BAB I
PENDAHULUAN
yang optimal atau sesuai yang diharapkan. Potensi ekonomi daerah merupakan
kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak
dikembangkansehingga akan terus berkembang menjadi sumber kehidupan
masyarakat setempat dan juga dapat menolong perekonomian secara keseluruhan
untuk berkembang dengan sendirinya dan berkelanjutan.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan pemerintah
daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam keuangan daerah.Oleh
karena itu, peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat menentukan kinerja
keuangan daerah. Pengukuran kinerja keuangan daerah yang banyak dilakukan
saat ini antara lain dengan melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada dasarnya
semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin
kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, sebaliknya semakin kecil
kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin besar
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Satu hal yang perlu diingat
adalah peningkatan PAD bukan berarti daerah harus mencaridan membuat pajak
baru, tetapi lebih upaya memanfaatkan penerimaan pajak daerah secara optimal
dan mengurangi kebocoran penerimaan pajak daerah. Dilaksanakannya otonomi
daerah dan desentralisasi pembangunan, maka pembangunan daerah, termasuk
daerah terbelakang dapat lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada
pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan
tersebut, maka asiprasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan lebih
tergali. Selain itu, setiap wilayah juga diberikan dalam bentuk Block Grant
berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber
Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dengan demikian diharapkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan
akan dapat ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan pula dapat dikurangi.
Penegasan desentralisasi fiskal terjadi perubahan-perubahan dalam
struktur keuangan terdiri dari : (1) Penerimaaan daerah dari bagi hasil sumber
daya alam dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang
memiliki sumber daya alam seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan,
kehutanan, perkebunan dan perikanan. (2) Penerimaan daerah bagi hasil pajak
yang merupakan dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan (BPHTB), bagian daerah ini tergolong
sebagai penerimaan daerah yang persentase pembagian tidak mengalami
perubahan ; dan (3) Skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana
Alokasi Umum (DAU) yang sebelum desentralisasi merupakan Subsidi Daerah
Otonom (SDO).
Perubahan-perubahan
tersebut
diatas
memungkinkan
adanya
efek
dalam
distribusi
pendapatan
antar
kelompok
masyarakat.
pula
terjadinya
ketimpangan
distribusi
pendapatan
yang
dapat
merupakan
bagian
tak
terpisahkan
dalam
pembangunan.
(Rindayanti,2009).
Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi, masalah redistribusi memiliki
dua dimensi, yiaut kesetaraan horizontal (antar wilayah) dan kesetaraan di dalam
wilayah. Kesetaraan horizontal mengacu pada daerah memiliki kapasitas yang
sama dalam penyediaan barang publik Ada dua faktor utama yang mempengaruhi
ketimpangan horizontal, yaitu tax base yang sangat berbeda antara wilayah dan
karakteristik wilayah, dimana kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi
penentuan biaya dan penyediaan barang publik. Hubungan positif antara
ketimpangan wilayah dan desentralisasi fiskal merupakan pendapat yang
mendominasi diantara peneliti. Tiebout dalam (Stiglitz,2000) menjelaskan
hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan wilayah
melalui sifat mobilitas wajib pajak, dimana masyarakat (wajib pajak) memiliki
kemapuan voting by feet (dapat secara bebas) dalam melilih wilayah mana yang
akan ditempati melalui dua pertimbangan yaitu selera dan besarnya pajak di
daerah tersebut. Sehingga wilayah yang lebih maju (wealth regions) dengan
fasilitas dan pelayanan publik yang lebih baik akan lebih menarik untuk dijadikan
tempat tinggal dibandingkan wilayah yang kurang maju (poor regions). Oleh
sebab itu berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
Analisis Peranan Dana Transfer Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Ketimpangan Kemampuan Keuangan Pada Provinsi Sulawesi
Selatan
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian diatas, maka penulis menganalisis rumusan
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa
yang tidak bisa disediakan oleh para pelaku pasar.
Dalam pelaksanaan desentralisasi didukung oleh teori yang dikemukakan
oleh Tiebout yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang terkenal dengan
istilah Love it or leave it (Stiglitz,2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat
dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar
oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dan pemerintah
daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran
daerahnya memenuhi preferensi yang pailng tinggi antara pelayanan publik dari
pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika
masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan
pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan
bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di
wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah
kebijakan pemerintah lokal melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
setempat.Dalam hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi
untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan
barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz,2000) Model Tiebout ini menunjukkan
kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan
barang publik yang bersifat lokal pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang
dikenal sebagai the market for local services would be perfectly competitive
(Stiglitz,2000) Inilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan
publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD setempat.
Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa
pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka
12
13
14
perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil
bersamaan dengan tingkat pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan rataratanya yang semakin tinggi di setiap negara yang akhirnya mengalami
kesenjangan. Salah satu kajian yang menguatkan hipotesis Kuznets adalah
Williamson (1956) dalam (Tambunan,2003), Williamson untuk pertama kalinya
menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan
coefficient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam
studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi
disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada
wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sedah relatif maju, misalnya dalam
pembangunan
industri,infrastruktur,
dan
SDM.
Kemudian
dalam
tahap
15
di
suatu
wilayah
saat
ini
masih
sering
dilakukan
tanpa
16
Daerah lain akan menerima efek positif dan negatif dari wilayah yang menjadi
titik
pertumbuhan
secara
geografis.
Hirschman
menyebut
efek
yang
menguntungkan sebagai trickling down forces dan efek yang merugikan sebagai
polarization effect. Kemajuan pada kutub pertumbuhan ke bawah ke daerah
terbelakang melalui migrasi tenaga kerja yang menurunkan tekanan penduduk di
daerah tersebut. Sebaliknya, semakin besar kemampuan berkompetisi diantara
industri, kesempatan investasi lebih baik di kutub pertumbuhan dan mengambil
sumber daya terbaik dari daerah terbelakang sehingga menyebabkan polarisasi
pada titik pertumbuhan tersebut dan menghambat pertumbuhan wilayah
hinterland-nya. Kesimpulan dari teori Hirschman dalam jangka panjang
cenderung terjadi konvergensi pendapatan perkapita. Hal ini disebabkan oleh
adanya diseconomics return to scale effect karena kemacetan industri-industri dan
ketidakcukupan pasar domestik. Pada akhirnya menurut Hirschman, trickle down
effect akan cenderung mendominasi polarization effect selama komplementaritas
kuat antar daerah (Arsyad,1999)
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar terhadap dalam persentase terhadap PDB. Apabila
terjadi peningkatan pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum wagnerdikenal
dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut
adalah pengamatan empiris dari Negara-negara maju (Amerika Serikat, Jepang,
Jerman). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin beasr
disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.
Kelemahan mengenai hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori
17
2.2
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan
18
19
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma
hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam
UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya
Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi
sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya
otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen
undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan
kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada
pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No.33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang
dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total
dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu
sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat
daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga
disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.
Meskipun telah dilakukan berbagai macam penyempurnaan kebijakan,
desentralisasi fiskal di Indonesia masih mempunya berbagai kelemahan dan
kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat
20
peraturan yang saling berbenturan satu dengan yang lain, masih terdapat
perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan
dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi tafsir dalam
implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan
persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi
fiskal.
desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan jika faktor
kelembagaannya diurus dengan baik. Pada Negara yang sedang melakukan proses
reformasi, desentralisasi ekonomi dapat dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri
(institutional environment). Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai rules of the
game pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perpektif
ini berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari kelembagaan makro dan
mikro yang dibuat.Jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka
pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar
investasi terjadi, misalnya dengan penciptaan regulasi perizinan yang murah dan
sederhana. Sementara itu, apabila tujuan dari desentralisasi difokuskan kepada
hubungan antar pelaku ekonomi, maka pemerintah lokal berkonsentrasi kepada
desain kebijakan yang membatasi proses eksploitasi satu pelaku ekonomi kepada
pelaku ekonomi lainnya, misalnya jaminan upah yang layak dan system bagi hasil
yang setara di sektor pertanian (Yustika,2006)
21
22
dan lebih berguna bagi efisiensi alokasi. Oates juga menyatakan bahwa
desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan
dengan dinamika pertumbuhan ekonomi.Perbelanjaan infrastruktur dan sektor
sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada
kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam
membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan
kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya
Desentralisasi
menyangkut
berbagai
bentuk
dan
dimensi
yang
yang
rendah,sedangkan
lebih
otonomi
tinggi
berarti
ke
tingkat
adanya
pemerintahan
kebebasan
yang
menjalankan
lebih
atau
melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayah / teritori dalam
kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Saragih,2003)
23
sebagai
pemerintah
pusat
dalam
mengeksekusi
fungsi-fungsi
pemerintah pusat yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dalam kasus
ini, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur pelayanan publik, tapi
mereka harus mengikuti aturan dan permintaan pemerintah pusat, dengan kata lain
pemerintah daerah harus mengikuti role of the game pemerintah pusat. Ketiga,
devolusi merupakan situasi dimana tidak hanya implementasi tetapi otoritas untuk
menentukan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini,
pemerintah daerah independen dalam membuat keputusan sehingga mereka dapat
merespon preferensi dan kebutuhan atas pelayanan sektor publik masyarakat
setempat.
Oates (1993), menyatakan bahwa aktivitas fiskal pemerintah di dominasi
oleh komponen fundamental dalam menentukan sumber daya. Oleh karena itu
independensi fiskal dalam menentukan kewenangan pada pemerintah yang
berbeda levelnya mungkin diukur dari kepentingan fiskal setiap level
24
pusat
maupun
pemerintah
daerah.
Prud`home
(1990)
25
desentralisasi
kewenangankepada
fiskal
akan
pemerintah
daerah
diwujudkan
untuk
dalam
melakukan
penyerahan
pembelanjaan,
memungut pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari
pemerintah pusat.
Desentralisasi dalam kaitannya dengan tingkat kemandirian, pengambilan
keputusan oleh daerah dapat dibagi menjadi tiga bentuk.Pertama, Dekonsentrasi
(deconcentration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pejabat yang berada dalam hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. Kedua
Devolusi (devolution) yaitu pelimpahan wewenang dalam bidang keuangan atau
tugas pemerintahan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan daerah
26
dan pihak pemerintah daerah mendapatkan diskresi yang tidak dikontrol oleh
pusat. Apabila pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan
tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pelaksanaan tugas tersebut. Ketiga, Pendelegasian (delegation or institutional
pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi
yang berada di luar struktur birokrasi regular yang di kontrol secara tidak
langsung oleh pemerintah pusat.Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur
dengan
ketentuan
perundang-undangan.Pihak
yang
menerima
wewenang
27
otonomi
daerah
adalah
untuk
memungkinkan
daerah
yang
dari
kebijakan
demokratisasi.Dalam
konteks
administrasi
28
dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup di dalam proses
pengambilan keputusan. (Rasyid,2007)
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk dan komponen utama
dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal banyak digunakan negaranegara
sedang
ketidakefisienan
berkembang
pemerintahan,
untuk
mengurangi
ketidakstabilan
ketidakefektifan
ekonomi
makro,
dan
dan
29
(2000)
dalam
(Mualim,2010)
menjelaskan
bahwa
30
31
mengarahkan
prioritas
(redirecting
priorities),
melakukan
32
(2002)
mengemukakan
pendapatan
sangat
bahwa
bervariasi,
kemampuan
tergantung
daerah
kondisi
untuk
daerah
bersangkutan memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah
dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah.Kondisi ini
33
34
formula dapat dihitung celah fiskal yang akan ditutup dengan transfer DAU dari
pemerintah pusat.
Correcting Spatial Externalities
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki efek
eksternalitas ke wilayah lain artinya pemanfaatannya tidak biasa dibatasi hanya
untuk masyarakat tertentu, misalnya perguruan tinggi,pemadam kebakaran, jalan
raya penghubung antar daerah, rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa
pendapatan yang menguntungkan, umumnya daerah kurang tertarik di bidang
pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan
transfer ataupun menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan publik demikian
dapat dipenuhi daerah.
Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam
penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya dan prioritas tersebut dapat
berbeda, misalnya pemerintah pusat berkeinginan untuk mengutamakan
pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait
dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum
berlangsung, namun keinginan tersebut tidak sinkron dengan pola kebijakan
pemerintah daerah yang menginginkan pembagunan di sektor kesehatan yang
mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat.Agar
keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara pararel,
sebaiknya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah.
Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan membantu
35
36
dana
.misalnya
sebuah proyek
pembangunan
rumah
sakit
37
dana
penyelenggaraan
suatu
jenis
urusan
tertentu
tanpa
menjadi
sarana
untuk
menginternalisasikan
limpahan
manfaat
Jadi
meskipun
pemerintah
daerah
yang
bersangkutan
telah
38
rendahnya
ketimpangan
regional.
Jadi,
wilayah-wilayah
39
40
salah
satu
Negara
ASEAN
yang
karakteristik
struktur
41
daerah. (2) Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi.
(3) Kebutuhan bagi hasil sumber daya alam berpotensi mengurangi tingkat
pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah.
Hartina (2012) dalam studinya berjudul Analisis Peranan Dana Alokasi
Umum Dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Di
Provinsi Sumatera Barat.Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode analisis
regresi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan PDRB
perkapita
Kabupaten/Kota.adalah
variabel
ketimpangan
DAU
perkapita
42
Dengan formula ini juga menunjukkan provinsi yang kaya SDA (Riau,
Kalimantan Timur, dan Papua) dan empat dari lima provinsi di Jawa ( DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur) mengalami penurunan DAUnya. Dikatakan juga transfer DAU yang diharapkan dapat memperkecil
ketimpangan fiskal horizontal yang diakibatkan oleh hasil-hasil sumber daya alam
yang merasa dieksploitasi tanpa kompensasi yang memadai.
Menurut penelitian dari Rusydi (2010) tidak signifikannya PAD dalam
mempengaruhi belanja daerah termasuk celah fiskal disebabkan karena rendahnya
kontribusi PAD terhadap belanja daerah dan celah fiskal. Tingginya proporsi dana
perimbangan sebagai sumber penerimaan daerah mengakibatkan PAD hanya
berkontribusi kecil. Rendahnya penerimaan daerah dari PAD disebabkan oleh
rendahnya upaya penggalian potensi daerah yang tercerminkan oleh fluktuatifnya
tax effort di daerah. Padahal tax effort di daerah mencerminkan usaha pemerintah
daerah dalam mengumpulkan pendapatannya.
Siagian (2010) meneliti tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Wilayah (Studi Kasus Provinsi
Jawa Barat).Hasil dari penelitiannya adalah Ketimpangan wilayah di Provinsi
Jawa Barat, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertumbuhan ekonomi dan
desentralisasi
fiskal.Pertama,
pertumbuhan
ekonomi
dan
desentralisasi
g signifikan dan
43
Daerah
Terhadap
Kondisi
Ketimpangan
Pendapatan
Antar
44
DANA ALOKASI
UMUM (DAU) (X1)
DANA ALOKASI
KHUSUS (DAK)
(X2)
KETIMPANGAN KEMAMPUAN
KEUANGAN
45
2.7 Hipotesis
Berdasarkan teori-teori dan pembahasan diatas maka, penulis menduga
bahwa :
1. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi bervariasi.
2. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan celah
fiskalnya adalah bervariasi.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ketimpangan kemampuan keuangan di Provinsi Sulawesi
Selatan.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
47
dengan
menelaah
bahasan
teoritis
dari
berbagai
macam
48
3.4
guna mendukung penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, dalam hal ini
penulis menggunakan metode analisis sebagai berikut.
Sebelum menghitung dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda maka harus dihitung terlebih dahulu Rumus Dana Alokasi Umum
(Rumus DAU) yang terdiri dari Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK) merupakan cerminan dari suatu
nilai bangunan/konstruksi, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu
unit bangunan persatuan ukuran luas di suatu kabupaten/kota atau provinsi.TKK
diperoleh
melalui
pendekatan
terhadap
harga
sejumlah
bahan
bangunan/konstruksi dan harga sewa alat berat yang mempunyai nilai atau andil
cukup besar terhadap bangunan tersebut.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang
menggambarkan perbandingan TKK suatu kabupaten/kota atau provinsi terhadap
TKK kabupaten/kota provinsi lain. Sesuai dengan pengertiaannya IKK dapat
dikategorikan sebagai indeks spasial, yaitu indeks yang menggambarkan
perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu.
Berbeda dengan pengertian indeks periodical atau temporal yang selama ini kita
49
kenal, seperti Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau Indeks Harga
Konsumen (IHK), kedua indeks harga tersebut menggambarkan perkembangan
perkembangan harga di suatu wilayah pada periode waktu tertentu terhadap harga
periode tahun dasar.
IKK dihitung sejak tahun 2003 dengan rata-rata nasional sebagai acuan
(sama dengan 100). Tahun 2005 sampai dengan 2009, IKK disajikan dengan
memperhitungkan pula perkembangan harga periode tertentu terhadap periode
dasar (Februari 2004,periode harga yang digunakan dalam penghitungan IKK
2004). IKK tahun 2010 dan 2011 menggunakan Kota Samarinda dan Provinsi
Kalimantan Timur sebagai acuan.
IKK dihitung menurut pengelompokkan jenis bangunan yang mengacu
pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang disesuaikan agar
memenuhi asas komparabilitas. Seperti halnya IKK 2010, penghitungan IKK 2011
juga menggunakan 3 kelompok jenis bangunan, yaitu;
a. Bangunan tempat tingal dan bukan tempat tinggal
b. Jalan,jembatan dan pelabuhan;dan
c. Bangunan lainnya
IKK tahun 2003 dan IKK tahun 2004 disajikan menggunakan acuan ratarata nasional sama dengan 100. IKK tahun 2005 dikalikan dengan perkembangan
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) barang-barang konstruksi dari bulan
Februari 2004 sampai dengan bulan Mei 2005 yang merupakan periode
pencacahan serentak paket komoditi IKK dan sampai dengan rata-rata tahun 2009
disajikan dengan rata-rata nasional menggunakan inflator sebagai acuan. Seperti
halnya IKK 2010. IKK menggunakan Kota Samarinda sebagai kota acuan dan
50
51
52
53
kabupaten/kota), dan dalam suatu kurun waktu tertentu (satu tahun kalender).
Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan,
industri pengolahan sampai dengan jasa-jasa.
Dalam penghitungannya, untuk menghindari hitung ganda, nilai outpu
bersih diberi nama secara spesifik, yaitu nilai tambah (value added). Demikian
juga, harga yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga produsen.
Penilaian pada harga konsumen akan menghilangkan PDRB subsektor
perdagangan dan sebagian subsektor pengangkutan.
Luas Wilayah
Luas wilayah adalah ukuran kondisi luas suatu daerah kabupaten/kota atau
provinsi di Sulawesi Selatan.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah seberapa banyak penduduk yang ada dalam suatu
wilayah kabupaten/kota.
Untuk menghitung ketimpangan kemampuan keuangan maka dihitung
berdasarkan celah fiskal. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan
kapasitas fiskal, Kebutuhan fiskal dihitung dengan rumus dasar dana transfer
daerah seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Bagi Hasil (DBH). Komponen penentuan dana transfer diukur dengan : KbF
= TBD (1 IP + 2 IW + 3 IKK + 4 IPM-1 + 5 PDRB/kap.)
Dimana :
TBD : Total belanja rata-rata dalam APBD
54
IP
Provinsi
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) =
IKK Kabupaten/Kota
IKK Provinsi
3.4.3
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
ketimpangan
pendapatan
55
fiskal yang dihitung dengan menggunakan formula Dana Alokasi Umum (DAU),
sedangkan variabel independen (bebas) adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh karena itu maka dibuatlah model regresi linear
berganda dengan bentuk persamaannya adalah sebagai berikut.
Yt= f (X1,X2)(1)
Dimana Yt adalah fungsi dari X1 dan X2 kemudian diturunkan menjadi fungsi
atau secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas :
Yt = 0X11X22 t(2)
Untuk memperoleh bentuk persamaan linear, maka persamaan tersebut dirubah
menjadi linear dengan menggunakan Logaritma Natural (Ln), sehingga diperoleh :
LnYt = 0+ 1 LnX1 + 2 LnX2 t(3)
Dimana :
Yt = Rumus Celah Fiskal (Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal) ( Kebutuhan
fiskal dihitung dari Indeks Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (inverse) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) (inverse) pada tahun 2010)
0
= Konstanta
LnX1
LnX2
56
tahun 2010.
Celah Fiskal adalah Kebutuhan Fiskal dikurangi dengan Kapasitas Fiskal.
Kebutuhan fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai
semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah
dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan kebutuhan fiskal dihitung
57
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
58
4.2 Gambaran Umum Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
4.2.1 Dana Alokasi Umum (DAU).
DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama adalah
pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk
mengalokasikan
DAU
sudah
dapat
diadopsi
di
Indonesia,
karena
59
Kondisi saat ini, dalam UU No. 33/2004 telah dinyatakan dengan tegas
bahwa DAU dibagikan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula
yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi
dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan
kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah
daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya,terlepas dari pertimbangan
efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula
DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan
otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi
DAU. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya,
melainkan masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables),
diantaranya adalah : jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dan Produk Domestik Bruto (PDRB). Kondisi yang diharapkan.
1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini
masih sangat tinggi, sebagai adanya kebijakan-kebijakan yang justru medistorsi
formula DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy. Dan
penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. 2) Penilaian kebutuhan fiskal
dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan
alat ukur yang mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. 3) Penghitungan
DAU dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang terlepas dari berbagai
macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik
60
61
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah. DAK memiliki karakter yang paling spesifik
diantara dana transfer lainnya di mana DAK hanya dapat digunakan sesuai dengan
kegiatan yang ditetapkan oleh instansi teknis yang terkait dengan bidang alokasi
DAK.
DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan
yang telah didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk
mendukung prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di Negara lain, maka
bentuk transfer yang bersifat specific grantakan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping itu,
DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian
standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK
selayaknya dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum bias mencapai
kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK
tidak dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu
yang mempunyai kondisi khusus.Kondisi Saat ini, semenjak dilakukannya
kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat dirasakan tidak jelasnya
peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi daerah.
Euphoria terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000
tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan
prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan
diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur pengggunaanya. Sebagai
akibatnya, Peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target
pembagunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan publik
62
daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya sebesar
700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya
adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-Undang
pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk
alokasi DAK. Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk
pemenuhan berbagai program prioritas nasional,maka peran DAK menjadi
meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar
Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK
tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini hanya sebesar
8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah peranannya dalam
mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Selain itu, DAK masih dirasakan
belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini
meliputi 12 bidang, yaitu : Pendidikan,kesehatan, jalan, irigasi, air bersih,
lingkungan hidup, kependudukan, kehutanan, prasarana pemerintahan, kelautan
dan perikanan, dan kependudukan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang
meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga
efektivitas alokasi DAK perbidang menjadi sangat minimal.Kondisi yang
diharapkan. Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk
merumuskan kembali peran DAK dalam mekanisme dana perimbangan. Arah
yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka
mendorong
pembangunan
daerah
untuk
memenuhi
berbagai
prioritas
pembangunan nasional. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat ini hanya
sekitar 8,05 % maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi alokasi DAK yang
63
64
piata system pengawasan dan evaluasi DAK yang lebih baik lagi. 3)
Menyederhanakan Formula alokasi DAK : Pada saat ini alokasi DAK ditetapkan
dengan menggunakan tiga kelompok kriteria ; (i) Kriteria Umum (ii) Kriteria
Khusus (iii) Kriteria Teknis. Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK
menjadi lebih rumit dari formulasi DAU. Oleh sebab itu, dalam desain DAK ke
depan,
akan
dilakukan
penyederhanaan
formula
DAK
dengan
mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional dan
daerah.
pajak
pusat
yaitu
pajak
penghasilan
perseorangan
(PPh
perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Tanah atas
Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas
Alam, Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan). Berdasarkan UU No. 33/ 2004,
bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan
besarnya suatu persentase tertentu.
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa
segi : 1) Formula alokasi DBH : Persentase yang dibagihasilkan dengan daerah
relatif tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada
saat 2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi hasil minyak dan
gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0.5% pada tahun 2004. Rumusan
65
bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat
bervariasi antara satu dengan yang lain, selain itu, semenjak ditetapkan rumusan
alokasi pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi
hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan
formula berbeda pada daerah otonomi khusus, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam
dan Papua. 2) Dasar nilai penetapan bagi hasil : Selain dari beragamnya formula,
yang juga menambah rumit alokasi DBH adalah beragam dasar penetapan untuk
bagi hasil. Saat ini, untuk minyak dan gas bumi, yang dibagihasilkan kepada
daerah adalah nilai net operating income setelah dikurangi dengan berbagai jenis
pajak (PPh, PPN, dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi
dan gas alam. Sedangkan untuk pertambangan, kehutanan dan perikanan, nilai
yang dibagihasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha
dan royalty untuk produksi yang dihasilkan. 3) Pemanfaatan DBH di daerah :
Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup signifikan,
seharusnya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal dalam rangka
meningkatkan pelayanan
66
3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di
APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah
memperhitungkan berbagai penyusunan terhadap realisasi yang terjadi.Jumlah
yang bisa dibagi hasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi adalah maksimum
130 % dari harga awal dari asumsi APBN. Berbagai upaya telah dilakuakn untuk
mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini
mulai lebih baik pada tahun 2008.
Berdasarkan uraian diatas berbagai kompleksitas alokasi DBH tersebut,
diharapkan pada masa yang akan datang akan dapat didesain suatu system bagi
hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban
fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga
kesinambungan nasional.Beberapa kebijakan sampai dengan tahun 2015 yang
dapat dimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi DBH dapat
diuraikan sebagai berikut. 1)Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH
dan memberikan argumentasI yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH
antara pusat dan daerah. 2) Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih
baik, agar alokasi DBH ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat
jumlah,sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optilam sesuai dengan
yang direncanakan. 3) Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu
earmarking, misalnya dengan menetapkan persentase tertentu dari DBH untuk
dapat dimanfaatkan bagi pengembangan pendidikan,kesehatan ataupun perbaikan
lingkungan hidup di daerah.
67
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Reklame
Pajak parkir
Pajak Air Tanah
Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Hiburan
Pajak Penerangan Jalan
68
69
bangunan,
retribusi
izin
tempat
penjualan
minuman
4.3 Gambaran tentang Celah Fiskal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Keuangan daerah sebagai alat fiskal pemerintah daerah merupakan bagian
integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi,
memeratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain
stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah makin penting, selain karena
keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan,
tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan
membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan
daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang
lebih nyata dan bertanggung jawab. (Sulistyowati,2006)
Otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dari otonomi daerah secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pengertian
70
71
Tabel 4.1 Celah Fiskal dan PAD pada 24 Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2010
No.
Kabupaten/Kota
Celah Fiskal*
Keterangan
PAD*
Keterangan
SELAYAR
7,552,632,775.23
diatas rata-rata
18,117,097
2
3
BULUKUMBA
BANTAENG
7,574,631,551.27
7,507,271,106.33
52,606,039
16,406,094
JENEPONTO
7,904,732,237.22
diatas rata-rata
dibawah ratarata
diatas rata-rata
TAKALAR
7,651,254,683.24
diatas rata-rata
33,156,917
GOWA
7,813,648,901.59
diatas rata-rata
39,550,672
SINJAI
7,590,777,927.10
diatas rata-rata
18,291,813
MAROS
7,509,805,898.84
58,056,293
7,603,183,773.42
72,203,752
diatas rata-rata
10
PANGKAJENE
KEPULAUAN
BARRU
dibawah ratarata
diatas rata-rata
dibawah ratarata
diatas rata-rata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
dibawah ratarata
diatas rata-rata
7,469,731,601.39
dibawah ratarata
16,733,509
dibawah ratarata
11
BONE
7,920,590,203.69
diatas rata-rata
62,308,957
diatas rata-rata
12
SOPPENG
7,461,206,879.08
dibawah ratarata
20,147,272
dibawah ratarata
14,838,973
72
13
WAJO
7,635,590,865.58
diatas rata-rata
42,414,432
diatas rata-rata
14
SINDERENG
RAPPANG
7,407,038,537.72
dibawah ratarata
50,838,683
diatas rata-rata
15
PINRANG
7,462,473,921.96
dibawah ratarata
39,334,879
dibawah ratarata
No.
Kabupaten/Kota
Celah Fiskal*
Keterangan
PAD*
Keterangan
16
ENREKANG
7,294,556,123.88
dibawah ratarata
24,567,850
dibawah ratarata
17
LUWU
7,482,233,562.74
dibawah ratarata
21,989,550
dibawah ratarata
18
TANA TORAJA
7,498,252,077.13
dibawah ratarata
19,994,073
dibawah ratarata
19
LUWU UTARA
7,553,325,852.37
diatas rata-rata
26,220,927
dibawah ratarata
20
LUWU TIMUR
7,519,203,231.51
dibawah ratarata
50,473,070
diatas rata-rata
21
TORAJA UTARA
7,616,308,917.65
diatas rata-rata
9,000,000
dibawah ratarata
22
KOTA MAKASSAR
7,489,907,387.95
dibawah ratarata
199,339,439
diatas rata-rata
23
KOTA PAREPARE
7,002,789,732.72
dibawah ratarata
41,726,500
diatas rata-rata
24
KOTA PALOPO
7,124,514,964.17
dibawah ratarata
26,310,276
dibawah ratarata
Rata-Rata
7,526,902,613.08
40,609,461
Berdasarkan data dari tabel diatas maka Kota Makassar merupakan kota
yang memilliki PAD yang paling tinggi diikuti oleh 8 Kabupaten/Kota lainnya
yaitu Pangkajene dan Kepulauan, Bone, Maros, Bulukumba, Sindereng Rappang,
73
Luwu Timur, Wajo dan Kota Parepare. Tingginya PAD disebabkan oleh besarnya
potensi pajak daerah, retribusi, dan sumber daya alam daerah tersebut, sehingga
menyebabkan besarnya pendapatan asli daerah tersebut. Sebaliknya jika dalam
suatu daerah memiliki potensi pajak, retribusi, dan sumber daya alam kecil, maka
akan berpengaruh terhadap kecilnya penerimaan daerah tersebut. Jika pendapatan
asli daerah yang kecil sedangkan kebutuhan fiskalnya tinggi maka daerah tersebut
mendapatkan dana transfer pemerintah pusat yang tinggi, karena ketimpangan
kemampuan keuangan maka pemerintah pusat menutupinya dengan dana transfer
daerah agar dapat menyediakan standar pelayanan minimum (SPM).
Berdasarkan tabel diatas terdapat Kabupaten/Kota yang memiliki celah
fiskal diatas rata-rata adalah Bulukumba, Selayar, Jeneponto, Bone, Takalar,
Gowa, Sinjai, Luwu Utara, Pangkajene dan Kepulauan dan Wajo. Celah Fiskal
yang diatas rata-rata disebabkan oleh besarnya kebutuhan fiskal suatu daerah yang
tidak diimbangi dengan kapasitas fiskal yang memadai untuk belanja daerah.
Pemerintah daerah harus dapat meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara
peningkatan pendapatan daerah, mendorong investasi agar dapat membuka
kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat dan sektor mikro kecil dan
menengah agar dapat meningkatkan pertumbuhan pendapatan daerah dan diiringi
dengan pemerataan pertumbuhan.
Pemerintah daerah sebaiknya dapat melakukan analisis penghitungan
PAD. Analisis penghitungan potensi adalah tahap pengumpulan atau inventarisir
data. Tujuannya adalah pertama, sebagai dasar untuk pengembangan potensi
pendapatan daerah yang realistis atau mendekati keadaan yang sebenarnya.
74
Kedua, sebagai dasar penyusunan program atau rencana tindakan yang diperlukan
untuk meningkatkan pendapatan daerah, baik yang diarahkan kepada subjek pajak
atau retribusi maupun pengelola keuangan daerah (administrasi). Ketiga, sebagai
dasar penyusunan target penerimaan pendapatan daerah yang mencerminkan
potensi yang ada dan kemampuan pengelolaan pendapatan daerah.
Dengan
penerimaan daerah dan kapasitas fiskal, sedangkan proporsi terbesar masih berada
pada dana transfer dari pemeintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas
fiskal Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Kabupaten/Kota masih rendah.
Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara
penuh dalam periode pendek diragukan, baik sebagai akibat kapabilitas daerah
otonom yang tidak dapat berubah begitu cepat maupun sistem keuangan, yaitu
pemerintah pusat tidak serta merta mau kehilangan kendali atas pemerintah
daerah. Kuncoro (2002) menjelaskan beberapa hal yang dapat menghambat
keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi, yaitu (1) dominannya
transfer dari pemerintah pusat, (2) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai
sumber pendapatan asli daerah. (3) tingginya sentralisasi dalam bidang perpajakan
75
(4) walaupun pajak daerah begitu beragam tetapi hanya sedikit yang bias
diandalkan sebagai sumber penerimaan, (5) kelemahan dari pemberian subsidi
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
4.4 Proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH)
Tabel 4.2 Proporsi PAD dan DBH terhadap Total Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan
2010
Total
N
O
NAMA
KABUPATEN/KO
TA
PAD
DBH
Penerimaan
Daerah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
SELAYAR
BULUKUMBA
BANTAENG
JENEPONTO
TAKALAR
GOWA
SINJAI
MAROS
PANGKAJENE
KEPULAUAN
BARRU
BONE
SOPPENG
WAJO
SINDERENG
RAPPANG
PINRANG
ENREKANG
LUWU
TANA TORAJA
LUWU UTARA
LUWU TIMUR
TORAJA UTARA
KOTA
%
Proporsi PAD
%
Proporsi DBH
Terhadap
Total
Penerimaan
Daerah
Terhadap
Total
Penerimaan
Daerah
18,117,097
52,606,039
16,406,094
14,838,973
33,156,917
39,550,672
18,291,813
58,056,293
41,863,577
39,413,252
33,608,327
57,560,598
23,000,000
28,209,487
35,579,104
57,869,791
410,242,275
629,790,225
407,362,694
542,755,179
432,791,780
669,242,154
462,618,723
597,802,899
4.42
8.35
4.03
2.73
7.66
5.91
3.95
9.71
10.20
6.26
8.25
10.61
5.31
4.22
7.69
9.68
72,203,752
16,733,509
62,308,957
20,147,272
42,414,432
29,720,184
39,212,880
59,744,739
35,793,632
77,120,432
561,193,750
445,179,878
883,059,101
482,420,684
727,905,907
12.87
3.76
7.06
4.18
5.83
5.30
8.81
6.77
7.42
10.59
50,838,683
39,334,879
24,567,850
21,989,550
19,994,073
26,220,927
50,473,070
9,000,000
199,339,439
79,481,070
38,418,745
42,666,232
18,750,000
27,800,000
35,170,965
93,144,944
20,299,951
140,379,298
724,850,858
568,591,311
429,941,352
454,521,163
436,460,202
496,155,454
576,624,984
363,397,343
1,304,272,866
7.01
6.92
5.71
4.84
4.58
5.28
8.75
2.48
15.28
10.97
6.76
9.92
4.13
6.37
7.09
16.15
5.59
10.76
76
23
24
MAKASSAR
KOTA PAREPARE
41,726,500
30,100,000
482,528,926
8.65
KOTA PALOPO
26,310,276
21,443,882
427,289,280
6.16
SULAWESI
1,106,451,09
SELATAN
974,627,067 0
13,516,998,988
7.21
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah)
6.24
5.02
8.19
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa proporsi PAD dan DBH
terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan adalah
bervariasi. PAD yang tertinggi terhadap total penerimaan adalah Kota Makassar,
sebesar 15.28 % hal ini disebabkan oleh besarnya penerimaan pajak daerah dan
penerimaan retribusi daerah. Selain itu Kabupaten Luwu Timur merupakan daerah
yang memiliki prosentase DBH terhadap total penerimaan tertinggi di Provinsi
Sulawesi Selatan sebesar 16.15 % Hal ini ditopang oleh besarnya sumber daya
alam yang terdapat di daerah tersebut. sedangkan DBH juga dapat mencerminkan
kemampuan daerah dalam mengelola pajak dan sumber daya alam di wilayahnya.
Berdasarkan dari tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar kontribusi PAD
terhadap total penerimaan daerah secara keseluruhan dari Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan masih rendah. Hal ini disebabkan belum optimalnya
pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan retribusi untuk
meningkatkan PAD daerah. Dalam kenyataannya karakteristik daerah di Provinsi
Sulawesi Selatan bervariasi. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang
banyak. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang
besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan dengan
baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan menjadi lebih baik di banding daerah
lain yang memiliki sulit mendapatkan potensi pajak sehingga daerah tersebut
menjadi kaya. Namun banyak daerah secara alamiah maupun struktur ekonomi
77
masih tertinggal sehingga daerah tersebut menjadi miskin. Oleh sebab itu maka
transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) masih
diberikan khususnya untuk mengatasi kesenjangan antar daerah tersebut.
2010
N
O
NAMA
KABUPATEN/KOTA
SELAYAR
BULUKUMBA
BANTAENG
JENEPONTO
TAKALAR
GOWA
SINJAI
8
9
MAROS
PANGKAJENE
KEPULAUAN
10
BARRU
11
BONE
12
SOPPENG
13
WAJO
14
SINDERENG RAPPANG
15
PINRANG
16
17
ENREKANG
LUWU
Celah Fiskal*
7,552,632,77
5.23
7,574,631,55
1.27
7,507,271,10
6.33
7,904,732,23
7.22
7,651,254,68
3.24
7,813,648,90
1.59
7,590,777,92
7.10
7,509,805,89
8.84
7,603,183,77
3.42
7,469,731,60
1.39
7,920,590,20
3.69
7,461,206,87
9.08
7,635,590,86
5.58
7,407,038,53
7.72
7,462,473,92
1.96
7,294,556,12
3.88
7,482,233,56
Keterangan
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATA-
78
18
TANA TORAJA
19
LUWU UTARA
20
LUWU TIMUR
21
TORAJA UTARA
22
KOTA MAKASSAR
23
KOTA PAREPARE
24
KOTA PALOPO
Rata-Rata
Fiskal
2.74
7,498,252,07
7.13
7,553,325,85
2.37
7,519,203,23
1.51
7,616,308,91
7.65
7,489,907,38
7.95
7,002,789,73
2.72
7,124,514,96
4.17
Celah
RATA
DIBAWAH
RATA
RATA-
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIATAS RATA-RATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
DIBAWAH
RATARATA
7,526,902,6
13.08
2010
N
O
NAMA KABUPATEN/KOTA
SELAYAR
Laju
Pertumbu
han
PDRB (%)
8.01
2
3
4
BULUKUMBA
BANTAENG
JENEPONTO
6.27
7.90
7.25
TAKALAR
6.85
GOWA
6.05
SINJAI
6.03
MAROS
7.03
Keterangan
Diatas Rata-rata
Dibawah
Ratarata
Diatas Rata-rata
Diatas Rata-rata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata
Dibawah
Ratarata
79
PANGKAJENE KEPULAUAN
6.34
10
11
BARRU
BONE
6.01
7.63
12
SOPPENG
4.45
13
WAJO
5.71
14
SINDERENG RAPPANG
4.45
15
PINRANG
6.23
16
ENREKANG
5.00
17
LUWU
6.95
18
TANA TORAJA
6.27
19
20
LUWU UTARA
LUWU TIMUR
5.93
16.15
21
22
23
24
TORAJA UTARA
KOTA MAKASSAR
KOTA PAREPARE
KOTA PALOPO
7.00
9.83
8.47
7.29
Rata-Rata
7.04
Dibawah
Ratarata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Dibawah
ratarata
Diatas rata-rata
Diatas rata-rata
Diatas rata-rata
80
LAJU PERTUMBUHAN
PDRB
LAJU PERTUMBUHAN
DIATAS RATA-RATA
CELAH FISKAL
CELAH FISKAL DIATAS RATA- SELAYAR
RATA
JENEPONTO
BONE
(Kuadran I)
CELAH
FISKAL
RATA-RATA
DIBAWAH BANTAENG
LUWU TIMUR
MAKASSAR
PARE-PARE
PALOPO
(Kuadran III)
PDRB
LAJU PERTUMBUHAN
DIBAWAH RATA-RATA
PDRB
BULUKUMBA
TAKALAR
GOWA
SINJAI
PANGKAJENE
KEPULAUAN
WAJO
LUWU UTARA
(Kuadran II)
MAROS
BARRU
SOPPENG
SINDERENG RAPPANG
PINRANG
ENREKANG
LUWU
TANA TORAJA
TORAJA UTARA
(Kuadran IV)
Jika celah fiskal semakin besar maka, semakin besar pula ketergantungan
suatu daerah dari dana transfer pemerintah pusat. Jadi pemerintah pusat harus
memberikan dana transfer kepada daerah agar dapat menutupi celah fiskal
anggarannya agar dapat digunakan secara optimal dan efisien guna membantu
anggaran dalam APBD nya. Begitu pula sebaliknya, jika celah fiskal semakin
kecil, maka semakin kecil pula ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.
Laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) hal ini menunjukkan Salah satu cara untuk melihat kemajuan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau wilayah adalah dengan mencermati nilai
pertumbuhan PDRB. PDRB adalah nilai dari seluruh barang dan jasa yang
diproduksi dalam waktu satu tahun di suatu wilayah tertentu tanpa membedakan
&
81
82
kuadran IV laju pertumbuhan PDRB dibawah rata-rata dan celah fiskal dibawah
rata-rata adalah Kabupaten Maros, Barru, Soppeng, Sindereng Rappang, Pinrang,
Enrekang, Luwu, Tana Toraja, dan Toraja Utara. Untuk kuadran III celah fiskal
dibawah rata-rata dan pertumbuhan PDRB diatas rata-rata adalah Kabupaten
Bantaeng, Kota Makassar, Palopo dan Parepare.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa daerah yang
memiliki celah fiskal dibawah rata-rata dan pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata
adalah Kota Makassar, Luwu Timur, Parepare,Palopo dan Bantaeng karena
disebabkan oleh banyaknya potensi pajak yang dihasilkan pajak daerah dan
retribusi daerah oleh daerah tersebut. Seperti dari sektor sumber daya alam,
sektor pajak, investasi, industri, barang dan jasa dan sebagainya. Sebaliknya
bahwa daerah yang memiliki celah fiskal diatas rata-rata dan pertumbuhan
ekonomi dibawah rata-rata
83
Pelaksanaan
otonomi
daerah
di
Indonesia
pada
umum
belum
16.97450
1.111267
t-Statistic
Prob.
15.27490
0.0000
84
Dana
Alokasi
Umum
(DAU) (X1)
Dana Alokasi
Khusus
(DAK) (X2)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
F Tabel (0.05, 4, 19)
t- Tabel (0.05,4, 19)
Df
-0.116326
0.080819
-1.439330
0.1648
0.383408
0.6463369
0.612690
0.067432
19.19201
2.054004
2.079614
21
0.073368
5.225829
0.0000
perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), terhadap
celah fiskal yaitu sebagai berikut :
LnY = 16.97450- 0.116326*LnX1 + 0.383408*LnX2
Nilai konstanta sebesar 16.97450, hal tersebut berarti bahwa apabila tidak
terdapat pengaruh dari variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model
penelitian ini, maka jumlah celah fiskal sebesar 16.97450 persen dengan asumsi
ceteris paribus.
Analisis selanjutnya yaitu semua variabel yang ditempatkan dalam model,
yakni Celah Fiskal (Y), Dana Alokasi Umum (X1), Dana Alokasi Khusus (X2),
perlu diuji signifikansi, sebagai berikut :
a) Dana Alokasi Umum (X1)
Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa variabel dana alokasi umum
berpengaruh negatif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi perubahan celah
fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini diketahui dengan
melihat tingkat signifikansi yang mana dilihat dari nilai probabilitasnya sebesar
85
0.1648 dimana nilainya < 0,05. Selanjutnya, nilai koefisien regresi dana alokasi
umum (X1) sebesar 0.116326. Hal ini berarti bahwa setiap penambahan dana
alokasi umum sebesar 1,00 persen dengan asumsi variabel lain tetap maka akan
mengurangi jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan sebesar
-0.116326 persen. Berdasarkan pada dua uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
dana alokasi umum berpengaruh negatif terhadap jumlah celah fiskal
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan dan tidak signifikan ditandai dengan Untuk
variabel X1t-stat = -1.439330 < t-tabel (0,05 ; 19) = 2.079614 dalam menjelaskan
jumlah celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Dana transfer
pemerintah pusat yang berupa DAU, berpengaruh tidak signifikan terhadap celah
fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
86
DAU tiap daerah dari nilai rata-rata seluruh daerah semakin tinggi pula tingkat
kesenjangan distribusi DAU antar Kabupaten/Kota.
Rendahnya kemampuan
87
88
untuk DAK. Apabila daerah yang memiliki PAD dan DBH yang kecil maka akan
kesulitan untuk meneydiakan dana pendamping untuk DAK.
Oleh karena itu adanya DAK maka bertambah pula DAK yang akan
meningkatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. DAK ditujukan untuk daerah
khusus yang terpilih untuk tujuan khusus, karena itu alokasi yang di distribusikan
oleh pemerintah pusat sepenuhya
89
dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Oleh karena itu, DAK
diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
dibawah rata-rata nasional atau yang memiliki celah fiskal yang tinggi, dalam
rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar
yang sudah merupakan urusan daerah. Hal ini diperlukan untuk menunjang
percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan
kepulauan,perbatasan darat dengan Negara lain, tertinggal / terpencil, serta
termasuk daerah kategori ketahanan pangan.
DAK juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar
pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya
dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum mencapai kualitas standar
nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. Didaerah yang memiliki
celah fiskal yang besar dibutuhkan bantuan pemerintah untuk penyediaan
infrastruktur. DAK saat ini fokus pada bidang infrastruktur, pendidikan, dan
kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori Musgrave trilogy (Musgrave,1959) yaitu
yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan negara sebagai instrumen
stabilisasi, distribusi dan alokasi. Dan juga sejalan dengan penelitian dari Siagian
(2010) meneliti tentang Ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Barat, dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal.Pertama,
pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal. Pertama, pertumbuhan ekonomi
memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap ketimpangan wilayah. Hal
ini disebabkan oleh berbedanya kemampuan antar masing-masing wilayah atau
daerah di Provinsi Jawa Barat dalam hal pertumbuhan ekonomi. Kedua,
desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap
90
4.6.1
menandakan
bahwa
variasi
dari
perubahan
nilai
jumlah
celah
fiskal
91
Dimana jika Fstat< Ftabel, maka Ho diterima atau variabel independen secara
bersama-sama tidak memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (tidak
signifikan) dengan kata lain perubahan yang terjadi pada variabel terikat tidak
dapat dijelaskan oleh perubahan variabel dependen, dimana tingkat signifikansi
yang digunakan yaitu 5 %. Berdasarkan hasil pada Tabel diperoleh F-stat =
19.19201 > F-tabel (0,05; 4; 19) = 2.054004
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas maka penulis
menyimpulkan bahwa :
92
signifikan
dalam
mempengaruhi
93
5.2 Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, maka
penulis berpendapat, bahwa :
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi harus diikuti dengan
perubahan paradigma pembangunan. Konsep pemerataan dan keadilan
harus menjadi dasar utama pembangunan daerah. Pola pergeseran dari
pusat ke daerah, dan di daerah harus melakukan redistribusi akses dan
dan aset kepada masyarakat, hanya karena itulah pertumbuhan dan
fiskal.
Pemerintah daerah perlu mencari alternatif lain untuk dapat
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
tetap melihat kondisi dan potensi daerah yang dimiliki masing-masing
daerah, sehingga tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat dapat berkurang. Upaya peningkatan PAD harus tetap
memperhatikan dampaknya terhadap daya tarik investasi. Kebijakan
94
sebagai
stimulus
bagi
pemerintah
daerah
dalam
lainnya.
Dalam
hal
ini
perlu
dikaji
pengaruh
95
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita,
Rahardjo.2011.
Pengelolaan
Pendapatan
&
Anggaran
96
Bambang.2001.
Indonesia
Intergovemental
Transfer
in
97
Haryanto, Joko Tri. dan Ester Sri Astuti.2009.Desentralisasi Fiskal dan Penciptaan
Stabilitas Keuangan Daerah.. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol.13 No.1,2009.
Jakarta : Jurnal FEUI
Kuncoro,Haryo.2007. Fenomena flypaper effect Pada Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Makalah pada Simposium
Nasional Akuntansi X Unhas Makassar.
Kuncoro, Muradjad. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah. Jakarta : Erlangga.
Mahi, Raksaka. 2001. Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau Dari Segi
Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efisiensi. Analisa CSIS XXIX, Hal.
54-66. Jakarta :Indonesia Project.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Mualim, Mus.2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan peran kelembagaan Dana Otonomi Khusus Papua di Provinsi
Papua Barat. Publikasi Ilmiah Program Magister Ilmu Ekonomi Minat Keuangan
Daerah.Malang : Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave.Public Finance in Theory and
Practice, edisi ketiga.McGraw Hill. New York
Nurhidayat,R.2008. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Volume 5 Nomor 3 Desember
2008. Jakarta : Dikta Ekonomi
Oates,
Wallace.
1993.
Fiscal
Decentralization
and
Economics
98
di
Kabupaten/Kota
Provinsi
Jawa
Tengah.Jurnal
Dinamika
99
100