PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem hubungan keuangan pusat daerah adalah bagian dari sistem fiskal. Sebagai
sebuah instrumen, sistem hubungan keuangan pusat daerah berfungsi sebagai alat untuk
memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal itu
dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke anggaran pemerintah
daerah.1 Transfer tersebut di antaranya terdiri dari Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus. DAU dengan demikian merupakan bagian dari mekanisme redistribusi
yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam alokasi.
Sementara itu di lain sisi, peranan DAK menjadi sangat penting untuk menutupi
kebutuhan fiskal yang tidak terjangkau oleh DAU agar tujuan pemerataan tercapai.
Karena semua penduduk di setiap daerah harus memiliki akses yang sama terhadap
pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, perlindungan lingkungan, keamanan,
dan sebagainya.
1
Adrian T.P. Panggabean, dkk. Dalam Laporan Akhir: Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU): Konsep
dan Formula Alokasi. Bagian Pendahuluan. hlm. 4. Jakarta. 31 Oktober 1999
2
Ibid.
1
B. Permasalahan
1. Apakah pengalokasian DAU yang berjalan selama ini telah efektif untuk mencapai
keseimbangan fiskal antardaerah?
C. Kerangka Teori
• Pengertian DAU
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.3
• Tujuan DAU
Mengacu PP No. 104 Tahun 20004 tentang Dana Perimbangan, tujuan DAU terutama
adalah untuk:
3
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
4
Telah diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2005.
2
b. Sufficiency, terutama untuk untuk menutup fiscal gap. Sufficiency dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu kewenangan, beban dan Standar Pelayanan Minimum
(SPM).5
Kebutuhan daerah diestimasi oleh beberapa variabel seperti jumlah penduduk, luas
wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara potensi
ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi
industri, potensi SDA, potensi SDM, PDRB, dan dana bagi hasil yang diterima
daerah.
• Pengertian DAK
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus.
Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Sesuai dengan UU No. 25/19996, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah:
• Tujuan DAK
5
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. ANDI. hlm. 157.
6
Telah diubah dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7
Machfud Sidik. Dalam Seminar Public Sector Scorecard: Format Hubungan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapain Tujuan Nasional. Jakarta. 17-18 April 2002. hlm. 7
3
Jadi tujuan pemberian DAK adalah untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakatdan untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
menunjukkan bahwa banyak daerah yang mengalami penurunan penerimaan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara beberapa daerah mengalami lonjakan
penerimaan yang luar biasa. Untuk menghindari efek negatif, misalnya kesenjangan
antardaerah yang justru semakin lebar, maka digunakan faktor penyeimbang. Pendekatan
atas faktor penyeimbang dilakukan dengan memperhitungkan “Dana Rutin Daerah dan
Dana Pembangunan Daerah (DRD/DPD)” untuk masing-masing daerah yang diterima
tahun sebelumnya. Alasan digunakan DRD/DPD sebagai faktor penyeimbang adalah:
b. Apabila DAU yang dialokasikan untuk suatu daerah lebih kecil dari
penerimaan transfer sebelumnya, dikhawatirkan akan memberikan dampak
psikologis maupun teknis finansial yang kurang baik;
c. DRD merupakan ukuran beban Belanja Pegawai, karena selama ini pegawai
daerah digaji melalui SDO, dan selain itu DAU mempunyai sifat yang kurang lebih
sama dengan DRD karena akan diterimakan secara rutin setiap bulan.8
Departemen Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah
melakukan evaluasi terhadap formula DAU tahun 2001 dan telah membuat formula beru
untuk DAU tahun 2002. Berbeda dengan model DAU 2001, dalam formula alokasi DAU
2002 setiap variabel memiliki bobot yang tidak sama. Dengan memiliki bobot yang
berbeda diharapkan alokasi DAU 2002 dapat memenuhi tujuan pemerataan fiskal
antardaerah.
Beberapa kebijakan yang digunakan dalam formulasi DAU tahun 2002 adalah
(Kadjatmiko, 2001):
1. Formula DAU tetap menggunakan pendekatan fiscal gap, yaitu fiscal needs
dibandingkan dengan fiscal capacity.
8
Mardiasmo. op.cit. hlm. 158.
9
Ibid. hlm. 159.
6
2. Identifikasi variabel-variabel yang dipertimbangkan dalam formula DAU tetap
mengacu UU No. 25 Tahun 1999 dan memberikan variabel tambahan atau merupakan
penyempurnaan dari variabel formula DAU dalam PP No. 104 Tahun 2000.
3. Formula DAU harus sederhana, mudah dipahami dan dimengerti, sehingga pemerintah
daerah diharapkan dapat menghitung sendiri alokasi DAU yang akan diterima.
4. Akurasi data yang akan digunakan untuk penghitungan DAU harus menjadi perhatian
utama.
Dalam Formulasi DAU tahun 2002 masih diperlukan adanya suatu mekanisme faktor
penyeimbang untuk menjaga tercukupinya kebutuhan minimum suatu daerah. Akan tetapi
keberadaan faktor penyeimbang dalam perhitungan DAU tahun 2002 diharapkan
mengalami penurunan sehingga dapat menonjolkan formula DAU itu sendiri.
Variabel yang digunakan dalam perumusan DAU 2002 merupakan variabel yang sesuai
dengan amanat UU No. 25 Tahun 1999 yang secara lebih terinci adalah sebagai berikut
(Kadjatmiko, 2001):
• Variabel kependudukan (0,5), yang terdiri atas Indeks Penduduk (IP) sebesar 0,4
dan Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) sebesar 0,1;
7
• Variabel kewilayahan (0,5), yang terdiri atas Indeks Wilayah (IW) sebesar 0,1 dan
Indeks Harga Bangunan (IH) sebesar 0,4.
• Lumpsum yang berasal dari jumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara
merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung kemampuan keuangan
Negara. Pemberian lumpsum ini merupakan komitmen pemerintah pusat untuk
menjamin terselenggaranya proses pemerintahan di daerah.
Pada APBN tahun 2007 dan tahun 2008, PDN Neto merupakan hasil pengurangan
antara pendapatan dalam negeri yaitu hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan
dan penerimaan negara bukan pajak, dikurangi dengan penerimaan negara yang
dibagihasilkan kepada daerah yaitu dana bagi hasil (DBH) serta belanja yang sifatnya
earmarked (penggunaanya diarahkan) dan anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan
anggaran dengan jumlah yang sama pada penerimaan dan belanja).
Selanjutnya, dalam rangka sharing beban APBN dan APBD, PDN Neto dalam
RAPBN 2009 juga memperhitungkan besaran subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai
faktor pengurang. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun
2008 terdapat perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu
perhitungan alokasi DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan
tersebut belum dapat dilaksanakan secara murni, namun dalam RAPBN tahun 2009
kebijakan tersebut akan dilaksanakan. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka
akan menghasilkan alternative alokasi DAU sebesar nol (tidak mendapatkan DAU), lebih
kecil, sama dengan, dan lebih besar dari DAU tahun 2008. Selanjutnya, sesuai dengan
8
amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, besaran DAU yang didistribusikan
kepada provinsi dan kabupaten/korkan pada dalam RAPBN 2009, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi dan kabupaten/kota dengan
mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP
Nomor 55 Tahun 2005, sebagai berikut:
DAU yang akan didistribusikan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung
berdasarkan pada:
• alokasi dasar (AD), yang dihitung atas dasar jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah (PNSD), yang antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan tunjangan
keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri
sipil; dan
• Celah fiskal (CF), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
Kebutuhan Fiskal (Kbf) tercermin dari variabel Jumlah Penduduk, Luas Wilayah,
Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan PDRB per
kapita, sedangkan Kapasitas Fiskal diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan
DBH SDA.10
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2009 dikatakan bahwa dalam rangka meningkatkan
pemerataan alokasi dana antardaerah, dan mengatasi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah, maka akan terus dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi
data dasar perhitungan DAU, yang meliputi variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur tingkat ekualisasi terbaik antardaerah,
digunakan indikator Williamson Index (WI) dan Coefficient of Variation (CV) yang
merupakan parameter standar pengukuran tingkat pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat guna
meminimalkan ketimpangan fiskal antardaerah, analisis terhadap tingkat kesenjangan
10
Nota Keuangan RAPBN 2009. BAB V: Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan
Daerah 2009. hlm. 69.
9
fiskal antardaerah dapat pula diformulasikan melalui penentuan proporsi komponen
DAU, yang salah satunya, dapat ditempuh dengan mengurangi proporsi AD
dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran AD dalam formula DAU, maka semakin
besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki fleksibilitas dalam mengoreksi
kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran CF dalam formula DAU dengan
membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan yang lebih baik dengan
penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi. Hal ini berarti
bahwa semakin kecil angka indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan
fiskal antardaerah semakin diperkecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah
akan semakin lebih baik.
10
E. Implikasi Perubahan Formula DAU 2009
a. 96 daerah (4 prov dan 92 kab/kota) dari 484 daerah mengalami penurunan DAU
b. Total DAU 2009 turun dari 61,39% menjadi 58,13% dari Pagu Transfer, meskipun
nominal naik Rp6,9 T dari Rp179,5T menjadi Rp186,4T atau 3,8% dari DAU 2008
c. Penuruanan DAU dimungkinkan karena Peningkatan Kapasitas Fiskal meliputi PAD,
DBH Pajak & SDA dan Koreksi pencatatan data luas wilayah dan jumlah penduduk
menjadi lebih kecil di beberapa daerah sebagai akibat pemekaran daerah.
d. Pengalokasian DAU secara mandiri kepada 17 daerah pemekaran
e. Pengalokasian DAU secara proporsional kepada 26 daerah pemekaran
f. Koreksi data Belanja Gaji PNSD (Standar Nasional)11
F. Alokasi DAK
Tahun 2001-2002
Dana Alokasi Khusus yang terdapat di dalam struktur belanja daerah dalam APBN
adalah Dana Alokasi Khusus yang berasal dari Dana Reboisasi yang dipergunakan untuk
membiayai kegiatan fisik rehabilitasi hutan dan lahan-lahan kritis, dengan pembagian:
- 40% dari penerimaan Negara yang berasal dari dana reboisasi
dibagikan kepada daerah sebagai DAK DR dengan tujuan membiayai kegiatan
reboisasi dan penghijauan dalam rangka memperbaiki ekosistem.
- 60 % dana reboisasi dikelola pemerintah pusat.
11
Harry Azhar Aziz. Reformulasi Model Transfer Pusat ke Daerah dalam Mendorong Kinerja Daerah.
hlm. 5.
11
DAK Non-DR yang dapat disebut matching grant digunakan untuk membiayai kegiatan
daerah di bidang:
1. pendidikan
2. kesehatan
3. infrastruktur (jalan irigasi, air bersih)
4. prasarana pemerintahan daerah pemekaran
5. kelautan dan perikanan
6. pertanian
7. prasarana dan pemerintahan
Dana Penndamping
• Daerah wajib memberikan dana pendamping sekurang-
kurangnya 10% (sepuluh persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai
kegiatan fisik.
• Dana pendamping wajib dianggarkan dalam APBD tahun
anggaran berjalan.
12
G. Pola Penyaluran DAK12
6. Penyaluran paling akhir pada akhir Desember. Sisa DAK yang tidak
disalurkan hangus (tidak dapat diluncurkan).
13
4. Tidak terdapatnya insentif bagi daerah yang mampu menyediakan
dana pendamping lebih dari 10% untuk menaikkan prosentase dana pendamping.
Seperti diberitakan Kompas (2/2/09) bahwa Dari 510 pemerintah daerah, hanya 156
yang memperoleh dana alokasi khusus. Daerah lainnya dipastikan terlambat
memperoleh dana alokasi khusus (DAK). Dengan demikian, pelaksanaan proyek atau
program dipastikan terhambat dan akhirnya sumbangan pemerintah daerah terhadap
perekonomian menjadi sangat minim.
Contoh: Perluasan kriteria khusus untuk daerah penerima DAK 2006 yang dilakukan
oleh Panitia Kerja Pemerintah. Hal ini memperbesar jumlah daerah penerima
DAK
14
BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
15
daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi akan mengalami
penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU dari segi
pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat (benefit) bagi daerah-daerah
marjinal/miskin lainnya (pro-poor).
Kebijakan lama dan baru tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
pemerataan keuangan daerah atau untuk menjaga keuangan daerah dari ketersediaan dana
untuk membiayai pembangunan di daerah. Masing-masing tentu saja memiliki
konsekuensi (kekuatan dan kelemahan) tersendiri dalam implementasinya seperti telah
dipaparkan di atas. Namun diharapkan, apa yang telah ditetapkan (kebijakan) tersebut
dapat diterapkan seoptimal mungkin dengan melakukan kordinasi dua arah antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Di samping itu, sebaiknya daerah pun tidak
terlalu bergantung pada pemberian DAU tersebut. Tetapi harus memaksimalkan potensi
daerahnya masing-masing untuk mendapatkan dana guna tercapainya pelaksanaan
pembangunan yang berkesinambungan (sustainability) di daerah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Adrian T.P. Panggabean, dkk. Dalam Laporan Akhir: Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU):
Konsep dan Formula Alokasi. Bagian Pendahuluan. Jakarta. Oktober 1999.
Harry Azhar Aziz. Reformulasi Model Transfer Pusat ke Daerah dalam Mendorong Kinerja
Daerah.
17
Machfud Sidik. Dalam Seminar Public Sector Scorecard: Format Hubungan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapain Tujuan Nasional.
Jakarta. April 2002.
Nota Keuangan RAPBN 2009. BAB V: Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan
Keuangan Daerah 2009.
18