Anda di halaman 1dari 16

1.

Konsep Perimbangan dan Keuangan Pusat dan Daerah

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan
kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda dapat diartikan sebagai
subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah Pusat
dan Pemda. Penyelenggaraan urusan Pemda dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai
oleh APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam
rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai oleh APBN.

Sedangkan penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur


dalam rangka Tugas Pembantuan didanai oleh APBN.

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri atas :

1.Dana Bagi Hasil :

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

 Bersumber dari pajak : PBB, BPHTB, PPh.


 Sumber Daya Alam : kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas
bumi.

2.Dana Alokasi Umum : jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya


26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.

3.Dana Alokasi Khusus : besarnya DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

1. Prinsip Kebijakan Perimbangan Keuangan


 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
 Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
keseimbangan fiskal.
 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
 PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai
perwujudan Desentralisasi.
 Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
 Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah.

2. Sumber Penerimaan Daerah


Pada dasarnya metode yang dipakai dalam menggali sumber-sumber pendapatan
daerah mempunyai kesamaaan dengan metode yang dipakai menggali sumber-sumber pusat.
Penerimaan daerah seperti yang disampaikan di atas bersumber dari pendapatan asli daerah
(PAD), dana perimbangan, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana
reboisasi, dan lain-lain pendapatan yang sah yaitu hibah serta dana darurat.

Sejalan dengan adanya pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke


daerah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang. No.
25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, terjadi perubahan dalam sumber
pendapatan daerah, yakni dengan dimasukkannya komponen dana perimbangan dalam
struktur APBD.

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan merupakan
bentuk pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah pusat di era otonomi daerah.

Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun di daerah harus


disertai dengan sejumlah pendanaan untuk penyelenggaraannya. Oleh karena itu, agar tidak
terjadi tumpang tindih dalam dalam pembagian urusan pemerintahan dan mengantisipasi
ketersediaan dana pada penyelenggaraan pemerintahan ini, maka harus diatur pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan efisien diantara Pemerintah Pusat dan
daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah sebagaimana tercantum dalam
UU No.33 Tahun 2004, dimaksudkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
mencakup tiga hal, yaitu:

1. Perimbangan keuangan subsistem pembagian wewenang (Money follow functions).

2. Desentralisasi fiskal memperhatikan stabilitas dan keseimbangan.

3. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan (medebewind).

Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan pusat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan


Belanja Negara (APBN), dimana dari APBN ini akan dialokasikan oleh Pemerintah Pusat
pada belanja untuk daerah guna mendanai kegiatan desentralisasi serta belanja pusat di
daerah guna mendanai kegiatan dekonsentrasi terkait dengan kewenangan pusat yang
didekonsentrasikan kepada gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau
desa dalam rangka tugas pembantuan yang melaksanakan di luar enam urusan Pemerintah
Pusat, serta dana instansi vertikal yang melaksanakan dalam enam urusan Pemerintah Pusat.
Belanja untuk daerah sebagai realisasi dari desentralisasi ini berupa Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikenal dengan istilah
dana perimbangan serta Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) juga Dana Penyesuaian.

Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan


Belanja Daerah (APBD), dimana penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi ini
terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Dalam UU No 33 Tahun 2004, penerimaan
daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah bersumber dari:

1. Pendapatan asli daerah

2. Dana perimbangan

3. Pendapatan lain-lain

Sementara itu, pembiayaan daerah bersumber dari:

1. Sisa lebih perhitungan anggaran

2. Penerimaan pinjaman daerah

3. Dana cadangan daerah

4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan

Pendapatan asli daerah (PAD) bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah


Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi. PAD ini bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan PAD lain-lain yang syah. Dana perimbangan
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada
daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal PAD, dana perimbangan dan
pinjaman daerah. berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005
Dana perimbangan seperti dikemukakan di atas terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus.

Dana bagi hasil terdiri dari:


1. Dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

2. Dana bagi hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

3. Dana bagi hasil PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21

4. Dana bagi hasil dari penerimaan sumber daya alam

Dana bagi hasil yang termasuk dalam PBB ini yaitu meliputi PBB perkebunan, kehutanan,
dan pertambangan yang masih sebagai pajak pusat yang mengutamakannya bisa melibatkan
Pemerintah Daerah. Sementara itu dengan berlakunya UU No 28 Tahun 2009, sektor PBB
perkotaan dan pedesaan sudah menjadi pajak daerah. Penerimaan negara dari PBB dibagi
dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk daerah . Alokasi 90% daerah
tersebut kemudian dialokasikan 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan, 64,8%
untuk kabupaten/ kota yang bersangkutan dan 9% untuk biaya pemungutan. Alokasi DBH
Pemerintah Pusat dialokasikan 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan
kota dimana pembagian ini dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah, 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/ atau kota yang realisasi
penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/
melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan sebelum PBB sektor perdesaan dan
perkotaan ini menjadi pajak daerah.

Dana bagi hasil BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan yang dapat terjadi karena pemindahan hak, dan pemberian hak baru. Proporsi
antara Pemerintah Pusat dan daerah adalah 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk
daerah. Pemerintah Daerah mengalokasikan dari 80 % tersebut, 16% untuk provinsi dan 64%
untuk kabupaten/ kota.

Dana Bagi Hasil pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah pajak penghasilan
yang terutang oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan pasal 25
dan pasal 29 UU No.7 Tahun 1983, dan terakhir diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000,
kecuali atas`pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat 8. Selanjutnya PPh
pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan yang
dibayarkan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 17 tahun
2000. Pajak –pajak ini akan menjadi pajak pusat yang kemudian akan dibagihasilkan dengan
daerah dengan proporsi Pemerintah Pusat 80% dan Pemerintah Daerah 20% (tempat wajib
pajak terdaftar). 20% dari bagian ini yang kemudian oleh Pemerintah Daerah dialokasikan
kembali 8% untuk daerah provinsi, 12% untuk daerah kabupaten/ kota. Bagian 12% ini
kemudian dialokasikan dengan proporsi 8,4% untuk kabupaten/ kota tempat wajib pajak
terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan
bagian yang sama besar.

Dana bagi hasil sumber daya alam adalah bagian daerah yang bersumber dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi. Sumber DBH kehutanan adalah Iuran Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). Proporsi
DBH kehutanan adalah Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber daya hutan (PSDH) yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan
80% untuk daerah. Sedangkan penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi dibagi
dengan imbangan 60% untuk pemerintah dan 40% untuk daerah. DBH kehutanan 80 % yang
berasal dari IIUPH dibagikan kembali 16 % untuk provinsi dan 64% untuk kabupaten/kota
penghasil. Kemudian 80% dari yang bersumber dari PSDH dialokasikan dengan proporsi
16% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/ kota penghasil, 32% untuk kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH ini selanjutnya dibagikan dengan porsi sama
besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH yang
bersumber dari dana reboisasi Sebesar 40% dibagi kepada kabupaten/ kota penghasil untuk
mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Dana bagi hasil pertambangan Umum bersumber dari iuran tetap (land rent) serta Iuran
Eksplorasi dan Iuran eksploitasi. DBH sumber daya alam pertambangan umum dibagi dengan
imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk daerah. Selanjutnya dari 80% yang
bersumber dari iuran tetap yang berasal dari wilayah kabupaten/kota ini dibagikan 16% untuk
provinsi dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Sedangkan 80 % yang bersumber dari
iuran eksploitasi dan eksplorasi wilayah kabupaten/kota dibagikan dengan proporsi 16%
untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi sama besar untuk seluruh
kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi tersebut. DBH Pertambangan Umum dari Iuran Tetap
yang berasal dari wilayah provinsi (80%) seluruhnya dialokasikan untuk provinsi. Sementara
DBH pertambangan umum yang berasal dari iuran eksploitasi dari iuran eksplorasi yang
berasal dari wilayah provinsi (80%) dibagikan dengan proporsi 26% untuk provinsi, 54%
untuk kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi tersebut, yang kemudian dibagikan dengan
porsi sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut.

Dana bagi hasil sumber daya perikanan berasal dari pungutan hasil perikanan yang dikenakan
kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai
dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh. Pembagian proporsinya adalah 20%
untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk daerah yang kemudian dibagikan dengan porsi yang
sama besar untuk seluruh kabupaten/ kota.

Dana bagi hasil sumber daya alam dari pertambangan minyak bumi adalah penerimaan
pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah suatu daerah setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan undang-undang, yang kemudian
dibagikan dengan imbangan 84,5% untuk Pemerintah Pusat dan 15,5% untuk daerah. 15 %
dari pertambangan minyak bumi wilayah kabupaten/kota dibagikan kembali 3% dibagikan
untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 6% untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut yang dibagikan dengan porsi sama besar
untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Sementara 0,5% dari
pertambangan minyak bumi wilayah kabupaten/kota ini dialokasikan kembali 0,1% dibagikan
untuk provinsi, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 0,2% untuk kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi tersebut yang dibagikan dengan porsi sama besar untuk seluruh
kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi tersebut. Dana bagi hasil pertambangan minyak bumi
wilayah provinsi (15%) dialokasikan dengan imbangan 5% dibagikan untuk provinsi tersebut,
10% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan
porsi sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan 0,5% dari pertambangan minyak bumi wilayah provinsi dialokasikan kembali
yaitu 0,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,33% untuk kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi sama besar untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Kemudian DBH untuk pertambangan gas bumi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah
Pusat dan 30,5% untuk daerah. 30% dari pertambangan gas bumi wilayah kabupaten/kota,
6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12% dibagikan untuk kabupaten/kota
penghasil, 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang
dibagikan dengan porsi sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan. 0,5% dari wilayah kabupaten/kota dialokasikan kembali 0,1 % dibagikan
untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 0,2%
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi
sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Porsi 30
% dari wilayah provinsi 10% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 20% untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi sama
besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Sementara itu
dari 0,5% wilayah provinsi, 0,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,33% untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi sama
besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan panas bumi dibagi dengan proporsi 20%
untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk daerah yang kemudian oleh daerah dialokasikan
kembali 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, 32%
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan yang dibagikan dengan porsi
sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Selain Dana bagi hasil yang dikemukakan di atas, dana perimbangan mencakup pula dana
alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). DAU ini sumbernya dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada provinsi serta kabupaten/kota dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU antara
provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya, proporsi DAU antara
DAU provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.

Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk
mendapatkan alokasi DAK, dimana DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai
kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di bidang
pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, air bersih), kelautan dan perikanan,
pertanian, prasarana pemerintahan daerah, serta lingkungan hidup. Tujuannya adalah untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan
pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan
prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk
sarana fisik penunjang. Penentuan daerahnya berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis.

3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan pemerintah
daerah selama satu tahun yang ditetapkan oleh peraturan daerah. APBD dapat dijadikan
sebagai sarana komunikasi pemerintah daerah kepada masyarakatnya mengenai prioritas
pengalokasian yang dilakukan oleh pemerintah daerah setelah berkoordinasi dengan pihak
legislatif, DPRD.

APBD terdiri dari tiga komponen utama yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan
pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD), pos
Dana Perimbangan, dan pos LainLain Pendapatan Daerah yang Sah. Di dalam pos PAD ada
komponen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan sumber pendapatan utama
dari pemerintah daerah itu sendiri yang diperoleh dari wajib pajaknya. Selanjutnya untuk
Dana Perimbangan merupakan dana yang diperoleh pemerintah daerah dari pemerintah pusat
sebagai perwujudan dari pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain sumber pendapatan yang
diperoleh dari daerah tersebut dan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memperoleh
pendapatan dari daerah lain yang berupa komponen Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan
pemda lainnya yang ada di dalam pos Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah.

Komponen belanja daerah merupakan perwujudan pemerintah daerah dalam mengeluarkan


uangnya untuk pelayanan publik. Terdapat empat pos utama di dalam belanja daerah yaitu
pos Belanja Pegawai, pos Belanja Barang dan Jasa, pos Belanja Modal, dan pos Belanja
lainnya. Melalui belanja daerah ini diperoleh informasi prioritas belanja yang dilakukan oleh
pemerintah daerah yang dapat berdampak pada kesejahteraan warganya. Dalam APBD,
Pemda dapat merencanakan defisit atau surplus APBD. Pada kenyataannya, di dalam
dokumen APBD seringkali terjadi defisit daerah. Defisit daerah dapat ditutup dengan
pembiayaan daerah. Pembiayaan daerah terdiri dari dua pos yaitu penerimaan pembiayaan
dan pengeluaran pembiayaan. Pemerintah daerah memiliki kecenderungan untuk menutup
defisit daerah dari Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Anggaran sebelumnya
atau dengan melakukan pinjaman daerah atau obligasi daerah yang berada di pos penerimaan
pembiayaan. Pos pengeluaran pembiayaan juga memiliki dua komponen utama yang banyak
digunakan oleh pemda yaitu penyertaan modal (investasi daerah) dan pembayaran pokok
utang.
3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah

Komposisi Pendapatan Daerah

Komposisi pendapatan daerah pada APBD secara nasional dibagi menjadi 3 (tiga) bagian
utama yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan
Daerah yang Sah. Dana Perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu
sebesar 66,1 persen atau 664,5 triliun rupiah dari total pendapatan daerah sebesar 1.005,2
triliun rupiah.

Rasio Kemandirian Daerah

Rasio kemandirian daerah menggambarkan tingkat kemandirian suatu daerah terhadap


bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah lain. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin
besar angka rasio PAD maka semakin tinggi kemandirian daerah tersebut. Sebaliknya,
semakin kecil angka rasio PAD maka semakin rendah kemandirian daerah tersebut. Rasio
kemandirian daerah nasional sebesar 24,2 persen. Wilayah yang memiliki rasio kemandirian
daerah di atas rasio kemandirian nasional adalah wilayah Jawa dengan persentase sebesar
34,8 persen, sedangkan sisanya berada di bawah rasio nasional, dengan wilayah Papua
memiliki rasio terkecil sebesar 6,0%.
3.2. Gambaran Umum Belanja Daerah

Komposisi Belanja Daerah

Komposisi belanja daerah pada APBD secara nasional dibagi ke dalam 4 (empat) bagian
utama yaitu Belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa dan belanja lainnya.
Total Belanja APBD tahun 2017 adalah sebesar 1.052,6 triliun rupiah dengan proporsi
terbesar adalah belanja pegawai sebesar 38,5 persen, disusul belanja barang dan jasa sebesar
22,2 persen, kemudian belanja modal sebesar 21,1 persen, dan terakhir belanja lainnya
sebesar 18,2 persen.

Rasio Belanja Pegawai


Rasio belanja pegawai digunakan untuk mengukur porsi belanja pegawai terhadap total
belanja daerah. Semakin membaiknya kualitas belanja daerah dapat dilihat dari semakin
menurunnya porsi belanja pegawai dalam APBD. Semakin sedikit porsi belanja APBD yang
digunakan untuk belanja aparatur maka APBD dapat dioptimalkan untuk mendukung jenis
belanja lain yang lebih terkait dengan pelayanan publik seperti belanja modal untuk
pembangunan fasilitas masyarakat atau untuk mendukung belanja yang efektif mendorong
roda perekonomian daerah seperti peningkatan konektivitas dengan pembangunan jalan dan
jembatan baru. Rasio belanja pegawai secara nasional adalah 38,5 persen. Berdasarkan
wilayah Sulawesi merupakan wilayah dengan porsi belanja pegawai tertinggi yakni mencapai
39,5 persen dari keseluruhan belanja daerah. Adapun porsi belanja pegawai terendah adalah
Maluku-Papua yang hanya sebesar 27,2 persen.

Rasio Belanja Barang dan Jasa

Rasio belanja barang dan jasa digunakan untuk mengukur porsi belanja barang dan jasa
terhadap total belanja daerah. Belanja barang dan jasa merupakan jenis belanja yang
digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang memiliki masa manfaat kurang dari 12 (dua
belas) bulan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah, contohnya
pembelian barang pakai habis, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung. Rasio belanja
barang dan jasa secara nasional adalah 22,2 persen. Berdasarkan wilayah, Maluku-Papua
merupakan wilayah dengan porsi belanja barang dan jasa tertinggi yakni mencapai 24,2
persen dari keseluruhan belanja daerah. Adapun porsi belanja barang dan jasa terendah
adalah Sulawesi yang hanya sebesar 20,4 persen.

Rasio Belanja Modal

Rasio belanja modal digunakan untuk mengukur porsi belanja modal yang dibelanjakan
terhadap total belanja daerah dalam rangka pemberian layanan kepada masyarakat. Belanja
modal merupakan jenis belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua
belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, contohnya pembelian tanah,
pembangunan gedung, dan peningkatan jalan. Salah satu sumber belanja modal adalah dari
Dana Transfer Umum (DAU&DBH). Guna mempercepat pelayanan publik, mulai tahun
2017 pemerintah daerah harus mengalokasikan penggunaan 25 persen dari DTU untuk
belanja infrastruktur pelayanan publik, yang merupakan bagian dari belanja modal. Rasio
belanja modal secara nasional adalah 21,1 persen. Berdasarkan wilayah, Kalimantan
merupakan wilayah dengan porsi belanja modal tertinggi yakni mencapai 23,3 persen dari
keseluruhan belanja daerah. Adapun porsi belanja modal terendah adalah Jawa yang hanya
sebesar 20,4 persen.
3.3. Gambaran Umum Surplus/Defisit & Pembiayaan

Surplus/Defisit

Defisit daerah merupakan selisih kurang pendapatan daerah dengan belanja daerah. Defisit
daerah ditutup oleh pembiayaan daerah yang meliputi Penggunaan SILPA, Pinjaman Daerah,
Penggunaan Dana Cadangan, Penggunaan Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan, Penerimaan Kembali Penerimaan Pinjaman. Defisit Tahun 2017 sebesar 47,4
triliun rupiah lebih kecil 13 triliun rupiah dibanding defisit APBD tahun 2016 sebesar 60,7
triliun rupiah.

Daerah dalam penyusunan anggaran cenderung Defisit, dari 542 dari propinsi/kabupaten/kota
sebanyak 84,9 persen (460 daerah) APBD defisit, 13,1 persen (71 daerah) surplus dan hanya
2,0 persen (11 daerah) yang menyusun anggaran berimbang

Pembiayaan Daerah
Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang berjalan maupun
pada tahun anggaran berikutnya.

 Sumber penerimaan pembiayaan daerah terbesar berasal dari SILPA tahun


sebelumnya yaitu mencapai 85,3 persen, sehingga walaupun angka defisit daerah
terlihat besar, namun tidak mengindikasikan bahwa risiko fiskal daerah juga besar.
 Porsi terbesar untuk pengeluaran pembiayaan adalah untuk penyertaan modal
(investasi) pemerintah daerah yaitu mencapai 68,4 persen

Rasio SiLPA Tahun Sebelumnya Terhadap Penerimaan Pembiayaan

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya yang dimaksud disini adalah
selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran pada periode tahun sebelumnya,
sedangkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun Berkenaan adalah selisih antara
surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto di tahun berkenaan. Adapun faktor yang
mendorong terjadinya SiLPA antara lain pelampauan target pendapatan daerah dan
penyerapan belanja daerah yang kurang optimal. Nilai SiLPA pada tahun sebelumnya akan
digunakan dalam APBD tahun berjalan sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan
terbesar dalam rangka menutup defisit daerah.

Rasio Pinjaman Daerah Terhadap Penerimaan Pembiayaan

Secara umum, pinjaman daerah dan obligasi daerah belum menjadi sumber utama dalam
pembiayaan daerah, dimana jumlah daerah yang menganggarkan penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah hanya mencapai 66 daerah atau 12 persen dari total pemerintah daerah.

Rasio Penyertaan Modal (investasi) Pemerintah Daerah Terhadap Pengeluaran


Pembiayaan

Pengeluaran pembiayaan digunakan untuk Pembentukan dana cadangan, penyertaan modal


(investasi) pemerintah daerah), pembayaran pokok utang, pemberian pinjaman daerah,
pembayaran kegiatan lanjutan, pengeluaran perhitungan pihak ketiga.

Secara agregat nasional pengeluaran pembiayaan sebesar 68,4 persen digunakan untuk
penyertaan modal, dan pengeluaran kedua terbesar adalah untuk pembayaran pokok utang
sebesar 21,0 persen, dan pengeluaran ketiga terbesar adalah pembentukan dana cadangan
sebesar 5,7 persen.

Rasio Pembayaran Pokok Utang Terhadap Pengeluaran Pembiayaan


Rata-rata pembayaran pokok utang APBD propinsi 48,4 miliar rupiah, propinsi terbesar Prov
Sumatera Selatan sebesar 1,37 triliun rupiah. Rata-rata pembayaran pokok utang APBD
Kabupaten 3,0 miliar rupiah, kabupaten terbesar Kab. puncak sebesar 100,0 miliar rupiah.
Rata-rata pembayaran pokok utang APBD Kota 5,3 miliar rupiah, kota terbesar Kota Bandar
Lampung sebesar 166,0 miliar rupiah.
Daftar Pustaka

https://djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2019/06/Ringkasan-APBD-TA-2017.pdf

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40770/uu-no-33-tahun-2004

https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/APBN%20dan%20APBD-BB/
Topik-9.html

https://repository.unikom.ac.id/30676/1/1-jipsi-unikom.pdf

http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Perimbangan-Keu-Pusat-dan-Daerah.pdf

https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2004/33TAHUN2004UUPenjel.htm

https://djpk.kemenkeu.go.id/?p=353

https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/34.pdf

Anda mungkin juga menyukai