PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
rendahnya kualitas pelayanan publik dan menurunnya aktivitas sektor swasta.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penyediaan barang publik dan regulasi lokal, sehingga kualitas pelayanan publik
semakin baik dan produktivitas ekonomi di daerah semakin meningkat. Berkaitan
dengan hal tersebut maka peran optimalisasi belanja daerah akan mempengaruhi
pembangunan ekonomi di daerah.
Oleh karena itu, belanja pemerintah daerah yang efisien merupakan isu
penting dalam kebijakan sektor publik, belanja yang efisien diyakini dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Isu efisiensi
belanja pemerintah ini menjadi sangat penting, khususnya dalam konteks
pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi makroekonomi. Belanja pemerintah yang
efisien sangat erat kaitannya dengan proses penganggaran baik proses penyusunan
anggaran pemerintah pusat maupun penyusunan anggaran pemerintah daerah.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah
adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaann bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam
belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik,
belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja tidak tersangka.
Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja
daerah adalah semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam
periode anggaran tertentu digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang
dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemeritah
daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007, belanja daerah dipergunakan
dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan
pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
4
5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan
dalam membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan
proyek yang diusulkan.
6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas pelaksanaan
kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.
5
Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung
dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan,
belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan
sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.
6
4. Belanja Hibah
penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa
kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus yang
terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah
daerah dengan penerima hibah, dalam rangka peningkatan penyelenggaraan fungsi
pemerintahan di daerah, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan
layanan dasar umum, peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan
pembangunan daerah.
5. Belanja Bantuan Sosial
Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada
masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif untuk
memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk PARPOL.
6. Belanja Bagi Hasil
Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi yang
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota yang
dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
7. Bantuan Keuangan
penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya
atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan
keuangan.
8. Belanja Tidak Terduga
Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah Belanja Lain-lain digunakan oleh
pemerintah pusat, sedangkan istilah Belanja Tak Terduga digunakan oleh
pemerintahan daerah. Penganggaran belanja atas kegiatan yang sifatnya tidak
biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan
bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas
kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
7
Kelompok Belanja Langsung terdiri atas :
1. Belanja Pegawai
Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan untuk
pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah. Belanja Pegawai : Honor : merupaka sesuatu yang harus
dibayarkan oleh pemerintah kepada pegawai , tetapi apabila pegawai tidak
melakukan pekerjaan maka upah tidak akan dibayarkan (dia bekerja /
produktivitas dan berkaitan dengan tujuan oraganisasi).
2. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material,
jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan,
sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa
perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan
atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas,
perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan pegawai
3. Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya.
8
penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan mengakibatkan
menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian). Untuk
mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan belanja daerah dilaksanakan
dalam kerangka arah kebijakan, sebagai berikut:
1. Memprioritaskan alokasi anggaran belanja daerah pada sektorsektor
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem jaminan sosial,
terutama bagi mereka yang mengalami ketidakberdayaan (powerless) akibat
termarginalisasi (marginalized), terdevaluasi (devalued), dan mengalami
keterampasan (deprivation), serta pembungkaman (silencing), sesuai amanat
undang-undang, serta visi, misi dan program kepala/wakil kepala daerah.
2. Meningkatkan anggaran belanja daerah untuk program-program
penanggulangan kemiskinan.
3. Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan
infrastruktur pedesaan yang mendukung pembangunan sektor pertanian, dan
pencegahan terhadap bencana alam, serta sekaligus yang dapat memperluas
lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat karya.
4. Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan
pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat
desa.
5. Menyediakan bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dalam rangka memberdayakan UMKM.
6. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi
belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,
kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan
masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi
makro.
7. Meningkatkan efektivitas kebijakan belanja daerah melalui penciptaan kerja
sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi masyarakat
dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah.
9
F. Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah
Dalam kaitannya dengan belanja daerah, terdapat dua aspek yang secara
konseptual berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang erat, yaitu kebijakan belanja
dan manajemen belanja. Kebijakan belanja terkait dengan penentuan apa yang
akan dilakukan yang berimplikasi pada kebutuhan pengeluaran atau belanja.
Sedangkan manajemen belanja terkait dengan bagaimana melaksanakan anggaran
untuk membiayai aktivitas secara ekonomis, efisien dan efektif. Kebijakan belanja
daerah ditentukan pada tahap perencanaan anggaran, sedangkan manajemen
belanja daerah dilakukan pada tahap implementasi anggaran. Pada dasarnya
manajemen belanja akan menyesuaikan kebijakan belanja yang diambil pemda.
10
C.Kebijakan Umum APBD (KUA) berisi:
a. Target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan
dilaksanakan oleh pemda untu setiap urusan pemda
b. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan dengan asumsi yang mendasarinya
c. Asumsi yang mendasari kebijakan anggaran dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan
fiskal yang ditetapkan pemerintah
d. Kerangka ekonomi makro dan implikasinya terhadap sumber pendanaan,
meliputi:
Penjelasan tentang asumsi anggaran, kondisi yang telah terjadi dan
diperkirakan akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan KUA. Contoh
asumsi dan kondisi makro: laju inflasi, pertumbuhan ekonomi regional,
tingkat penganggaran regional, dan asumsi lainnya yang relevan dengan
kondisi daerah setempat;
Dalam rangka implementasi asumsi dan kondisi yang menjadi dasar
pencapaian sasaran KUA harus mampu menjelaskan kebijakan
penganggaran sesuai kebijakan pemerintah. Kondisi yang bebeda akan
menghasilkan target/sasaran yang berbeda;
Juga diuraikan tentang perkiraan penerimaan untuk menandai seluruh
pengeluaran pada tahun yang akan dating, baik dari Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus ,
maupun dari pinjaman atau hibah.
11
3. Prioritas Program dan Plafon Anggaran
4. Plafon Anggaran Menurut Organisasi.
12
dalam program efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu sering mengalami
hambatan karena beberapa sebab yaitu:
a. Pengeluaran tidak berorientasi pada kepentingan public
b. Pengeluaran tidak berorientasi pada kinerja
c. Pengeluaran berorientasi jangka pendek
d. Pemerintah Daerah, tidak proaktif dan hanya bersifat reaktif untuk
melenyapkan sumber pemborosan keuangan daerah
e. Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat-sifat biaya.
13
satuan harga (SSH), sebagai standar biaya per unit input yang wajib digunakan
sebagai dasar penganggaran oleh satker.penetapan standar satuan harga ini
penting untuk menghindari terjadinya mark up anggaran. Selain standar satuan
harga, juga perlu dimiliki analisis standar belanja. Analisis standar belanja lebih
tepat digunakan untuk menilai kewajaran belanja khususnya belanja nonmodal,
sedangkan untuk katagori belanja modal diperlukan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) untuk menemukan kewajarannya.
14
2) akuntabilitas financial
Belanja daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas finansial yaitu setiap
rupiah yang dibelanjakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan
dalam laporan keuangan pemda.
3) akuntabilitas program
Jika belanja daerah yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan program,
maka selain memenuhi prinsip akuntabilitas hukum dan finansial juga harus
memenuhi prinsip akuntabilitas program. Program yang dibiayai dengan
APBD harus dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan kinerja program.
4) akuntabilitas manajerial
Secara kelembagaan, belanja daerah juga harus memenuhi prinsip
akuntabilitas manajerial artinya manajer publik yang terlibat dalam proses
pengeluaran belanja daerah harus bertanggungjawab atas terjadinya
pengeluaran tersebut
15
BAB III
STUDI KASUS
16
dikuatkan dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun
2003 yang mengakui adanya tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang
berbahasa Melayu dialek Betawi. Suku Sunda yang berbahasa Sunda dan Suku
Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya.
Table 1.1
Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014
Rincian 2012 2013 2014
[1] [5] [6] [7]
BELANJA TIDAK
A 13.648.410.111 14.724.113.008 16.958.816.394
LANGSUNG
1 Belanja Pegawai 1.511.157.915 1.535.932.802 1.569.541.693
2 Belanja Bunga - - -
3 Belanja Subsidi 15.055 2.940.521 6.805.400
4 Belanja Hibah 6.136.668.844 5.673.020.648 6.179.782.845
5 Belanja Bantuan Sosial 16.685.225 13.600.215 2.871.320
6 Belanja Bagi Hasil 3.161.224.937 3.994.277.232 5.461.539.028
7 Belanja Bantuan Keuangan 2.815.801.802 3.504.341.590 3.738.146.028
8 Pengeluaran Tidak Terduga 6.856.333 - 130.079
B BELANJA LANGSUNG 3.274.067.487 3.672.632.315 3.839.172.021
1 Belanja Pegawai 404.836.267 426.605.110 304.590.204
2 Belanja Barang dan Jasa 1.733.979.983 1.973.247.376 2.174.779.252
3 Belanja Modal 1.135.251.237 1.272.779.829 1.359.802.565
C PEMBIAYAAN DAERAH 2.958.837.956 3.775.496.831 5.007.648.558
JUMLAH 19.881.315.554 22.172.242.154 25.805.636.973
17
Table 1.2
Persentase Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2015
Rincian 2012 2013 2014
[1] [5] [6] [7]
A BELANJA TIDAK LANGSUNG 68,65% 66,41% 65,72%
1 Belanja Pegawai 7,60% 6,93% 6,08%
2 Belanja Bunga
3 Belanja Subsidi 0,01% 0,03%
4 Belanja Hibah 30,87% 25,59% 23,95%
5 Belanja Bantuan Sosial 0,08% 0,06% 0,01%
6 Belanja Bagi Hasil 15,90% 18,01% 21,16%
7 Belanja Bantuan Keuangan 14,16% 15,81% 14,49%
8 Pengeluaran Tidak Terduga 0,03%
B BELANJA LANGSUNG 16,47% 16,56% 14,88%
1 Belanja Pegawai 2,04% 1,92% 1,18%
2 Belanja Barang dan Jasa 8,72% 8,90% 8,43%
3 Belanja Modal 5,71% 5,74% 5,27%
C PEMBIAYAAN DAERAH 14,88% 17,03% 19,41%
JUMLAH 10 10 10
Table 1.3
Pertumbuhan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2015
18
Total realisasi belanja Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang signifikan. Di tambah pada tahun 2014, Pangandaran
memekarkan diri dari kabupaten Ciamis. Sudah barang tentu anggaran untuk
provinsi Jawa Barat bertambah.
Setiap tahun belanja tertinggi dilakukan untuk belanja hibah atau sekitar
28,26% dari total belanja daerah provinsi Jawa Barat, nilai tersebut sangat besar.
Idealnya belanja daerah ditujukan untuk peningkatan pelayan publik seperti tertera
dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
pelaksanaan belanja daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang
berorientasi pada prestasi kerja, dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dengan keluaran dan outcome yang diharapkan dari kegiatan dan
program. demikian, pendekatan kinerja sekaligus akan mencerminkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik. Efisien akan diwujudkan dalam kesesuaian
antara input (termasuk pendanaan) dengan output yang paling optimal yang bisa
dihasilkan. Sedangkan efektifitas akan diwujudkan dengan kesesuaian antara
output dengan ekspektasi masyarakat terhadap pemenuhan kualitas dan kuantitas
layanan publik yang dihasilkan. Namun belanja daerah yang dilakukan provinsi
Jawa Barat menunjukkan angka yang tinggi pada belanja hibah bukan pada
belanja modal pada APBD Jawa Barat. Belanja Modal merupakan belanja
pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah. selain itu belanja modal juga dapat dialokasikan untuk
menyediakan dan membangun infrastruktur publik. Dengan belanja hibah yang
tinggi, berakibat pada anggaran untuk belanja modal dan belanja barang dan jasa
sangat rendah serta porsi pembangunan di provinsi Jawa Barat sangat terbatas,
sehingga masih banyak nya daerah tertinggal.
19
Table 1.4
Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014
20
Table 1.5
Kontribusi (Share) Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014
21
tertinggi yaitu 37,62%, dengan Kota Bogor yang duduk pada peringkat terbawah
sebesar 4,92%, dan pada tahun ini pula, tidak ada satupun kota/kabupaten di Jawa
Barat yang realisasi anggaran belanjanya minus. Baru pada tahun 2014, kota
Cirebon menjadi kota dengan realisasi anggaran belanja tertinggi sekitar 22,34%,
dan yang terendah adalah Ciamis dengan (-8,13%). Pada tahun 2014, baru
pertama kalinya kabupaten pangandaran mendapat kucuran dana dari APBD.
Table 1.6
Pertumbuhan (Growth) Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012-2014
Wilayah Provinsi 2012 2013 2014 Average
[1] [2] [3] [4] [5]
Bogor 13,47% 25,59% 6,19% 15,09%
Sukabumi 8,04% 22,16% 13,58% 14,59%
Cianjur 11,00% 9,07% 20,22% 13,43%
Bandung 15,79% 13,76% 17,92% 15,82%
Garut 6,01% 37,62% 3,75% 15,79%
Tasikmalaya 21,24% 18,34% 11,64% 17,07%
Ciamis 34,92% 18,80% -8,13% 15,20%
Kuningan 11,96% 13,30% 11,08% 12,11%
Cirebon 16,21% 14,33% 10,43% 13,66%
Majalengka 18,38% 13,23% 16,34% 15,98%
Sumedang 14,73% 14,83% 21,67% 17,08%
Indramayu 17,33% 15,02% 20,22% 17,52%
Subang 9,60% 2% 22,00% 17,20%
Purwakarta 15,36% 21,15% 11,76% 16,09%
Karawang 29,58% 14,32% 14,09% 19,33%
Bekasi 13,59% 24,17% 14,78% 17,51%
Bandung Barat 19,94% 11,92% 11,20% 14,35%
Pangandaran
Kota Bogor 26,14% 4,92% 19,75% 16,94%
Kota Sukabumi 9,00% 24,09% 9,51% 14,20%
Kota Bandung 13,39% 15,40% 10,13% 12,97%
Kota Cirebon -0,57% 19,86% 22,34% 13,88%
Kota Bekasi 26,15% 18,42% 5,00% 16,52%
Kota Depok 1,58% 37,33% 6,79% 15,23%
Kota Cimahi 12,90% 10,65% 13,04% 12,20%
Kota Tasikmalaya 12,80% 26,67% 11,06% 16,85%
Kota Banjar 5,94% 25,93% -0,97% 10,30%
TOTAL 15,28% 18,80% 12,66% 15,27%
22
Tabel 1.7
Kontribusi (Share) Tiap Kota/Kabupaten Terhadap Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014
23
Kota Bandung 7,83% 7,23% 95,97% 18,17% 20,85% 0,06% 1,32% 9,68% 6,92% 8,05% 11,72%
Kota Cirebon 1,89% 2,03% 1,46% 3,08% 0,18% 0,23% 1,81% 2,16% 2,46% 3,57%
Kota Bekasi 4,49% 4,68% 0,93% 5,56% 8,00% 0,55% 1,81% 7,63% 9,84% 6,46% 7,86%
Kota Depok 2,28% 2,37% 4,49% 1,26% 4,66% 0,07% 6,04% 5,03% 4,87% 3,99% 5,94%
Kota Cimahi 1,97% 2,14% 3,60% 1,88% 0,16% 0,08% 0,04% 0,44% 2,04% 2,58% 2,45% 1,52%
Kota
Tasikmalaya 2,12% 2,21% 75,85% 1,46% 2,19% 31,57% 1,23% 4,14% 1,68% 0,84%
Kota Banjar 0,88% 0,88% 0,57% 2,18% 1,34% 0,27% 1,10% 1,41% 0,91% 1,17%
24
Tabel 1.8
Posisi Kota/Kabupaten Pada Setiap Kuadran Dalam Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014
25
Tabel 1.9
Posisi Kota/Kabupaten Pada Setiap Kuadran Dalam Realisasi Anggaran
Belanja Jawa Barat 2012-2014
II I
JENUH DOMINAN
BOGOR BANDUNG
SUKABUMI GARUT
CIANJUR TASIKMALAYA
CIREBON INDRAMAYU
KOTA BANDUNG KARAWANG
BEKASI
KOTA BEKASI
III IV
RENDAH POTENSIAL
CIAMIS MAJALENGKA
KUNINGAN SUMEDANG
BANDUNG BARAT SUBANG
KOTA SUKABUMI PURWAKARTA
KOTA CIREBON KOTA BOGOR
KOTA DEPOK KOTA TASIKMALAYA
KOTA CIMAHI
KOTA BANJAR
Pada tabel 1.9 menunjukan posisi setiap kota/kabupaten yang ada di Jawa
Barat sesuai besaran anggaran yang di realisasikannya pada periode 2010-2015.
Ada tujuh kabupaten kota pada kuadran I, lima berada di kuadran II, delapan
berada pada kuadran III dan enam kota kabupaten di kuadran IV.
1. Posisi Dominan
Pada kuadran satu terdapat tujuh. Kuadran I menunjukan bahwa rata-rata realisasi
anggaran belanja kabupaten kota yang bersangkutan cukup tinggi dibandingkan
dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai
26
growth yang tinggi. Bandung, Karawang, dan Bekasi, beanja tertinggi pada
Belanja Bagi Hasil. Untuk Garut, belanja pegawai tidak langsung, tasikmalaya
belanja tertinggi pada belanja keuangan dan kota bekasi belanja tertinggi pada
belanja pegawai langsung.
2. Posisi Jenuh
Pada kuadran dua terdapat lima kabupaten/kota. Kuadran II menunjukan peran
realisasi anggaran belanja kota kabupaten yang besar dalam realisasi anggaran
belanja total Jawa Barat punya peluang mengecil karena pertumbuhan realisasi
anggaran belanja kota kabupatennya kecil. Disini sumbangan realisasi anggaran
belanja kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat tinggi,
namun pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupatennya rendah. Bogor
dan Sukabumi belanja tertinggi adalah belanja bagi hasil. Cianjur belanja hibah,
cirebon belanja tidak terduga, dan kota bandung belanja subsidi.
3. Posisi Rendah
Realisasi anggaran belanja kota kabupaten belum mengambil peran yang besar
dalam realisasi anggaran belanja total Jawa Barat dan daerah belum punya
kemampuan dalam mengembangkan potensi lokal. Sumbangan realisasi anggaran
belanja kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat
rendah dan pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupaten rendah. Kota
bogor dan kota tasikmalaya belanja paling tinggi adalah belanja bunga. Majalaya
belanja pegawai. Sumedang belanja pegawai langsung, subang belanja keuangan,
purwakarta belanja hibah.
4. Posisi Potensial
Daerah mempunyai kemampuan untuk mengeembangkan potensi lokal sehingga
realisasi anggaran belanja kota kabupaten berpeluang memiliki peran besar dalam
realisasi anggaran belanja total Jawa Barat. Sumbangan realisasi anggaran belanja
kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat masih rendah
namun pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupaten tinggi. Ciamis
belanja tertinggi pada belanja keuangan, kuningan belanja pegawai tidak
langsung, bandung barat pada belanja bantua keuangan, kota sukabumi pada
belanja barang dan jasa, kota cirebon pada belanja modal, kota depok pada
27
belanja tidak terduga, kota cimahi pada belanja bunga, dan kota banjar pada
belanja sosial.
Tabel 1.10
Tingkat Share Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014 Dari
Tinggi Ke Rendah Pada Setiap Jenis Belanja
28
Belanja Tidak Langsung
Belanja Bantuan Belanja Bantuan Belanja Tidak Terduga
Sosial Belanja Bagi Hasil Keuangan belanja langsung
JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH
TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00%
Kota Kota
Bandung 20,85% Bandung 24,37% Bogor 17,39% Tasikmalaya 31,57%
Karawang 8,86% Bekasi 22,11% Bandung 9,79% Bekasi 19,65%
Bandung
Kota Bekasi 8,00% Bogor 20,54% Barat 8,04% Kota Depok 6,04%
Kota Bogor 7,15% Karawang 11,42% Ciamis 6,63% Bogor 5,47%
Bogor 4,71% Purwakarta 8,05% Tasikmalaya 6,16% Cirebon 5,46%
Kota Depok 4,66% Sukabumi 6,25% Karawang 5,79% Bandung 4,61%
Subang 4,23% Tasikmalaya 2,15% Subang 5,57% Subang 3,86%
Cirebon 3,84% Ciamis 1,81% Sukabumi 5,50% Garut 2,52%
Bandung
Barat 3,78% Sumedang 1,51% Cirebon 5,32% Sukabumi 2,35%
Cianjur 3,70% Majalengka 0,80% Indramayu 4,78% Kota Bogor 2,19%
Kota
Cirebon 3,08% Kuningan 0,56% Cianjur 4,68% Sumedang 2,10%
Sukabumi 3,04% Cianjur 0,29% Bekasi 3,85% Kuningan 2,04%
Tasikmalaya 2,99% Kota Cimahi 0,08% Garut 3,66% Kota Bekasi 1,81%
Bandung
Bekasi 2,92% Cirebon 0,06% Majalengka 3,54% Barat 1,66%
Bandung 2,54% Garut 0,01% Kuningan 3,20% Ciamis 1,42%
Kota Kota
Sukabumi 2,32% Indramayu 0,00% Sumedang 3,04% Bandung 1,32%
Kota
Tasikmalaya 2,19% Subang 0,00% Kota Banjar 1,34% Cianjur 1,26%
Bandung
Kota Banjar 2,18% Barat 0,00% Purwakarta 0,77% Tasikmalaya 1,07%
Ciamis 1,94% Pangandaran 0,00% Kota Bekasi 0,55% Karawang 0,80%
Kota Kota
Purwakarta 1,86% Kota Bogor 0,00% Cirebon 0,18% Sukabumi 0,60%
Kota
Sumedang 1,51% Sukabumi 0,00% Kota Depok 0,07% Indramayu 0,60%
Kota Kota
Garut 1,47% Bandung 0,00% Bandung 0,06% Purwakarta 0,49%
Kota Kota
Indramayu 1,05% Cirebon 0,00% Sukabumi 0,04% Kota Cimahi 0,44%
Kuningan 0,90% Kota Bekasi 0,00% Kota Cimahi 0,04% Kota Banjar 0,27%
Kota
Kota Cimahi 0,16% Kota Depok 0,00% Kota Bogor 0,02% Cirebon 0,23%
Kota
Majalengka 0,06% Tasikmalaya 0,00% Pangandaran 0,00% Majalengka 0,18%
Kota
Pangandaran 0,00% Kota Banjar 0,00% Tasikmalaya 0,00% Pangandaran 0,00%
29
BELANJA LANGSUNG
30
Tabel 1.11
Ranking setiap kota/kabupaten pada setiap kuadran pada Realisasi
Anggaran 2012-2014
Belanja Langsung
Belanja Tidak Langsung
Wilayah
Provinsi
Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja
Tidak Belanja Belanja Belanja Belanja Bantuan Bagi Bantuan Tidak Belanja Belanja Barang Belanja
Langsung Pegawai Bunga Subsidi Hibah Sosial Hasil Keuangan Terduga Langsung Pegawai dan Jasa Modal
Kuadran I
Bandung 3 4 14 15 1 2 6 6 5 3 6
Garut 4 3 19 22 15 13 8 8 9 10 7
Tasikmalaya 10 11 8 13 7 5 18 23 25 25 20
Indramayu 9 6 24 23 10 21 11 21 8 17
Kerawang 7 9 5 2 4 6 19 5 3 6 8
Bekasi 15 8 9 14 2 12 2 4 14 4 3
Kota Bekasi 8 7 6 4 3 19 13 3 2 5 4
Kuadran II
Bogor 2 2 2 5 3 1 4 1 1 1 1
Sukabumi 11 12 13 12 6 8 9 10 8 7 16
Cianjur 27 15 2 3 10 12 11 17 13 22 13 13
Cirebon 6 5 12 8 14 9 5 9 7 9 12
Kota
Bandung 1 1 1 1 1 22 16 2 4 2 2
Kuadran
III
Ciamis 12 14 11 19 8 4 15 20 18 18
Kuningan 17 16 23 24 11 15 12 21 17 23 22
Bandung
Brat 18 20 6 9 3 14 15 19 14 14
Kota
Sukabumi 25 25 18 16 23 20 24 23 15 25
Kota
Cirebon 24 24 20 11 20 25 22 20 18 9
Kota Depok 21 21 3 22 6 21 3 7 6 11 5
Kota
Cimahi 23 23 4 17 25 13 24 23 19 15 20 23
Kota Banjar 26 26 26 18 17 24 26 26 26 24
Kuadran
IV
Majaengka 13 10 25 26 10 14 26 14 13 17 11
Sumedang 14 13 5 16 21 9 16 11 16 10 16 19
Subang 16 17 3 10 7 7 7 17 24 21 15
Purwakarta 19 18 7 20 5 18 22 18 16 22 21
Kota Bogor 20 19 2 15 4 25 10 12 12 12 10
Kota
Tasikmalaya 22 22 1 21 17 1 25 11 24 26
31
Selama ini, pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagian besar di biayai
oleh pusat atau subsidi daerah otonomi. Tetapi justru yang terjadi saat ini
penyerapan anggaran di beberapa daerah terbilang cukup minim. Ada bermacam
penyebab yang menimbulkan seretnya penyerapan anggaran di daerah, mulai dari
masih:
1) adanya kegamangan aparat pengelola anggaran di tingkat instansi,
2) lambatnya proses tender,
3) lambatnya pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran,
4) kurangnya SDM yang bersertifikat, sampai dengan:
5) kelemahan dalam perencanaan awal,
6) kelemahan dalam sistem pengendalian intern di bidang pengadaan barang dan
jasa, serta
7) lambatnya penerbitan juklak dan juknis pelaksanaan kegiatan yang didanai
DAK.
Lambatnya pengesahan DPA, terutama petunjuk pelaksanaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) dari pusat, juga menyebabkan rendahnya tingkat realisasi
anggaran belanja. Keterlambatan biasanya terjadi pada kegiatan-kegiatan yang
didanai pusat. Itu pun biasana lebih dikarenakan belum adanya juklak dan juknis
dari instansi pusat sebagai penyandang dana. Biasanya daerah tidak berani
melangkah sebelum ada petunjuk dari pusat. Sebaiknya kucuran dana harus
dibarengi dengan regulasi yang jelas. Dilain sisi, kualitas penyerapan anggaran
utamanya melihat lebih jauh apakah realisasi hasil serapan itu memang benar-
benar berguna bagi masyarakat luas yang juga memenuhi kriteria tepat sasaran,
tepat waktu, dan tepat jumlahnya. Dengan kata lain, hal ini juga untuk
mengevaluasi apakah output/outcome dari suatu kegiatan berdasarkan anggaran
berbasis kinerja (ABK) telah benar-benar mencapai manfaatnya atau belum.
Mengenai fenomena yang sudah umum terjadi di setiap unit kerja terkait
percepatan penyerapan anggaran di akhir tahun, unit kerja harusnya telah lama
menyiapkan administrasinya dan walaupun dalam waktu yang sempit unit kerja
bisa melaksanakan pekerjaan tersebut. Disitulah tantangan bagi aparat
pengawasan teknis seperti BPKP dan BPK. Disamping itu, Pemerintah Provinsi
32
Jawa Barat harusnya memanfaatkan SDM BPKP yang memang kompeten di
bidang pengelolaan anggaran, keuangan, dan audit serta bersinergi dengan BPKP
dalam berbagai penugasan khususnya inspektorat provinsi.
E-Procurement
Lambatnya penyerapan anggaran sering dikaitkan dengan berlarutnya
proses pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu untuk memercepat pelaksanaan
anggaran, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
mendorong instansi pemerintah untuk menerapkan pengadaan barang/jasa secara
elektronis atau yang lebih dikenal dengan e-procurement (e-proc).
Terkait dengan hal ini, Pemprov Jawa Barat mulai tahun 2008 telah
melaksanakan e-proc. Di samping itu lelang dilaksanakan sebelum DPA-nya
terbit, sehingga ketika DPA terbit para pihak tinggal menandatangani kontrak. Hal
ini dilakukan agar proses tender menjadi lebih cepat dan efektif. Bahkan Jawa
Barat mendapat penghargaan, Penghargaan tersebut merupakan penghargaan
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang diterima Jawa Barat untuk
keenam kalinya. Memulai LPSE pada 2008, Jawa Barat merupakan provinsi yang
menggunakan sistem tersebut paling awal.
33
BAB IV
A. Kesimpulan
Dari studi kasus yang telah dibahas menujukkan bahwa belanja merupakan
pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan
wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Belanja
yang dilakukan diharapkan dapat berdampak positif pada pembangunan dan
pelayanan publik pada masyarakat. Berdasarkan struktur anggaran daerah,
elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur
daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan,
belanja tidak tersangka. Dilihat dari studi kasus provinsi Jawa Barat menunjukkan
bahwa belanja daerah yang dilakukan sudah menunjukan nilai yang efetif dari
tahun ke tahun yang di buktikan dengan mendapatkan penghargaan e-
procurement dalam peningkatan pelayan publik dan pembanguan didaerahnya.
Penganggaran yang efektif dan efisien itu hendaknya dilakukan berdasarkan azas
efisiensi, tepat guna, tepat pelaksanaanya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan yang maksimal untuk
kepentingan masyarakat bukan hanya menguntungkan satu atau beberapa pihak
saja.
B. Saran
Menekan belanja hibah yang terlalu besar dengan cara memperbaiki sistem
alokasi dananya.
Provinsi Jawa Barat diharapakan dapat memprioritaskan alokasi anggaran
belanja daerah pada sektor-sektor peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas, serta
mengembangkan sistem jaminan sosial secara menyeluruh kepada semua
34
masyarakat sesuai amanat undang-undang, serta visi, misidan program
kepala/wakil kepala daerah.
Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan
infrastruktur di desa dan di kota untuk mendukung pembangunan setiap
sektor ekonomi serta sekaligus yang dapat memperluas lapangan kerja di
pedesaan melalui pendekatan program padat karya.
Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan
pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat
desa.
Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi
belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,
kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan
masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi
makro.
35