Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAS MENGANGGUR DAN TINJAUAN ATAS FORMULA


PERHITUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU)

Dosen Pengampu : Ibu Yuwita Ariessa Pravasanti, SE.,MSi

Disusun oleh :
Nanda Listiana DS (2014SA045)

INSTITUT TEKNOLOGI BISNIS


AAS INDONESIA
TAHUN 2020
A. KAS MENGANGGUR : DILEMA ANTARA PENYERAPAN,RISIKO

DAN TUNTUTAN HUKUM

UU 15 tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Perubahan (APBN-P) 2013 memperlihatkan data peningkatan anggaran

pendapatan dan belanja negara dibandingkan APBNP 2012.

Besarnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk pemerintah pusat

ataupun yang di alokasikan kepada daerah menunjukkan betapa dana

tersebut harus benar-benar dapat terserap untuk pembangunan dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1. Penyerapan Anggaran

Penyerapan anggaran yang maksimal tanpa adanya perencanaan

anggaran yang baik dapat dikatakan sebagai suatu hal yang mustahil akan

terwujud. Penyerapan anggaran yang rendah di indikasikan Kementerian

atau lembaga tersebut tidak berhasil melaksanakan keseluruhan program

dengan baik. Penyebab hal tersebut dapat berupa :

a.       Proses penyerapan anggaran terhalang proses lelang dan

pengadaan barang dan jasa.

b.      Proses penyerapan anggaran terancam oleh proses hukum

apabila terjadi kerugian negara dan kesalahan dalam proses administrasi.

c.       Proses penyerapan anggaran terhalang oleh perencanaan

anggaran yang buruk.

d.      proses penyerapan anggaran terhambat karena DPR dan


Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan masih

memberlakukan mekanisme blokir atau bintang  terhadap program yang

ada dalam RKA-KL ataupun DIPA.

Pengelolaan kelebihan kas di daerah juga di atur dalam pasal 37 ayat

1 dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Daerah dapat

menempatkan uang daerah pada rekening di Bank Sentral/Bank Umum

yang menghasilkan bunga atau giro dengan tingkat bunga yang berlaku.

Menurut Peraturan Menteri keuangan No 03/PMK.05/2010 tentang

pengelolaan kelebihan /kekurangan kas pemerintah. Pasal 3 dalam PMK ini

menyebutkan bahwa pengelolaa kekurangan/kelebihan kas bertujuan :

a.       Mendapatkan bunga, jasa giro, bagi hasil dari pemenpatan uang

negara di bank sentral dan/atau bank umum, reverse revo dan/atau selisih

lebih dari harga jual dengan harga beli dari pembelian/penjualan SBN

b.      Mengupayakan biaya yang rendah dalam usaha memenuhi

ketersediaan kas pada saat terjadi dan/atau di perkirakan akan terjadi

dan/atau diperkirakan akan terjadi kekurangan kas.

Pada pasal 4 PMK ini mengatur bagaimana jenis dan tata cara

melakukan investasi terhadap kelebihan kas, meliputi berikut ini :

a.       Penempatan uang negara pada bank sentral

b.      Penempatan uang negara pada bank umum

c.       Pembelian SBN dari pasar sekunder

d.      Reserve revo
Secara umum ada beberapa tujuan utama manajemen kas pemerintah

menurut beberapa praktisi/akademisi, yaitu :

a.       Menghindari penyimpanan idle cash balances melalui

keputusan pembayaran dan penerimaan kas yang tepat waktu, serta

kemampuan peramalan cash flow yang akurat.

b.      Memaksimalkan keuntungan pada idle cash dan menghindari

akumulasi simpanan pemerintah yang tidak mendapatkan imbal balik serta

menekan seminimal mungkin biaya-biaya yang terkait dengan

penyimpanan saldo tersebut.

c.       Mampu mengendalikan berbagai resiko diantaranya resiko

operasional, resiko kredit, dan resiko pasar yang terkait dengan kagiatan

pemerintah dan pendanaan kegiatan pemerintah.

d.      Memastikan bahwa kas cukup tersedia untuk membayar

pengeluaran saat jatuh tempo dan meminjam hanya bila diperlukan.

2. Risiko dan Tuntutan Hukum

            Menurut pendidikan dan pelatihan Treasury dealing Room

Departemen Keuangan RI 2013 bidang manajemen resiko mengenal 4

macam jenis manajemen resiko, yaitu :

a.       Manajemen resiko likuiditas

b.      Manajemen resiko tingkat bunga

c.       Manajemen resiko nilai tukar asing

d.      Manajemen resiko pasar


Upaya pengendalian terhadap resiko internal juga telah diupayakan

dengan cara berikut :

a.       Mancantumkan limit kerugian bagi setiap dealer yang

ditugaskan untuk melakukan pengelolaan terhadap kelebihan kas.

b.      Melakukan pengaturan resiko secara ketat dalam Standar

Operasional dan Prosedur

c.       Seorang dealer tidak di perkenankan mengambil resiko di luar

jabatannya

d.      Pemberian insentif dan remunirasi khusus yang besarnya akan

di  tentukan.
B. TINJAUAN ATAS FORMULA PERHITUNGAN DANA ALOKASI

UMUM (DAU)

1. PENDAHULUAN

Dengan pemberlakuan kedua Undang-undang No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada

hakikatnya disadari bahwa kemampuan keuangan setiap daerah dalam

melaksanakan fungsi otonominya tidak sama satu dengan yang lainnya.

Oleh karenanya, diperlukan suatu kebijakan transfer dari pemerintah pusat

dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU).

Salah satu tujuan penting pengalokasian DAU ini adalah dalam

kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik diantara

pemerintah daerah di Indonesia. DAU sebagai equalizing grant secara

strategis dapat menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan atas

potensi fiskal dan kebutuhan masing-masing daerah. Besaran DAU

ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 26% dari pendapatan dalam negeri

netto yang ditetapkan dalam APBN. Perhitungan perolehan DAU suatu

daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah,

yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi
daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya

besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU

relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil akan

memperoleh alokasi DAU relatif besar.

2. ALASAN PERLUNYA TRANSFER KEUANGAN PUSAT KE

DAERAH

Ada beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum

dari pemerintah pusat ke daerah, yaitu:

a. Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak

negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber

penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi pemerintah

daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber -sumber penerimaan

negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat

lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran

penerimaan relatif kurang signifikan.

b. Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Hal

ini disebabkan karena kemampuan daerah untuk menghimpun

pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah dan

sangat bergantung pada sumber daya alam yang


dimiliki daerah tersebut.

c. Untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah tersebut. Daerah

daerah Dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat

mencapai standar minimum untuk setiap pelayanan publik.

d. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek

pelayanan publik di satu wilayah.

e. Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi di saat

perekonomian daerah sedang maju pesat, dan dapat ditingkatkan ketika

perekonomian sedang lesu.

3. KRITERIA DESAIN TRANSFER PUSAT KE DAERAH

Berikut ini adalah beberapa kriteria umum yang biasa digunakan dibanyak negara di

dunia.

a. Otonomi. Ini merupakan prinsip yang mendasari desentralisasi fiskal, jadi

pemerintah daerah harus memiliki indepedensi dan fleksibilitas dalam

menentukan prioritas-prioritas mereka.

b. Penerimaan yang memadai. Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan

(termasuk transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi

yang diembannya.

c. Keadilan (equity). Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah ini seyoganya

berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya, berkebalikan

dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

d. Transparan dan stabil. Formula transfer harus diumumkan sehingga dapat diakses

masyarakat, agar setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan transfer,

sehingga memudahkan penyusunan anggaran.

e. Sederhana (simplicity). Alokasi dana kepada Pemda didasarkan pada faktor-faktor


obyektif dimana unit-unit individual tidak memilki kontrol atau tidak dapat

mempengaruhinya dan formula harus relatif mudah dipahami.

f. Insentif. Desain transfer harus memberikan semacam intensif bagi daerah dengan

manajemen fiskal yang baik, dan menghindarkan praktik yang inefiseinsi.

4. FORMULA PERHITUNGAN DANA ALOKASI UMUM

Dana alokasi umum adalah transfer dana yang bersifat “block grant”, sehingga

Pemda mempunyai keleluasaan di dalam penggunaan DAU sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasi masing-masing daerah. DAU dialokasikan kepada setiap

daerah berdasarkan formulasi


alokasi, yang disesuaikan dengan kondisi kesenjangan keuangan, yang akan

dihitung dengan mengkalikan rasio antara bobot daerah dengan jumlah DAU.

Perhitungan jumlah DAU untuk setiap daerah merupakan kewenangan Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah dan ditetapkan dalam peraturan presiden. Jumlah

keseluruhan DAU mulai tahun 2008 sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan

Dalam Negeri (PDN).

A. Variabel Data Dasar Perhitungan DAU

a. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) (KbF) yang digunakan

untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk,

luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi

(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.

b. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) (KpF) yang merupakan

sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

Dana Bagi Hasil (DBH).

B. Metode Penghitungan DAU

DAU dialokasikan untuk daerah atas dasar celah fiskal (fiscal gap) yaitu

selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dengan kapasitas fiskal (fiscal

capacity) dan alokasi dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS Daerah.

Rumus: DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)

Alokasi Dasar (AD). Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi

gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok

dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS

yang berlaku.

Celah Fiskal (CF). Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu

daerah dihitung dengan mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF

daerah dibagi dengan total CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk
CF suatu daerah dihitung berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai

berikut:

Kebutuhan Fiskal (KbF)


KbF = TBR (α1IP +α2IW + α3IPM +α4IKK +α5IPDRB/kap)

Dimana:

TBR = Total Belanja Rata-rata APBD


TBR = Bel.Pegawai + Bel. Barang + Bel. Modal
Jumlah Provinsi atau Kab/Kota

IP = Indeks Jumlah Penduduk ( BPS )


IW = Indeks Luas Wilayah (Kemendagri)
IPM = Indeks Pembangunan Manusia ( BPS )
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi ( BPS )
IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita ( BPS )

α = Bobot Indeks

Kapasitas Fiskal (KpF)

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

Dimana:

PAD = Pendapatan Asli Daerah (APBD)

DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak (Kementrian Teknis)

DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya ( Dirjen Pajak )

C. Proses Formulasi DAU


KAPASITAS FISKAL KEBUTUHAN FISKAL

PAD dan DBH Jumlah Penduduk;Luas Wilayah; Indeks Pembangunan


Manusia; Indeks Kemahalan Konstruksi; dan indeks

CELAH FISKAL
Kebutuhan fiskal – Kapasitas fiskal

BOBOT DAU LOKAL


Celah fiskal daerah tertentu Total
Celah fiskal seluruh Indonesia

PROVINSI KABUPATEN/KOTA
26% X Penerimaan Nasional x Bobot 26% X Penerimaan Nasional x Bobot

5. HASIL AKHIR PENGHITUNGAN DAU

Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima DAU

ditambah alokasi dasar.

a. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU

sebesar alokasi dasar


b. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih

kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah

diperhitungkan nilai celah fiskal.

c. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama

atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.

6. BEBERAPA MASALAH DENGAN FORMULA PERHITUNGAN DAU

a. Rumus DAU tersebut disadari belum sepenuhnya mampu mengakomodir

pendanaan yang berbasis pada kebutuhan riil daerah. Idealnya dilakukan dengan

standard spending assesment (SSA), sehingga setiap belanja dapat dihitung sesuai

dengan kebutuhan. Cara termudah adalah menghitung selisih belanja aktual

dengan pendapatan aktual namun masalahnya:

- Total celah fiskal yang ada mungkin akan sangat besar sehingga sulit untuk

dipenuhi oleh pusat.

- Belanja aktual (realiasi) belum tentu mencerminkan kebutuhan bagi daerah yang

bersangkutan, bisa kebutuhan yang sebenarnya lebih besar atau bahkan lebih kecil

b. Kemungkinan disinsentif DAU terhadap PAD, bagi daerah yang PAD nya tinggi,

DAU-nya dikurangi untuk pemerataan penerimaan. Sehingga Pemda harus

benar-benar memperhatikan elastisitas PAD terhadap DAU, apakah usaha

menaikan PAD mengakibatkan penurunan DAU yang lebih tinggi dari kenaikan

tersebut.

c. Kemungkinan berkurangnya DAU dinilai tidak adil dan merugikan bagi daerah

penghasil migas. Karena daerah penghasil akan mendapatkan DBH yang

merupakan bagian dari kapasitas fiskal (faktor pengurangan DAU)

d. Jumlah penduduk yang relatif sedikit (misalnya Papua dan Kaltim) merupakan

kesenjangan yang cukup besar antar provinsi Jawa dengan non Jawa perlu

diperhatikan. Jumlah DAU dijawa cukup besar, sementara infrastruktur yang


memadai sudah tersedia. Sebaliknya DAU di papua dan kalimantan masih kecil

walaupun penduduknya sedikit tapi mempunyai cakupan wilayah yang luas

dengan dukungan infrastruktur yang masih rendah.

e. Dalam pelaksanaan masih dijumpai persepsi bahwa DAU hanya digunakan

untuk membayar gaji PNSD, sehingga ketika alokasi DAU tidak cukup untuk

membiayai gaji PNSD, maka banyak daerah yang protes. Padahal dalam

praktiknya, formula DAU merupakan fungsi dari Alokasi Dasar (Gaji PNSD)

ditambah dengan Celah Fiskal yang merupakan fungsi dari Kebutuhan Fiskal

dikurangi dengan Kepastian Fiskal.


7. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) DAU sebagai instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pusat

dan Daerah (verticalfiscal imbalance), dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance) dan

berfungsi untuk menetralisir ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD,

DBH Pajak dan DBH sumber daya alam yang diperoleh daerah ( Equalization grant),

dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya

ditetapkan sepenuhnya oleh daerah;

2) Kebutuhan fiskal dalam formula DAU yang merupakan pendanaan daerah

untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum masih dicerminkan dengan

indeks-indeks yang belum mencerminkan kebutuhan riil daerah, sehingga perlu

dilakukan peninjauan kembali;

3) Dari sisi manajemen belanja daerah, DAU utamanya digunakan untuk

belanja pegawai sedangkan untuk belanja produktif seperti belanja modal

infrastruktur, program penanggulangan kemiskinan, penciptan lapangan kerja

menjadi berkurang.
Daftar Pustaka

Abdul Halim.2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik .Edisi 2.Jakarta. Salemba Empat

Kementrian Keuangan RI - DJPK.2014. Dana Alokasi Umum 2016

. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan


Daerah

. Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Anda mungkin juga menyukai