewa alat berat yang mempunyai nilai atau andil
cukup besar terhadap bangunan tersebut.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang
menggambarkan perbandingan TKK suatu kabupaten/kota atau provinsi terhadap
TKK kabupaten/kota provinsi lain. Sesuai dengan pengertiaannya IKK dapat
dikategorikan sebagai indeks spasial, yaitu indeks yang menggambarkan
perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu.
Berbeda dengan pengertian indeks periodical atau temporal yang selama ini kita

49

kenal, seperti Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau Indeks Harga
Konsumen (IHK), kedua indeks harga tersebut menggambarkan perkembangan
perkembangan harga di suatu wilayah pada periode waktu tertentu terhadap harga
periode tahun dasar.
IKK dihitung sejak tahun 2003 dengan rata-rata nasional sebagai acuan
(sama dengan 100). Tahun 2005 sampai dengan 2009, IKK disajikan dengan
memperhitungkan pula perkembangan harga periode tertentu terhadap periode
dasar (Februari 2004,periode harga yang digunakan dalam penghitungan IKK
2004). IKK tahun 2010 dan 2011 menggunakan Kota Samarinda dan Provinsi
Kalimantan Timur sebagai acuan.
IKK dihitung menurut pengelompokkan jenis bangunan yang mengacu
pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang disesuaikan agar
memenuhi asas komparabilitas. Seperti halnya IKK 2010, penghitungan IKK 2011
juga menggunakan 3 kelompok jenis bangunan, yaitu;
a. Bangunan tempat tingal dan bukan tempat tinggal
b. Jalan,jembatan dan pelabuhan;dan
c. Bangunan lainnya
IKK tahun 2003 dan IKK tahun 2004 disajikan menggunakan acuan ratarata nasional sama dengan 100. IKK tahun 2005 dikalikan dengan perkembangan
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) barang-barang konstruksi dari bulan
Februari 2004 sampai dengan bulan Mei 2005 yang merupakan periode
pencacahan serentak paket komoditi IKK dan sampai dengan rata-rata tahun 2009
disajikan dengan rata-rata nasional menggunakan inflator sebagai acuan. Seperti
halnya IKK 2010. IKK menggunakan Kota Samarinda sebagai kota acuan dan

50

Provinsi Kalimantan Timur sebagai acuan. IKK 2011 dihitung dengan


menggunakan inflator 1,0357
Paket Komoditas
Paket Komoditas yang digunakan dalam penghitungan IKK 2011 terdiri
dari 17 jenis barang, 4 sewa alat berat, dan 1 upah tenaga kerja, yaitu : pasir
pasang, batu kali, aspal, kayu balok, kayu lapis, cat tembok, besi beton, seng plat,
seng gelombang, kayu papan, sewa alat berat excavator, bulldozer, three wheel
roller (mesin gilas), dump truck, dan upah tukang.
Jenis barang dan sewa alat berat tersebut dipilih karena mempunyai nilai
atau andil yang cukup besar dalam membuat masing-masing kelompok jenis
bangunan serta harga barang-barang tersebut comparable atau mempunyai
keterbandingan antar kabupaten/kota di seluruh Indonesia
Diagram Timbang (DT) atau bobot
DT atau bobot terdiri dari DT kelompok jenis bangunan dan DT umum.DT
kelompok jenis bangunan digunakan untuk menghitung tingkat kemahalan
konstruksi kabupaten/kota yang disusun berdasarkan besarnya volume masingmasing jenis bahan bangunan untuk membangun satu unit bangunan per satuan
ukuran luas.Sementara itu DT umum digunakan untuk menghitung IKK umum,
disusun berdasarkan perkiraan persentase pengeluaran untuk pembangunan fisik
yang ada di masing-masing kabupaten/kota dan dirinci menurut 3 (tiga) kelompok
jenis bangunan/konstruksi.

51

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Konsep pembangunan masnusia adalah manusia sebagai kekayaan bangsa
yang sesungguhnya. Salah satu pengukuran pembangunan manusia adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau biasa juga dikenal dengan Human
Development Index (HDI)
Beberapa penjelasan mengenai Indeks Pembangunan Manusia ;
1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang
mengukur kualitas hidup manusia. IPM dibangun melalui pendekatan 3
dimensi, yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang
layak.
2. IPM menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya
pembangunan kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk).
3. IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam
hal eveluasi proses pembagunan sumber daya manusianya.
4. IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan
untuk mengkases hasil dari suatu proses pembangunan, sebagian dari
haknya dalam memperoleh pendapatan,kesehatan, pendidikan dan
sebagainya.
5. Secara berkala, data IPM digunakan sebagai salah satu indikator dalam
penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum)
6. IPM harus digunakan secara hati-hati, meskipun indeks-indeks tersebut
memberikan petunjuk umum tentang kebutuhan-kebutuhan dan prioritasprioritas pembangunan manusia. Indeks tersebut masih perlu dilengkapi
dengan informasi-informasi kuatitatif dan kualitatif yang harus dimiliki
oleh pemerintah daerah.
Komponen IPM dan Konsep

52

1. Angka Melek Huruf penduduk dewasa : Proporsi penduduk berusia 15


tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf
lainnya.
2. Angka Harapan Hidup pada waktu lahir : perkiraan lama hidup rata-rata
penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut.
3. Rata-rata Lama Sekolah : Rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh
penduduk berusia 15 tahun ke ataas untuk menempuh semua jenis
pedidikan formal yang pernah dijalani.
4. Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity = PPP) : Indikator ekonomi
yang digunakan untuk melakukan perbandingan antar wilayah riil antar
wilayah provinsi dan antar Kabupaten/Kota. Dalam konteks PPP untuk
Indonesia, satu rupiah di suatu daerah (provinsi/kabupaten) memiliki daya
beli yang sama dengan satu rupiah di Jakarta. PPP dihitung berdasarkan
pengeluaran riil per kapita setelah disesuaikan dengan indeks harga
konsumen dan penurunan utilitas marginal yang dihitung dengan formula
Atkinson
5. Reduksi Shortfall : Mengukur keberhasilan pembangunan manusia
dipandang dari jarak antara yang dicapai terhadap kondisi ideal (100IPM). Nilai reduksi shortfall yang lebih besar menandakan peningkatan
IPM yang lebih cepat. Pengukuran ini didasarkan asumsi, laju
pertumbuhan tidak bersifat linear, tetapi laju perubahan cenderung
melambat pada tingkat IPM yang lebih tinggi.
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)
PDRB merupakan penjumlahan nilai dan output bersih perekonomian yang
ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi, disuatu wilayah tertentu (provinsi dan

53

kabupaten/kota), dan dalam suatu kurun waktu tertentu (satu tahun kalender).
Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan,
industri pengolahan sampai dengan jasa-jasa.
Dalam penghitungannya, untuk menghindari hitung ganda, nilai outpu
bersih diberi nama secara spesifik, yaitu nilai tambah (value added). Demikian
juga, harga yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga produsen.
Penilaian pada harga konsumen akan menghilangkan PDRB subsektor
perdagangan dan sebagian subsektor pengangkutan.
Luas Wilayah
Luas wilayah adalah ukuran kondisi luas suatu daerah kabupaten/kota atau
provinsi di Sulawesi Selatan.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah seberapa banyak penduduk yang ada dalam suatu
wilayah kabupaten/kota.
Untuk menghitung ketimpangan kemampuan keuangan maka dihitung
berdasarkan celah fiskal. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan
kapasitas fiskal, Kebutuhan fiskal dihitung dengan rumus dasar dana transfer
daerah seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Bagi Hasil (DBH). Komponen penentuan dana transfer diukur dengan : KbF
= TBD (1 IP + 2 IW + 3 IKK + 4 IPM-1 + 5 PDRB/kap.)
Dimana :
TBD : Total belanja rata-rata dalam APBD

54

IP

: Indeks Jumlah Penduduk

IW : Indeks Luas Wilayah


IKK : Indeks Kemahalan Konstruksi
IPM-1 : Inverse Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (100-IPM)
PDRB/Kapita : Indeks Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita ( 1 Indeks PDRB / Kapita)
: bobot indeks
bobot indeks 1= 40 % 2 = 10 % 3= 30 % 4= 10 % 5 = 10 %
Cara Menghitung Indeks,
Indeks Jumlah Penduduk =

Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota


Rata-rata penduduk Provinsi

Indeks Luas Wilayah

Luas Wilayah Kabupaten/Kota


Rata-rata luas wilayah Kabupaten/Kota dalam

Provinsi
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) =

IKK Kabupaten/Kota
IKK Provinsi

3.4.3

Metode Analisis Regresi


Metode analisis regresi digunakan adalah dengan metode untuk

menganalisis

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

ketimpangan

pendapatan

perkapita antar daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam


penelitian ini menggunakan waktu selama tahun 2010 , mulai tahun 2010. Untuk
menyederhanakan perhitungan dengan menggunakan variabel ekonometrika,
maka variabel dependen (terikat) yang dilambangkan dengan Yt adalah celah

55

fiskal yang dihitung dengan menggunakan formula Dana Alokasi Umum (DAU),
sedangkan variabel independen (bebas) adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh karena itu maka dibuatlah model regresi linear
berganda dengan bentuk persamaannya adalah sebagai berikut.
Yt= f (X1,X2)(1)
Dimana Yt adalah fungsi dari X1 dan X2 kemudian diturunkan menjadi fungsi
atau secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas :
Yt = 0X11X22 t(2)
Untuk memperoleh bentuk persamaan linear, maka persamaan tersebut dirubah
menjadi linear dengan menggunakan Logaritma Natural (Ln), sehingga diperoleh :
LnYt = 0+ 1 LnX1 + 2 LnX2 t(3)
Dimana :
Yt = Rumus Celah Fiskal (Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal) ( Kebutuhan
fiskal dihitung dari Indeks Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (inverse) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) (inverse) pada tahun 2010)
0

= Konstanta

LnX1

= Dana Alokasi Umum/(DAU) (dalam Rupiah)

LnX2

= Dana Alokasi Khusus/(DAK) (dalam Rupiah)

= Koefisien Dana Alokasi Umum

= Koefisien Dana Alokasi Khusus

56

= standar error / variabel pengganggu

= tahun ke-t (2010)

3.4 Definisi Operasional


Dana Alokasi Umum (DAU) Adalah dana yang bersumber dari APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antardaerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran daerahnnya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. DAU dinyatakan dalam nominal Rupiah, dihitung pada tahun
2010
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan
yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah yang
meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan
penerimaan lain-lain.PAD dinyatakan dalam nominal

Rupiah, dihitung pada

tahun 2010.
Celah Fiskal adalah Kebutuhan Fiskal dikurangi dengan Kapasitas Fiskal.
Kebutuhan fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai
semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah
dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan kebutuhan fiskal dihitung

57

melalui pendekatan rumus DAU yang ditentukan dari variabel-variabel Indeks


Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Inverse) dan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) (inverse) pada tahun 2010. Sedangkan Kapasitas Fiskal dihitung
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan Dana Bagi Hasil (DBH)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

58

Provinsi Sulawsi Selatan beribukota di Makassar dan sebagai pusat


pengembangan dan pelayanan pembangunan di wilayah Timur Indonesia. Provinsi
Sulawesi Selatan memiliki 24 Kabupaten / Kota, Provinsi Sulawesi Selatan
sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan
Teluk Bone, Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar dan Provinsi
Sulawesi Barat dan di utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat.

4.2 Gambaran Umum Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
4.2.1 Dana Alokasi Umum (DAU).
DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama adalah
pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk
mengalokasikan

DAU

sudah

dapat

diadopsi

di

Indonesia,

karena

memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan kemapuan fiskal


pemerintah daerah. Formula DAU mungkin berbeda dengan model alokasi IRA
(Internal Revenue Allotment) yang merupakan dana transfer di Filipina yang
dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja; yaitu
menggunakan variabel luas wilayah dan jumlah penduduk. Formula DAU juga
mungkin berbeda dengan alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya
hanya berdasarkan kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal
daerah) saja.

59

Kondisi saat ini, dalam UU No. 33/2004 telah dinyatakan dengan tegas
bahwa DAU dibagikan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula
yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi
dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan
kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah
daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya,terlepas dari pertimbangan
efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula
DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan
otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi
DAU. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya,
melainkan masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables),
diantaranya adalah : jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dan Produk Domestik Bruto (PDRB). Kondisi yang diharapkan.
1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini
masih sangat tinggi, sebagai adanya kebijakan-kebijakan yang justru medistorsi
formula DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy. Dan
penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. 2) Penilaian kebutuhan fiskal
dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan
alat ukur yang mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. 3) Penghitungan
DAU dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang terlepas dari berbagai
macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik

60

tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan


pemenuhan pelayanan minimum.
Formulasi penghitungan DAU harus diarahkan kembali untuk mengatasi
ketimpangan horizontal dan tidak dibebani tujuan-tujuan lain yang bersifat non
teknis atau politis. 1) Salah satu cara untuk menghindari campur tangan politik
dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk lembaga independen yang
melakukan penghitungan DAU. 2) Arah ke depan, penggunaan belanja pegawai
sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan. 3) Selain itu,untuk
mewujudkan perhitungan kebutuhan fiskal yang benar-benar didasarkan atas
perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah memang tidak mudah,setidaknya
harus diperoleh kejelasan tentang ASB (Analisis Standar Belanja) untuk setiap
urusan yang didaerahkan, yang memperhitungkan Standar Pelayanan Minimum
(SPM). Atas dasar ini, maka diperlukan suatu kebijakan yang mendorong agar
pemerintah daerah menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerahnya
untuk mencapai target SPM di daerah.

4.2.2 Dana Alokasi Khusus (DAK)


Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. DAK ditujukan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan
khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan

61

dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah. DAK memiliki karakter yang paling spesifik
diantara dana transfer lainnya di mana DAK hanya dapat digunakan sesuai dengan
kegiatan yang ditetapkan oleh instansi teknis yang terkait dengan bidang alokasi
DAK.
DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan
yang telah didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk
mendukung prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di Negara lain, maka
bentuk transfer yang bersifat specific grantakan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping itu,
DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian
standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK
selayaknya dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum bias mencapai
kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK
tidak dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu
yang mempunyai kondisi khusus.Kondisi Saat ini, semenjak dilakukannya
kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat dirasakan tidak jelasnya
peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi daerah.
Euphoria terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000
tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan
prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan
diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur pengggunaanya. Sebagai
akibatnya, Peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target
pembagunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan publik

62

daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya sebesar
700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya
adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-Undang
pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk
alokasi DAK. Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk
pemenuhan berbagai program prioritas nasional,maka peran DAK menjadi
meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar
Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK
tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini hanya sebesar
8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah peranannya dalam
mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Selain itu, DAK masih dirasakan
belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini
meliputi 12 bidang, yaitu : Pendidikan,kesehatan, jalan, irigasi, air bersih,
lingkungan hidup, kependudukan, kehutanan, prasarana pemerintahan, kelautan
dan perikanan, dan kependudukan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang
meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga
efektivitas alokasi DAK perbidang menjadi sangat minimal.Kondisi yang
diharapkan. Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk
merumuskan kembali peran DAK dalam mekanisme dana perimbangan. Arah
yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka
mendorong

pembangunan

daerah

untuk

memenuhi

berbagai

prioritas

pembangunan nasional. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat ini hanya
sekitar 8,05 % maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi alokasi DAK yang

63

efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan dapat meningkat porsinya


menjadi setidak-tidaknya 30 % terhadap total dana perimbangan.
Strategi utama yang harus terus didorong adalah menigkatkan peranan
DAK sebagai suatu bentuk transfer yang mengutamakan prioritas nasional.
Untuk itu, perlu adanya peningkatan yang signifikan DAK di masa
mendatang.Hal ini seharusnya juga harus diikuti dengan berbagai tindakan
kebijakan (policy action) yang lebih terfokus, dan lebih teradministrasi dengan
baik untuk alokasi maupun implementasinya.Untuk itu, maka beberapa kebijakan
yang harus diambil sampai dengan 2015 berikut ini menjadi penting dalam
mendukung efektivitas DAK di masa mendatang. 1) Perlunya diperjelas prioritas
nasional yang perlu didukung oleh DAK : pada saat ini terdapat 12 bidang yang
menjadi prioritas DAK. Di masa depan tampaknya perlu dipertajam menjadi
hanya 3 bidang prioritas. Yaitu khususnya : Infrastuktur,kesehatan,dan
pendidikan. Prioritas bidang dalam DAK diharapkan dapat memberikan arah
kepada belanja daerah untuk juga turut memfokuskan kepada 3 bidang tersebut,
sehingga ketertinggalan nasional dan regional dalam ketiga bidang tersebut dapat
diatasi. 2) Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat dan
daerah dalam pelaksanaan DAK. Pembagian tugas perlu diperjelas antara pusat
dan daerah dalam pelaksanaan DAK.Pada saat ini, pemerintah pusat terlalu
dalam melakukan intervensi dalam pelaksanaan DAK. Berbagai macam kasus di
daerah menunjukkan bahwa pembelanjaan untuk proyek-proyek yang dibiayai
oleh DAK terkadang dilakukan oleh instansi pusat, sedangkan dinas terkait
hanya tinggal melaksanakannya. Oleh karena itu, ke depan sebaiknya
pelaksanaan DAK dilakukan oleh pemerintah daerah,dan untuk itu diperlukan

64

piata system pengawasan dan evaluasi DAK yang lebih baik lagi. 3)
Menyederhanakan Formula alokasi DAK : Pada saat ini alokasi DAK ditetapkan
dengan menggunakan tiga kelompok kriteria ; (i) Kriteria Umum (ii) Kriteria
Khusus (iii) Kriteria Teknis. Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK
menjadi lebih rumit dari formulasi DAU. Oleh sebab itu, dalam desain DAK ke
depan,

akan

dilakukan

penyederhanaan

formula

DAK

dengan

mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional dan
daerah.

4.2.3 DANA BAGI HASIL (DBH)


Dana bagi hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerahdaerah yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi
penerimaan

pajak

pusat

yaitu

pajak

penghasilan

perseorangan

(PPh

perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Tanah atas
Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas
Alam, Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan). Berdasarkan UU No. 33/ 2004,
bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan
besarnya suatu persentase tertentu.
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa
segi : 1) Formula alokasi DBH : Persentase yang dibagihasilkan dengan daerah
relatif tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada
saat 2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi hasil minyak dan
gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0.5% pada tahun 2004. Rumusan

65

bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat
bervariasi antara satu dengan yang lain, selain itu, semenjak ditetapkan rumusan
alokasi pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi
hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan
formula berbeda pada daerah otonomi khusus, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam
dan Papua. 2) Dasar nilai penetapan bagi hasil : Selain dari beragamnya formula,
yang juga menambah rumit alokasi DBH adalah beragam dasar penetapan untuk
bagi hasil. Saat ini, untuk minyak dan gas bumi, yang dibagihasilkan kepada
daerah adalah nilai net operating income setelah dikurangi dengan berbagai jenis
pajak (PPh, PPN, dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi
dan gas alam. Sedangkan untuk pertambangan, kehutanan dan perikanan, nilai
yang dibagihasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha
dan royalty untuk produksi yang dihasilkan. 3) Pemanfaatan DBH di daerah :
Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup signifikan,
seharusnya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal dalam rangka
meningkatkan pelayanan

publik dan pengembangan infrastruktur di daerah.

Namun demikian, arah penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah,


bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antar Provinsi dan
Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan bandara pada lokasi yang berdekatan
dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten. 4)
Mekanisme penyaluran DBH. Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak
tahun 2001 sampai dengan sekarang ini adalah keterlambatan penyaluran DBH ke
daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya
penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada

66

3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di
APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah
memperhitungkan berbagai penyusunan terhadap realisasi yang terjadi.Jumlah
yang bisa dibagi hasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi adalah maksimum
130 % dari harga awal dari asumsi APBN. Berbagai upaya telah dilakuakn untuk
mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini
mulai lebih baik pada tahun 2008.
Berdasarkan uraian diatas berbagai kompleksitas alokasi DBH tersebut,
diharapkan pada masa yang akan datang akan dapat didesain suatu system bagi
hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban
fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga
kesinambungan nasional.Beberapa kebijakan sampai dengan tahun 2015 yang
dapat dimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi DBH dapat
diuraikan sebagai berikut. 1)Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH
dan memberikan argumentasI yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH
antara pusat dan daerah. 2) Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih
baik, agar alokasi DBH ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat
jumlah,sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optilam sesuai dengan
yang direncanakan. 3) Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu
earmarking, misalnya dengan menetapkan persentase tertentu dari DBH untuk
dapat dimanfaatkan bagi pengembangan pendidikan,kesehatan ataupun perbaikan
lingkungan hidup di daerah.

67

4.2.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Menurut UU 33 tahun 2004. Pendaptan Asli Daerah, selanjutnya disebut
dengan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam
wilayahnya sendiri dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD bertujuan memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
PAD terdiri dari
1. Hasil pajak daerah
Menurut UU 34/2000 tentang pajak daerah. Pajak daerah, yang
selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan
untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak
provinsi terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Rokok
e. Pajak Air Permukaan
Sedangkan jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Reklame
Pajak parkir
Pajak Air Tanah
Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Hiburan
Pajak Penerangan Jalan

68

j. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


k. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
2) Hasil Retribusi Daerah
Menurut UU 28/2009 Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut
Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan Badan atau Orang Pribadi.
Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
a. Retribusi jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemrintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis Retribusi Jasa Umum
misalnya : Retribusi Pelayanan Kesehatan, retribusi kebersihan, retribusi
penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk, dan akta catatan sipil,
retribusi pelayanan parker di tepi jalanan umum, retribusi pelayanan pasar.
b. Retribusi jasa usaha adalah jasa yang disediakan dan diberikan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena
pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi
jasa usaha misalnya : Retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi
terminal, retribusi tempat penginapan/villa, retribusi pasar pertokoan
dan/atau grosir, retribusi tempat wisata dan olahraga, dll
c. Retribusi perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh
pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,
penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum, dan menjaga kelestarian

69

lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu, msialnya : retribusi izin


mendirikan

bangunan,

retribusi

izin

tempat

penjualan

minuman

beralkohol, retribusi izin gangguan, retribusi izin trayek, retribusi izin


usaha periklanan.
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4) Lain-lain PAD yang sah meliputi
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. jasa giro
c. pendapatan bunga
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang/atau jasa oleh daerah

4.3 Gambaran tentang Celah Fiskal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Keuangan daerah sebagai alat fiskal pemerintah daerah merupakan bagian
integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi,
memeratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain
stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah makin penting, selain karena
keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan,
tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan
membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan
daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang
lebih nyata dan bertanggung jawab. (Sulistyowati,2006)
Otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dari otonomi daerah secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pengertian

70

otonomi fiskal daerah, menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam


meningkatkan PAD seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Namun demikian, dari
hasil penelitian IKR (Indeks Kemampuan Rutin) daerah-daerah Kabupaten/Kota
masih sangat rendah. Hal ini berarti PAD Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan belum
mampu membiayai pengeluaran rutin. Oleh karena itu otonomi daerah dan juga
pemerintah dan pembangunan daerah dapat diwujudkan hanya apabila disertai
otonomi keuangan yang efektif. Berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial
harus bersifat indenpenden terhadap pusat

dengan jalan sebanyak mungkin

menggali sumber-sumber PAD, seperti pajak, retribusi dan sebagainya.


Sementara di lain pihak, ada dua pandangan yang bertentangan mengenai
masalah otonomi daerah. Ada yang berpendapat bahwa kemampuan pemerintah
daerah untuk menjalankan fungsinya tergantung pada kemampuannya dalam
menggali sumber-sumber penerimaan daerah yang independen, misalnya pajak
dan retribusi. Alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah akan disertai
kontrol yang ketat terhadap pengeluaran daerah. Pemerintah daerah yang
mempunyai pendaptan besar dan independen akan mempunyai posisi yang lebih
baik dari pada pusat. Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa hubungan
antara ketergantuungan daerah atas dana pusat dan keleluasaan daerah akan
pengeluaran-pengaluarannya adalah tidak langsung. Berdasarkan pandangan ini
yang penting bagi otonomi daerah adalah daerah mempunyai sumber pendapatan
yang elastis, tidak tergantung pada asal dana tersebut, dan mempunyai keleluasaan
terutama dalam menggunakan dana bagi kepentingan masyarakat di daerah di
dalam batas-batas yang ditentukan dalam perundang-undangan. (Kenneth
Davey,1998)

71

Tabel 4.1 Celah Fiskal dan PAD pada 24 Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2010
No.

Kabupaten/Kota

Celah Fiskal*

Keterangan

PAD*

Keterangan

SELAYAR

7,552,632,775.23

diatas rata-rata

18,117,097

2
3

BULUKUMBA
BANTAENG

7,574,631,551.27
7,507,271,106.33

52,606,039
16,406,094

JENEPONTO

7,904,732,237.22

diatas rata-rata
dibawah ratarata
diatas rata-rata

TAKALAR

7,651,254,683.24

diatas rata-rata

33,156,917

GOWA

7,813,648,901.59

diatas rata-rata

39,550,672

SINJAI

7,590,777,927.10

diatas rata-rata

18,291,813

MAROS

7,509,805,898.84

58,056,293

7,603,183,773.42

72,203,752

diatas rata-rata

10

PANGKAJENE
KEPULAUAN
BARRU

dibawah ratarata
diatas rata-rata

dibawah ratarata
diatas rata-rata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
diatas rata-rata

7,469,731,601.39

dibawah ratarata

16,733,509

dibawah ratarata

11

BONE

7,920,590,203.69

diatas rata-rata

62,308,957

diatas rata-rata

12

SOPPENG

7,461,206,879.08

dibawah ratarata

20,147,272

dibawah ratarata

14,838,973

72

13

WAJO

7,635,590,865.58

diatas rata-rata

42,414,432

diatas rata-rata

14

SINDERENG
RAPPANG

7,407,038,537.72

dibawah ratarata

50,838,683

diatas rata-rata

15

PINRANG

7,462,473,921.96

dibawah ratarata

39,334,879

dibawah ratarata

No.

Kabupaten/Kota

Celah Fiskal*

Keterangan

PAD*

Keterangan

16

ENREKANG

7,294,556,123.88

dibawah ratarata

24,567,850

dibawah ratarata

17

LUWU

7,482,233,562.74

dibawah ratarata

21,989,550

dibawah ratarata

18

TANA TORAJA

7,498,252,077.13

dibawah ratarata

19,994,073

dibawah ratarata

19

LUWU UTARA

7,553,325,852.37

diatas rata-rata

26,220,927

dibawah ratarata

20

LUWU TIMUR

7,519,203,231.51

dibawah ratarata

50,473,070

diatas rata-rata

21

TORAJA UTARA

7,616,308,917.65

diatas rata-rata

9,000,000

dibawah ratarata

22

KOTA MAKASSAR

7,489,907,387.95

dibawah ratarata

199,339,439

diatas rata-rata

23

KOTA PAREPARE

7,002,789,732.72

dibawah ratarata

41,726,500

diatas rata-rata

24

KOTA PALOPO

7,124,514,964.17

dibawah ratarata

26,310,276

dibawah ratarata

Rata-Rata

7,526,902,613.08

* Dalam Ribuan Rupiah

40,609,461

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Berdasarkan data dari tabel diatas maka Kota Makassar merupakan kota
yang memilliki PAD yang paling tinggi diikuti oleh 8 Kabupaten/Kota lainnya
yaitu Pangkajene dan Kepulauan, Bone, Maros, Bulukumba, Sindereng Rappang,

73

Luwu Timur, Wajo dan Kota Parepare. Tingginya PAD disebabkan oleh besarnya
potensi pajak daerah, retribusi, dan sumber daya alam daerah tersebut, sehingga
menyebabkan besarnya pendapatan asli daerah tersebut. Sebaliknya jika dalam
suatu daerah memiliki potensi pajak, retribusi, dan sumber daya alam kecil, maka
akan berpengaruh terhadap kecilnya penerimaan daerah tersebut. Jika pendapatan
asli daerah yang kecil sedangkan kebutuhan fiskalnya tinggi maka daerah tersebut
mendapatkan dana transfer pemerintah pusat yang tinggi, karena ketimpangan
kemampuan keuangan maka pemerintah pusat menutupinya dengan dana transfer
daerah agar dapat menyediakan standar pelayanan minimum (SPM).
Berdasarkan tabel diatas terdapat Kabupaten/Kota yang memiliki celah
fiskal diatas rata-rata adalah Bulukumba, Selayar, Jeneponto, Bone, Takalar,
Gowa, Sinjai, Luwu Utara, Pangkajene dan Kepulauan dan Wajo. Celah Fiskal
yang diatas rata-rata disebabkan oleh besarnya kebutuhan fiskal suatu daerah yang
tidak diimbangi dengan kapasitas fiskal yang memadai untuk belanja daerah.
Pemerintah daerah harus dapat meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara
peningkatan pendapatan daerah, mendorong investasi agar dapat membuka
kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat dan sektor mikro kecil dan
menengah agar dapat meningkatkan pertumbuhan pendapatan daerah dan diiringi
dengan pemerataan pertumbuhan.
Pemerintah daerah sebaiknya dapat melakukan analisis penghitungan
PAD. Analisis penghitungan potensi adalah tahap pengumpulan atau inventarisir
data. Tujuannya adalah pertama, sebagai dasar untuk pengembangan potensi
pendapatan daerah yang realistis atau mendekati keadaan yang sebenarnya.

74

Kedua, sebagai dasar penyusunan program atau rencana tindakan yang diperlukan
untuk meningkatkan pendapatan daerah, baik yang diarahkan kepada subjek pajak
atau retribusi maupun pengelola keuangan daerah (administrasi). Ketiga, sebagai
dasar penyusunan target penerimaan pendapatan daerah yang mencerminkan
potensi yang ada dan kemampuan pengelolaan pendapatan daerah.

Dengan

diberlakukannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab,


kewenangan daerah menjadi sangat luas, dan untuk menyelenggarakan
kewenangan daerah Kabupaten/Kota menjadi sangat luas, dan menyelenggarakan
kewenangan nya itu diperlukan pembiayaan yang semakin besar. Di lain hal
sumber keuangan daerah dalam hal ini Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan
Kabupaten/Kota yag berasal dari PAD masih terbatas dan tingkat ketergantungan
keuangan daerah terhadap bantuan dana transfer pemerintah pusat masih cukup
tinggi. PAD memberikan kontribusi yang relatif

kecil dalam mendukung

penerimaan daerah dan kapasitas fiskal, sedangkan proporsi terbesar masih berada
pada dana transfer dari pemeintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas
fiskal Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Kabupaten/Kota masih rendah.
Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara
penuh dalam periode pendek diragukan, baik sebagai akibat kapabilitas daerah
otonom yang tidak dapat berubah begitu cepat maupun sistem keuangan, yaitu
pemerintah pusat tidak serta merta mau kehilangan kendali atas pemerintah
daerah. Kuncoro (2002) menjelaskan beberapa hal yang dapat menghambat
keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi, yaitu (1) dominannya
transfer dari pemerintah pusat, (2) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai
sumber pendapatan asli daerah. (3) tingginya sentralisasi dalam bidang perpajakan

75

(4) walaupun pajak daerah begitu beragam tetapi hanya sedikit yang bias
diandalkan sebagai sumber penerimaan, (5) kelemahan dari pemberian subsidi
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

4.4 Proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH)
Tabel 4.2 Proporsi PAD dan DBH terhadap Total Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan

2010
Total
N
O

NAMA
KABUPATEN/KO
TA

PAD

DBH

Penerimaan
Daerah

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

SELAYAR
BULUKUMBA
BANTAENG
JENEPONTO
TAKALAR
GOWA
SINJAI
MAROS
PANGKAJENE
KEPULAUAN
BARRU
BONE
SOPPENG
WAJO
SINDERENG
RAPPANG
PINRANG
ENREKANG
LUWU
TANA TORAJA
LUWU UTARA
LUWU TIMUR
TORAJA UTARA
KOTA

%
Proporsi PAD

%
Proporsi DBH

Terhadap
Total
Penerimaan
Daerah

Terhadap
Total
Penerimaan
Daerah

18,117,097
52,606,039
16,406,094
14,838,973
33,156,917
39,550,672
18,291,813
58,056,293

41,863,577
39,413,252
33,608,327
57,560,598
23,000,000
28,209,487
35,579,104
57,869,791

410,242,275
629,790,225
407,362,694
542,755,179
432,791,780
669,242,154
462,618,723
597,802,899

4.42
8.35
4.03
2.73
7.66
5.91
3.95
9.71

10.20
6.26
8.25
10.61
5.31
4.22
7.69
9.68

72,203,752
16,733,509
62,308,957
20,147,272
42,414,432

29,720,184
39,212,880
59,744,739
35,793,632
77,120,432

561,193,750
445,179,878
883,059,101
482,420,684
727,905,907

12.87
3.76
7.06
4.18
5.83

5.30
8.81
6.77
7.42
10.59

50,838,683
39,334,879
24,567,850
21,989,550
19,994,073
26,220,927
50,473,070
9,000,000
199,339,439

79,481,070
38,418,745
42,666,232
18,750,000
27,800,000
35,170,965
93,144,944
20,299,951
140,379,298

724,850,858
568,591,311
429,941,352
454,521,163
436,460,202
496,155,454
576,624,984
363,397,343
1,304,272,866

7.01
6.92
5.71
4.84
4.58
5.28
8.75
2.48
15.28

10.97
6.76
9.92
4.13
6.37
7.09
16.15
5.59
10.76

76

23
24

MAKASSAR
KOTA PAREPARE
41,726,500
30,100,000
482,528,926
8.65
KOTA PALOPO
26,310,276
21,443,882
427,289,280
6.16
SULAWESI
1,106,451,09
SELATAN
974,627,067 0
13,516,998,988
7.21
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah)

6.24
5.02
8.19

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa proporsi PAD dan DBH
terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan adalah
bervariasi. PAD yang tertinggi terhadap total penerimaan adalah Kota Makassar,
sebesar 15.28 % hal ini disebabkan oleh besarnya penerimaan pajak daerah dan
penerimaan retribusi daerah. Selain itu Kabupaten Luwu Timur merupakan daerah
yang memiliki prosentase DBH terhadap total penerimaan tertinggi di Provinsi
Sulawesi Selatan sebesar 16.15 % Hal ini ditopang oleh besarnya sumber daya
alam yang terdapat di daerah tersebut. sedangkan DBH juga dapat mencerminkan
kemampuan daerah dalam mengelola pajak dan sumber daya alam di wilayahnya.
Berdasarkan dari tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar kontribusi PAD
terhadap total penerimaan daerah secara keseluruhan dari Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan masih rendah. Hal ini disebabkan belum optimalnya
pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan retribusi untuk
meningkatkan PAD daerah. Dalam kenyataannya karakteristik daerah di Provinsi
Sulawesi Selatan bervariasi. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang
banyak. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang
besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan dengan
baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan menjadi lebih baik di banding daerah
lain yang memiliki sulit mendapatkan potensi pajak sehingga daerah tersebut
menjadi kaya. Namun banyak daerah secara alamiah maupun struktur ekonomi

77

masih tertinggal sehingga daerah tersebut menjadi miskin. Oleh sebab itu maka
transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) masih
diberikan khususnya untuk mengatasi kesenjangan antar daerah tersebut.

4.5 ANALISIS TIPOLOGI KLASSEN


Tabel 4.3 Celah Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan

2010
N
O

NAMA
KABUPATEN/KOTA

SELAYAR

BULUKUMBA

BANTAENG

JENEPONTO

TAKALAR

GOWA

SINJAI

8
9

MAROS
PANGKAJENE
KEPULAUAN

10

BARRU

11

BONE

12

SOPPENG

13

WAJO

14

SINDERENG RAPPANG

15

PINRANG

16
17

ENREKANG
LUWU

Celah Fiskal*
7,552,632,77
5.23
7,574,631,55
1.27
7,507,271,10
6.33
7,904,732,23
7.22
7,651,254,68
3.24
7,813,648,90
1.59
7,590,777,92
7.10
7,509,805,89
8.84
7,603,183,77
3.42
7,469,731,60
1.39
7,920,590,20
3.69
7,461,206,87
9.08
7,635,590,86
5.58
7,407,038,53
7.72
7,462,473,92
1.96
7,294,556,12
3.88
7,482,233,56

Keterangan
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATA-

78

18

TANA TORAJA

19

LUWU UTARA

20

LUWU TIMUR

21

TORAJA UTARA

22

KOTA MAKASSAR

23

KOTA PAREPARE

24

KOTA PALOPO

Rata-Rata
Fiskal

2.74
7,498,252,07
7.13
7,553,325,85
2.37
7,519,203,23
1.51
7,616,308,91
7.65
7,489,907,38
7.95
7,002,789,73
2.72
7,124,514,96
4.17

Celah

RATA
DIBAWAH
RATA

RATA-

DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA

7,526,902,6
13.08

* Dalam Ribuan Rupiah


Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah)

Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan


Laju Pertumbuhan PDRB

2010

N
O

NAMA KABUPATEN/KOTA

SELAYAR

Laju
Pertumbu
han
PDRB (%)
8.01

2
3
4

BULUKUMBA
BANTAENG
JENEPONTO

6.27
7.90
7.25

TAKALAR

6.85

GOWA

6.05

SINJAI

6.03

MAROS

7.03

Keterangan

Diatas Rata-rata
Dibawah
Ratarata
Diatas Rata-rata
Diatas Rata-rata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata

79

PANGKAJENE KEPULAUAN

6.34

10
11

BARRU
BONE

6.01
7.63

12

SOPPENG

4.45

13

WAJO

5.71

14

SINDERENG RAPPANG

4.45

15

PINRANG

6.23

16

ENREKANG

5.00

17

LUWU

6.95

18

TANA TORAJA

6.27

19
20

LUWU UTARA
LUWU TIMUR

5.93
16.15

21
22
23
24

TORAJA UTARA
KOTA MAKASSAR
KOTA PAREPARE
KOTA PALOPO

7.00
9.83
8.47
7.29

Rata-Rata

7.04

Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah)

Tabel 4.5 Tabel Tipologi Klassen

Dibawah
Ratarata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Diatas rata-rata
Diatas rata-rata

80

LAJU PERTUMBUHAN
PDRB

LAJU PERTUMBUHAN
DIATAS RATA-RATA

CELAH FISKAL
CELAH FISKAL DIATAS RATA- SELAYAR
RATA
JENEPONTO
BONE

(Kuadran I)
CELAH
FISKAL
RATA-RATA

DIBAWAH BANTAENG
LUWU TIMUR
MAKASSAR
PARE-PARE
PALOPO

(Kuadran III)

PDRB

LAJU PERTUMBUHAN
DIBAWAH RATA-RATA

PDRB

BULUKUMBA
TAKALAR
GOWA
SINJAI
PANGKAJENE
KEPULAUAN
WAJO
LUWU UTARA
(Kuadran II)
MAROS
BARRU
SOPPENG
SINDERENG RAPPANG
PINRANG
ENREKANG
LUWU
TANA TORAJA
TORAJA UTARA
(Kuadran IV)

Jika celah fiskal semakin besar maka, semakin besar pula ketergantungan
suatu daerah dari dana transfer pemerintah pusat. Jadi pemerintah pusat harus
memberikan dana transfer kepada daerah agar dapat menutupi celah fiskal
anggarannya agar dapat digunakan secara optimal dan efisien guna membantu
anggaran dalam APBD nya. Begitu pula sebaliknya, jika celah fiskal semakin
kecil, maka semakin kecil pula ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.
Laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) hal ini menunjukkan Salah satu cara untuk melihat kemajuan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau wilayah adalah dengan mencermati nilai
pertumbuhan PDRB. PDRB adalah nilai dari seluruh barang dan jasa yang
diproduksi dalam waktu satu tahun di suatu wilayah tertentu tanpa membedakan

&

81

kepemilikan faktor produksi, tetapi lebih memerlukan keberadaan faktor produksi


yang digunakan dalam proses produksi itu (BPS : Indikator Ekonomi Propinsi
Sulawesi Selatan). Ditinjau dari segi produksi disebut regional product,
merupakan jumlah netto oleh atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Ditinjau dari segi pendapatan disebut regional income, merupakan jumlah
pendapatan (balas jasa) yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta
dalam proses produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu
tertentu (satu tahun). Ditinjau dari segi pengeluaran disebut regional expenditure,
merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, private non
profit institution maupun pemerintah, pembentukan modal, serta ekspor netto
(ekspor dikurangi impor) suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
PDRB menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai dalam jangka waktu
satu tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat
perekonomian suatu daerah yg dicapai dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi daerah harus diperbandingkan PDRB riil dari
tahun ke tahun. Perubahan PDRB riil dari tahun ke tahun disebabkan oleh adanya
perubahan dalam tingkat ekonomi dan perubahan harga-harga.
Berdasarkan hasil dari analisis Tipologi Klassen diatas menjelaskan
bahwa terdapat 3 Kabupaten yang berada pada kuadran I celah fiskal diatas ratarata dan laju pertumbuhan PDRB diatas rata-rata yaitu: Selayar, Jeneponto, Bone.
Sedangkan untuk posisi kuadran II celah fiskal diatas rata-rata dan laju
pertumbuhan PDRB dibawah rata-rata adalah Kabupaten Bulukumba, Takalar,
Gowa, Sinjai, Pangkajene & Kepulauan, Wajo dan Luwu Utara. Kemudian untuk

82

kuadran IV laju pertumbuhan PDRB dibawah rata-rata dan celah fiskal dibawah
rata-rata adalah Kabupaten Maros, Barru, Soppeng, Sindereng Rappang, Pinrang,
Enrekang, Luwu, Tana Toraja, dan Toraja Utara. Untuk kuadran III celah fiskal
dibawah rata-rata dan pertumbuhan PDRB diatas rata-rata adalah Kabupaten
Bantaeng, Kota Makassar, Palopo dan Parepare.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa daerah yang
memiliki celah fiskal dibawah rata-rata dan pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata
adalah Kota Makassar, Luwu Timur, Parepare,Palopo dan Bantaeng karena
disebabkan oleh banyaknya potensi pajak yang dihasilkan pajak daerah dan
retribusi daerah oleh daerah tersebut. Seperti dari sektor sumber daya alam,
sektor pajak, investasi, industri, barang dan jasa dan sebagainya. Sebaliknya
bahwa daerah yang memiliki celah fiskal diatas rata-rata dan pertumbuhan
ekonomi dibawah rata-rata

adalah Bulukumba, Luwu Utara, Wajo, Sinjai,

Pangkajene dan Kepulauan, Gowa, dan Takalar disebabkan oleh rendahnya


penerimaan pajak dan retribusi daerah, kurangnya sumber daya alam, investasi
dan sebagainya. Pemerintah daerah sebaiknya dapat mengoptimalisasi penerimaan
pajak daerah dan retribusi, mendorong investasi, dan penciptaan lapangan kerja.
Secara umum perbedaan kapasitas fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya
menjadi penyebab utama perbedaan celah fiskal suatu daerah di Indonesia.
Pemerintah daerah harus lebih aktif dalam menyiasati besarnya celah fiskal di
daerahnya, dengan cara optimalisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi,
mendorong investasi agar dapat meningkatkan perekonomian daerah, perbaikan
sarana dan prasarana infrastruktur di daerah, dan sebagainya.

83

Pelaksanaan

otonomi

daerah

di

Indonesia

pada

umum

belum

menunjukkan keberhasilan yang dapat menjamin terciptanya peningkatan


kesejahteraan. Berdasarkan UU No.32 dan 33 tahun 2004, otonomi di Indonesia
dapat dimaknai dari dua sisi, yaitu sisi politik dan ekonomi. Secara politik
pelaksanaan otonomi telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
kewenangan daerah provinsi maupun Kota/Kabupaten untuk merencanakan dan
mengambil berbagai kebijakan pemerintahan. Namun dari sudut pandang
ekonomi tidak menunjukkan adanya keluasan kewenangan daerah dalam
merencanakan dan mengalokasikan sumber-sumber keuangan yang berasal dari
daerah. Artinya masih terjadi ketergantungan keuangan (fiskal) dari pemerintah
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. (Murniasih,2006) dalam
(Sriyana,2009)

4.6 Analisis Statistik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Celah Fiskal


Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan
Untuk mengetahui pengaruh dari tiap-tiap variabel X terhadap variabel Y,
maka dilakukanlan perhitungan regresi linear berganda dengan menggunakan
Eviews 7.0. Hasil perhitungan regresi linear berganda mengenai pengaruh dana
transfer daerah terhadap ketimpangan keuangan Provinsi Sulawesi Selatan
disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda


Variable

Coefficient Std. Error

16.97450

1.111267

t-Statistic

Prob.

15.27490

0.0000

84

Dana

Alokasi

Umum

(DAU) (X1)
Dana Alokasi

Khusus

(DAK) (X2)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
F Tabel (0.05, 4, 19)
t- Tabel (0.05,4, 19)
Df

-0.116326

0.080819

-1.439330

0.1648

0.383408
0.6463369
0.612690
0.067432
19.19201
2.054004
2.079614
21

0.073368

5.225829

0.0000

Signifikasi pada tingkat 5%


Berdasarkan data pada tabel diatas

maka ditemukan model dari

perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), terhadap
celah fiskal yaitu sebagai berikut :
LnY = 16.97450- 0.116326*LnX1 + 0.383408*LnX2
Nilai konstanta sebesar 16.97450, hal tersebut berarti bahwa apabila tidak
terdapat pengaruh dari variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model
penelitian ini, maka jumlah celah fiskal sebesar 16.97450 persen dengan asumsi
ceteris paribus.
Analisis selanjutnya yaitu semua variabel yang ditempatkan dalam model,
yakni Celah Fiskal (Y), Dana Alokasi Umum (X1), Dana Alokasi Khusus (X2),
perlu diuji signifikansi, sebagai berikut :
a) Dana Alokasi Umum (X1)
Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa variabel dana alokasi umum
berpengaruh negatif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi perubahan celah
fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini diketahui dengan
melihat tingkat signifikansi yang mana dilihat dari nilai probabilitasnya sebesar

85

0.1648 dimana nilainya < 0,05. Selanjutnya, nilai koefisien regresi dana alokasi
umum (X1) sebesar 0.116326. Hal ini berarti bahwa setiap penambahan dana
alokasi umum sebesar 1,00 persen dengan asumsi variabel lain tetap maka akan
mengurangi jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan sebesar
-0.116326 persen. Berdasarkan pada dua uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
dana alokasi umum berpengaruh negatif terhadap jumlah celah fiskal
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan dan tidak signifikan ditandai dengan Untuk
variabel X1t-stat = -1.439330 < t-tabel (0,05 ; 19) = 2.079614 dalam menjelaskan
jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Dana transfer
pemerintah pusat yang berupa DAU, berpengaruh tidak signifikan terhadap celah
fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

Hal ini karena banyak

pemerintah daerah mendapatkan DAU kemudian digunakan sebagian besar untuk


belanja rutin seperti gaji pegawai negeri sipil di daerahnya masing-masing. Hal ini
yang membuat ketidakefektifan dalam penggunaan belanja daerah sehingga dana
untuk pengelolaan dan perbaikan infrastruktur menjadi sedikit. Oleh karena itu
dengan adanya DAU maka akan dapat mengurangi celah fiskal dan membuat
peningkatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Bahwa DAU sebagai pelaksanaan kebijakan yang diambil dalam rangka menekan
celah fiskal dan ketimpangan keuangan secara horizontal antar Kabupaten/Kota
belum mampu memberikan insentif fiskal yang besar kepada masyarakat. Alokasi
bantuan dan dana

perimbangan dari pusat ke daerah yang tujuannya

menjembatani celah fiskal tersebut belum berjalan dengan baik. Ketimpangan


yang terjadi tidak terlepas dari penyebaran DAU tiap daerah dari nilai rata-rata
seluruh daerah tersebut. Kemudian disimpulkan bahwa semakin tinggi penyebaran

86

DAU tiap daerah dari nilai rata-rata seluruh daerah semakin tinggi pula tingkat
kesenjangan distribusi DAU antar Kabupaten/Kota.

Rendahnya kemampuan

daerah dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Dalam Pandangan Theory Of


Grant yang dikemukakan oleh Hyman dalam (Sriningsih & Yasin,2009), bantuan
atau subsidi yang berdampak oleh pemerintah pusat yang pada akhirnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dan oleh
Bahl dan Wallace dalam (Sriningsih & Yasin,2009) mengungkapkan pengaturan
pajak lokal, bantuan khusus dan transfer antar pemerintah lokal merupakan
instrumen pemerataan. DAU merupakan dana untuk menutupi celah fiskal dan
anggaran dasar. Kondisi yang terjadi adalah dimana pemanfaatan DAU yang
seharusnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat lebih diutamakan untuk
keperluan belanja rutin dan belanja gaji. Dampak yang dihasilkan dengan adanya
DAU belum mampu memberikan perubahan terhadap rata-rata pemerataan fiskal
khususnya diantara Kabupaten/Kota . Besarnya DAU untuk mencukupi anggaran
dasar saja akan menghambat peningkatan potensi di daerah dan pertumbuhan
ekonomi, karena kurangnya biaya untuk mengembangkan potensi daerah yang
menghasilkan pajak sebagai sumber pendapatan daerah, dan pada akhirnya
kapasitas fiskal sebagai penerimaan pendapatan juga rendah. Pertumbuhan
ekonomi yang rendah akan mengarah pada kepada kesejahteraan masyarakat
belum bias tercapai. Ketimpangan terjadi karena besarnya DAU diberikan
sebagian besar digunakan untuk kebutuhan keperluan rutin. Sebaiknya pemerintah
melakukan efisiensi di pos pengeluaran rutin dan mengalokasikannya kembali
pada pos pengeluaran pembangunan karena memberikan dampak yang relatif baik
pada kinerja fiskal dan perekonomian di Kabupaten dan Kota.

87

b) Dana Alokasi Khusus (X2)


Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa variable Dana Alokasi Khusus
berpengaruh positif dan signifikan dalam mempengaruhi perubahan celah fiskal
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini diketahui dengan melihat tingkat
signifikansi yang mana dilihat dari nilai probabilitasnya sebesar 0.0000 dimana
nilainya < 0,05. Selanjutnya, nilai koefisien regresi Dana Alokasi Khusus (X 2)
sebesar 0.383408 Hal ini berarti bahwa setiap penambahan dana alokasi khusus
sebesar 1,00 persen dengan asumsi variabel lain tetap maka akan menambah
jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan sebesar 0.383408 persen,
Berdasarkan pada dua uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dana alokasi khusus
berpengaruh positif terhadap jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan dan signifikan ditandai dengan Untuk variabel X2 t-stat = 5.2255829 > ttabel (0,05 ; 21) = 2.079614 dalam menjelaskan jumlah celah fiskal
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
Variabel DAK berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi perubahan
celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Karena setiap daerah
Kabupaten/Kota harus menyediakan dana pendamping sebagai prasayarat jika
menerima DAK dari pemerintah pusat. Dana pendamping juga merupakan
komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan yang di danai oleh
DAK dari pemerintah pusat. Dana pendamping yang disediakan oleh daerah
adalah sebesar 10 % (sepuluh persen) dari alokasi DAK yang diberikan kepada
daerah. Jadi hanya daerah yang mampu menyediakan dana pendampinglah yang
dapat memperoleh DAK dari pemerintah pusat, oleh karena itu hanya daerah yang
memiliki PAD dan DBH yang besar yang mampu menyediakan dana pendamping

88

untuk DAK. Apabila daerah yang memiliki PAD dan DBH yang kecil maka akan
kesulitan untuk meneydiakan dana pendamping untuk DAK.
Oleh karena itu adanya DAK maka bertambah pula DAK yang akan
meningkatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. DAK ditujukan untuk daerah
khusus yang terpilih untuk tujuan khusus, karena itu alokasi yang di distribusikan
oleh pemerintah pusat sepenuhya

merupakan wewenang pusat untuk tujuan

nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi : (1) Kebutuhan


prasarana dan sarana fisik daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang
memadai ke daerah lain. (2) Kebutuhan sarana dan prasarana fisik yang terletak di
daerah pesisir (3) Kebutuhan sarana dan prasarana fisik di daerah yang
menampung transmigrasi (4) Kebutuhan sarana dan prasarana fisik di daerah guna
mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
Dengan bertambahnya celah fiskal sebaiknya pemerintah memberikan
DAK kepada daerah untuk dapat meningkatkan Standar Pelayanan Minimum
(SPM), DAK juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar
pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya
dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum mencapai kualitas standar
nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan.
Pengaruh celah fiskal terhadap DAK adalah positif dan signifikan, berarti
setiap penambahan celah fiskal maka akan bertambah pula DAK. Semakin besar
celah fiskal, maka semakin besar pula DAK yang dibutuhkan untuk daerah agar

89

dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Oleh karena itu, DAK
diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
dibawah rata-rata nasional atau yang memiliki celah fiskal yang tinggi, dalam
rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar
yang sudah merupakan urusan daerah. Hal ini diperlukan untuk menunjang
percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan
kepulauan,perbatasan darat dengan Negara lain, tertinggal / terpencil, serta
termasuk daerah kategori ketahanan pangan.
DAK juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar
pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya
dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum mencapai kualitas standar
nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. Didaerah yang memiliki
celah fiskal yang besar dibutuhkan bantuan pemerintah untuk penyediaan
infrastruktur. DAK saat ini fokus pada bidang infrastruktur, pendidikan, dan
kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori Musgrave trilogy (Musgrave,1959) yaitu
yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan negara sebagai instrumen
stabilisasi, distribusi dan alokasi. Dan juga sejalan dengan penelitian dari Siagian
(2010) meneliti tentang Ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Barat, dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal.Pertama,
pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal. Pertama, pertumbuhan ekonomi
memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap ketimpangan wilayah. Hal
ini disebabkan oleh berbedanya kemampuan antar masing-masing wilayah atau
daerah di Provinsi Jawa Barat dalam hal pertumbuhan ekonomi. Kedua,
desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap

90

ketimpangan wilayah. Secara umum akan menurunkan ketimpangan, antara lain;


peningkatan derajat desentralisasi fiskal, penyesuaian rasio pajak daerah, dan
peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja akan mendorong ketimpangan
semakin rendah.

4.6.1

Analisis Koefisien Determinasi dan Korelasi (R2 dan R)


Berdasarkan hasil perhitungan regresi diperoleh nilai R2 = 0.646369

menandakan

bahwa

variasi

dari

perubahan

nilai

jumlah

celah

fiskal

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan (Y) mampu dijelaskan secara serentak oleh


dana alokasi umum (X1), dana alokasi khusus (X2), dana bagi hasil (X3), dan
pendapatan asli daerah (X4). sebesar 64.63 persen sedangkan sisanya 35.37
persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak masuk dalam model.
Sementara nilai adjusted R-squared = 0.612690 berarti bahwa tingkat korelasi
antara variabel X1, X2, X3, dan X4 terhadap variabel Y adalah kuat dan arahnya
positif. Hal ini ditandai dengan nilai adjusted R yang semakin mendekati 1.

4.6.2 Uji Statistik F


Uji F merupakan uji model secara keseluruhan atau dengan kata
lainpengujian secara serentak atau bersama-sama, ada tidaknya pengaruh yang
signifikan secara bersama-sama, pengujian ini menggunakan distribusi F yaitu
membandingkan antara F-stat dengan F-tabel. Oleh sebab itu Uji F ini lebih
relevan dilakukan pada regresi berganda. Uji F dilakukan untuk melihat apakah
semua koefisien regresi berbeda dengan nol atau dengan kata lain model diterima.

91

Dimana jika Fstat< Ftabel, maka Ho diterima atau variabel independen secara
bersama-sama tidak memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (tidak
signifikan) dengan kata lain perubahan yang terjadi pada variabel terikat tidak
dapat dijelaskan oleh perubahan variabel dependen, dimana tingkat signifikansi
yang digunakan yaitu 5 %. Berdasarkan hasil pada Tabel diperoleh F-stat =
19.19201 > F-tabel (0,05; 4; 19) = 2.054004

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas maka penulis
menyimpulkan bahwa :

92

1. Dana transfer pemerintah pusat yang berupa DAU, berpengaruh tidak


signifikan terhadap celah fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan. Hal ini karena banyak pemerintah daerah mendapatkan DAU
kemudian digunakan sebagian besar untuk belanja rutin seperti gaji
pegawai negeri sipil di daerahnya masing-masing. Hal ini yang
membuat ketidakefektifan dalam penggunaan belanja daerah sehingga
dana untuk pengelolaan dan perbaikan infrastruktur menjadi sedikit.
Selain itu juga jumlah pegawai negeri sipil di suatu daerah sangat kecil
dibandingkan dengan jumlah penduduk suatu daerah, akan tetapi lebih
dari separuh APBD suatu daerah untuk belanja gaji pegawai negeri
sipil. Gaji yang diterima pegawai negeri sipil digunakan untuk
membayar hutang, sehingga multiplier dari gaji pegawai itu lebih kecil
pengaruhnya terhadap investasi.
2. Variabel DAK berpengaruh

signifikan

dalam

mempengaruhi

perubahan celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Karena


setiap daerah Kabupaten/Kota harus menyediakan dana pendamping
sebagai prasayarat jika menerima DAK dari pemerintah pusat. Dana
pendamping juga merupakan komitmen pemerintah daerah untuk
melaksanakan kegiatan yang di danai oleh DAK dari pemerintah pusat.
Dana pendamping yang disediakan oleh daerah adalah sebesar 10 %
(sepuluh persen) dari alokasi DAK yang diberikan kepada daerah. Jadi
hanya daerah yang mampu menyediakan dana pendampinglah yang
dapat memperoleh DAK dari pemerintah pusat, oleh karena itu hanya
daerah yang memiliki PAD dan DBH yang besar yang mampu

93

menyediakan dana pendamping untuk DAK. Apabila daerah yang


memiliki PAD dan DBH yang kecil maka akan kesulitan untuk
meneydiakan dana pendamping untuk DAK.

5.2 Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, maka
penulis berpendapat, bahwa :
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi harus diikuti dengan
perubahan paradigma pembangunan. Konsep pemerataan dan keadilan
harus menjadi dasar utama pembangunan daerah. Pola pergeseran dari
pusat ke daerah, dan di daerah harus melakukan redistribusi akses dan
dan aset kepada masyarakat, hanya karena itulah pertumbuhan dan

pemerataan dapat dikombinasi.


Pemerintah harus dapat mengoptimalisasi pos-pos penerimaan
pendapatan asli daerah agar dapat meningkatkan penerimaan daerah
dan kemandirian fiskal sehingga dapat mengurangi ketimpangan celah

fiskal.
Pemerintah daerah perlu mencari alternatif lain untuk dapat
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
tetap melihat kondisi dan potensi daerah yang dimiliki masing-masing
daerah, sehingga tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat dapat berkurang. Upaya peningkatan PAD harus tetap
memperhatikan dampaknya terhadap daya tarik investasi. Kebijakan

94

intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah guna meningkatkan PAD,

sebaiknya tidak menghambat investasi ke daerah


Transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan efektif
digunakan

sebagai

stimulus

bagi

pemerintah

daerah

dalam

meningkatkan penerimaan PAD, terutama melalui peningkatan tax


effort daerah. Peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan
kemandirian fiskal daerah, yang pada akhirnya dapat mengurangi
ketergantungan daerah terhadap pusat. Kajian lebih lanjut perlu
dilakukan untuk menelaah optimalisasi pemanfaatan dana transfer
sebagai sumber pembiayaan pengeluaran pembangunan ditinjau dari
alokasi untuk sektor-sektor unggulan dalam APBD yang dapat
meningkatkan tax effort daerah. Selain itu perlu adanya pengawasan
dari pemerintah atasannya dan masyarakat dalam mengoptimalkan
pemanfaatan dana perimbangan sesuai dengan fungsinya sebagai

stimulus bagi peningkatan penerimaan PAD.


Sumber pembiayaan daerah, yang terdiri dari PAD dan dana
perimbangan mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi
daerah. Kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah pengaruh
cara pengalokasian dana transfer dari pusat untuk pengeluaran
pembangunan daerah yang dialoaksikan ke sektor-sektor APBD,
diantara sektor industri, sektor transfromasi, sektor pendidikan dan
sektor-sektor

lainnya.

Dalam

hal

ini

perlu

dikaji

pengaruh

pengalokasian dana transfer ke sektor-sektor dalam APBD terhdap


peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga dapat dilihat
sektor-sektor unggulan mana saja yang perlu ditingkatkan alokasi

95

dananya sehinggga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah


secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita,

Rahardjo.2011.

Pengelolaan

Pendapatan

&

Anggaran

Daerah.Yogyakarta : Graha Ilmu.


Arsyad, Lincolin.1999. Pengantar Perencanaan dan Pembagunan Ekonomi
Daerah. Edisi 1. Yogyakarta : Penerbit STIE YKPN
Bahl, Roy W.2000.China : Evaluating The Impact of Intergovermental Fiscal
Reform dalam Fiscal Decentralizations in Developing Countries. Edited By

96

Richard M.Bird & Francois Vaillancourt, United Kingdom : Cambridge


University Press.
Bahl, Roy W. & Johanes F Linn. 1992. Urban Public Finance in Developing
Countries. New York : Oxford University Press.
Brodjonegoro,

Bambang.2001.

Indonesia

Intergovemental

Transfer

in

DecentralizationEra : The Case of General Allocation Fund. International


Symposium on Intergovermental Transfers in Asian Countries : Issues and
Practices. Tokyo : Hitotsubashi University.
Bonet, Jaime.2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities :
Evidence From Colombian Experience. Original Paper. Ann Reg Sci 40 : 661-676
Davey,K.J. 1998. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-praktek Internasional
dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Ebel, Robert.2000. The Economics of Fiscal Decentralization. World Bank Paper.
New York : World Bank
Ebel, R.D. and Yilmaz, S.2002. On the Measurement and Impact of Fiscal
Decentralization.www.worldbank.org/decentralization.
Gujarati, Damodar.N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta : Erlangga.
Hamid, Edy Suandi.2005. Formula Alternatif

Dana Alokasi Umum (DAU),

Upaya Mengatasi Ketimpangan Fiskal Dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta :


UII Press.

97

Haryanto, Joko Tri. dan Ester Sri Astuti.2009.Desentralisasi Fiskal dan Penciptaan
Stabilitas Keuangan Daerah.. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol.13 No.1,2009.
Jakarta : Jurnal FEUI
Kuncoro,Haryo.2007. Fenomena flypaper effect Pada Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Makalah pada Simposium
Nasional Akuntansi X Unhas Makassar.
Kuncoro, Muradjad. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah. Jakarta : Erlangga.
Mahi, Raksaka. 2001. Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau Dari Segi
Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efisiensi. Analisa CSIS XXIX, Hal.
54-66. Jakarta :Indonesia Project.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Mualim, Mus.2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan peran kelembagaan Dana Otonomi Khusus Papua di Provinsi
Papua Barat. Publikasi Ilmiah Program Magister Ilmu Ekonomi Minat Keuangan
Daerah.Malang : Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave.Public Finance in Theory and
Practice, edisi ketiga.McGraw Hill. New York
Nurhidayat,R.2008. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Volume 5 Nomor 3 Desember
2008. Jakarta : Dikta Ekonomi
Oates,

Wallace.

1993.

Fiscal

Decentralization

Development,National Tax Journal,XLVI.237-243

and

Economics

98

Prud`home,R.1995.The Dangers of Decentralization, World Bank Research


Observer, 10(2) : 201-220.
Rasyid,Ryaas.2007. Otonomi Daerah : Latar Belakang dan Masa Depannya.
Dalam desentralisasi dan otonomi daerah.Desentralisasi Demokratisasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah.Jakarta : LIPI Press.
Rusydi, Bahrul Ulum. 2010. Analisis Determinan Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 20052008.Skripsi.Semarang : FE Universitas Diponegoro
Skousen, Mark.2006. Sang MaestroTeori-Teori Ekonomi Modern : Sejarah
Pemikiran Ekonomi. Jakarta : Prenada.
Todaro, Michael P. dan Stephen Smith.2006 Pembangunan Ekonomi Edisi
Kesembilan Jilid 1.Jakarta : Erlangga.
Undang-Undang No.22 Tahun 1999
Sasana, Hadi.2006. Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi

di

Kabupaten/Kota

Provinsi

Jawa

Tengah.Jurnal

Dinamika

Pembangunan Vol.3 No.2 Desember 2006 :145-170


____________.2009. Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi dan
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.10
No.1, Juni 2009, hal 103-124.Semarang : Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Saragih, Juli Panglima.2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
otonomi.Jakarta : Ghalia Indonesia

99

Shah, Anwar dan Qureshi, Zia.1994. Intergovermental Fiscal Relations in


Indonesia.World Bank Discussion Paper No.239. Washington DC : The World
Bank.
Siddik,M , B Brodjonegoro, R Mahi, R Simanjuntak.2002. Dana Alokasi Umum
Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbitan
Buku Kompas.
Sriningsih, Siti dan Muadi Yasin.2009. Dampak Dana Alokasi Umum (DAU)
Terhadap Pemerataan Fiskal Kabupaten/Kota Di Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Majalah Ekonomi Tahun XIX, No. 2 Agustus 2009. Mataram : FE Universitas
Mataram.
Stiglitz, Joseph E.2000. Economics of the Public Sector Third Edition. New York :
W.W. Norton & Company.
Suparmoko.2002. Keuangan Negara dalam teori dan Praktek. BPFE : Yogyakarta
Tambunan, Tulus. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia, Teori dan Penemuan
Empiris. Jakarta : Salemba Empat.
Siddik, Machfud.2002. Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah
Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah.
Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XXI STIA LAN. Bandung
Sriyana, Jaka.2009. Analisis Kapasitas Fiskal Daerah : Studi Kasus di Kabupaten
Gunung Kidul. Unisia, Vol.XXXII No.72 Desember 2009. Yogyakarta : FE UIIsf

100

Sulistyowati.2006. Analisis Ketimpangan Fiskal Vertikal Kabupaten dan Kota di


Jawa Tengah Sebelum dan Sesudah Otonomi. Tesis. Semarang : Universitas
Diponegoro.
Waluyo, J. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi
dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia.Parrarel Session IA :
Fiscal Decentralization. Jakarta
Yustika, Ahmad Erani.2006. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi.
Malang : Bayu Media.

Anda mungkin juga menyukai