Anda di halaman 1dari 6

1.

Pembiayaan Daerah adalah transaksi keuangan untuk menutup defisit anggaran atau untuk
memanfaatkan surplus. Defisit atau surplus terjadi apabila ada selisih antara anggaran
pendapatan daerah dan belanja daerah. Pembiayaan disediakan untuk menganggarkan setiap
pengeluaran yang akan diterima kembali dan/atau penerimaan yang perlu dibayar kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Dalam
penganggarannnya, Pembiayaan Daerah dibagi dalam 2 bagian yaitu Penerimaan Pembiayaan
Daerah dan Pengeluaran Pembiayaan Daerah.
Adapun sumber pembiayaan daerah
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah
SILPA adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yaitu selisih antara defisit anggaran
dengan pembiayaan netto. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 27 pasal 1
tahun 2014, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SILPA adalah
selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi
dalam satu periode pelaporan. Banyak faktor seperti periode tahun ajaran pendidikan
yang tidak sama dengan periode tahun anggaran, siklus bisnis dan perpajakan yang
berbeda dengan puncak-puncak belanja di hari besar keagamaan atau akhir tahun
anggaran membuat adanya selisih lebih (surplus) dan kurang (defisit) pada transaksi
berjalan

b. Penerimaan Pinjaman Daerah


Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011 pada prinsipnya
diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif
sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah
daerah dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat pinjaman memiliki
berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, risiko
pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas dan rambu-rambu pinjaman daerah.
Pinjaman Daerah bersumber dari:
1) Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah,
penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
2) Pemerintah Daerah lain;
3) Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai
tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan
hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan
5) Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum
kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.

c. Dana Cadangan Daerah


Bahwa berdasarkan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2005 dan Pasal 122 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa pembentukan dana cadangan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Yang dimaksud dengan Dana Cadangan Daerah adalah dana yang disisihkan untuk
menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif cukup besar yang tidak dapat
dibebankan dalam satu tahun anggaran. Data Dana Cadangan Daerah diperlukan
sementara Pemerintah Daerah belum mampu menyajikan Neraca Daerah.

d. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

2. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menetapkan dan mengatur pembagian kewenangan dan pembagian keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan. Keuangan Daerah, bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tertib,
efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab sesuai dengan azas kepatutan dan
rasa keadilan. Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan
amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberi keluasaan kepada
pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi utamanya melayani masyarakat melalui
pelimpahan kewenangan yang meliputi aspek politik, administrative maupun aspek fiskal.
Adapun sumber pendapatan daerah:
a. Pendapatan Asli Daerah
Arah kebijakan dalam upaya mengelola Pendapatan Asli Daerah, adalah sebagai berikut:
1) Mengoptimalkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah dengan pola Intensifikasi
melalui pembenahan manajemen data penerimaan PAD, meningkatkan
penerimaan pendapatan non konvensional, melakukan evaluasi dan revisi
secara berkala Peraturan Daerah tentang pajak dan retribusi daerah yang perlu
disesuaikan, menetapkan target penerimaan berdasarkan potensi penerimaan,
mengembangkan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah secara
professional.
2) Menetapkan sumber pendapatan daerah unggulan yang bersifat elastis
terhadap basis pungutannya dan proaktif terhadap perekonomian daerah.
3) Pemantapan kelembagaan dan sistem operasional pemungutan pendapatan
daerah.
4) Peningkatan pendapatan daerah dengan ekstensifikasi melalui pengembangan
dan penggalian sumber-sumber PAD yang potensial.
5) Meningkatkan koordinasi secara sinergis dibidang pendapatan daerah dengan
pemerintah pusat dan provinsi, SKPD penghasil PAD di wilayah Kabupaten
Lombok Barat.
6) Mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah untuk memberikan
kontribusi secara signifikan terhadap pendapatan daerah.
7) Meningkatkan pelayanan dan perlindungan masyarakat sebagai upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi daerah.
8) Meningkatkan kualitas pengelolaan asset dan keuangan daerah.

b. Dana Perimbangan
Dalam desentralisasi fiskal, Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke anggaran Pemerintah Daerah.
Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAU). Dari sudut pandang Pemerintah Pusat Dana Perimbangan
bertujuan untuk meminimalkan ketidak setaraan horizontal, meningkatkan layanan
publik, dan meningkatkan efisiensi kegiatan pemerintah. Namun demikian, dari sudut
pandang Pemerintah Daerah, hal paling penting adalah menerima dana yang cukup dari
Dana Perimbangan.
Arah kebijakan dalam upaya mengelola dana Perimbangan, adalah sebagai berikut:
1) Mengoptimalkan pemungutan PBB dan pajak – pajak lainnya.
2) Meningkatkan akurasi data sebagai dasar perhitungan untuk mendapatkan dana
perimbangan.
3) Meningkatkan koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.

c. Lain – Lain Pendapatan Daerah Yang Sah


Arah kebijakan dalam upaya mengelola pendapatan yang berasal dari Lain – Lain
Pendapatan Yang Sah, adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan akurasi data sumberdaya alam sebagai dasar perhitungan untuk
mendapatkan dana perimbangan.
2) Meningkatkaan koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi

Menurut saya pada setiap daerah tentunya memiliki sumber daya yang digunakan untuk
menghasilkan pendapatan atau income. Pendapatan tersebut nantinya digunakan untuk
menjalankan perekonomian, income itu biasa disebut dengan pendapatan daerah atau PAD
(Pendapatan Asli Daerah).

Tujuan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pendanaan
kepada otonominya sesuai dengan potensi sebagai wujud desentralisasi, tidak mengherankan
pendapatan daerah berasal dari beberapa sumber. Karenanya, sebagai sumber penerimaan
daerah tentunya PAD akan mencerminkan dari tingkat kemandirian daerah tersebut.

3. Dalam penyerapan anggaran tersebut, penganggaran berbasis kinerja memperhatikan value for
money. Orientasi logis terletak pada pencapaian hasil melalui perencanaan rasional untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi. Sehingga penganggaran berbasis kinerja erat kaitannya
dengan proses perencanaan yang dibuat oleh organisasi. Tahap pertama adalah perencanaan
dan penganggaran daerah. Perencanaan dan penganggaran daerah merupakan cermin dari
efektifitas pengelolaan keuangan daerah yang baik untuk menunjang keberhasilan desentralisasi
fiskal.
Adapun mekanismenya pada tahap pertama adalah perencanaan dan penganggaran daerah.
Perencanaan dan penganggaran daerah merupakan cermin dari
efektifitas pengelolaan keuangan daerah yang baik untuk menunjang keberhasilan desentralisasi
fiskal.

Proses perencanaan dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dengan
memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. RPJPD merupakan suatu
dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang
digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) untuk setiap jangka waktu 5 (lima) tahun.
Setelah RPJMD ditetapkan, pemerintah daerah menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang
mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.

Kepala daerah berdasarkan RKPD menyusun rancangan kebijakan umum APBD. Rancangan
kebijakan Umum APBD yang telah dibahas kepala daerah bersama DPRD, selanjutnya
disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA). Berdasarkan kebijakan umum APBD yang
telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon
anggaran sementara (PPAS) yang disampaikan oleh kepala daerah. Kemudian Kepala daerah
menerbitkan pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD sebagai pedoman
kepala SKPD menyusun RKA-SKPD berdasarkan nota kesepakatan.

Setelah RKA-SKPD dibuat, selanjutnya adalah menyusun rencana peraturan daerah tentang
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Rencana peraturan
tersebut akan dievaluasi kemudian ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah
tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

4. Beberapa masalah yang mengemuka dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara antara lain adalah:
a) Kesejahteraan rakyat seringkali tidak tergambar dalam pengelolaan keuangan negara yang
terwujud dalam APBN dan keuangan daerah yang terwujud dalam APBD. Postur APBN dan
APBD sebagai pengejawantahan UU KN tergerus pada biaya pegawai dan belanja barang
(biaya rutin pemerintah) dan kurang mencerminkan pada pembangunan kesejahteraan
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
b) Pinjaman sebagai instrumen pembiayaan untuk menutup defisit APBN belum diatur secara
detail dalam dalam UU KN maupun pendelegasian kewenangannya.
c) Tidak jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan dana pihak ketiga/perwalian (trustee
fund) oleh negara, seperti dana haji, dana abadi umat.
d) Belum sinerginya antara perencanaan dan penganggaran. Satu sisi UU KN mengamanatkan
penyusunan APBN berdasarkan rencana kerja pemerintah (disusun kementerian
perencanaan), disisi lain RKA K/L sebagai embrio penyusunan RAPBN berdasarkan pada
pokok-pokok kebijakan fiskal dan ekonomi makro (disusun Kementerian Keuangan). Dengan
tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran, dalam penyusunan RAPBN lebih
mengutamakan 3 kepentingan ego sektoral, bahkan penyusunan anggaran seringkali bukan
karena berdasarkan pada kinerja tahun sebelumnya ataupun pada perencaaan
pembangunan, namun hanya merepitisi program dan kegiatan tahun sebelumnya dan
mengabaikan mekanisne perencaan yang disusun dari bawah. Demikian juga dengan proses
perencanaan dan penganggaran yang ada di daerah, keduanya belum bersinergi dalam satu
sistem perencanaan dan penganggaran.
e) Terdapat pengaturan yang tidak sinkron antara UU tentang KN yang menempatkan
kekayaan negara yang dipisahkan sebagai salah satu obyek keuangan negara dan dikelola
sebagaimana keuangan publik sehingga harus diperiksa oleh auditor negara, sementara di
lain pihak pengaturan mengenai BUMN telah secara detail dalam UU tentang BUMN dan UU
tentang Perseroan Terbatas untuk dikelola secara profesional sesuai dengan prinsip tata
kelola korporasi. Hal ini berimplikasi pada konsekuensi hukum terhadap pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan tersebut.
f) Tidak jelasnya aturan dana transfer ke daerah di luar dana perimbangan dan dana otonomi
khusus (seperti dana DPID), alokasi penggunaannya dan mekanisme
pertanggungjawabannya.
g) Belum optimalnya pelaksanaan mekanisme check and balances dalam pembahasan RAPBN
(dikaitkan dengan waktu yang diberikan untuk melakukan pembahasan yang relatif singkat
terutama pada saat pembahasan APBN-P)
h) Belum adanya ketentuan terkait optimalisasi dewan dalam melakukan pengawasan
penggunaan anggaran tahun berjalan dan wujud penggunaan hak budget DPR. Terkait
dengan hak budget dan hak pengawasan, laporan semester sebagai dasar pengajuan APBN-
P dan prognosis untuk semester berikutnya belum bisa dijadikan alat pengawasan dewan
untuk mengevaluasi penggunaan anggaran tahun berjalan dan menjadi dasar bagi
persetujuan APBN-P. Selain itu, hak budgeting DPR juga belum dapat dilaksanakan dengan
baik terutama pada saat membahas mengenai defisit negara yang ditutup dengan utang
(jumlah utang, jangka pengembalian, bunga, dll).
i) Tidak konsistennya penyusunan anggaran yang berbasis kinerja tapi pada saat
petanggungjawaban hanya berbasis pada laporan keuangan saja.
j) Belum terlaksananya pengakuan dan pengukuran anggaran dan belanja berbasis akrual

5. Konsep Debit dan Kredit Suatu transaksi yang berakibat bertambahnya aset akan dicatat pada
sisi Debit, sedangkan yang berakibat berkurangnya aset akan dicatat pada sisi Kredit. Hal yang
sama dilakukan untuk belanja dan pengeluaran pembiayaan karena memiliki kesamaan sifat
dengan asset dalam konsep debit/kreditnya. Hal yang sebaliknya dilakukan untuk kewajiban,
ekuitas dana, dan pendapatan. Apabila suatu transaksi mengakibatkan bertambahnya
kewajiban, maka pencatatan akan dilakukan pada sisi Kredit, jika mengakibatkan berkurangnya
kewajiban, pencatatan dilakukan pada sisi Debit. Hal serupa dilakukan untuk ekuitas dana,
pendapatan, dan penerimaan pembiayaan karena memiliki kesamaan sifat dengan aset dalam
konsep debit/kreditnya.
Persamaan dasar akuntansi daerah menunjukkan hubungan antara Aset di satu sisi dengan
kewajiban dan ekuitas dana pada sisi lain yang dinyatakan sebagai berikut:

ASET = KEWAJIBAN + EKUITAS DANA


 Aset sebagai sumber daya ekonomis yang dimiliki dan atau dikuasai dan dapat diukur
dengan satuan uang.
 Kewajiban dapat diartikan sebagai utang pihak ketiga sebagai akibat transaksi keuangan
masa lalu. Dalam persamaan akuntansi menunjukkan bahwa bertambahnya kewajiban
dapat menyebabkan bertambahnya aset dan atau berkurangnya ekuitas dana. Demikian
pula sebaliknya, berkurangnya kewajiban dapat menyebabkan berkurangnya aset
dan/atau bertambahnya ekuitas
 Ekuitas dana adalah jumlah kekayaan bersih yang merupakan selisih antara jumlah aset
dengan jumalh kewajiban. Bertambahnya ekuitas dana menyebabkan bertambahnya
aset dan/atau berkurangnya kewajiban. Demikian pula sebaliknya, berkurangnya ekuitas
dana dapat menyebabkan berkurangnya aset dan/atau bertambahnya ekuitas

Anda mungkin juga menyukai