Bab I
Pendahuluan
Jika dilihat dari hasil perhitungan data yang diperoleh dari kabupaten/kota di seluruh Indonesia
menunjukkan semakin tergantungnya pemerintahan-pemerintahandaerah dari penerimaan alokasi
dari pusat. Hal ini dapat dilihat apabila koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal semakin
besar (mendekati angka 1) maka menunjukkan semakin rendah tingkat disparitas kemampuan
keuangan pemerintah pusat dengan daerah, atau meningkatnya kemandirian daerah dalam
membiayai pengeluarannya, begitupun sebaliknya (Hamid, 2005:58). Kecenderungan semakin
tingginya ketidakseimbangan fiskal vertikal sudah terjadi sejak sebelum otonomi daerah.
Perhitungan Shah dan Qureshi (1994:54) yang dikutip oleh Hamid (2005:58) menunjukkan
koefisien ketidakseimbangan fiskal vertikal tahun 1990 hanya 0.19 dimana Daerah Tingkat II
(sekarang kabupaten/kota) mengalami tingkat ketergantungan paling tinggi.
Tabel 1.1 Koefisien Ketidakseimbangan Fiskal untuk Kabupaten dan Kota Sebelum Otda
(1999/2000) dan Sesudah Otda (2001)
Periode KF* V* V1*
Sebelum Otonomi Daerah 0.089 0.219 0.215
Sesudah Otonomi Daerah 0.007 0.166 0.160
Sumber : Hasil perhitungan Hamid (2005)
Berdasarkan pada Tabel diatas, ditemukan tingkat ketidakseimbangan fiskal vertikal yang
semakin tinggi untuk pemerintahan kabupaten dan kota. Hal ini terlihat pada menurunnya
koefisien ketidak seimbangan fiskal vertikal (KF) dari 0.089 pada tahun 1999/2000 menjadi
0.007 pada tahun 2001, yang berarti semakin besar disparitas kemampuan keuangan pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah , atau menurunnya kemandirian daerah dalam membiayai
pengeluarannya. Tabel diatas juga menunjukkan semakin tergantungnya penerimaan kabupaten
dan kota pada dana transfer dari Pemerintah Pusat setelah dilaksanakannya otonomi daerah.
Di sisi fiskal, UU No.33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam
yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang
menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan
dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari
sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. DAU
merupakan sarana untuk mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal antar daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal rendah. Menurut Nanga (Priyo Hari Adi, 2008), pemberian transfer dalam jangka
pendek berfungsi untuk mengatasi ketidaksiapan fiskal daerah dalam berbagai pembiayaan
daerah.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meniliti tentang ketidakseimbangan fiskal.
Sehingga dibuatlah penelitian yang berjudul Analisis Fiscal Imbalance Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah (Studi Empiris Kabupaten dan Kota Di Provinsi Lampung).
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan menjadi wahana dalam
menerapkan ilmu yang telah dipelajari khususnya mengenai keuangan negara.
b. Bagi Pemeritah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus umpan balik
mengenai ketidakseimbangan fiskal kabupaten dan kota di Provinsi Lampung sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengambil sebuah kebijakan yang dapat
mengurangi kesenjangan daerah.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Metode Penelitian
Data yang akan diteliti bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari BPS Lampung,
Dispenda Lampung, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan, serta
instansi lainnya yang terkait dengan data yang akan diteliti. Selain itu juga menggunakan studi
kepustakaan, sebagai referensi yang digunakan untuk melengkapi data dan menganalisis
permasalahan. Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif.