Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolahan keuangan daerah merupakan faktor yang penting untuk


melihat kemandirian suatu daerah. Dilihat dari tingkat kemandirian daerah di
bidang keuangan belum memperlihatkan kemajuan yang berarti bahkan cenderung
menurun selama satu dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah masih sangat
tergantung kepada pusat dan belum memiliki sumber pendapatan asli daerah yang
kuat untuk menopang kegiatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat
di tingkat lokal.
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah telah menunjukkan secara tegas kesepakatan politis yang menetapkan
bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menitikberatkan desentralisasi pada
sisi belanja. Kewenangan yang didelegasikan kepada daerah untuk mendapatkan
penerimaan masih relatif terbatas. Sementara di sisi lain, daerah diberikan
kewenangan yang cukup besar untuk membelanjakan dana yang dikelolanya.
Dengan diskresi belanja daerah yang luas tersebut, maka kualitas belanja
daerah akan sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambil oleh daerah itu
sendiri. Dengan input dana publik yang selalu bersifat terbatas, maka daerah
dituntut untuk mempunyai strategi yang jitu dalam mengelola dan
mengalokasikannya secara efisien, sehingga mampu memberikan output layanan
publik yang optimal. Selanjutnya diharapkan pilihan atas prioritas output tersebut
akan menghasilkan outcome yang signifikan, yang berupa peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Belanja pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pada kualitas pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta
di daerah yang bersangkutan. Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan

1
rendahnya kualitas pelayanan publik dan menurunnya aktivitas sektor swasta.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penyediaan barang publik dan regulasi lokal, sehingga kualitas pelayanan publik
semakin baik dan produktivitas ekonomi di daerah semakin meningkat. Berkaitan
dengan hal tersebut maka peran optimalisasi belanja daerah akan mempengaruhi
pembangunan ekonomi di daerah.
Oleh karena itu, belanja pemerintah daerah yang efisien merupakan isu
penting dalam kebijakan sektor publik, belanja yang efisien diyakini dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Isu efisiensi
belanja pemerintah ini menjadi sangat penting, khususnya dalam konteks
pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi makroekonomi. Belanja pemerintah yang
efisien sangat erat kaitannya dengan proses penganggaran baik proses penyusunan
anggaran pemerintah pusat maupun penyusunan anggaran pemerintah daerah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Kebijakan Belanja Daerah ?

2. Apa Prinsip Manajemen Belanja Daerah?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Memahami Kebijakan Belanja Daerah.

2. Mengetahui dan Memahami Prinsip Manajemen Belanja Daerah.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Belanja Daerah


Beberapa pendapat mengenai belanja daerah, antar lain :
Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara /
Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
pemerintah.
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q)
menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja
daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2001), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua
pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi
beban daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran
bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.
Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas
Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

3
Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah
adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaann bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam
belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik,
belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja tidak tersangka.
Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja
daerah adalah semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam
periode anggaran tertentu digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang
dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemeritah
daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007, belanja daerah dipergunakan
dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan
pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.

B. Tujuan Belanja Daerah


1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan dan penggunaan sumber-
sumber finansial dan material yang tersedia pada suatu negara/daerah.
2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan yang telah
dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik.
3. Sebagai alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia
menurut objek pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas
pengeluarannya.
4. Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan yang
dapat dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan pengeluaran.

4
5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan
dalam membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan
proyek yang diusulkan.
6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas pelaksanaan
kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.

C. Klasifikasi Belanja Daerah


Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
a. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari
belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
b. Klasifikasi belanja menurut fungsi bertujuan untuk keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan
ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum
kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial.
Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi pertahanan dan agama
karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan
sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan.
c. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan
belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria
apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan
atau tidak. Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan
(misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal)
diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan

5
Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung
dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan,
belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan
sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.

D. Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


(APBD)
Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006,
belanja diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja yaitu Belanja tidak langsung
dan Belanja langsung. Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan belanja
yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Kelompok Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya,
kelompok Belanja Tidak Langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari
:
1. Belanja Pegawai
Penganggaran belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji pokok dan
tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji pokok dan tunjangan
pegawai negeri sipil, tambahan penghasilan, serta honor atas pelaksanaan
kegiatan.
2. Belanja Bunga
Penganggaran pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok
utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang.
3. Belanja Subsidi
Penganggaran subsidi kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang telah
diaudit, dalam rangka mendukung kemampuan daya beli masyarakat untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Lembaga
penerima belanja subsidi wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah.

6
4. Belanja Hibah
penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa
kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus yang
terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah
daerah dengan penerima hibah, dalam rangka peningkatan penyelenggaraan fungsi
pemerintahan di daerah, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan
layanan dasar umum, peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan
pembangunan daerah.
5. Belanja Bantuan Sosial
Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada
masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif untuk
memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk PARPOL.
6. Belanja Bagi Hasil
Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi yang
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota yang
dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
7. Bantuan Keuangan
penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya
atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan
keuangan.
8. Belanja Tidak Terduga
Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah Belanja Lain-lain digunakan oleh
pemerintah pusat, sedangkan istilah Belanja Tak Terduga digunakan oleh
pemerintahan daerah. Penganggaran belanja atas kegiatan yang sifatnya tidak
biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan
bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas
kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.

7
Kelompok Belanja Langsung terdiri atas :
1. Belanja Pegawai
Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan untuk
pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah. Belanja Pegawai : Honor : merupaka sesuatu yang harus
dibayarkan oleh pemerintah kepada pegawai , tetapi apabila pegawai tidak
melakukan pekerjaan maka upah tidak akan dibayarkan (dia bekerja /
produktivitas dan berkaitan dengan tujuan oraganisasi).
2. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material,
jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan,
sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa
perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan
atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas,
perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan pegawai
3. Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya.

E. Arahan Pengelolahan Belanja Daerah


Belanja daerah diarahkan pada peningkatan proporsi belanja untuk
memihak kepentingan publik, disamping tetap menjaga eksistensi
penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus
tetap mengedepankan efisiensi, efektivitas dan penghematan sesuai dengan
prioritas, yang diharapkan dapat memberikan dukungan programprogram strategis
daerah. Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan
kegiatan perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain,
semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau

8
penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan mengakibatkan
menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian). Untuk
mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan belanja daerah dilaksanakan
dalam kerangka arah kebijakan, sebagai berikut:
1. Memprioritaskan alokasi anggaran belanja daerah pada sektorsektor
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem jaminan sosial,
terutama bagi mereka yang mengalami ketidakberdayaan (powerless) akibat
termarginalisasi (marginalized), terdevaluasi (devalued), dan mengalami
keterampasan (deprivation), serta pembungkaman (silencing), sesuai amanat
undang-undang, serta visi, misi dan program kepala/wakil kepala daerah.
2. Meningkatkan anggaran belanja daerah untuk program-program
penanggulangan kemiskinan.
3. Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan
infrastruktur pedesaan yang mendukung pembangunan sektor pertanian, dan
pencegahan terhadap bencana alam, serta sekaligus yang dapat memperluas
lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat karya.
4. Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan
pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat
desa.
5. Menyediakan bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dalam rangka memberdayakan UMKM.
6. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi
belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,
kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan
masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi
makro.
7. Meningkatkan efektivitas kebijakan belanja daerah melalui penciptaan kerja
sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi masyarakat
dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah.

9
F. Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah
Dalam kaitannya dengan belanja daerah, terdapat dua aspek yang secara
konseptual berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang erat, yaitu kebijakan belanja
dan manajemen belanja. Kebijakan belanja terkait dengan penentuan apa yang
akan dilakukan yang berimplikasi pada kebutuhan pengeluaran atau belanja.
Sedangkan manajemen belanja terkait dengan bagaimana melaksanakan anggaran
untuk membiayai aktivitas secara ekonomis, efisien dan efektif. Kebijakan belanja
daerah ditentukan pada tahap perencanaan anggaran, sedangkan manajemen
belanja daerah dilakukan pada tahap implementasi anggaran. Pada dasarnya
manajemen belanja akan menyesuaikan kebijakan belanja yang diambil pemda.

Kebijakan Belanja Daerah


Kebijakan belanja daerah biasanya dituangkan dalam dokumen
perancanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan Plafon
Anggaran, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam di dokumen
perencanaan daerah kebijakan belanja daerah merupakan salah satu aspek penting
yang selalu ditekankan. Berikut adalah garis besar dokumen perencanaan daerah
yang secara ekplisis di dalamnya memuat kebijakan anggaran belanja daerah:
A.Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
a. Strategi Pemerintah Daerah
b. Kebijakan Umum
c. Arah Kebijakan Keuangan Daerah
d. Program SKPD, lintas SKPD, kewilayahan, lintas kewilayahan yang
memuat kegiatan dalam Kerangka regulasi dan Kerangka Anggaran.
B.Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) berisi:
a. Prioritas Pembangunan Daerah
b. Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Daerah
c. Arah Kebijakan Keuangan Daerah
d. Program SKPD, lintas SKPD, kewilayahan dan lisntas kewilayahan yang
memuat kegiatan dalam Kerangka Regulasi dan Kerangka Anggaran.

10
C.Kebijakan Umum APBD (KUA) berisi:
a. Target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan
dilaksanakan oleh pemda untu setiap urusan pemda
b. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan dengan asumsi yang mendasarinya
c. Asumsi yang mendasari kebijakan anggaran dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan
fiskal yang ditetapkan pemerintah
d. Kerangka ekonomi makro dan implikasinya terhadap sumber pendanaan,
meliputi:
Penjelasan tentang asumsi anggaran, kondisi yang telah terjadi dan
diperkirakan akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan KUA. Contoh
asumsi dan kondisi makro: laju inflasi, pertumbuhan ekonomi regional,
tingkat penganggaran regional, dan asumsi lainnya yang relevan dengan
kondisi daerah setempat;
Dalam rangka implementasi asumsi dan kondisi yang menjadi dasar
pencapaian sasaran KUA harus mampu menjelaskan kebijakan
penganggaran sesuai kebijakan pemerintah. Kondisi yang bebeda akan
menghasilkan target/sasaran yang berbeda;
Juga diuraikan tentang perkiraan penerimaan untuk menandai seluruh
pengeluaran pada tahun yang akan dating, baik dari Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus ,
maupun dari pinjaman atau hibah.

Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) berisi:


1. Ringkasan kebijakan umum APBD;
2. Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah. Proyeksi anggaran ini
memuat penjelasan yang ditempuh dalam upaya peningkatan pendapatan
daerah, faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terjadinya atau terjadinya
peningkatan belanja daerah dan kebijakan pemerintah daerah di bidang
pembiayaan daerah

11
3. Prioritas Program dan Plafon Anggaran
4. Plafon Anggaran Menurut Organisasi.

Arah kebijakan anggaran banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi yang diambil


pemerintah daerah. Pada prinsipnya kunci kebijakan ekonomi secara klasik
bertujuan pada tiga hal, yaitu:
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Pemerataan ekonomi
c. Stabilitas ekonomi.

Manajemen Belanja Daerah


Manajemen belanja daerah memiliki tiga tujuan pokok yang hendak
dicapai yaitu menjamin dilakukannya disiplin fiskal melalui pengendalian belanja,
dilakukannya alokasi anggaran sesuai dengan kebijakan dan prioritas anggaran,
menjamin efisiensi dan efektivitas alokasi anggaran. Manajemen belanja akan
menyesuaikan arah kebijakan anggaran, khususnya kebijakan ekonomi yang
ditempuh pemda yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi.
Manajemen belanja daerah juga mengacu kepada prinsip tranparansi dan
akuntabilitas, disiplin anggaran, keadilan anggaran serta efisiensi dan efektifitas
anggaran seperti dalam manajamen pendapatan daerah. Dari segi disiplin
anggaran, anggaran belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi.
Penganggaran belanja daerah secara keseluruhan harus juga didukung dengan
adanya kepastian tersediaanya penerimaan. Ini bermakna bahwa daerah sebaiknya
menghindari anggaran defisit yang melebihi cadangan yang tersedia sehingga
terhindar dari penciptaan utang daerah. Prinsip keadilan anggaran mewajibkan
belanja daerah, khususnya dalam pemberian pelayanan umum harus dialokasikan
secara adil dan merata agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi. Dengan prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran, belanja
harus menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang optimal untuk
kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa setiap pos belanja daerah harus
dapat diukur kinerjanya. Pengalaman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah

12
dalam program efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu sering mengalami
hambatan karena beberapa sebab yaitu:
a. Pengeluaran tidak berorientasi pada kepentingan public
b. Pengeluaran tidak berorientasi pada kinerja
c. Pengeluaran berorientasi jangka pendek
d. Pemerintah Daerah, tidak proaktif dan hanya bersifat reaktif untuk
melenyapkan sumber pemborosan keuangan daerah
e. Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat-sifat biaya.

Prinsip Manajemen Belanja Daerah


Terdapat beberapa prinsip manajemen belanja daerah yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Perencanaan Belanja Daerah
Belanja daerah yang tercermin dalam APBD harus terencana dengan baik.
Perencanaan belanja yang baik ditandai dengan:
a. adanya koherensi antara perencanaanaan belanja dalam APBD dengan
dokumen perencanaan daerah;
b. adanya standar satuan harga (SSH) yang merupakan standar biaya per unit
input;
c. adanya analisis standar belanja (ASB) untuk menentukan kewajaran belanja
suatu program atau kegiatan;
d. adanya harga perkiraan sendiri untuk menentukan kewajaran belanja modal
yang pengadaannya ditenderkan;
e. rendahnya tingkat senjangan belanja (budgetary slack).

Pengeluaran daerah yang direncanakan harus memiliki keterkaitan logis


dengan dokumen perencanaan yang dituangkan dalam Renja SKPD. Renja
Pemda. RPJMD dan RPJPD. Azas penting dalam manajemen belanja daerah
adalah dipenuhinya konsep value for money yaitu pengeluaran belanja harus 3E
yaitu ekonomis, efisien dan efektif. Untuk menjamin dilakukannya anggaran
belanja yang memenuhi unsur 3E, pada tahap belanja perlu ditetapkan standar

13
satuan harga (SSH), sebagai standar biaya per unit input yang wajib digunakan
sebagai dasar penganggaran oleh satker.penetapan standar satuan harga ini
penting untuk menghindari terjadinya mark up anggaran. Selain standar satuan
harga, juga perlu dimiliki analisis standar belanja. Analisis standar belanja lebih
tepat digunakan untuk menilai kewajaran belanja khususnya belanja nonmodal,
sedangkan untuk katagori belanja modal diperlukan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) untuk menemukan kewajarannya.

2. Pengendalian Belanja Daerah


Sistem anggaran harus menjamin dilakukannya pengendalian belanja secara
memadai.Setiap pengeluaran harus dapat dilacak prosesnya mulai dari adanya
kelengkapan dokumen anggaran , otorisasi dari pejabat yang berwenang dan
adanya bukti transaksi yang valid. Anggaran belanja seharusnya dilaksanakan
tepat waktu. Pergeseran anggaran dimungkinkan asal tidak mengubah prioritas
program dan mengganggu proses anggaran. Anggaran belanja harus digunakan
sesuai peruntukannya. Fungsi verifikasi anggaran sangat penting untuk
pengendalian anggaran mulai dari pengajuan anggaran hingga
pertanggungjawabannya. Penyerapan anggaran yang terlalu cepat atau lambat dari
target atau jadwal yang direncanakan mengindikasikan kurang bagusnya
pelaksanaan anggaran.

3. Akuntabilitas Belanja Daerah


Belanja daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik, yaitu setiap belanja
harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada publik baik langsung
maupun melalui DPRD. Akuntabilitas publik atas belanja daerah setidaknya
meliputi:
1) akuntabilitas hokum
Akuntabilitas hukum mengandung arti bahwa setiap belanja daerah harus ada
dasar hukumnya, yaitu Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
penjabaran APBD. Pemerintah daerah tidak boleh melakukan pengeluaran
yang tidak dianggarkan.

14
2) akuntabilitas financial
Belanja daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas finansial yaitu setiap
rupiah yang dibelanjakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan
dalam laporan keuangan pemda.
3) akuntabilitas program
Jika belanja daerah yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan program,
maka selain memenuhi prinsip akuntabilitas hukum dan finansial juga harus
memenuhi prinsip akuntabilitas program. Program yang dibiayai dengan
APBD harus dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan kinerja program.
4) akuntabilitas manajerial
Secara kelembagaan, belanja daerah juga harus memenuhi prinsip
akuntabilitas manajerial artinya manajer publik yang terlibat dalam proses
pengeluaran belanja daerah harus bertanggungjawab atas terjadinya
pengeluaran tersebut

4. Auditabilitas Belanja Daerah


Auditabilitas belanja daerah mengandung arti bahwa setiap pengeluaran belanja
yang mengakibatkan beban APBD harus dapat diverifikasi atau diaudit. Verifikasi
atau audit belanja daerah mencakup:
a. kelengkapan dokumen anggaran, seperti DPA-SKPD, SPD, SPP,SPM,SPJ
dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan
b. adanya dokumen transaksi yang valid
c. dilakukannya pencatatan yang memadai
d. dapat diuji silang antara catatan dengan keberadaan.
Aspek audit belanja daerah antara lain untuk memeriksa:
a. ada/tidak ada mark up dalam pengadaan barang/jasa
b. ada/tidak ada bukti belanja yang tidak sah (fiktif)
c. ada/tidak ada penitipan anggaran ke satuan kerja lain
d. ada/tidak ada kesalahan pembebanan belanja ke rekening yang tidak sesuai
e. ada/tidak ada ketidakwajaran dalam belanja modal, belanja pegawai,
belanja barang dan jasa
f. ada/tidak ada ketidakwajaran dalam proses pengadaan barang/jasa.

15
BAB III

STUDI KASUS

(BELANJA DAERAH PADA PROVINSI JAWA BARAT)

Pengelolahan keuangan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk


bagi keberlangsungan keadaan suatu daerah tersebut. Pengelolahan keuangan
yang baik dapat berdampak positif bagi ekonomi, sosial, kesehatan,lingkungan,
pembanguan dan pelayanan publik daerah tersebut. Sebaliknya pengelolahan
keuangan daerah yang tidak efektif dan efisien akan memunculkan damapak
negatif pada ekonomi, sosial, kesehatan,lingkungan, pembanguan dan pelayanan
publik daerah tersebut. Pada studi kasus kali ini mengangkat tentang belanja
daerah Kota dan Kabupaten yang ada di Jawa Barat. Jawa Barat adalah
sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kotanya berada di Kota Bandung.
Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan
Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378).
Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang
Pembentukan Provinsi Jawa Barat.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung
dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibu kota negara Indonesia. Pada
tahun 2000, Provinsi Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten,
yang berada di bagian barat. Saat ini terdapat wacana untuk mengubah nama
Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan aspek
historis wilayah ini. Namun hal ini mendapatkan penentangan dari wilayah Jawa
Barat lainnya seperti Cirebon dimana tokoh masyarakat asal Cirebon menyatakan
bahwa jika nama Jawa Barat diganti dengan nama Pasundan seperti yang berusaha
digulirkan oleh Bapak Soeria Kartalegawa tahun 1947 di Bandung maka Cirebon
akan segera memisahkan diri dari Jawa Barat, karena nama "Pasundan" berarti
(Tanah Sunda) dinilai tidak merepresentasikan keberagaman Jawa Barat yang
sejak dahulu telah dihuni juga oleh Suku Betawi dan Suku Cirebon serta telah

16
dikuatkan dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun
2003 yang mengakui adanya tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang
berbahasa Melayu dialek Betawi. Suku Sunda yang berbahasa Sunda dan Suku
Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya.
Table 1.1
Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014
Rincian 2012 2013 2014
[1] [5] [6] [7]
BELANJA TIDAK
A 13.648.410.111 14.724.113.008 16.958.816.394
LANGSUNG
1 Belanja Pegawai 1.511.157.915 1.535.932.802 1.569.541.693
2 Belanja Bunga - - -
3 Belanja Subsidi 15.055 2.940.521 6.805.400
4 Belanja Hibah 6.136.668.844 5.673.020.648 6.179.782.845
5 Belanja Bantuan Sosial 16.685.225 13.600.215 2.871.320
6 Belanja Bagi Hasil 3.161.224.937 3.994.277.232 5.461.539.028
7 Belanja Bantuan Keuangan 2.815.801.802 3.504.341.590 3.738.146.028
8 Pengeluaran Tidak Terduga 6.856.333 - 130.079
B BELANJA LANGSUNG 3.274.067.487 3.672.632.315 3.839.172.021
1 Belanja Pegawai 404.836.267 426.605.110 304.590.204
2 Belanja Barang dan Jasa 1.733.979.983 1.973.247.376 2.174.779.252
3 Belanja Modal 1.135.251.237 1.272.779.829 1.359.802.565
C PEMBIAYAAN DAERAH 2.958.837.956 3.775.496.831 5.007.648.558
JUMLAH 19.881.315.554 22.172.242.154 25.805.636.973

17
Table 1.2
Persentase Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2015
Rincian 2012 2013 2014
[1] [5] [6] [7]
A BELANJA TIDAK LANGSUNG 68,65% 66,41% 65,72%
1 Belanja Pegawai 7,60% 6,93% 6,08%
2 Belanja Bunga
3 Belanja Subsidi 0,01% 0,03%
4 Belanja Hibah 30,87% 25,59% 23,95%
5 Belanja Bantuan Sosial 0,08% 0,06% 0,01%
6 Belanja Bagi Hasil 15,90% 18,01% 21,16%
7 Belanja Bantuan Keuangan 14,16% 15,81% 14,49%
8 Pengeluaran Tidak Terduga 0,03%
B BELANJA LANGSUNG 16,47% 16,56% 14,88%
1 Belanja Pegawai 2,04% 1,92% 1,18%
2 Belanja Barang dan Jasa 8,72% 8,90% 8,43%
3 Belanja Modal 5,71% 5,74% 5,27%
C PEMBIAYAAN DAERAH 14,88% 17,03% 19,41%
JUMLAH 10 10 10

Table 1.3
Pertumbuhan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2015

Rincian 2012 2013 2014


BELANJA TIDAK
A
LANGSUNG 79,42% 7,88% 15,18%
1 Belanja Pegawai 4,78% 1,64% 2,19%
2 Belanja Bunga
3 Belanja Subsidi -99,83% 19431,86% 131,44%
4 Belanja Hibah 653,11% -7,56% 8,93%
5 Belanja Bantuan Sosial -96,61% -18,49% -78,89%
6 Belanja Bagi Hasil 16,21% 26,35% 36,73%
7 Belanja Bantuan Keuangan 32,35% 24,45% 6,67%
8 Pengeluaran Tidak Terduga 585,63% -10
B BELANJA LANGSUNG 21,77% 12,17% 4,53%
1 Belanja Pegawai 27,43% 5,38% -28,60%
2 Belanja Barang dan Jasa 4,94% 13,80% 10,21%
3 Belanja Modal 57,97% 12,11% 6,84%
C PEMBIAYAAN DAERAH -7,77% 27,60% 32,64%
JUMLAH 47,23% 11,52% 16,39%

18
Total realisasi belanja Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang signifikan. Di tambah pada tahun 2014, Pangandaran
memekarkan diri dari kabupaten Ciamis. Sudah barang tentu anggaran untuk
provinsi Jawa Barat bertambah.
Setiap tahun belanja tertinggi dilakukan untuk belanja hibah atau sekitar
28,26% dari total belanja daerah provinsi Jawa Barat, nilai tersebut sangat besar.
Idealnya belanja daerah ditujukan untuk peningkatan pelayan publik seperti tertera
dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
pelaksanaan belanja daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang
berorientasi pada prestasi kerja, dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dengan keluaran dan outcome yang diharapkan dari kegiatan dan
program. demikian, pendekatan kinerja sekaligus akan mencerminkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik. Efisien akan diwujudkan dalam kesesuaian
antara input (termasuk pendanaan) dengan output yang paling optimal yang bisa
dihasilkan. Sedangkan efektifitas akan diwujudkan dengan kesesuaian antara
output dengan ekspektasi masyarakat terhadap pemenuhan kualitas dan kuantitas
layanan publik yang dihasilkan. Namun belanja daerah yang dilakukan provinsi
Jawa Barat menunjukkan angka yang tinggi pada belanja hibah bukan pada
belanja modal pada APBD Jawa Barat. Belanja Modal merupakan belanja
pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah. selain itu belanja modal juga dapat dialokasikan untuk
menyediakan dan membangun infrastruktur publik. Dengan belanja hibah yang
tinggi, berakibat pada anggaran untuk belanja modal dan belanja barang dan jasa
sangat rendah serta porsi pembangunan di provinsi Jawa Barat sangat terbatas,
sehingga masih banyak nya daerah tertinggal.

19
Table 1.4
Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014

Wilayah Provinsi 2012 2013 2014


[1] [2] [3] [4]
Bogor 3.674.001.336 4.614.270.730 4.899.883.275
Sukabumi 1.999.104.665 2.442.127.472 2.773.710.012
Cianjur 1.973.180.986 2.152.133.853 2.587.215.696
Bandung 2.850.023.254 3.242.165.133 3.823.064.504
Garut 2.131.967.233 2.934.073.591 3.044.084.138
Tasikmalaya 1.829.410.194 2.165.004.333 2.416.942.285
Ciamis 1.839.000.682 2.184.752.025 2.007.151.406
Kuningan 1.434.011.695 1.624.727.704 1.804.797.895
Cirebon 2.033.136.939 2.324.459.361 2.566.975.328
Majalengka 1.525.924.588 1.727.794.211 2.010.112.734
Sumedang 1.467.551.208 1.685.174.428 2.050.349.912
Indramayu 1.843.450.693 2.120.262.966 2.548.894.651
Subang 1.481.609.293 1.777.946.918 2.169.100.505
Purwakarta 1.138.170.000 1.378.889.639 1.541.016.177
Karawang 2.416.221.176 2.762.122.438 3.151.309.950
Bekasi 2.639.023.961 3.276.762.013 3.761.215.939
Bandung Barat 1.501.192.558 1.680.101.452 1.868.257.939
Pangandaran 517.938.317
Kota Bogor 1.355.492.925 1.422.132.371 1.702.962.476
Kota Sukabumi 674.879.856 837.454.351 917.115.742
Kota Bandung 3.490.035.513 4.027.469.180 4.435.597.296
Kota Cirebon 813.671.540 975.249.677 1.193.110.082
Kota Bekasi 2.499.559.814 2.959.889.955 3.107.838.416
Kota Depok 1.371.444.185 1.883.372.158 2.011.328.640
Kota Cimahi 833.552.564 922.343.622 1.042.608.971
Kota Tasikmalaya 1.035.009.274 1.311.026.243 1.456.076.332
Kota Banjar 513.257.046 646.330.710 640.072.225
JUMLAH TOTAL 46.363.883.178 55.078.036.534 62.048.730.841

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat

20
Table 1.5
Kontribusi (Share) Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2014

Wilayah Provinsi 2012 2013 2014 AVERAGE


[1] [2] [3] [4] [5]
Bogor 7,92% 8,38% 7,90% 8,14%
Sukabumi 4,31% 4,43% 4,47% 4,45%
Cianjur 4,26% 3,91% 4,17% 4,04%
Bandung 6,15% 5,89% 6,16% 6,02%
Garut 4,60% 5,33% 4,91% 5,12%
Tasikmalaya 3,95% 3,93% 3,90% 3,91%
Ciamis 3,97% 3,97% 3,23% 3,60%
Kuningan 3,09% 2,95% 2,91% 2,93%
Cirebon 4,39% 4,22% 4,14% 4,18%
Majalengka 3,29% 3,14% 3,24% 3,19%
Sumedang 3,17% 3,06% 3,30% 3,18%
Indramayu 3,98% 3,85% 4,11% 3,98%
Subang 3,20% 3,23% 3,50% 3,36%
Purwakarta 2,45% 2,50% 2,48% 2,49%
Karawang 5,21% 5,01% 5,08% 5,05%
Bekasi 5,69% 5,95% 6,06% 6,01%
Bandung Barat 3,24% 3,05% 3,01% 3,03%
Pangandaran 0,83% 0,42%
Kota Bogor 2,92% 2,58% 2,74% 2,66%
Kota Sukabumi 1,46% 1,52% 1,48% 1,50%
Kota Bandung 7,53% 7,31% 7,15% 7,23%
Kota Cirebon 1,75% 1,77% 1,92% 1,85%
Kota Bekasi 5,39% 5,37% 5,01% 5,19%
Kota Depok 2,96% 3,42% 3,24% 3,33%
Kota Cimahi 1,80% 1,67% 1,68% 1,68%
Kota Tasikmalaya 2,23% 2,38% 2,35% 2,36%
Kota Banjar 1,11% 1,17% 1,03% 1,10%
JUMLAH TOTAL 10 10 10 10

Pada tahun 2012, Ciamis menjadi kabupaten dengan penyerapan anggaran


tertinggi yaitu sebesar 34,92%, dan yang paling rendah adalah, Kota Cirebon (-
0,57%). Setiap tahun biasanya kota/kabupaten yang memiliki anggaran belanja
terburuk, pada tahun berikutnya akan naik menjadi yang tertinggi, namun pada
tahun 2013, tidak demikian. Garut menjadi kabupaten dengan realisasi anggaran

21
tertinggi yaitu 37,62%, dengan Kota Bogor yang duduk pada peringkat terbawah
sebesar 4,92%, dan pada tahun ini pula, tidak ada satupun kota/kabupaten di Jawa
Barat yang realisasi anggaran belanjanya minus. Baru pada tahun 2014, kota
Cirebon menjadi kota dengan realisasi anggaran belanja tertinggi sekitar 22,34%,
dan yang terendah adalah Ciamis dengan (-8,13%). Pada tahun 2014, baru
pertama kalinya kabupaten pangandaran mendapat kucuran dana dari APBD.

Table 1.6
Pertumbuhan (Growth) Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012-2014
Wilayah Provinsi 2012 2013 2014 Average
[1] [2] [3] [4] [5]
Bogor 13,47% 25,59% 6,19% 15,09%
Sukabumi 8,04% 22,16% 13,58% 14,59%
Cianjur 11,00% 9,07% 20,22% 13,43%
Bandung 15,79% 13,76% 17,92% 15,82%
Garut 6,01% 37,62% 3,75% 15,79%
Tasikmalaya 21,24% 18,34% 11,64% 17,07%
Ciamis 34,92% 18,80% -8,13% 15,20%
Kuningan 11,96% 13,30% 11,08% 12,11%
Cirebon 16,21% 14,33% 10,43% 13,66%
Majalengka 18,38% 13,23% 16,34% 15,98%
Sumedang 14,73% 14,83% 21,67% 17,08%
Indramayu 17,33% 15,02% 20,22% 17,52%
Subang 9,60% 2% 22,00% 17,20%
Purwakarta 15,36% 21,15% 11,76% 16,09%
Karawang 29,58% 14,32% 14,09% 19,33%
Bekasi 13,59% 24,17% 14,78% 17,51%
Bandung Barat 19,94% 11,92% 11,20% 14,35%
Pangandaran
Kota Bogor 26,14% 4,92% 19,75% 16,94%
Kota Sukabumi 9,00% 24,09% 9,51% 14,20%
Kota Bandung 13,39% 15,40% 10,13% 12,97%
Kota Cirebon -0,57% 19,86% 22,34% 13,88%
Kota Bekasi 26,15% 18,42% 5,00% 16,52%
Kota Depok 1,58% 37,33% 6,79% 15,23%
Kota Cimahi 12,90% 10,65% 13,04% 12,20%
Kota Tasikmalaya 12,80% 26,67% 11,06% 16,85%
Kota Banjar 5,94% 25,93% -0,97% 10,30%
TOTAL 15,28% 18,80% 12,66% 15,27%

22
Tabel 1.7
Kontribusi (Share) Tiap Kota/Kabupaten Terhadap Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014

Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung


belanja Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja
Wilayah tidak Belanja Belanja Belanja Belanja Bantuan Bagi Bantuan Tidak belanja Belanja Barang Modal
Provinsi langsung Pegawai Bunga Subsidi Hibah Sosial Hasil Keuangan Terduga langsung Pegawai dan Jasa
Bogor 7,22% 6,24% 10,10% 4,71% 20,54% 17,39% 5,47% 10,83% 10,22% 9,20% 12,30%
Sukabumi 4,10% 4,03% 3,62% 3,04% 6,25% 5,50% 2,35% 3,80% 4,36% 5,28% 2,34%
Cianjur 5,15% 3,86% 3,99% 9,98% 3,70% 0,29% 4,68% 1,26% 2,88% 1,84% 3,15% 2,87%
Bandung 6,01% 5,82% 2,75% 2,54% 24,37% 9,79% 4,61% 5,66% 5,06% 6,64% 4,90%
Garut 5,69% 6,13% 1,56% 1,47% 0,01% 3,66% 2,52% 4,71% 4,26% 4,67% 4,76%
Tasikmalaya 4,16% 4,12% 4,04% 2,99% 2,15% 6,16% 1,07% 1,72% 1,43% 1,53% 1,94%
Ciamis 4,00% 3,94% 3,67% 1,94% 1,81% 6,63% 1,42% 1,95% 2,37% 1,65% 2,08%
Kuningan 3,56% 3,83% 0,92% 0,90% 0,56% 3,20% 2,04% 1,89% 2,45% 1,99% 1,64%
Cirebon 4,91% 4,99% 3,62% 3,84% 0,06% 5,32% 5,46% 3,90% 4,45% 4,76% 2,97%
Majalengka 3,92% 4,30% 0,60% 0,06% 0,80% 3,54% 0,18% 2,87% 2,87% 2,46% 3,20%
Sumedang 3,78% 3,99% 1,93% 2,09% 1,51% 1,51% 3,04% 2,10% 2,49% 4,24% 2,46% 2,04%
Indramayu 4,46% 4,82% 0,86% 1,05% 4,78% 0,60% 3,33% 1,89% 4,99% 2,21%
Subang 3,61% 3,50% 0,04% 3,69% 4,23% 5,57% 3,86% 2,27% 1,56% 2,15% 2,53%
Purwakarta 2,96% 2,96% 4,34% 1,86% 8,05% 0,77% 0,49% 2,06% 2,54% 2,07% 1,92%
Karawang 4,69% 4,47% 5,27% 8,86% 11,42% 5,79% 0,80% 6,40% 8,25% 5,92% 4,25%
Bekasi 3,62% 4,50% 3,92% 2,92% 22,11% 3,85% 19,65% 7,02% 2,64% 6,56% 8,47%
Bandung Barat 2,97% 2,60% 4,76% 3,78% 8,04% 1,66% 2,72% 2,35% 2,86% 2,66%
Pangandaran
Kota Bogor 2,66% 2,78% 13,21% 2,28% 7,15% 0,02% 2,19% 3,29% 3,65% 3,19% 3,26%
Kota Sukabumi 1,07% 1,55% 1,59% 2,32% 0,04% 0,60% 1,70% 1,65% 2,47% 1,02%

23
Kota Bandung 7,83% 7,23% 95,97% 18,17% 20,85% 0,06% 1,32% 9,68% 6,92% 8,05% 11,72%
Kota Cirebon 1,89% 2,03% 1,46% 3,08% 0,18% 0,23% 1,81% 2,16% 2,46% 3,57%
Kota Bekasi 4,49% 4,68% 0,93% 5,56% 8,00% 0,55% 1,81% 7,63% 9,84% 6,46% 7,86%
Kota Depok 2,28% 2,37% 4,49% 1,26% 4,66% 0,07% 6,04% 5,03% 4,87% 3,99% 5,94%
Kota Cimahi 1,97% 2,14% 3,60% 1,88% 0,16% 0,08% 0,04% 0,44% 2,04% 2,58% 2,45% 1,52%
Kota
Tasikmalaya 2,12% 2,21% 75,85% 1,46% 2,19% 31,57% 1,23% 4,14% 1,68% 0,84%
Kota Banjar 0,88% 0,88% 0,57% 2,18% 1,34% 0,27% 1,10% 1,41% 0,91% 1,17%

24
Tabel 1.8
Posisi Kota/Kabupaten Pada Setiap Kuadran Dalam Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014

25
Tabel 1.9
Posisi Kota/Kabupaten Pada Setiap Kuadran Dalam Realisasi Anggaran
Belanja Jawa Barat 2012-2014

II I
JENUH DOMINAN
BOGOR BANDUNG
SUKABUMI GARUT
CIANJUR TASIKMALAYA
CIREBON INDRAMAYU
KOTA BANDUNG KARAWANG
BEKASI
KOTA BEKASI
III IV
RENDAH POTENSIAL
CIAMIS MAJALENGKA
KUNINGAN SUMEDANG
BANDUNG BARAT SUBANG
KOTA SUKABUMI PURWAKARTA
KOTA CIREBON KOTA BOGOR
KOTA DEPOK KOTA TASIKMALAYA
KOTA CIMAHI
KOTA BANJAR

Pada tabel 1.9 menunjukan posisi setiap kota/kabupaten yang ada di Jawa
Barat sesuai besaran anggaran yang di realisasikannya pada periode 2010-2015.
Ada tujuh kabupaten kota pada kuadran I, lima berada di kuadran II, delapan
berada pada kuadran III dan enam kota kabupaten di kuadran IV.
1. Posisi Dominan
Pada kuadran satu terdapat tujuh. Kuadran I menunjukan bahwa rata-rata realisasi
anggaran belanja kabupaten kota yang bersangkutan cukup tinggi dibandingkan
dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai

26
growth yang tinggi. Bandung, Karawang, dan Bekasi, beanja tertinggi pada
Belanja Bagi Hasil. Untuk Garut, belanja pegawai tidak langsung, tasikmalaya
belanja tertinggi pada belanja keuangan dan kota bekasi belanja tertinggi pada
belanja pegawai langsung.
2. Posisi Jenuh
Pada kuadran dua terdapat lima kabupaten/kota. Kuadran II menunjukan peran
realisasi anggaran belanja kota kabupaten yang besar dalam realisasi anggaran
belanja total Jawa Barat punya peluang mengecil karena pertumbuhan realisasi
anggaran belanja kota kabupatennya kecil. Disini sumbangan realisasi anggaran
belanja kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat tinggi,
namun pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupatennya rendah. Bogor
dan Sukabumi belanja tertinggi adalah belanja bagi hasil. Cianjur belanja hibah,
cirebon belanja tidak terduga, dan kota bandung belanja subsidi.
3. Posisi Rendah
Realisasi anggaran belanja kota kabupaten belum mengambil peran yang besar
dalam realisasi anggaran belanja total Jawa Barat dan daerah belum punya
kemampuan dalam mengembangkan potensi lokal. Sumbangan realisasi anggaran
belanja kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat
rendah dan pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupaten rendah. Kota
bogor dan kota tasikmalaya belanja paling tinggi adalah belanja bunga. Majalaya
belanja pegawai. Sumedang belanja pegawai langsung, subang belanja keuangan,
purwakarta belanja hibah.
4. Posisi Potensial
Daerah mempunyai kemampuan untuk mengeembangkan potensi lokal sehingga
realisasi anggaran belanja kota kabupaten berpeluang memiliki peran besar dalam
realisasi anggaran belanja total Jawa Barat. Sumbangan realisasi anggaran belanja
kota kabupaten terhadap realisasi anggaran belanja total Jawa Barat masih rendah
namun pertumbuhan realisasi anggaran belanja kota kabupaten tinggi. Ciamis
belanja tertinggi pada belanja keuangan, kuningan belanja pegawai tidak
langsung, bandung barat pada belanja bantua keuangan, kota sukabumi pada
belanja barang dan jasa, kota cirebon pada belanja modal, kota depok pada

27
belanja tidak terduga, kota cimahi pada belanja bunga, dan kota banjar pada
belanja sosial.
Tabel 1.10
Tingkat Share Realisasi Anggaran Belanja Jawa Barat 2012-2014 Dari
Tinggi Ke Rendah Pada Setiap Jenis Belanja

Belanja Tidak Langsung


belanja tidak
langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah
JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH
TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00%
Kota Kota Kota Kota Kota
Bandung 7,83% Bandung 7,23% Tasikmalaya 75,85% Bandung 95,97% Bandung 18,17%
Bogor 7,22% Bogor 6,24% Kota Bogor 13,21% Cianjur 3,99% Bogor 10,10%
Bandung 6,01% Garut 6,13% Kota Depok 4,49% Subang 0,04% Cianjur 9,98%
Garut 5,69% Bandung 5,82% Kota Cimahi 3,60% Bogor 0,00% Kota Bekasi 5,56%
Cianjur 5,15% Cirebon 4,99% Sumedang 1,93% Sukabumi 0,00% Karawang 5,27%
Bandung
Cirebon 4,91% Indramayu 4,82% Kota Bekasi 0,93% Bandung 0,00% Barat 4,76%
Karawang 4,69% Kota Bekasi 4,68% Bogor 0,00% Garut 0,00% Purwakarta 4,34%
Kota Bekasi 4,49% Bekasi 4,50% Sukabumi 0,00% Tasikmalaya 0,00% Tasikmalaya 4,04%
Indramayu 4,46% Karawang 4,47% Cianjur 0,00% Ciamis 0,00% Bekasi 3,92%
Tasikmalaya 4,16% Majalengka 4,30% Bandung 0,00% Kuningan 0,00% Subang 3,69%
Sukabumi 4,10% Tasikmalaya 4,12% Garut 0,00% Cirebon 0,00% Ciamis 3,67%
Ciamis 4,00% Sukabumi 4,03% Tasikmalaya 0,00% Majalengka 0,00% Cirebon 3,62%
Majalengka 3,92% Sumedang 3,99% Ciamis 0,00% Sumedang 0,00% Sukabumi 3,62%
Sumedang 3,78% Ciamis 3,94% Kuningan 0,00% Indramayu 0,00% Bandung 2,75%
Bekasi 3,62% Cianjur 3,86% Cirebon 0,00% Purwakarta 0,00% Kota Bogor 2,28%
Subang 3,61% Kuningan 3,83% Majalengka 0,00% Karawang 0,00% Sumedang 2,09%
Kuningan 3,56% Subang 3,50% Indramayu 0,00% Bekasi 0,00% Kota Cimahi 1,88%
Bandung Bandung Kota
Barat 2,97% Purwakarta 2,96% Subang 0,00% Barat 0,00% Sukabumi 1,59%
Purwakarta 2,96% Kota Bogor 2,78% Purwakarta 0,00% Pangandaran 0,00% Garut 1,56%
Bandung
Kota Bogor 2,66% Barat 2,60% Karawang 0,00% Kota Bogor 0,00% Kota Cirebon 1,46%
Kota Kota
Kota Depok 2,28% Kota Depok 2,37% Bekasi 0,00% Sukabumi 0,00% Tasikmalaya 1,46%
Kota Kota Bandung
Tasikmalaya 2,12% Tasikmalaya 2,21% Barat 0,00% Kota Cirebon 0,00% Kota Depok 1,26%
Kota Cimahi 1,97% Kota Cimahi 2,14% Pangandaran 0,00% Kota Bekasi 0,00% Kuningan 0,92%
Kota
Kota Cirebon 1,89% Kota Cirebon 2,03% Sukabumi 0,00% Kota Depok 0,00% Indramayu 0,86%
Kota Kota Kota
Sukabumi 1,07% Sukabumi 1,55% Bandung 0,00% Kota Cimahi 0,00% Majalengka 0,60%
Kota
Kota Banjar 0,88% Kota Banjar 0,88% Kota Cirebon 0,00% Tasikmalaya 0,00% Kota Banjar 0,57%
Pangandaran 0,00% Pangandaran 0,00% Kota Banjar 0,00% Kota Banjar 0,00% Pangandaran 0,00%

28
Belanja Tidak Langsung
Belanja Bantuan Belanja Bantuan Belanja Tidak Terduga
Sosial Belanja Bagi Hasil Keuangan belanja langsung
JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH
TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00%
Kota Kota
Bandung 20,85% Bandung 24,37% Bogor 17,39% Tasikmalaya 31,57%
Karawang 8,86% Bekasi 22,11% Bandung 9,79% Bekasi 19,65%
Bandung
Kota Bekasi 8,00% Bogor 20,54% Barat 8,04% Kota Depok 6,04%
Kota Bogor 7,15% Karawang 11,42% Ciamis 6,63% Bogor 5,47%
Bogor 4,71% Purwakarta 8,05% Tasikmalaya 6,16% Cirebon 5,46%
Kota Depok 4,66% Sukabumi 6,25% Karawang 5,79% Bandung 4,61%
Subang 4,23% Tasikmalaya 2,15% Subang 5,57% Subang 3,86%
Cirebon 3,84% Ciamis 1,81% Sukabumi 5,50% Garut 2,52%
Bandung
Barat 3,78% Sumedang 1,51% Cirebon 5,32% Sukabumi 2,35%
Cianjur 3,70% Majalengka 0,80% Indramayu 4,78% Kota Bogor 2,19%
Kota
Cirebon 3,08% Kuningan 0,56% Cianjur 4,68% Sumedang 2,10%
Sukabumi 3,04% Cianjur 0,29% Bekasi 3,85% Kuningan 2,04%
Tasikmalaya 2,99% Kota Cimahi 0,08% Garut 3,66% Kota Bekasi 1,81%
Bandung
Bekasi 2,92% Cirebon 0,06% Majalengka 3,54% Barat 1,66%
Bandung 2,54% Garut 0,01% Kuningan 3,20% Ciamis 1,42%
Kota Kota
Sukabumi 2,32% Indramayu 0,00% Sumedang 3,04% Bandung 1,32%
Kota
Tasikmalaya 2,19% Subang 0,00% Kota Banjar 1,34% Cianjur 1,26%
Bandung
Kota Banjar 2,18% Barat 0,00% Purwakarta 0,77% Tasikmalaya 1,07%
Ciamis 1,94% Pangandaran 0,00% Kota Bekasi 0,55% Karawang 0,80%
Kota Kota
Purwakarta 1,86% Kota Bogor 0,00% Cirebon 0,18% Sukabumi 0,60%
Kota
Sumedang 1,51% Sukabumi 0,00% Kota Depok 0,07% Indramayu 0,60%
Kota Kota
Garut 1,47% Bandung 0,00% Bandung 0,06% Purwakarta 0,49%
Kota Kota
Indramayu 1,05% Cirebon 0,00% Sukabumi 0,04% Kota Cimahi 0,44%
Kuningan 0,90% Kota Bekasi 0,00% Kota Cimahi 0,04% Kota Banjar 0,27%
Kota
Kota Cimahi 0,16% Kota Depok 0,00% Kota Bogor 0,02% Cirebon 0,23%
Kota
Majalengka 0,06% Tasikmalaya 0,00% Pangandaran 0,00% Majalengka 0,18%
Kota
Pangandaran 0,00% Kota Banjar 0,00% Tasikmalaya 0,00% Pangandaran 0,00%

29
BELANJA LANGSUNG

Belanja Barang dan Belanja Modal


belanja langsung Belanja Pegawai Jasa

JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH


TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00% TOTAL 100,00%
Bogor 10,83% Bogor 10,22% Bogor 9,20% Bogor 12,30%
Kota Kota Kota
Bandung 9,68% Kota Bekasi 9,84% Bandung 8,05% Bandung 11,72%
Kota Bekasi 7,63% Karawang 8,25% Bandung 6,64% Bekasi 8,47%
Kota
Bekasi 7,02% Bandung 6,92% Bekasi 6,56% Kota Bekasi 7,86%
Karawang 6,40% Bandung 5,06% Kota Bekasi 6,46% Kota Depok 5,94%
Bandung 5,66% Kota Depok 4,87% Karawang 5,92% Bandung 4,90%
Kota Depok 5,03% Cirebon 4,45% Sukabumi 5,28% Garut 4,76%
Garut 4,71% Sukabumi 4,36% Indramayu 4,99% Karawang 4,25%
Kota
Cirebon 3,90% Garut 4,26% Cirebon 4,76% Cirebon 3,57%
Sukabumi 3,80% Sumedang 4,24% Garut 4,67% Kota Bogor 3,26%
Kota
Indramayu 3,33% Tasikmalaya 4,14% Kota Depok 3,99% Majalengka 3,20%
Kota Bogor 3,29% Kota Bogor 3,65% Kota Bogor 3,19% Cirebon 2,97%
Cianjur 2,88% Majalengka 2,87% Cianjur 3,15% Cianjur 2,87%
Bandung Bandung
Majalengka 2,87% Bekasi 2,64% Barat 2,86% Barat 2,66%
Bandung Kota
Barat 2,72% Kota Cimahi 2,58% Sukabumi 2,47% Subang 2,53%
Sumedang 2,49% Purwakarta 2,54% Sumedang 2,46% Sukabumi 2,34%
Subang 2,27% Kuningan 2,45% Majalengka 2,46% Indramayu 2,21%
Kota
Purwakarta 2,06% Ciamis 2,37% Cirebon 2,46% Ciamis 2,08%
Bandung
Kota Cimahi 2,04% Barat 2,35% Kota Cimahi 2,45% Sumedang 2,04%
Kota
Ciamis 1,95% Cirebon 2,16% Subang 2,15% Tasikmalaya 1,94%
Kuningan 1,89% Indramayu 1,89% Purwakarta 2,07% Purwakarta 1,92%
Kota
Cirebon 1,81% Cianjur 1,84% Kuningan 1,99% Kuningan 1,64%
Kota Kota
Tasikmalaya 1,72% Sukabumi 1,65% Tasikmalaya 1,68% Kota Cimahi 1,52%
Kota
Sukabumi 1,70% Subang 1,56% Ciamis 1,65% Kota Banjar 1,17%
Kota Kota
Tasikmalaya 1,23% Tasikmalaya 1,43% Tasikmalaya 1,53% Sukabumi 1,02%
Kota
Kota Banjar 1,10% Kota Banjar 1,41% Kota Banjar 0,91% Tasikmalaya 0,84%
Pangandaran 0,00% Pangandaran 0,00% Pangandaran 0,00% Pangandaran 0,00%

30
Tabel 1.11
Ranking setiap kota/kabupaten pada setiap kuadran pada Realisasi
Anggaran 2012-2014
Belanja Langsung
Belanja Tidak Langsung
Wilayah
Provinsi
Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja
Tidak Belanja Belanja Belanja Belanja Bantuan Bagi Bantuan Tidak Belanja Belanja Barang Belanja
Langsung Pegawai Bunga Subsidi Hibah Sosial Hasil Keuangan Terduga Langsung Pegawai dan Jasa Modal

Kuadran I
Bandung 3 4 14 15 1 2 6 6 5 3 6
Garut 4 3 19 22 15 13 8 8 9 10 7
Tasikmalaya 10 11 8 13 7 5 18 23 25 25 20
Indramayu 9 6 24 23 10 21 11 21 8 17
Kerawang 7 9 5 2 4 6 19 5 3 6 8
Bekasi 15 8 9 14 2 12 2 4 14 4 3
Kota Bekasi 8 7 6 4 3 19 13 3 2 5 4
Kuadran II
Bogor 2 2 2 5 3 1 4 1 1 1 1
Sukabumi 11 12 13 12 6 8 9 10 8 7 16
Cianjur 27 15 2 3 10 12 11 17 13 22 13 13
Cirebon 6 5 12 8 14 9 5 9 7 9 12
Kota
Bandung 1 1 1 1 1 22 16 2 4 2 2
Kuadran
III
Ciamis 12 14 11 19 8 4 15 20 18 18
Kuningan 17 16 23 24 11 15 12 21 17 23 22
Bandung
Brat 18 20 6 9 3 14 15 19 14 14
Kota
Sukabumi 25 25 18 16 23 20 24 23 15 25
Kota
Cirebon 24 24 20 11 20 25 22 20 18 9
Kota Depok 21 21 3 22 6 21 3 7 6 11 5
Kota
Cimahi 23 23 4 17 25 13 24 23 19 15 20 23
Kota Banjar 26 26 26 18 17 24 26 26 26 24
Kuadran
IV
Majaengka 13 10 25 26 10 14 26 14 13 17 11
Sumedang 14 13 5 16 21 9 16 11 16 10 16 19
Subang 16 17 3 10 7 7 7 17 24 21 15
Purwakarta 19 18 7 20 5 18 22 18 16 22 21
Kota Bogor 20 19 2 15 4 25 10 12 12 12 10
Kota
Tasikmalaya 22 22 1 21 17 1 25 11 24 26

31
Selama ini, pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagian besar di biayai
oleh pusat atau subsidi daerah otonomi. Tetapi justru yang terjadi saat ini
penyerapan anggaran di beberapa daerah terbilang cukup minim. Ada bermacam
penyebab yang menimbulkan seretnya penyerapan anggaran di daerah, mulai dari
masih:
1) adanya kegamangan aparat pengelola anggaran di tingkat instansi,
2) lambatnya proses tender,
3) lambatnya pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran,
4) kurangnya SDM yang bersertifikat, sampai dengan:
5) kelemahan dalam perencanaan awal,
6) kelemahan dalam sistem pengendalian intern di bidang pengadaan barang dan
jasa, serta
7) lambatnya penerbitan juklak dan juknis pelaksanaan kegiatan yang didanai
DAK.
Lambatnya pengesahan DPA, terutama petunjuk pelaksanaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) dari pusat, juga menyebabkan rendahnya tingkat realisasi
anggaran belanja. Keterlambatan biasanya terjadi pada kegiatan-kegiatan yang
didanai pusat. Itu pun biasana lebih dikarenakan belum adanya juklak dan juknis
dari instansi pusat sebagai penyandang dana. Biasanya daerah tidak berani
melangkah sebelum ada petunjuk dari pusat. Sebaiknya kucuran dana harus
dibarengi dengan regulasi yang jelas. Dilain sisi, kualitas penyerapan anggaran
utamanya melihat lebih jauh apakah realisasi hasil serapan itu memang benar-
benar berguna bagi masyarakat luas yang juga memenuhi kriteria tepat sasaran,
tepat waktu, dan tepat jumlahnya. Dengan kata lain, hal ini juga untuk
mengevaluasi apakah output/outcome dari suatu kegiatan berdasarkan anggaran
berbasis kinerja (ABK) telah benar-benar mencapai manfaatnya atau belum.
Mengenai fenomena yang sudah umum terjadi di setiap unit kerja terkait
percepatan penyerapan anggaran di akhir tahun, unit kerja harusnya telah lama
menyiapkan administrasinya dan walaupun dalam waktu yang sempit unit kerja
bisa melaksanakan pekerjaan tersebut. Disitulah tantangan bagi aparat
pengawasan teknis seperti BPKP dan BPK. Disamping itu, Pemerintah Provinsi

32
Jawa Barat harusnya memanfaatkan SDM BPKP yang memang kompeten di
bidang pengelolaan anggaran, keuangan, dan audit serta bersinergi dengan BPKP
dalam berbagai penugasan khususnya inspektorat provinsi.

E-Procurement
Lambatnya penyerapan anggaran sering dikaitkan dengan berlarutnya
proses pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu untuk memercepat pelaksanaan
anggaran, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
mendorong instansi pemerintah untuk menerapkan pengadaan barang/jasa secara
elektronis atau yang lebih dikenal dengan e-procurement (e-proc).
Terkait dengan hal ini, Pemprov Jawa Barat mulai tahun 2008 telah
melaksanakan e-proc. Di samping itu lelang dilaksanakan sebelum DPA-nya
terbit, sehingga ketika DPA terbit para pihak tinggal menandatangani kontrak. Hal
ini dilakukan agar proses tender menjadi lebih cepat dan efektif. Bahkan Jawa
Barat mendapat penghargaan, Penghargaan tersebut merupakan penghargaan
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang diterima Jawa Barat untuk
keenam kalinya. Memulai LPSE pada 2008, Jawa Barat merupakan provinsi yang
menggunakan sistem tersebut paling awal.

33
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari studi kasus yang telah dibahas menujukkan bahwa belanja merupakan
pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan
wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Belanja
yang dilakukan diharapkan dapat berdampak positif pada pembangunan dan
pelayanan publik pada masyarakat. Berdasarkan struktur anggaran daerah,
elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur
daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan,
belanja tidak tersangka. Dilihat dari studi kasus provinsi Jawa Barat menunjukkan
bahwa belanja daerah yang dilakukan sudah menunjukan nilai yang efetif dari
tahun ke tahun yang di buktikan dengan mendapatkan penghargaan e-
procurement dalam peningkatan pelayan publik dan pembanguan didaerahnya.
Penganggaran yang efektif dan efisien itu hendaknya dilakukan berdasarkan azas
efisiensi, tepat guna, tepat pelaksanaanya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan yang maksimal untuk
kepentingan masyarakat bukan hanya menguntungkan satu atau beberapa pihak
saja.

B. Saran
Menekan belanja hibah yang terlalu besar dengan cara memperbaiki sistem
alokasi dananya.
Provinsi Jawa Barat diharapakan dapat memprioritaskan alokasi anggaran
belanja daerah pada sektor-sektor peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas, serta
mengembangkan sistem jaminan sosial secara menyeluruh kepada semua

34
masyarakat sesuai amanat undang-undang, serta visi, misidan program
kepala/wakil kepala daerah.
Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan
infrastruktur di desa dan di kota untuk mendukung pembangunan setiap
sektor ekonomi serta sekaligus yang dapat memperluas lapangan kerja di
pedesaan melalui pendekatan program padat karya.
Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan
pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat
desa.
Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi
belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,
kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan
masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi
makro.

35

Anda mungkin juga menyukai