Anda di halaman 1dari 12

Judul

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Keragaman wilayah Indonesia yang sangat besar mengakibatkan perbedaan kondisi


kesejahteraan masyarakat antara daerah satu dengan daerah lainnya. Kebijakan pembangunan
yang sentralistik pada masa lalu, baik dalam kebijakan perpajakan, pengelolaan sumber daya
alam, maupun dlam perencanaan program-program pembangunan, mengakibatkan kesenjangan
ekonomi yang tajam dan menimbulkan kecemburuan antar daerah. Dana yang diperoleh oleh
pemerintah pusat melalui penghasilan dari eksploitasi sumber-sumber daya alam yang ada
didaerah termasuk pajak-pajak perusahaan dialokasikan ke daerah-daerah melalui program
bantuan pembangunan. Program bantuan pembangunan tersebut sering dikemukakan sebagai
upaya untuk mewujudkan pemerataan pembangunan antar wilayah dan mendorong peningkatan
kemampuan keuangan daerah, namun kenyataannyan tujuan tersebut belum terwujud.
Ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah masih terjadi, seperti Jawa dan luar Jawa,
Indonesia Barat dan Timur, yang dilihat dari laju perekonomiannya, pembangunan industri,
pendapatan masyarakat, atau sebaran investasi (Haeruman, 1996:41-62; Sondakh, 1994:18;
Kuncoro, 2000:207 dalam Hamid, 2005:2).

Sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pemerintah pusat telah menimbulkan


ketergantungan yang tinggi daerahdaerah pada pusat. Ketergantungan keuangan ini dapat
dilihat pada anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan dan bantuan pusat masih
tinggi, melampaui pendapatan asli daerahnya (PAD), hal ini juga terjadi pada masa desentralisasi
fiskal. Inilah yang disebut ketidakseimbangan fiskal vertikal tinggi (Shah, 1994:53 dalam Hamid,
2005:2). Selain itu, perbedaan kebutuhan dan kemampuan keuangan antardaerah, dan kebijakan
alokasi dana pusat sematamata didasarkan pada jumlah penduduk, melahirkan
ketidakseimbangan fiskal horizontal antardaerah tersebut, juga kemudian berdampak pada
ketimpangan pertumbuhan pembangunannya.
Menurut Shah (1994) dalam Wahid (2005:2), ketidakseimbangan fiskal vertikal menunjukkan
disparitas antara kapasitas pendapatan dan kebutuhan pengeluaran pada berbagai tingkat
pemerintah, sedangkan ketidakseimbangan fiskal horizontal mencerminkan ketimpangan antara
kemampuan memperoleh pendapatan dan kebutuhan anggaran pada tingkat pemerintahan yang
sama. Salah satu kebijakan desentralisasi fiskal, yang merupakan bagian kebijakan otonomi
daerah, adalah untuk lebih memandirikan daerah provinsi/kabupaten atau negara-negara bagian.
Menurut Bo Zhao and Jennifer Weiner (2015:1), Kesenjangan fiskal ada ketika beberapa
kotamadya menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk memberikan tingkat pelayanan publik atau
lebih sedikit sumber daya kena pajak untuk membiayai Layanan tersebut daripada yang lain.

Jika dilihat dari hasil perhitungan data yang diperoleh dari kabupaten/kota di seluruh Indonesia
menunjukkan semakin tergantungnya pemerintahan-pemerintahandaerah dari penerimaan alokasi
dari pusat. Hal ini dapat dilihat apabila koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal semakin
besar (mendekati angka 1) maka menunjukkan semakin rendah tingkat disparitas kemampuan
keuangan pemerintah pusat dengan daerah, atau meningkatnya kemandirian daerah dalam
membiayai pengeluarannya, begitupun sebaliknya (Hamid, 2005:58). Kecenderungan semakin
tingginya ketidakseimbangan fiskal vertikal sudah terjadi sejak sebelum otonomi daerah.
Perhitungan Shah dan Qureshi (1994:54) yang dikutip oleh Hamid (2005:58) menunjukkan
koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal tahun 1990 hanya 0.19 dimana Daerah Tingkat II
(sekarang kabupaten/kota) mengalami tingkat ketergantungan paling tinggi.

Tabel 1.1 Koefisien Ketidakseimbangan Fiskal untuk Kabupaten dan Kota Sebelum Otda
(1999/2000) dan Sesudah Otda (2001)
Periode KF* V* V1*
Sebelum Otonomi Daerah 0.089 0.219 0.215
Sesudah Otonomi Daerah 0.007 0.166 0.160
Sumber : Hasil perhitungan Hamid (2005)
Berdasarkan pada Tabel diatas, ditemukan tingkat ketidakseimbangan fiskal vertikal yang
semakin tinggi untuk pemerintahan kabupaten dan kota. Hal ini terlihat pada menurunnya
koefisien ketidak seimbangan fiskal vertikal (KF) dari 0.089 pada tahun 1999/2000 menjadi
0.007 pada tahun 2001, yang berarti semakin besar disparitas kemampuan keuangan pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah , atau menurunnya kemandirian daerah dalam membiayai
pengeluarannya. Tabel diatas juga menunjukkan semakin tergantungnya penerimaan kabupaten
dan kota pada dana transfer dari Pemerintah Pusat setelah dilaksanakannya otonomi daerah.

Dalam mengatasi ketimpangan fiskal tersebut pemerintah menerbitkan Undang-Undang terkait


otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, serta UU No. 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat adan Daerah. Kebijakan awal yang
dirumuskan dalam UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan
dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam
yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada
pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada
tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan
perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah.

Di sisi fiskal, UU No.33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam
yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang
menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan
dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari
sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. DAU
merupakan sarana untuk mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal antar daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal rendah. Menurut Nanga (Priyo Hari Adi, 2008), pemberian transfer dalam jangka
pendek berfungsi untuk mengatasi ketidaksiapan fiskal daerah dalam berbagai pembiayaan
daerah.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meniliti tentang ketidakseimbangan fiskal.
Sehingga dibuatlah penelitian yang berjudul Analisis Fiscal Imbalance Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah (Studi Empiris Kabupaten dan Kota Di Provinsi Lampung).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari uraian diatas, permasalahan yang ingin diteliti yaitu :

1. Bagaimana perkembangan fiscal imbalance kabupaten dan kota di Provinsi Lampung


dilihat dari koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal sebelum dan sesudah otonomi
daerah?
2. Bagaimana perkembangan fiscal imbalance kabupaten dan kota di Provinsi Lampung
dilihat dari koefisien ketidakseimbangan fiskal horisontal sesudah otonomi daerah?
3. Bagaimana dampak alokasi DAU dapat menciptakan pemerataan penerimaan antardaerah
serta mengurangi ketidakseimbangan fiskal?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui perkembangan fiscal imbalance kabupaten dan kota di Provinsi Lampung


dilihat dari koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal sebelum dan sesudah otonomi
daerah.
2. Mengetahui perkembangan fiscal imbalance kabupaten dan kota di Provinsi Lampung
dilihat dari koefisien ketidakseimbangan fiskal horizontal sesudah otonomi daerah.
3. Mengetahui dampak alokasi yang dapat menciptakan pemerataan penerimaan antardaerah
serta mengurangi ketidakseimbangan fiskal.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan menjadi wahana dalam
menerapkan ilmu yang telah dipelajari khususnya mengenai keuangan negara.

b. Bagi Pemeritah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus umpan balik
mengenai ketidakseimbangan fiskal kabupaten dan kota di Provinsi Lampung sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengambil sebuah kebijakan yang dapat
mengurangi kesenjangan daerah.
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Desentralisasi Fiskal

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 pengertian desentralisasi dirumuskann dalam Pasal 1


huruf (e) bahwa: Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah
kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian dan konsep desentralisasi fiskal menurut Macfud Sidik (2001), desentralisasi
fiskal adalah suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan negara, yaitu terutama memberikan
pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang
lebih demokratis. Menurut Saragih (2003: 83) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan
sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan
pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
Menurut Kadjatmiko (2002) dalam Pheni Chalid (2005), implementasi desentralisasi
fiskal berdasarkan undang-undang memiliki beberapa tujuan yaitu:
1) Fiscal Sustainability, yaitu menjaga kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks
makro ekonomi.
2) Koreksi atas Vertical Imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan antara keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dilakukan melalui strategi taxing power.
3) Koreksi atas Horizontal Imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan kemampuan
keuangan antar daerah.
4) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi anggaran yang berkorelasi positif
dengan kualitas kinerja pemerintah daerah.
5) Meningkatkan kualitas pelayanan publik.
6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik.
2.2 Otonomi Daerah
Keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang No. 32 tahun
2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko
(2002:61) mendefinisikan otonomi daerah sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan juga mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa
pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten/kota didasarkan kepada desentralisasi
dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

a. Kewenangan Otonomi Luas


Kewenangan otonomi luas berarti keleluasaan daerah untuk melaksanakan pemerintahan
yang meliputi semua aspek pemerintahan kecuali bidang pertahanan keamanan, politik
luar negeri, peradilan, agama, moneter & fiscal serta kewenangan pada aspek lainnya
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disisi lain keleluasaan otonomi
meliputi juga kewenangan yang utuh & bulat dalam penyelenggaraan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian hingga evaluasi.
b. Otonomi Nyata
Otonomi nyata berarti keleluasaan daerah untuk menjalankan kewenangan pemerintah di
bidang tertentu yang secara nyata ada & diperlukan serta tumbuh hidup & berkembang di
daerah.
c. Otonomi Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab berarti berwujud pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak serta kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi daerah berupa , pengembangan kehidupan demokrasi, peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat & daerah serta antar daerah dalam usaha
menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berikut adalah tujuan adanya otonomi daerah yaitu:


Untuk meningkatan terhadap sebuah pelayanan masyarakat yang semakin lebih baik.
Untuk mengembangan sebuah kehidupan yang lebih demokrasi.
Untuk keadilan nasional
Untuk sebuah pemerataan wilayah daerah
Untuk pemeliharaan sebuah hubungan antara pusat dengan daerah serta antar daerah
dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mendorong suatu pemberdayaaan masyarakat.
Untuk menumbuhkan suatu prakarsa serta kreativitas, meningkatkan peran serta
keterlibatan masyarakat, untuk mengembangkan peran serta fungsi dari DPRD.

2.3 Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah

2.4 Ketidakseimbangan Fiskal

2.5 Penelitian Terdahulu

No. Nama Judul Metode Penelitian Hasil


1. Daldiri Analisis Analisis data pada Hasil penelitian menunjukkan
Zainin Ketidakseimbangan penelitian ini bahwa selama periode
Lazuardi Fiskal Vertikal dan menggunakan penelitian dari tahun 2007
(2013) Horizontal di Jawa Metode Koefisien hingga tahun 2012 terdapat
Timur Periode 2007- Ketidakseimbangan ketidakseimbangan fiskal
2012 (Studi Kasus 38 Fiskal Vertikal dan baik dari sisi vertikal maupun
Kabupaten/Kota) Indeks Theil untuk horizontal. Kecenderungan
melihat tingkat ketidakseimbangan
ketidakseimbangan fiskal dari tahun ke tahun
fiskal horizontal. semakin meningkat di tiap
daerah di Jawa Timur. Masih
banyaknya daerah dari sisi
pemerataan PAD Perkapita,
PDRB Perkapita dan
Pengeluaran Perkapita
bernilai negatif.
2. Siti Dampak Dana Alokasi Penelitian ini Dari hasil analisis Indek
Sriningsih Umum (DAU) menggunakan Williamson pada periode
dan Muadi Terhadap Pemerataan analisis data runtun 2002-2006 ketimpangan
Yasin Fiskal Kabupaten/Kota waktu periode 2002- fiscal horisontal mengalami
(2009) Di Nusa Tenggara 2003. Model yang kecenderungan yang
Barat digunakan adalah meningkat. Data
model kuantitatif, menunjukkan bahwa
yaitu statistika ketimpangan fiskal horisontal
deskriptif. Statistika masih terjadi antar
deskriftif digunakan Kabupaten/Kota sehingga
untuk menghitung disimpulkan bahwa DAU
disparitas belum mampu menekan
(ketimpangan) fiskal ketimpangan fiskal horisontal
horizontal dengan di
menggunakan Indeks NTB.
Williamson.
3. Jaka Kesenjangan antara Penelitian ini Dari hasil kajian ini diketahui
Sriyana Kebutuhan dan menggunakan bahwa kapasitas transfer
(2011) Kapasitas Transfer pendekatan fiskal dari pemerintah pusat
Fiskal di Indonesia kombinasi deskriptif tidak sebanding dengan
dan analisis perkembangan kebutuhan
kuantitatif. fiskal kota dan kepada
kabupaten. Perkembangan
kapasitas transfer fiskal
semakin tidak mampu
memenuhi kebutuhan fiskal
di daerah.

2.6 Kerangka Pemikiran


BAB III

Metode Penelitian

3.1 Sumber dan Jenis Data

Data yang akan diteliti bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari BPS Lampung,
Dispenda Lampung, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan, serta
instansi lainnya yang terkait dengan data yang akan diteliti. Selain itu juga menggunakan studi
kepustakaan, sebagai referensi yang digunakan untuk melengkapi data dan menganalisis
permasalahan. Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif.

3.2 Definisi Operasional Variabel


Varibel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Subsidi daerah otonom
2. Bantuan pembangunan
3. Dana Alokasi Khusus
4. Dana Alokasi Umum
5. Pinjaman Daerah
6. Total pengeluaran APBD
7. Bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak
8. Jumlah penduduk
9. Dana Alokasi Umum per kapita

3.3 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan rumus
statistik sederhana. Analisis kuantitatif untuk menghitung ketimpangan fiskal kabupaten/kota di
Provinsi Lampung serta perhitungan DAU untuk melihat dampak alokasi DAU terhadap
pemerataan pada penerimaan daerah.
a. Formula yang digunakan untuk menghitung ketimpangan fiskal kabupaten/kota di
Provinsi Lampung sebelum otonomi daerah tahun 1998-1999/2000 dan sesudah otonomi
daerah tahun 2001-2002 dengan menggunakan dua perhitungan yaitu :
i. Koefisien Ketimpangan Fiskal Vertikal dengan Formula Shah dan Qureshi
(1994:53) dalam Wahid (2005:46) yaitu :
+++
KF = 1 ( )

Dimana :
KF : Koefisien ketimpangan fiskal vertikal
TRsp dan TRgp : Penjumlahan Subsidi Daerah Otonom (SDO) ditambah
bantuan pembangunan (INPRES) untuk periode sebelum
otonomi
TRsp : Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk periode setelah otonomi
TRgp : Dana Alokasi Umum (DAU) untuk periode setelah otonomi
B : Pinjaman daerah
EXP : Total pengeluaran APBD
REVsh : Bagi hasil pajak (BHP) dan bagi hasil bukan pajak (BHBP)
ii. Formula lain untuk menghitung ketimpangan fiskal vertikal adalah formula dari
Rezk (1998:206-238) dalam Wahid (2005:46), yaitu:
(1+2)
V =1[ ]

(1+2+)
V1 = 1 - [ ]

Dimana :
G1 dan G2 : Penjumlahan bantuan pembangunan (INPRES) ditambah
subsidi daerah otonom (SDO) untuk periode sebelum
otonomi
G1 : Dana Alokasi Umum (DAU) untuk periode setelah otonomi
G2 : Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk periode setelah otonomi
B : Pinjaman Daerah
E : Total pengeluaran APBD
Formula tersebut dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana tingkat ketergantungan
daerah pada pusat. Tingkat ketimpangan ini dilihat dari koefisien ketimpangan fiskal
vertikal, yang besarnya 0 sampai dengan 1. Semakin kecil koefisien ini, ketimpangan
fiskal semakin tinggi, berarti daerah semakin tergantung pada pemerintah pusat.
Sebaliknya, semakin besar koefisien ketimpangan fiskal ini menunjukkan semakin
mandiri daerahdaerah tersebut dalam membiayai pengeluarannya (Achmad dan Niken,
2010).
b. Untuk melihat tingkat pemerataan antar daerah, mengacu pada penelitian Bird dan
Tarasov (2002) dengan menggunakan konsep ketidakseimbangan fiskal horizontal. Untuk
melihat tingkat ketidakseimbangan fiskal horizontal kabupaten/kota di Provinsi
Lampung tahun 2001-2008, maka digunakan metode Indeks Williamson (Hamid,
2005:51), yaitu:

2
( )
IW =

Dimana :
IW : Indeks Williamson
fi : Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i
N : Jumlah penduduk Provinsi Lampung
Yi : Penerimaan DAU Per kapita kabupaten/kota ke-i

Y : Rata-rata penerimaan DAU Per kapita Provinsi Lampung
i : 1,2,3, . . ., m
Kriteria tingkat ketimpangan dapat dilihat pada tabel di bawah (Siti dan Muadin,
2009:154):
Tabel Kriteria Tingkat Ketimpangan

Koefisien Tingkat Ketimpangan


<0.35 Ringan
0.35 - 0.5 Sedang
>0.5 Tinggi

Anda mungkin juga menyukai