Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hubungan keuangan pusat daerah adalah bagian dari sistem fiskal. Sebagai
sebuah instrumen, sistem hubungan keuangan pusat daerah berfungsi sebagai alat untuk
memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal itu
dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke anggaran pemerintah
daerah.1 Transfer tersebut di antaranya terdiri dari Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus. DAU dengan demikian merupakan bagian dari mekanisme redistribusi
yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam alokasi.

Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang-Undang No. 33 tahun 2004


tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
pendanaan tersebut menganut prinsip money follow function yang mengandung makna
bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab masing-masing tingkatan pemerintahan. Pada esensinya prinsip ini mengatakan
bahwa pendekatan kebijakan alokasi fiskal harus dimulai dari penilaian terhadap fungsi-
fungsi yang dijalankan oleh daerah. Dari penilaian itu, ditemukanlah total beban
anggaran yang harus dipikul oleh daerah. Dari perkiraan beban anggaran tersebut
kemudian dibuat kebutuhan jumlah uang yang perlu diberikan kepada daerah (untuk
menjalankan fungsi-fungsi tersebut).2

Sementara itu di lain sisi, peranan DAK menjadi sangat penting untuk menutupi
kebutuhan fiskal yang tidak terjangkau oleh DAU agar tujuan pemerataan tercapai.
Karena semua penduduk di setiap daerah harus memiliki akses yang sama terhadap
pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, perlindungan lingkungan, keamanan,
dan sebagainya.

1
Adrian T.P. Panggabean, dkk. Dalam Laporan Akhir: Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU): Konsep
dan Formula Alokasi. Bagian Pendahuluan. hlm. 4. Jakarta. 31 Oktober 1999
2
Ibid.

1
B. Permasalahan

Mengacu kepada latar belakang tersebut, maka timbul pertanyaan mengenai:

1. Apakah pengalokasian DAU yang berjalan selama ini telah efektif untuk mencapai
keseimbangan fiskal antardaerah?

2. Apakah pemberian DAK ke daerah-daerah berjalan dengan baik sehingga daerah


dapat melaksanakan proyek atau program yang dapat mendorong percepatan
pembangunan di daerah tersebut?

C. Kerangka Teori

Dana Alokasi Umum (DAU)

• Pengertian DAU

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.3

• Tujuan DAU

Mengacu PP No. 104 Tahun 20004 tentang Dana Perimbangan, tujuan DAU terutama
adalah untuk:

a. Horizontal equity, yang merupakan kepentingan pemerintah pusat dalam rangka


melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merata agar tidak terjadi
kesenjangan yang lebar antardaerah.

3
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
4
Telah diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2005.

2
b. Sufficiency, terutama untuk untuk menutup fiscal gap. Sufficiency dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu kewenangan, beban dan Standar Pelayanan Minimum
(SPM).5

• Variabel-Variabel Kebutuhan Daerah dan Potensi Ekonomi Daerah

Kebutuhan daerah diestimasi oleh beberapa variabel seperti jumlah penduduk, luas
wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara potensi
ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi
industri, potensi SDA, potensi SDM, PDRB, dan dana bagi hasil yang diterima
daerah.

Dana Alokasi Khusus (DAK)

• Pengertian DAK

Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus.
Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Sesuai dengan UU No. 25/19996, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah:

i. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi


umum, dengan pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah
lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis
investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi
primer, dan saluran drainase primer; dan

ii. Kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional7

• Tujuan DAK

5
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. ANDI. hlm. 157.
6
Telah diubah dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7
Machfud Sidik. Dalam Seminar Public Sector Scorecard: Format Hubungan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapain Tujuan Nasional. Jakarta. 17-18 April 2002. hlm. 7

3
Jadi tujuan pemberian DAK adalah untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakatdan untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah.

• Mekanisme Pengalokasian DAK

Kriteria pengalokasian DAK yaitu:


1. Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja PNSD.
Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal
rendah atau di bawah rata-rata yang dihitung melalui indeks fiskal netto dan
ditetapkan setiap tahun.
2. Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah antara lain
daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk
kategori daerah ketahanan pangan. Dihitung berdasarkan indeks kewilayahan dan
ditetapkan setiap tahun.
3. Kriteria Teknis, disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat
menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan
kegiatan DAK di daerah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Formula Dana Alokasi Umum

Sebagaimana dijelaskan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan


Daerah (2001) bahwa penghitungan DAU didasarkan pada dua faktor, yaitu:

1. Faktor murni, adalah penghitungan DAU berdasarkan formula; dan

2. Faktor penyeimbang, adalah suatu mekanisme untuk menghindar kemungkinan


penurunan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang akan
menjadi tanggung jawab daerah.

Dimasukkannya faktor penyeimbang dalam penghitungan DAU adalah karena adanya


kelemahan dalam faktor murni. Perhitungan DAU dengan menggunakan formula murni

5
menunjukkan bahwa banyak daerah yang mengalami penurunan penerimaan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara beberapa daerah mengalami lonjakan
penerimaan yang luar biasa. Untuk menghindari efek negatif, misalnya kesenjangan
antardaerah yang justru semakin lebar, maka digunakan faktor penyeimbang. Pendekatan
atas faktor penyeimbang dilakukan dengan memperhitungkan “Dana Rutin Daerah dan
Dana Pembangunan Daerah (DRD/DPD)” untuk masing-masing daerah yang diterima
tahun sebelumnya. Alasan digunakan DRD/DPD sebagai faktor penyeimbang adalah:

a. Pada dasarnya DAU merupakan “pengganti” DRD/DPD, dalam pengertian


bahwa bentuk transfer dari pusat kepada daerah selain bagi hasil pajak dan bukan
pajak yang ada selama ini adalah DRD/DPD;

b. Apabila DAU yang dialokasikan untuk suatu daerah lebih kecil dari
penerimaan transfer sebelumnya, dikhawatirkan akan memberikan dampak
psikologis maupun teknis finansial yang kurang baik;

c. DRD merupakan ukuran beban Belanja Pegawai, karena selama ini pegawai
daerah digaji melalui SDO, dan selain itu DAU mempunyai sifat yang kurang lebih
sama dengan DRD karena akan diterimakan secara rutin setiap bulan.8

B. Formulasi DAU Tahun 20029

Departemen Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah
melakukan evaluasi terhadap formula DAU tahun 2001 dan telah membuat formula beru
untuk DAU tahun 2002. Berbeda dengan model DAU 2001, dalam formula alokasi DAU
2002 setiap variabel memiliki bobot yang tidak sama. Dengan memiliki bobot yang
berbeda diharapkan alokasi DAU 2002 dapat memenuhi tujuan pemerataan fiskal
antardaerah.

Beberapa kebijakan yang digunakan dalam formulasi DAU tahun 2002 adalah
(Kadjatmiko, 2001):

1. Formula DAU tetap menggunakan pendekatan fiscal gap, yaitu fiscal needs
dibandingkan dengan fiscal capacity.
8
Mardiasmo. op.cit. hlm. 158.
9
Ibid. hlm. 159.

6
2. Identifikasi variabel-variabel yang dipertimbangkan dalam formula DAU tetap
mengacu UU No. 25 Tahun 1999 dan memberikan variabel tambahan atau merupakan
penyempurnaan dari variabel formula DAU dalam PP No. 104 Tahun 2000.

3. Formula DAU harus sederhana, mudah dipahami dan dimengerti, sehingga pemerintah
daerah diharapkan dapat menghitung sendiri alokasi DAU yang akan diterima.

4. Akurasi data yang akan digunakan untuk penghitungan DAU harus menjadi perhatian
utama.

Dalam Formulasi DAU tahun 2002 masih diperlukan adanya suatu mekanisme faktor
penyeimbang untuk menjaga tercukupinya kebutuhan minimum suatu daerah. Akan tetapi
keberadaan faktor penyeimbang dalam perhitungan DAU tahun 2002 diharapkan
mengalami penurunan sehingga dapat menonjolkan formula DAU itu sendiri.

Variabel yang Digunakan Dalam Rumus DAU 2002

Variabel yang digunakan dalam perumusan DAU 2002 merupakan variabel yang sesuai
dengan amanat UU No. 25 Tahun 1999 yang secara lebih terinci adalah sebagai berikut
(Kadjatmiko, 2001):

a. Variabel-variabel potensi daerah (fiscal capacity), terdiri dari potensi PAD


(dihitung dari PDRB sector jasa dengan menggunakan metode ekonomerika) dan
potensi penerimaan bagi hasil (PBB, BPHTB, PPh Perseorangan, dan SDA). Bagi
hasil SDA hanya diperhitungkan 75%, dengan pertimbangan untuk mengakomodasi
adanya kekhawatiran daerah mengenai ketidakpastian jumlah bagi hasil SDA yang
akan diterima serta untuk memberikan insentif ke daerah sebagai biaya untuk
perbaikan lingkungan dan social cost akibat dampak eksploitasi SDA.

b. Variabel-variabel kebutuhan daerah (fiscal needs) dibagi atas variabel


kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel kependudukan meliputi Jumlah
Penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif (proksi: Poverty Gap). Sementara itu, untuk
variabel kewilayahan meliputi Luas Wilayah dan Indeks Harga Bangunan. Masing-
masing variabel diberi bobot yang berbeda, yaitu:

• Variabel kependudukan (0,5), yang terdiri atas Indeks Penduduk (IP) sebesar 0,4
dan Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) sebesar 0,1;

7
• Variabel kewilayahan (0,5), yang terdiri atas Indeks Wilayah (IW) sebesar 0,1 dan
Indeks Harga Bangunan (IH) sebesar 0,4.

c. Variabel untuk Faktor Penyeimbang, yaitu berupa Alokasi Minimum yang


terdiri atas:

• Lumpsum yang berasal dari jumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara
merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung kemampuan keuangan
Negara. Pemberian lumpsum ini merupakan komitmen pemerintah pusat untuk
menjamin terselenggaranya proses pemerintahan di daerah.

• Transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari


kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah.

• Perlu dipahami bahwa besarnya Alokasi Minimum bukanlah merupakan


besarnya belanja pegawai (gaji) yang ada di suatu daerah.

C. Perbedaan Formula DAU Antara Tahun 2007 – 2009

Pada APBN tahun 2007 dan tahun 2008, PDN Neto merupakan hasil pengurangan
antara pendapatan dalam negeri yaitu hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan
dan penerimaan negara bukan pajak, dikurangi dengan penerimaan negara yang
dibagihasilkan kepada daerah yaitu dana bagi hasil (DBH) serta belanja yang sifatnya
earmarked (penggunaanya diarahkan) dan anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan
anggaran dengan jumlah yang sama pada penerimaan dan belanja).

Selanjutnya, dalam rangka sharing beban APBN dan APBD, PDN Neto dalam
RAPBN 2009 juga memperhitungkan besaran subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai
faktor pengurang. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun
2008 terdapat perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu
perhitungan alokasi DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan
tersebut belum dapat dilaksanakan secara murni, namun dalam RAPBN tahun 2009
kebijakan tersebut akan dilaksanakan. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka
akan menghasilkan alternative alokasi DAU sebesar nol (tidak mendapatkan DAU), lebih
kecil, sama dengan, dan lebih besar dari DAU tahun 2008. Selanjutnya, sesuai dengan

8
amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, besaran DAU yang didistribusikan
kepada provinsi dan kabupaten/korkan pada dalam RAPBN 2009, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi dan kabupaten/kota dengan
mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP
Nomor 55 Tahun 2005, sebagai berikut:

DAU yang akan didistribusikan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung
berdasarkan pada:

• alokasi dasar (AD), yang dihitung atas dasar jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah (PNSD), yang antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan tunjangan
keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri
sipil; dan

• Celah fiskal (CF), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
Kebutuhan Fiskal (Kbf) tercermin dari variabel Jumlah Penduduk, Luas Wilayah,
Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan PDRB per
kapita, sedangkan Kapasitas Fiskal diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan
DBH SDA.10

D. Peran DAU Dalam Rangka Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2009 dikatakan bahwa dalam rangka meningkatkan
pemerataan alokasi dana antardaerah, dan mengatasi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah, maka akan terus dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi
data dasar perhitungan DAU, yang meliputi variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur tingkat ekualisasi terbaik antardaerah,
digunakan indikator Williamson Index (WI) dan Coefficient of Variation (CV) yang
merupakan parameter standar pengukuran tingkat pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat guna
meminimalkan ketimpangan fiskal antardaerah, analisis terhadap tingkat kesenjangan

10
Nota Keuangan RAPBN 2009. BAB V: Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan
Daerah 2009. hlm. 69.

9
fiskal antardaerah dapat pula diformulasikan melalui penentuan proporsi komponen
DAU, yang salah satunya, dapat ditempuh dengan mengurangi proporsi AD
dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran AD dalam formula DAU, maka semakin
besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki fleksibilitas dalam mengoreksi
kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran CF dalam formula DAU dengan
membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan yang lebih baik dengan
penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi. Hal ini berarti
bahwa semakin kecil angka indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan
fiskal antardaerah semakin diperkecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah
akan semakin lebih baik.

Untuk meningkatkan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU murni


atau dikenal sebagai Non-Holdharmless policy dapat mengakibatkan daerah memperoleh
DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada tahun sebelumnya, karena daerah
tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara signifikan. Hal ini sejalan dengan
konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar penerimaan DAU daerah secara
proporsional dapat menyeimbangkan tingkat penerimaan DBH dan PAD yang merupakan
tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Kebijakan Non-Holdharmless ini akan
memiliki konsekuensi bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif
tinggi akan mengalami penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi
DAU dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat (benefit) bagi daerah-
daerah marjinal/miskin lainnya (pro-poor).

Kebijakan Non Holdharmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk memperkecil


ketimpangan fiscal antardaerah. Penerapan formula murni ini diharapkan dapat lebih
mudah untuk dilaksanakan, meskipun tuntutan politis untuk mempertahankan, bahkan
terus meningkatkan perolehan DAU bagi seluruh daerah nampaknya masih cukup tinggi.
Untuk perkembangan DAU selanjutnya, Pemerintah dapat memberikan sosialisasi yang
lebih komprehensif kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah
tentang urgensi DAU sebagai instrumen untuk meminimalkan horizontal fiscal
imbalance, serta formulasi yang lebih pro-poor.

10
E. Implikasi Perubahan Formula DAU 2009

a. 96 daerah (4 prov dan 92 kab/kota) dari 484 daerah mengalami penurunan DAU
b. Total DAU 2009 turun dari 61,39% menjadi 58,13% dari Pagu Transfer, meskipun
nominal naik Rp6,9 T dari Rp179,5T menjadi Rp186,4T atau 3,8% dari DAU 2008
c. Penuruanan DAU dimungkinkan karena Peningkatan Kapasitas Fiskal meliputi PAD,
DBH Pajak & SDA dan Koreksi pencatatan data luas wilayah dan jumlah penduduk
menjadi lebih kecil di beberapa daerah sebagai akibat pemekaran daerah.
d. Pengalokasian DAU secara mandiri kepada 17 daerah pemekaran
e. Pengalokasian DAU secara proporsional kepada 26 daerah pemekaran
f. Koreksi data Belanja Gaji PNSD (Standar Nasional)11

F. Alokasi DAK

Tahun 2001-2002

Dana Alokasi Khusus yang terdapat di dalam struktur belanja daerah dalam APBN
adalah Dana Alokasi Khusus yang berasal dari Dana Reboisasi yang dipergunakan untuk
membiayai kegiatan fisik rehabilitasi hutan dan lahan-lahan kritis, dengan pembagian:
- 40% dari penerimaan Negara yang berasal dari dana reboisasi
dibagikan kepada daerah sebagai DAK DR dengan tujuan membiayai kegiatan
reboisasi dan penghijauan dalam rangka memperbaiki ekosistem.
- 60 % dana reboisasi dikelola pemerintah pusat.

Setelah tahun 2003


Dana Alokasi Khusus pada tahun setelah 2003 terdiri atas DAK DR dan DAK Non-DR.
Jenis kegiatan dibiayai dengan DAK Non-DR:
1. Kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, dan/atau peningkatan dan/atau
perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis
yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk
penyertaan modal,
2. Kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang bermanfaat
bagi masyarakat dalam keadaan tertentu.

11
Harry Azhar Aziz. Reformulasi Model Transfer Pusat ke Daerah dalam Mendorong Kinerja Daerah.
hlm. 5.

11
DAK Non-DR yang dapat disebut matching grant digunakan untuk membiayai kegiatan
daerah di bidang:
1. pendidikan
2. kesehatan
3. infrastruktur (jalan irigasi, air bersih)
4. prasarana pemerintahan daerah pemekaran
5. kelautan dan perikanan
6. pertanian
7. prasarana dan pemerintahan

Setelah Tahun 2006


Karena kesamaan karakteristik antara konsep Dana bagi hasil yang bersifat by origin
dengan DAK-DR, maka DAK-DR dijadikan sebagai salah satu komponen Dana Bagi
Hasil yang kemudian disebut DBH-DR.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 pasal 108, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan secara bertahap akan dialihkan menjadi DAK. Tujuan pengalihan tersebut
antara lain:
1. Meningkatkan disiplin fiskal untuk menghindari duplikasi belanja
publik dan meningkatkan efisiensi alokasi
2. Meningkatkan akuntabilitas
3. Menghilangkan standar ganda
4. Meningkatkan efektivitas DAK
5. Pemerataan fiscal

Dana Penndamping
• Daerah wajib memberikan dana pendamping sekurang-
kurangnya 10% (sepuluh persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai
kegiatan fisik.
• Dana pendamping wajib dianggarkan dalam APBD tahun
anggaran berjalan.

12
G. Pola Penyaluran DAK12

1. Penyaluran paling awal tanggal 14 Februari.

2. Prinsip penyaluran adalah untuk pengisian Kas Daerah.

3. Disalurkan secara bertahap:

- Tahap 1: 30% setelah Perda APBD diterima Depkeu

- Tahap 2: 30% setelah penyerapan dana tahap 1 >90%

- Tahap 3: 30% setelah sisa DAK di kas daerah <10%

- Tahap 4: 10% setelah sisa DAK di Kas Daerah <10%

4. Data penyerapan DAK dibuktikan dengan laporan penyerapan yang


diterima Depkeu

5. Data Penyerapan DAK disertai Pakta Integritas berupa surat


Pernyataan Tanggung Jawab Belanja.

6. Penyaluran paling akhir pada akhir Desember. Sisa DAK yang tidak
disalurkan hangus (tidak dapat diluncurkan).

H. Evaluasi Pelaksanaan DAK13

1. Adanya mis-alokasi DAK-DR dan Bagi Hasil DR untuk


pembangunan sarana fisik.

2. Untuk daerah yang penghasilan DR-nya kecil dan memiliki areal


hutan dan lahan kritis yang luas, kesulitan dalam mencari dana untuk kegiatan
rehabilitasinya.

3. Daerah kesulitan dalam menyediakan dana pendamping (10%).


12
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Depkeu RI. Dalam LokakaryaPenyusunan Arah
Kebijakan dan Kegiatan DAK Per Bidang Tahun 2009: Kriteria Pengalokasian dan Kebijakan Transfer DAK.
Jakarta. 30 April 2008. slide. 22.
13
Bagus Santoso. Dalam Workshop: Rumusan Kriteria Pengalokasian DAK 2009: Permasalahan dan
Tantangan yang dihadapi. 3 April 2008. slide. 48-51.

13
4. Tidak terdapatnya insentif bagi daerah yang mampu menyediakan
dana pendamping lebih dari 10% untuk menaikkan prosentase dana pendamping.

5. Kurang sesuainya beberapa program pemerintah pusat terkait dengan


DAK dengan prioritas daerah, sehingga kurang bermanfaat bagi daerah.

6. Penyaluran DAK DR 2003-2005 mengalami kendala karena


Departemen Kehutanan kesulitan untuk mengindentifikasi jenis dana yang telah
disetor ke rekening Departemen Kehutanan yang menampung dana reboisasi.

7. Departemen Kehutanan kesulitan mengidentifikasi daerah penghasil.

8. Proses penetapan alokasi per kabupaten/kota yang dilakukan


gubernur yang pada umumnya memerlukan waktu yang cukup lama (mekanisme
penyaluran).

9. Perlunya daerah penerima DAK DR untuk menyampaikan nomor


rekening kas daerah agar penyaluran dapat dilakukan dari kas negara.

10. Terdapat indikasi ketidakpastian dalam pemberian dana. Hal ini


menimbulkan risiko ketidakpastian pelaksanaan proyek yang lebih dari 1 tahun.

Seperti diberitakan Kompas (2/2/09) bahwa Dari 510 pemerintah daerah, hanya 156
yang memperoleh dana alokasi khusus. Daerah lainnya dipastikan terlambat
memperoleh dana alokasi khusus (DAK). Dengan demikian, pelaksanaan proyek atau
program dipastikan terhambat dan akhirnya sumbangan pemerintah daerah terhadap
perekonomian menjadi sangat minim.

11. Lemahnya efektifitas fungsi DAK sebagai matching grant karena


adanya ketentuan kriteria khusus.

Contoh: Perluasan kriteria khusus untuk daerah penerima DAK 2006 yang dilakukan
oleh Panitia Kerja Pemerintah. Hal ini memperbesar jumlah daerah penerima
DAK

14
BAB III

SIMPULAN

Dari pembahasan mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Digunakannya baik faktor murni dan faktor penyeimbang pada


perhitungan DAU untuk tahun anggaran sebelum 2002 maupun faktor murni saja yang
mulai diterapkan pada tahun anggaran 2009, keduanya bertujuan untuk menjaga
keseimbangan dan pemerataan keuangan daerah dari kekurangan dana. Pertimbangan
perlu dimasukkannya faktor penyeimbang yaitu agar dapat menjaga tercukupinya
kebutuhan minimum suatu daerah, karena perhitungan DAU dengan menggunakan
formula murni saja menunjukkan bahwa banyak daerah yang mengalami penurunan
penerimaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara beberapa daerah
mengalami lonjakan penerimaan yang luar biasa.

Sementara penerapan formula DAU murni (Non-Holdharmless policy) dapat


mengakibatkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya
pada tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal
secara signifikan. Kebijakan Non-Holdharmless ini akan memiliki konsekuensi bagi

15
daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi akan mengalami
penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU dari segi
pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat (benefit) bagi daerah-daerah
marjinal/miskin lainnya (pro-poor).

Kebijakan lama dan baru tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
pemerataan keuangan daerah atau untuk menjaga keuangan daerah dari ketersediaan dana
untuk membiayai pembangunan di daerah. Masing-masing tentu saja memiliki
konsekuensi (kekuatan dan kelemahan) tersendiri dalam implementasinya seperti telah
dipaparkan di atas. Namun diharapkan, apa yang telah ditetapkan (kebijakan) tersebut
dapat diterapkan seoptimal mungkin dengan melakukan kordinasi dua arah antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Di samping itu, sebaiknya daerah pun tidak
terlalu bergantung pada pemberian DAU tersebut. Tetapi harus memaksimalkan potensi
daerahnya masing-masing untuk mendapatkan dana guna tercapainya pelaksanaan
pembangunan yang berkesinambungan (sustainability) di daerah.

2. Terlampau lamanya penyaluran DAK ke daerah-daerah khususnya di


tingkat kabupaten/kota tentunya dapat menghambat proses pembangunan di daerah.
Kewajiban untuk memberikan dana penyeimbang guna mendapatkan DAK bagi daerah
yang kurang memadai secara financial juga dirasa sangat memberatkan daerah tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan adanya evaluasi secara terus menerus terhadap pola
penyaluran DAK agar dapat memberikan output dan outcome yang maksimal bagi daerah.
Pengawasan dalam penyalurannya pun perlu ditingkatkan (dalam hal ini oleh Depkeu,
Bappenas dan Mendagri) agar tidak terdapat penyalahgunaan DAK yang kerap dilakukan
oleh pemerintah daerah setempat. Maka dari itu diperlukan pula penerapan sanksi yang
tegas bagi para pelaku (pemda) yang ‘nakal’ tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Adrian T.P. Panggabean, dkk. Dalam Laporan Akhir: Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU):
Konsep dan Formula Alokasi. Bagian Pendahuluan. Jakarta. Oktober 1999.

Bagus Santoso. Dalam Workshop: Rumusan Kriteria Pengalokasian DAK 2009:


Permasalahan dan Tantangan yang dihadapi. April 2008.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Depkeu RI. Dalam LokakaryaPenyusunan Arah


Kebijakan dan Kegiatan DAK Per Bidang Tahun 2009: Kriteria Pengalokasian dan
Kebijakan Transfer DAK. Jakarta. 2008.

Harry Azhar Aziz. Reformulasi Model Transfer Pusat ke Daerah dalam Mendorong Kinerja
Daerah.

Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: ANDI. 2002.

17
Machfud Sidik. Dalam Seminar Public Sector Scorecard: Format Hubungan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapain Tujuan Nasional.
Jakarta. April 2002.

Nota Keuangan RAPBN 2009. BAB V: Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan
Keuangan Daerah 2009.

www.djpk.depkeu.go.id. Dana Alokasi Khusus (DAK).

www.kompas.com. Keuangan Daerah Didera Banyak Masalah. Senin, 2 Februari 2009.

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah


Pusat dan Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.

18

Anda mungkin juga menyukai