Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan berkatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini membahas mengenai Dana
Perimbangan serta berbagai persoalan mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK).

Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna,
sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
perbaikan penulis dimasa yang akan datang. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak.
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai suatu bentuk integral yang dilakukan pemerintah dengan melakukan pembangunan yang
merata di seluruh wilayah dengan menyeratkan indikasi keseriusan dari para pemimpin negara kita
untuk kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Salah satunya dengan diberlakukannya UU No. 25
Tahun 1999 pada januari 2001, mengenai desentralisasi fiskal, yaitu perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 18A ayat 2 dimana termuat
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang.Mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang
memiliki banyak pulau yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Dengan kedudukan ibu
kota negara berada di Jakarta, permasalah yang telah lama muncul akibat dari begitu luasnya negara
kita adalah, apakah pemerintahan pusat berlaku adil terhadap pemerintahan yang ada di daerah,
baik sebelum dan setelah adanya kebijakan mengenai otonomi daerah (Desentralisasi).
Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi terhadap kegiatan pembangunan antar daerah,
tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan desain menyeluruh dari pembagian wewenang dan
perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. Risiko paling besar adalah ketika
sumber utama penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti
langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai
berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Permasalahanaya
sekarang adalah apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut mampu memberikan dampak
positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik,
serta kebijakan fiskal dan desain sumbangan pemerintah pusat kepada daerah yang tidak lain
bersumber pada dana perimbangan.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, meliputi beberapa hal :1. Apakah yang
dimaksud dengan dana perimbangan itu sendiri?2. Bagaimanakah pembagian dari dana
perimbangan?3. Bagaimana prinsip - prinsip dari dana perimbangan?4. Analisis Dana Perimbangan
Daerah Menurut UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :1. Untuk memahami pengertian
dari dana perimbangan 2. Untuk mengetahui bagaimana pembagian dari dan perimbangan itu
sendiri3. Untuk mengetahui prinsip prinsip dana perimbangan4. Untuk menganalisis Dana
Perimbangan Daerah Menurut UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah5. Untuk memahani berbagai dilema atau permasalahan
yang terjadi mengenai dana perimbangan

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari dana APBN untuk
mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi kepala daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik (Widjaja, 2002).Menurut Elmi (2002), secara umum tujuan pemerintah pusat
melakukan transfer dana kepada pemerintah daerah adalah:1. Sebagai tindakan nyata untuk
mengurangi ketimpangan pembagian "kue nasional", baik vertikal maupun horizontal. 2. Suatu
upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian
kewenangan di bidang pengelolaan keuangan negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat
dinikmati oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.Secara umum Dana Perimbangan merupakan
pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk
membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Dana Perimbangan juga adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan DesentralisasiNamun selama ini sumber dana pembangunan
daerah di Indonesia mencerminkan ketergantungan terhadap sumbangan dan bantuan dari
pemerintah pusat (Sumiyarti dan Imamy, 2005). Sejalan dengan itu, Elmi (2002) juga menyatakan
bahwa ketidakseimbangan fiskal (fiscal inbalance) yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah
selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuanganpemerintah daerah kepada bantuan dari
pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70 persen kecuali Propinsi DKI Jakarta.Padahal
sebenarnya bantuan dana dari pemerintah pusat tersebut hanyalah untuk rangsangan bagi daerah
agar lebih meningkatkan sumber penerimaan pendapatan asli daerahnya, yang merupakan bagian
penting dari sumber penerimaan daerah, bukan menjadikannya sebagai prioritas utama dalam
penerimaan daerah.

2. Pembagian Dana Perimbangan


a. Dana Bagi Hasil (yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)Dana Bagi Hasil
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan
meliputi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara
itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam,
pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
115 Tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang
pribadi, ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh
persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen bagian Propinsi dan 12 persen bagian
Kabupaten/Kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-
masing daerah Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, serta faktor
lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.Sementara itu, sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen,
sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga
seluruhnya sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian daerah sebesar 90 persen
tersebut, 10 persennya merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian
pemerintah pusat.
Sementara itu, bagian daerah dari penerimaan BPHTB berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004
ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya 20 persen merupakan bagian pemerintah
pusat. Dalam UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan
SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan 15 persen dan 30
persen. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan,
ditetapkan masing-masing sebesar 80 persen.

b. Dana Alokasi Umum (DAU)


Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu dana yang berasal dari APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.Pada Pasal
7 UU No. 33 Tahun 2004, besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari
penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah Propinsi dan
untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari
DAU.Dana Alokasi Umum (DAU)bersifatBlock Grantyang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.Dana Alokasi Umum terdiri
dari:a) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsib) Dana Alokasi Umum untuk Daerah
Kabupaten/Kota.
Penerapan PengalokasianBesarnya Dana Alokasi Umum diterapkan sekurang - kurangnya
25% dari penerimaan dalam negeri yang dterapkan dalam APBN. DAU ini merupakan
seluruh alokasi umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Kenaikan Dana Alokasi
Umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat
kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.Jumlah Dana Alokasi Umum bagi
semua Daerah Provinsi dan Jumlah dana Alokasi Umum bagi semua Daerah Kabupaten/Kota
masing-masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana Alokasi Umum untuk suatu
Daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah Dana Alokasi Umum untuk suatu
daerah provinsi yang ditetapkan dalam APBN dikalikan dengan rasio bobot daerah provinsi
yang bersangkutan, terhadap jumlah bobot seluruh provinsi. Porsi Daerah Provinsi ini
merupakan persentase bobot daerah provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
semua daerah provinsi di seluruh Indonesia.Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah
Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum
untuk seluruh daerah Kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.Berdasarkan tentang dana perimbangan, maka
kebutuhan wilayah otonomi daerah merupakan perkalian dari total pengeluaran daerah
rata-rata dengan penjumlahan dari indeks: penduduk, luas daerah, kemiskinan relatif dan
kenaikan harga setelah dikalikan dengan bobot masing-masing indeks.1. Indeks Penduduk
+2. Indeks Luas Wilayah +3. Indeks Kemiskinan Relatif +4. Indeks Harga.Potensi ekonomi
daerah dihitung berdasarkan perkiraan penjumlahan penerimaan daerah yang berasal dari
PAD, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak
Penghasilan dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, yang dituliskan sebagai berikut:PAD + PBB +
BPHTB + BHSDA + PPHBobot daerah adalah proporsi kebutuhan dana alokasi umum suatu
daerah dengan total kebutuhan dana alokasi umum suatu daerah.Hasil Perhitungan Dana
Alokasi Umum untuk masing-masing Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden
berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Tata Cara Penyaluran DAUHasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing
daerah ditetapkan dengan keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah.Usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah setelah mempertimbangkan
faktor penyeimbang. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk memperhitungkan
dari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran
yang akan menjadi tanggung jawab daerah. Usulan Dewan Alokasi Umum untuk masing-
masing daerah disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Penyaluran Dana
Alokasi Umum kepada masing-masing kas daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan
secara berkala.
Pelaporan Penggunaan DAUGubernur melaporkan penggunaan DAU untuk Provinsi setiap
triwulan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, paling lambat satu bulan
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Ketentuan ini juga berlaku kepada
Bupati/Walikota dengan tambahan berupa tembusan pada Gubernur selaku Wakil
Pemerintah Pusat di daerah.
DAU Dalam Masa PeralihanDalam masa peralihan dengan berlakunya PP No. 104 tahun
2000, pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan
organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke daerah. Dana Alokasi
Umum ini dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah
sepenuhnya menjadi beban daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai
pemerintah pusat yang dialihkan menjadi pegawai daerah. Dalam hal pegawai pemerintah
pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada daerah belum sepenuhnya menjadi
beban daerah, pembayaran gaji pegawai tersebut diperhitungkan dengan Dana Alokasi
Umum bagi daerah yang bersangkutan. Jangka waktu masa peralihan adalah sampai dengan
semua pegawai pemerintah pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada daerah
telah sepenuhnya menjadi beban daerah yang bersangkutan.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Pengertian dana alokasi khusus menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah dana yang berasal dari APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, termasuklah yang
berasal dari dana reboisasi. Kebutuhan khusus yang dimaksud yaitu:1. Kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dan/atau 2. Kebutuhan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional. Penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40
persen disediakan kepada daerah penghasil sebagai DAK. Dana Alokasi Khusus (DAK)digunakan
untuk membiayai investasi pengadaan dan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara
ekonomis untuk jangka panjang. Dalam keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus dapat membantu
biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak
melebihi 3 (tiga) tahun.

Bentuk Dana Alokasi KhususDana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan
usulan daerah yang berisi usulan-usulan kegiatan dan sumber-sumber pembiayaannya yang
diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bentuknya dapat berupa rencana suatu
proyek atau kegiatan tertentu atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran
tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber pembiayaannya.Bentuk
usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknik terkait. Kecuali usulan tentang
proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi. Dalam sektor/kegiatan yang
disusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan (tidak dapat
diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus alokasi umum) maka daerah perlu
membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan
tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bagian Daerah
dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya
Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang
penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh Daerah.Pengalokasian Dana Alokasi Khusus
kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Setelah memperhatikan pertimbangan Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan Instansi yang membidangi
perencanaan pembangunan nasional.

Penggunaan Dana Alokasi KhususPengalaman praktis penggunaan DAK sebagai instrumen


kebijakan misalnya:a) Pertama, dipakai dalam kebijakantrasfer fiscaluntuk mendorong suatu
kegiatan agar sungguh-sungguh dilaksanakan oleh daerah.b) Kedua, penyediaan biaya pelayanan
dasar(basic services)oleh daerah cenderung minimal atau dibawah standar. Dalam alokasi DAK
tersebut Pusat menghendaki adanyabenefit spillover effectsehingga meningkatkan standar umum.c)
Ketiga, alokasi dana melalui DAK biasanya memerlukan kontribusi dana dari daerah yang
bersangkutan, semacammatching grant.
Penyaluran Dana Alokasi KhususKetentuan tentang penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada Daerah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Khusus ini
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 655/KMK.02/2000 tanggal
27 Desember 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

3. Prinsip Dana Perimbangan


a. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian
keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis,
adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah. b.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem
Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.c. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. d.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu
sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

b. Analisis Dana Perimbangan Daerah Menurut UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Jenis Dana Perimbangan Alokasi Dana Keterangan Pemerintah Pusat Daerah dan Provinsi
Kota/Kabupaten Lain Dana Bagi HasilBersumber dari Pajak dan sumber Daya Alam
1. Bersumber dari pajak
 Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB)(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11 ayat 2
huruf a)10% dengan imbangan :a. 65% dibagikan merata ke kabupaten dan
kotab. 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang
realisasinya tahun sebelumnya mencapai rencana penerimaan sektor
tertentu(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat 3)16% disalurkan ke
rekening Kas Umum Daerah Provinsi(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12
ayat 2 huruf a)64,8% disalurkan ke rekening Kas Umum daerah Kabupaten
Kota(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat 2 huruf b)9% untuk biaya
pemungutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat 2 huruf c)Dana PBB
total 90% untuk daerah dan Pemerintah 10%(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam
pasal 12 ayat 2 dan 3)
 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB)(UU Nomor 33 Tahun
2004 pasal 11 ayat 2 huruf b)20% dibagikan dengan porsi sama besar untuk
seluruh kabupaten dan kota(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat
5)16% disalurkan ke rekening Kas Umum Daerah Provinsi(UU Nomor 33 Tahun
2004 dalam pasal 12 ayat 4 huruf a)64% disalurkan ke rekening Kas Umum
daerah Kabupaten Kota(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat 4 huruf
b)Dana total BPHTB untuk Daerah sebesar 80% dan Pemerintah 20%(UU Nomor
33 Tahun 2004 dalam pasal 12 ayat 4 dan 5)
 Pajak Penghasilan(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11 ayat 2 huruf c)80% Untuk
Pemerintah40% dari jumlah total 20%Misal : Dana PPh total Rp.200.000.000,00
maka bagian Provinsi adalah Rp.80.000.000,00(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam
pasal 13 ayat 3)60% dari jumlah total 20%Misal : Dana PPh total
Rp.200.000.000,00 maka bagian Provinsi adalah Rp.120.000.000,00(UU Nomor
33 Tahun 2004 dalam pasal 13 ayat 3)a. Dana PPh untuk Daerah adalah 20%(UU
Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 13 ayat 1)b. Penyaluran dana PPh dilakukan
secara Triwulan.(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 13 ayat 4)

2. Bersumber SDA
 Penerimaan Kehutanan(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11 ayat 3 huruf a)
a. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH)(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf a)20 %
Untuk Pemerintah(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf a)
16 % Untuk provinsi(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 15 ayat 1 huruf a)
64 % Untuk kabupaten/kota penghasil(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 15 ayat 1
huruf b)
b. Provisi Sumber Daya Hutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf a)20 % Untuk
Pemerintah(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf a)16 % Untuk Provinsi
yang bersangkutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 15 ayat 2 huruf a)32 % Untuk
kabupaten/kota penghasil(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 15 ayat 2 huruf b)32
% Di bagikan dengan porsi yang sama besar untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 15 ayat 2 huruf c)
c. Reboisasi(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf b)60 %Untuk Pemerintah(UU
Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf b)40 % Untuk kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan di kabupaten; kota penghasil(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 16 huruf
b)40 %Untuk Daerah(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 16 huruf b)60 % Bagian
Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional(UU Nomor 33
Tahun 2004 dalam pasal 16 huruf a)
 Penerimaan Pertambangan Umum(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf c)20 % Untuk
Pemerintah(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf c)80 % Untuk Daerah(UU
Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf c)
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent)(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 17 ayat 1 huruf
a)16 % Untuk provinsi yang bersangkutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 17
ayat 2 huruf a)64 % Untuk kabupaten/kota penghasil(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam
pasal 17 ayat 2 huruf b)
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty)(UU Nomor 33 Tahun 2004
pasal 17 ayat 1 huruf b)16 % Untuk provinsi yang bersangkutan(UU Nomor 33 Tahun
2004 dalam pasal 17 ayat 3 huruf a)32 % Untuk kabupaten/kota penghasil(UU Nomor
33 Tahun 2004 dalam pasal 17 ayat 3 huruf b)32 % Untuk kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 17bayat 3
huruf c)
c. Penerimaan perikanan(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf d)20 % Untuk
Pemerintah Pusat(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf d)80 % Untuk
kabupaten/kota(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf d)Penerimaan
Perikanan dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh
Indonesia(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 18 ayat 2)
d. Penerimaan Pertambangan minyak Bumi (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14huruf
e)84,5% untuk pemerintah. (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf e angka
1)3% untuk provinsi yang bersangkutan. (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 19 angka 2
huruf a)6% untuk kabupaten kota. (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 19 angka 2
huruf b)6% untukkabupaten/kota lain dalam satu provinsi tersebut dibagikan dengan
porsi yang sama besar. (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 19 angka 2 huruf c)Dana
total bagi hasil dari pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% untuk daerah. (UU
Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf e angka 2). Anggaran pendidikan dasar dari
pertambangan minyak bumi. (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 20)0,1 % untuk provinsi.
(UU Nomor 33 Tahun 2004dalam pasal 20 angka 2 huruf a)0,2 untuk
kabupaten/kota(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 20 angka 2 huruf b)0,2 untuk
kabupaten/kota lain dakam satu provinsi yang bersangkutan. (UU Nompor 33 Tahun
2004 pasal 20 angka 2 huruf c)0,5 % anggaran pendidikan dasar. (UU Nomor 33 Tahun
2004 pasal 20 angka 1
e. Penerimaan Pertambangan gas Bumi. (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf
f)69,5% untuk pemerintah. (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf f angka
1)6% untuk provinsi yang bersangkutan.(UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 19 angka 3
huruf a)12% untuk kabupaten/kota penghasil.(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal
19 angka 3 huruf b)12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan dibagikan dengan porsi yang sama besar.(UU Nomor 33 Tahun 2004
dalam pasal 19 angka 3 huruf c)Dana bagi hasil pertambangan gas bumi sebesar 30,5 %
untuk daerah. (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf f angka 2)
f. Pertambangan Panas Bumi (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf g)20% untuk
pemerintah (UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 14 huruf g)16% untuk provinsi. (UU
Nomor 33 Tahun 2004 pasal 21 angka 2 huruf a)32% kabupaten/kota. (UU Nomor 33
Tahun 2004 pasal 21angka 2 huruf b)32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam satu
provinsi yang bersangkutan. (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 21 angka 2 huruf c)80%
untuk daerah. (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 14 huruf g)
 Dana Alokasi Umum (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 27-37)Jumlah keseluruhan DAU
sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 27 angka 1)
 Dana Alokasi Khusus (UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 38-42)Besaran DAK ditetapkan setiap
tahun dalam APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus.(UU Nomor 33 Tahun 2004 dalam pasal 38 dan 39 angka 1) Ket :1. PBB adalah pajak
yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya
atau memperoleh manfaat dari padanya.2. BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan
bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan.3. Pajak penghasilan adalah pajak
yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya.
Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.4. Penerimaan
dari sektor Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH)
dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 60% untuk daerah.
Sedangkan penerimaan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar
60% untuk Pemerintah dan 40% untuk daerah.5. Dana Bagi Hasil dari penerimaan
Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan
imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.6. Dana Bagi Hasil dari penerimaan
perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah
dan 80% untuk seluruh Kabupaten dan Kota.7. Penerimaan pertambangan minyak bumi
yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan
minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu Pemerintah dan 15,5% untuk daerah.8.
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan
negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan
imbangan 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk daerah.9. Pertambangan panas bumi
yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan
negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.

3. Dilema atau Permasalahan yang TerjadiIndonesia merupakan negara yang baru dalam
menetapkan sistem desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, jadi tidak dapat kita
lari dari kenyataan akan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, berikut beberapa permasalahan yang
kerap di hadapi dalam pelaksanaan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah antara
lain :
a) Perimbangan KeuanganPelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah terkesan dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada pembimbing dalam
pergerakannya, karena masalah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah saja
masih belum menemukan titik temu di antara keduanya. Pembiayaan yang
seyogianya akan mengikuti kewenangan yang diserahkan namun di biarkan berjalan
di depan tanpa ada penuntun arah yang jelas, sehingga perhitungan DAU yang akan
dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas tentang besaran
beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah. Namun dari
keadaan tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi bidang keuangan
telah menghadapi ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun negatif. Ini
disebabkan karena adanya kessenjangan antara pusat dan daerah serta adanya
wilayah atau ruang lingkup yang tidak terbukak yang cukup luas dalam pemisahan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengaturan yang ada
hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah pusat dan provinsi,
sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada kejelasan dari
peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten dan kota adalah
kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi. Salah satu indikator
yang mungkin bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat adanya ketidak sesuaian
adalah dari proses transfer pegawai dari pusat ke daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) serta dari provinsi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini proses
pengalihan pegawa daerah provinsi menjadi pegawai daerah kabupaten/kota belum
selesai. Sementara provinsi justru telah menerima pengalihan pegawai dari
pemerintah pusat (akhir bulan maret 2001). Dipihak lain, sumber keuangan daerah
provinsi semakin berkurang namun beban pembiayaan khusunya dari beban belanja
pegawai justru mengalami peningkatan.b) Bagi HasilDalam rangka penyaluran dana
bagi hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema, walaupun secara umum dapat
dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil kepada daerah
terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
No.343 Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan
realisasi atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar
budget, maka APBN Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya
dikarenakan beberapa sektor penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target
penerimaan yang ditetapkan dan bahkan relatif sangat kecil, seperti penerimaan SDA
sektor perikanan. Sementara jika dilakuakan atas dasar realisasi, maka pelaksanaan
penyaluran dalam Triwulan IV pada bulan Desember 2001 tidak dapat dilakukan
karena tahun anggaran berkahir pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga
konsekuensi realisasi penyaluran dalam Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun
berikutnya. Jika hal ini ditempuh akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat.
Daerah sudah menetapkan bagi hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan
sebagian dari penerimaan bagi hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat
diterima dalam tahun anggaran berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan
penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang didasarkan atas dasar realisasi
penyaluran dilakukan secara periodik tiap minggu, bulanan atau triwulanan
tergantung jenis penerimaannya. Dengan mekanisme seperti itu, maka kelancaran
likuiditas keuangan daerah dapat terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus
ditanggung APBN apabila realisasi penerimaan yang menjadi hak daerah lebih kecil
dari yang telah ditetapkan, dan daerah dapat lebih menggunakan perinsip kehati-
hatian serta menjaga akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan APBD-nya.
b) Formula Dana Alokasi Umum (DAU)Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU
digunakan guna perimbangan keuangan keuangan antar daerah, dana ini digunakan
untuk menutup adanaya perbedaan yang muncul akibat kebutuhan suatu daerah
ternyata jauh dari kemampuan dana yang ada di daerah atau potensi daerah
tersebut, kemudian dalam pengaturannya daerah yang memiliki potensi keuangan
yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan
daerah yang miskin secara keuangan. Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui
memang terdapat banyak kelemahan sehingga konsep fiscal gap belum dapat
dioptimalkan dan daerah-daerah maju/kaya juga memperoleh DAU yang relatif
besar. Kondisi ini dicoba untuk diperbaiki dengan formula DAU yang lebih efektif dan
digunakan dalam perhitungan DAU tahun 2001, sehingga ada beberapa daerah yang
penerimaan DAU-nya tahun 2001 dikoreksi dan memperoleh DAU yang lebih kecil
dibandingkan tahun 2001. Adanya penurunan DAU telah menimbulkan kecaman
keras dari beberapa daerah yang mengalami penurunan tersebut dan mengharap
kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali formula dan perhitungan agar
tidak terjadi penurunan. Dalam hal ini, ada perbedaan pola pandang antara pusat dan
daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan
sebagi alat untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan
daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung
kecukupan daerah (sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika
daerah minta kepada pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan
daerah. Penurunan DAU tahun 2002 dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang
dialami beberapa daerah telah diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga
dengan pertimbangan bersifat politis telah menginstruksikan pemerintah pusat
untuk melakukan penyesuaian dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang
mengalami penurunan DAU tahun 2002 atau minimal sama dengan penerimaan DAU
tahun 2001 di tambah Dana Kontinjensi 2001. Paradigma ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan desentralisasi fiskal khususnya alokasi DAU dalam rangka perimbangan
keuangan antar daerah untuk mengatasi horizontal imbalance belum dapat
dilakukan secara optimal dan masih memerlukan tahap-tahap selanjutnya dalam
memantapkan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c) Penetapan Dana Alokasi Khusus (DAK)Dalam penetapan DAK, masih ada
keengganan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana di luar Dana Reboisasi
(DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan APBN dalam tahap awal pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK dari DR saja. Selayaknya
dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral di APBN sudah dapat
ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah beralih ke daerah
sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya masih terdapat
kegiatan-kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh anggaran sektoral,
walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
4. Isu Terkait
Buruk Rupa Perimbangan Keuangan Buruk Pula Kesejahteraan Rakyat DaerahTujuan
otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan
pelayanan publik di daerah, masih jauh dari harapan pasca satu dasawarsa diberlakukan.
Paket UU otonomi daerah pun, sudah mengalami dua kali perubahan, namun kesenjangan
fiskal antar daerah masih sangat tinggi. Hasil riset FITRA menemukan, rasio daerah
penerima transfer/kapita tertinggi besarnya 127 kali lipat dibandingkan daerah penerima
transfer/kapita terendah. Hal ini terjadi, karena prinsip money follow function belum
dilaksanakan sungguh-sungguh, yang ditandai dengan tidak sejalannya kebijakan
pemerintahan daerah, yang merupakan domain dari Kemendagri dan kebijakan
perimbangan keuangan yang merupakan domain dari Kementerian Keuangan. Terbuki,
meskipun 70% urusan telah didesentralisasikan kedaerah, namun dari sisi perimbangan
keuangan, transfer daerah jutru berbanding terbalik, tidak beranjak pada kisaran 31-34%
belanja Negara.Jenis dana perimbangan pun semakin banyak berkembang di luar yang diatur
dalam UU perimbangan dan berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya 3
jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang
menjadi 7 jenis pada tahun 2011. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana
penyesuaian infrasturktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang
praktek mafia anggaran. Bahkan terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian juga
dialokasikan pada DAK.Skema dana perimbangan saat ini, justru memberikan insentif
terhadap inefisiensi terhadap belanja pegawai dan terjadinya pemekaran daerah. Pada APBD
2011 misalnya, terdapat separuh lebih daerah (297 Kab/Kota) yang memiliki belanja
pegawai di atas 50%.DAU yang sejatinya diberikan keluasaan bagi daerah mengalokasikan
sesuai kebutuhan daerah, habis terserap untuk pegawai. Hal ini disebabkan formula DAU
yang menjadikan belanja pegawai sebagai Alokasi Dana Dasar, termasuk menanggung
belanja pegawai daerah hasil pemekaran. Pada sisi lain, besaranalokasi DAU yang
seharusnyaditerimadaerah, selalukurangdari yang dimandatkan UU, karena semakin
banyaknya factor pengurang dalam menentukan DAU. Tercatat, Rp.52,2 trilyun selisih DAU
pada tahun 2011 seharusnya diterima oleh daerah.Dana AlokasiKhusus (DAK) yang
dialokasikan untuk pencapaian prioritas nasional pada daerah tertentu, juga semakin jauh
dari tujuannya. Prioritas nasional pada DAK semakin banyak, dari 7 bidang pada tahun 2005,
berkembang menjadi 19 bidang pada tahun 2011. Pedoman DAK yang kerap terlambat,
kriteria teknis yang kerap berubah, dengan formula yang sulit, menjadikan DAK rawan
terhadap bias kepentingan dan tidak efektif penggunaannya.Sementara Dana Bagi Hasil,
tidak bisa diharapkan banyak oleh daerah, kecuali pada daerah-daerah yang bernasib baik
karena memiliki Sumber Daya Alam. Sampai saat ini, tidak ada argumentasi yang kuat
berkaitan proporsi pembagian DBH antara pusat dan daerah, dan tidak mengalami
perubahan proporsinya sejak pemberlakuan otonomi daerah.Persoalan-persoalan ini sudah
seharusnya menjadi dasar untuk perbaikan UU Perimbangan Keuangan yang berorientasi
pada pencapaian tujuan otonomi daerah itu sendiri, kesejahteraan rakyat daerah. Dari hasil
riset FITRA, beberapa perbaikan yang perlu dilakukan dalam UU ini, sebagai berikut :1. Dana
Perimbangan harus sejalan dengan urusan yang didesentralisasikan. Oleh karenanya, belanja
transfer daerah harus lebih besar, 50% dari belanja Negara. Selama ini Pemerintah
mengklaim, 60% belanja Negara direalisasikan di daerah. Sehingga tidak menjadi persoalan
jika dana dini dialihkan menjadi transfer daerah. Agar UU ini sejalan,
KemenkeudanKemendagriharusbersatu padu melahirkan produk UU ini yang terintegrasi,
termasukpembahasan di DPR, harusbersifatlintaskomisi, antaraKomisi XI danKomisi II.2.
Formula danaperimbanganharustransparan, akuntabeldansederhana. Seluruh data yang
dipergunakandalam formula dana perimbangan harus dapat diakses public, disimulasikan
dan mudah dipahami. Harus juga disediakan mekanisme komplain apabila dana
perimbangan yang dikucurkan tidak sesuai diterima.3. Dana perimbangan harus mendorong
terjadinya efisiensi dan efektifitas alokasi anggaran untuk pelayanan public yang optimal.
Oleh karena itu, dana perimbangan harus menghilangkan insentif terhadap pembengkakan
belanja pegawai dan memberikan isentif terhadap daerah yang berhasil mencapai Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Komponen alokasi dana dasar sebagai dengan perhitungan
belanja pegawai pada DAU harus dihapuskan, dan formula harus berdasarkan Unit Cost
untuk pencapaian SPM. Dana Perimbangan juga harus bersifat closing list,dengan tidak
membolehkan adanya jenis dana perimbangan lain, selain yang diatur dalam UU.4. Tujuan
dana perimbangan tidakhanya untuk mengurangi ketimpanga nfiskal secara vertical dan
horizontal antar daerah, namun juga ketimpangan transfer daerah per kapita antar daerah
tersebut

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Dilema dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak terdapat
kejelasan mengenai ketentuan mengenai dimana posisi masing-masing di antara keduanya,
karena pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya sebagai suatu keharusan
dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang mulia terutama bagi pemerintah
pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan terhadap pemerintah kabupaten dan
kota, sedangkan seharusnya kewenangan kabupaten dan kota merupakan kewenangan yang
bebas dari kewenangan pusat dan provisi. Kemudian dalam penetapan DAU seharusnya kita
tidak hanya menyalahkan pemerintah saja karen penurunan DAU yang di berikan
pemerintah, karena DAU yang di turunkan ke setiap daerah itu setelah melalui pertimbangan
mengenai potensi yang ada di daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar namun SDM
dan kuranganya pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana tersebut akan
ditarik kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar di pusat
yang kemudian akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sewajanya menggunakan dana
tersebut yang menyebabkan adanya korupsi. Namun ini semua juga tidak dapat kita
menyalahkan siapapun, karena kita tahu bahwa proses desentralisasi fiskal ini masih baru di
negara kita jadi kita masih dalam masa proses perbaikan dari masa sentralisasi menjadi
desentralisasi murni, namun kita harus trus bersabar dan bersama-sama melakukan
perubahan yang mendasar yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi
pemerintahan yang lebih dalam lagi.
2. Saran
Kiranya baik pemerintah pusat maupun daerah mengkaji ulang mengenai masalah
pemisahan kewenangan pembagian dana perimbangan2. Baik pemerintah pusat dan
provinsi kiranya memeberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota sebagai
mana mestinya3. Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan SDM dan SDA daerah
dan dapat membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai