Anda di halaman 1dari 9

PROYEKSI KEUANGAN DAERAH

Hery Pratono, Service Provider LGSP PENGANTAR Proyeksi keuangan dan belanja daerah merupakan kelengkapan dokumen perencanaan daerah untuk melakukan analisis keuangan daerah. Proyeksi ini akan digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan keuangan daerah yang tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan dengan menekankan pada prinsip money follow function sebagai konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terbitnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 memberikan warna baru landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut bertumpu pada upaya peningkatan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan publik baik dari sisi pendapatan maupun belanja. KONSEP DASAR Inti perubahan yang ingin dilakukan dalam arah kebijakan keuangan daerah antara lain mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam mengelola keuangan publik, meliputi mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta pertanggungjawaban keuangan daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah dilandaskan pada peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu: 1. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2001 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; dan

7.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggung jawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Daerah dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar tersebut dijabarkan ke dalam asas-asas umum pengelolaan keuangan daerah yang meliputi: 1. Asas tahunan; 2. Asas universalitas; 3. Asas kesatuan; 4. Asas spesialitas; 5. Akuntabilitas berorientasi pada hasil; 6. Profesionalitas; 7. Proporsionalitas; 8. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan; dan 9. Pemeriksaan keuangan yang bebas dan mandiri. Pengelolaan Pendapatan Daerah Pendapatan daerah dalam struktur APBD merupakan elemen penting bagi kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan kontrol terhadap alokasi sumber daya. Pengembangan sistem pendapatan daerah dibutuhkan untuk menjamin stabilitas pendapatan daerah supaya pemerintah lokal mampu mengembangkan administrasi dan keuangan layanan publik yang lebih independen dan autonomous. Pengelolaan pendapatan daerah hendaknya menekankan pada keserasian antara kebutuhan pengeluaran dan pendapatan. Prinsip bahwa nilai tambah pendapatan daerah akan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat merupakan upaya mobilitas sumber daya lokal melalui peningkatan pendapatan daerah tidak akan menimbulkan gangguan terhadap alokasi sumber daya. Sampai akhir Maret 2006, Departemen Dalam Negeri tengah memproses pembatalan 393 perda pajak dan retribusi yang menghambat iklim investasi. Sebagian besar perda ternyata masih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah, di mana peningkatan Pendapatan Asli

Daerah seringkali menjadi alasan utama penentuan pajak dan retribusi. Di lain pihak, visi daerah sering kali dilupakan dalam merumuskan peraturan daerah hanya yang berorientasi pada pendapatan asli daerah. Pengembangan metode kajian tentang kebijakan daerah dilakukan antara lain oleh KPPOD (Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah), OED (Operation Evaluation Department, World Bank), serta Deperindag dan PEG-USAID. Dalam melakukan kajian terhadap

perda, KPPOD menggembangkan metode yang menggunakan pendekatan teknis hukum dan ekonomi, sementara RIA berfokus pada pendekatan konsep intervensi pemerintah untuk memberikan solusi dalam mengatasi kegagalan mekanisme (pasar) yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat sendiri. Di lain pihak, pendekatan OED lebih menekankan sinergi tujuan antar berbagai stakeholder utama yang terlibat dalam pembangunan daerah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun lembaga pemerintah lain yang terkait.

Tabel 1 Metode Kaji Ulang Perda Pendapatan Daerah KPPOD OED Eksternal Prinsip: konteks ekonomi Relevansi Tujuan: secara luas (i.e. free trade, konsistensi dengan strategi persaingan sehat, pembangunan nasional, eksternalitas negatif, regional, kota kewenangan pemerintah) Dampak sektoral: daya saing, efisiensi, dan keberlanjutan Internal Peraturan Substansi: keterkaitan antara tujuan dan isi, obyek dan subyek pungutan, hak dan kewajiban wajib pungut, standar pelayanan, filosofi dan prinsip pungutan Efficacy: kejelasan tentang ukuran keberhasilan Efficiency: hasil yang didapat dan sumber daya terpakai Sustainability: ketersediaan sumber daya, dukungan masyarakat Performance Pemerintah Daerah: strategi pemerintah daerah untuk mencapai tujuan dan mengelola sumber dayanya, termasuk kualitas implementasi perda.

RIA Identifikasi Masalah: uji definisi masalah, identitas wewenang hukum, susunan regulasi Alternatif regulasi: self regulation, quasi regulation, explicit regulation Tujuan Regulasi: solusi masalah yang adil Manfaat dan Biaya: dari sisi pelaku bisnis, konsumen, dan pemerintah

Yuridis

Teknis yuridis: relevansi acuan sumber hukum, perundangan terbaru, kelengkapan teknis yuridis formal Pusdakota (2005) Pengelolaan Belanja Daerah Belanja daerah diarahkan pada peningkatan proporsi daerah untuk memihak kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal, disamping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap mengedepankan efisiensi maupun efektivitas sesuai dengan prioritas untuk memberikan dukungan pada strategi pembangunan daerah. Garis besar isi Kebijakan Umm APBD merupakan rancangan prioritas kegiatan dan plafon anggaran sementara. Tahapan pertama dalam proses rancangan tersebut adalah (1) menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilihan, seperti sektor yang

Kepatuhan: penegakan peraturan daerah

menuntut standar pelayanan minimal, (2) Penentuan urutan program untuk masingmasing urusan dilakukan, serta (3) penyusunan plafon anggaran sementara untuk masingmasing program. Upaya mewujudkan anggaran berbasis kinerja sering kali masih menemui jalan buntu. Kinerja dalam melaksanakan TUPOKSI atau kegiatan rutin bagian atau seksi tidak terukur karena tidak ada indikator kinerja yang dihubungkan ke dalam biaya tidak langsung. Misalnya, alokasi dana pendidikan minimal 20% dari APBD dipandang belum memenuhi karena dihitung berdasarkan alokasi dana anggaran belanja pembangunan. Di lain pihak, eksekutif menggunakan alasan bahwa alokasi dana untuk

pendidikan sudah dilakukan pada alokasi anggaran belanja pegawai yang bekerja di sektor pendidikan. Di lain pihak, program pendidikan bisa dimasukkan dalam program pelatihan yang merupakan belanja pembangunan di sektor lainnya non pendidikan. Sebagian besar belanja anggaran merupakan belanja tidak langsung (biasanya sekitar 6585%) akan menyulitkan pengukuran keberhasilan suatu program. Metode yang biasa Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk melakukan analisis biaya tidak (1) ----------------------------------------

langsung adalah activity-based costing. Namun metode ini masih belum banyak dikembangkan untuk sektor publik. Selama ini, metode ini masih dikembangkan untuk sektor swasta dalam menentukan harga suatu produk. Untuk melihat kinerja keuangan daerah, derajat kemandirian daerah dapat diukur dari seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah mampu memenuhi kebutuhan daerah.

Total Pengeluaran Daerah Pendapatan Asli Daerah

(2)

----------------------------------------

Pengeluaran Rutin

Pembiayaan Daerah Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 3 Undang Undang Nomor 17 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 83 ayat 2 dalam UndangUndang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jumlah kumulatif defisit anggaran tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Regional Bruto tahun bersangkutan. Bagi perekonomian daerah yang berbasis sektor primer seperti Daerah , peranan anggaran pemerintah sebagai motor penggerak ekonomi daerah menuntut kebijakan yang cenderung ekspansif. Salah satu alternatif bagi pembiayaan daerah adalah hutang, yang diharapkan dapat mengatasi masalah keterbatasan dana segar, meningkatkan alternatif investasi daerah, maupun meningkatkan mobilitas pendapatan lokal. Di lain pihak, risiko yang harus ditanggung berupa lemahnya anggaran pemerintah (soft budget constraint) akibat disiplin fiskal yang lemah, moral hazard, dan perilaku oportunis kelembagaan pemerintah daerah. Kondisi stabilitas ekonomi makro, baik berupa fluktuasi nilai tukar maupun tingkat suku bunga, merupakan faktor eksternal yang perlu dicermati dalam memilih alternatif sumber pembiayaan daerah dari hutang. PROYEKSI KEUANGAN DAERAH Ada dua konsep yang ingin disampaikan dalam proyeksi keuangan daerah. Untuk pendapatan daerah, proyeksi keuangan daerah bisa dilakukan dengan menggunakan analisis statistik, karena pengaruh lingkungan ekonomi yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Di lain pihak, penyusunan anggaran pengeluaran daerah sebaiknya menggunakan basis aktivitas (activity-based costing) yang dibutuhkan untuk mencapai prioritas

pembangunan daerah berdasarkan indikator kinerja yang terukur. Pendekatan Statistik Proyeksi keuangan bisa dilakukan dengan menggunakan trend atau model regresi. Proyeksi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) akan dilakukan dengan menggunakan trend dengan estimasi vektor autoregression, yaitu estimasi dengan menggunakan basis data beberapa periode sebelumnya. Dalam kasus ini akan digunakan dua basis data periode tahun sebelumnya (-1) dan dua tahun sebelumnya (2), sehingga fungsi persamaannya dapat ditulis sebagai berikut: PDRB = f(PDRB(-1), PDRB(-2)) Hasil estimasi dengan menggunakan software econometric views adalah sebagai berikut PDRB = -0,609605 (PDRB (-1)) + 1,293098 (PDRB (-2))* Hasil tersebut menunjukkan bahwa PDRB pada dua tahun sebelumnya lebih berpengaruh dalam menentukan proyeksi keuangan (secara statistik signifikan disimbolkan dengan *), sedangkan kondisi satu tahun sebelumnya secara statistik tidak cukup berpengaruh. Kenaikan satu satuan PDRB pada tahun ini (misalnya dalam milyar rupiah) akan menyebabkan kenaikan sebesar 1,29 satuan pada dua tahun yang akan datang. Secara detail perhitungan bisa dilihat dari tabel dalam lampiran. Hasil estimasi akan digunakan sebagai penentuan asumsi dasar yang selanjutnya akan mempengaruhi besaran angka pendapatan dan belanja daerah. Misalnya pada 2004, PDRD sebesar 100 milyar dan 2005 sebesar 105 milyar. Maka pada tahun 2006 PDRB diperkirakan sebesar 129 yang berasal dari PDRB tahun 2004 dikalikan koefisien estimasi (100x1,29)

Tabel 2: Proyeksi PDRB 2004 2005 100 105 * = hasil estimasi

2006* 129 100x1,29

2007* 135.45 105x1,29

2008* 166.41 135,45x1,29

2009* 174.7305 166,41x1,29

2010* 214.6689 174,73x1,29

Penggunaan regresi digunakan dalam melakukan proyeksi suatu variabel yang akan ditentukan oleh keberadaan variabel lain. Misalnya dalam penilaian BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) akan menggunakan variabel PDRB dan tingkat kepadatan penduduk (density) sebagai variabel yang mempengaruhi. Hasil estimasi menunjukkan persamaan sebagai berikut: BHPTB = -0,971310* +0,000590(Density)* + 0,0007(PDRB)*

Dalam menentukan proyeksi BHPTB, semua variabel penentu dalam model signifikan secara statistik mempengaruhi BHPTB. (Pengujian secara statistik bisa dilihat pada bagian lampiran). Tabel 3: Proyeksi BHPTB Pdrb* Density* 2005 1000 100 2006 1010 120 2007 1015 125 * = asumsi, ** = perkiraan Persamaan =-0.97+(0.00059*1000)+(0.0007*100) =-0.97+(0.00059*1010)+(0.0007*120) =-0.97+(0.00059*1015)+(0.0007*125)

BHPTB** -0.211 -0.1922 -0.18575

Pendekatan Medium Term Expenditure Framework MTEF merupakan mekanisme untuk menentukan skala prioritas dan memastikan alokasi dana untuk mencapai target dari skala prioritas tersebut. MTEF terdiri dari proyeksi (1) top-down terhadap ketersediaan sumber daya agregat untuk menentukan pengeluaran publik dengan mempertimbangkan kondisi stabilitas ekonomi makro, (2) proyeksi biaya yang dibutuhkan dalam melakukan suatu kebijakan dan bersifat bottom-up, serta (3) kerangka kerja untuk melakukan rekonsiliasi antara biaya dan ketersediaan sumber daya. Disebut medium term karena perencanaan ini menggunakan data yang berbasis prospektif, misalnya untuk satu tahun ke depan (n+1) maupun tahun-tahun berikutnya (n+2) dan (n+3). Pada tingkat politik, keputusan untuk melakukan peningkatan jasa layanan publik dan transformasi dalam proyeksi yang realistis didasarkan kemampuan pembiayaan anggaran daerah. Sistem ini menuntut keterlibatan pengambil kebijakan, perencanaan, dan penganggaran sejak awal dalam siklus penganggaran. Pengambilan keputusan dalam menentukan anggaran ini sangat ditentukan oleh integritas dan kualitas informasi data. Dengan demikian, tujuan utama MTEF adalah memperkuat pengambilan keputusan politis dalam proses anggaran. Pos pengeluaran biasanya stabil mengalami peningkatan sedangkan pos penerimaan ada kalanya mengalami fluktuasi seperti terlihat

pada kasus di Pacitan (gambar 1). Dalam gambar 1 terlihat kecenderungan penurunan penerimaan daerah sementara pengeluaran masih tetap meningkat. Trend yang dilakukan dengan menggunakan excel hanya mungkin bisa dilakukan apabila estimasi dengan autoregresi (-4) benar-benar signifikan. Namun demikian, kondisi penerimaan daerah sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan ekonomi. Ada kemungkinan daya beli masyarakat pada 2005 akibat kenaikan BBM (inflasi) mengalami penurunan sehingga terjadi penurunan pendapatan daerah. Misalnya terjadinya inflasi yang dicerminkan oleh kenaikan ihk (indeks harga konsumen) akan diikuti oleh penurunan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 1,000085 juta rupiah. PAD = -1,000085 (IHK)* Kondisi ini cukup rawan bagi Kabupaten Pacitan untuk terjebak dalam kebangkrutan. Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 3 Undang Undang Nomor 17 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 83 ayat 2 dalam UndangUndang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jumlah kumulatif defisit anggaran tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Regional Bruto tahun bersangkutan. Fenomena defisit yang mengakibatkan bangkrutnya suatu daerah pernah dialami oleh Rio de Janeiro pada 1988, Cleveland pada 1978. Bahkan kota besar sekaliber New York pun pernah mengalami kebangkrutan pada 1975.

Gamba r 1. Realisasi dan Per kir a an A nggara n Pendapa t an dan Belanja Daerah Ka bupat en Pa cit an 500 Belanja 450 Pendapatan

400

350 milyar

Trend autoregresif (4)

300

Skenario A
250

200

Skenario B
150 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Masalah ini juga pernah dialami oleh Uganda pada 1996, namun negara tersebut terlepas dari bencana kebangkrutan setelah menerapkan MTEF. Upaya melakukan rekonsiliasi penerimaan yang merosot dilakukan dengan melakukan pemotongan sejumlah pos pengeluaran yang tidak efisien. Saat itu defisit mencapai 8,9% terhadap PDRB, sehingga untuk menghidari penurunan kualitas layanan publik, Pemerintah Uganda memilih mencari pinjaman lunak (grant). Defisit anggaran pemerintah diperkirakan akan mencapai 2,5% setelah pemerintah memanfaatkan grant. 1 Dalam beberapa kasus seperti Uganda pada 1992 dan Korea, MTEF dilakukan oleh suatu negara pada saat mengalami krisis fiskal serta mendukung pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Hal ini dilakukan karena MTEF memungkinkan kerjasama antar dinas dan perencanaan dilakukan dalam periode yang lebih panjang sehingga pendekatan holistik menjadi sangat mungkin dilakukan.

Tabel 4: Proses pendukung utama MTEF

Proses Utama
1

Proses Pendukung

Tujuan

Untuk diskusi lebih lanjut tentang Uganda baca Bevan (2001) The Budget and Medium-Term Expenditure Framework in Uganda, African Region Working Paper Series No 24 atau www.worldbank.org/afr/wps/index.htm

Penentuan sumber daya agregat

Analisis kondisi makroekonomi, proyeksi keuangan daerah, dan definisi kebijakan fiskal yang berkelanjutan Dinas melakukan formulasi pengeluaran program sektoral Dewan dan stakeholders melakukan rekonsiliasi antara keterbatasan sumber daya dengan kebutuhan pengeluaran Berdasarkan data yang relevan, pengambil keputusan mengalokasikan sumber daya ke sektor-sektor Formulasi anggaran tahunan

Formulasi dan rencana pengeluaran sektoral Rekonsiliasi sumber daya yang tersedia dengan rencana pengeluaran sektoral Menentukan alokasi sektoral jangka menengah Mengumumkan batas pengeluaran sektoral untuk satu tahun dalam MTEF Memastikan bahwa pelaksanaan penganggaran sejalan dengan keinginan anggaran Memastikan bahwa hasil yang diinginkan tercapai

Membuat proyeksi yang realistis dari keberadaan sumber daya dalam jangka menengah yang akan dialokasikan untuk program pengeluaran Untuk menunjukkan tujuan sektoral, program, dan aktivitas termasuk sumber daya yang diperlukan Untuk menentukan kesepakatan dalam program pengeluaran jangka menengah Untuk mengkomunikasikan ke dinasdinas tentang kebijakan pengeluaran sektoral dengan keterbatasan sumber daya agregat Untuk memastikan bahwa anggaran yang dipersiapkan merefleksikan kesepakatan program pengeluaran sektoral Untuk mencegah penyimpangan yang berlebihan Untuk mengkaitkan kepentingan staff pemda dan para politisi dengan keinginan publik

Akuntansi, pelaporan, dan pengendalian anggaran digunakan dalam pelaksanaan anggaran tahunan Insentif bagi staff yang mempunyai kinerja bagus. Ex post audit dan evaluasi

Pembiayaan Daerah Berdasarkan arah pembiayaan daerah yang memungkinkan pembiayaan daerah dari pajak, analisis kebutuhan hutang daerah merupakan proyeksi kebutuhan pemerintah daerah untuk melakukan investasi dengan dasar arus penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah untuk menentukan kemampuan membayar. Berdasarkan konsep perhitungan DSCR (Debt Service Coverage Ratio) yaitu kemampuan maksimal pemerintah lokal dalam mengelola sumber pembiayaan dari hutang, jumlah pembiayaan hutang per tahun (berupa pembayaran pokok hutang, bunga pinjaman, dan biaya lainnya) sebaiknya kurang dari 2,5 (PAD+ Bagian Daerah+Belanja Wajib). Tabel , kemampuan Pemerintah Daerah dalam membayar angsuran tahunan sebesar Rp 89 milyar pada 2005, dan terus meningkat menjadi Rp 127 milyar pada 2011. Besar hutang yang dimungkinkan maksimal kurang dari 75% APBD. Tabel 5. Potensi Pembiayaan Daerah 2006 Pendapatan Daerah 452.579 1. Bagi Hasil Pajak 18.215 2. Bagi Hasil Bukan Pajak 3. PAD 434.364 Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Pemeliharaan Belanja Perjln Dinas Belanja Lain-lain (PAD+BD+DAU) DSCR Maksimal Kemampuan Mengangsur Maksimal Hutang Penutup 228.785 192.316 13.264 5.419 3.531 14.255 223.794 2,5 89.518

2007 491.848 20.298 471.550 248.949 207.845 14.756 6.249 4.006 16.092 242.900 2,5 97.160 256.222

2008 531.118 22.382 508.737 269.113 223.375 16.249 7.079 4.482 17.929 262.006 2,5 104.802 269.506

2009 570.388 24.465 545.923 289.277 238.904 17.742 7.908 4.957 19.765 281.111 2,5 112.444 282.790

2010 609.045 26.548 582.497 308.828 254.434 19.235 8.738 5.432 20.990 300.217 2,5 120.087 282.977

2011 648.009 28.632 619.377 328.686 269.964 20.727 9.567 5.907 22.521 319.323 2,5 127.729 308.153

Penguatan keterkaitan antara prioritas pembangunan daerah dengan perencanaan pengeluaran merupakan tahapan menuju visi pembangunan daerah. Informasi tentang bagaimana dana masyarakat dialokasikan yang mencerminkan transparansi dan akuntabilitas menuntut political will pemerintah. Sering kali, pemerintah lupa akan mandat yang diberikan rakyat sehingga proses politik terjebak pada perebutan kekuasaan yang justru mempunyai potensi menimbulkan bencana kebangkrutan. Konsep penganggaran kinerja yang memungkinkan prinsip anggaran defisit dengan melibatkan pendekatan partisipasif masih berhadapan dengan penyakit lama yaitu ego sektoral serta keterisolasian antara perencanaan dan panganggaran. Arah kebijakan umum APBD merupakan instrumen strategis untuk menjembatani kebijakan jangka menengah dengan perencanaan program dan penganggaran tahunan. Penjabaran program dan kegiatan bredasarkan bidang kewenangan dilihat sebagai suatu formula yang konsisten terhadap seluruh tahapan mulai perencanaan sampai dokumen APBD. Lampiran Dependent Variable: PAD Method: Least Squares Date: 04/01/06 Time: 11:42 Sample: 1 336 Included observations: 336 Variable Coefficient C -0.725838 IHK -1.000085 R-squared 0.999972 Adjusted R-squared 0.999972 S.E. of regression 11.63600 Sum squared resid 45222.42 Log likelihood -1300.339 Durbin-Watson stat 2.007487

Std. Error t-Statistic Prob. 0.708497 -1.024476 0.3064 0.000290 -3443.026 0.0000 Mean dependent var 1082.613 S.D. dependent var 2188.909 Akaike info criterion 7.752019 Schwarz criterion 7.774740 F-statistic 11854426 Prob(F-statistic) 0.000000

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.004516 Probability Obs*R-squared 0.009140 Probability Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio

0.995494 0.995440

0.060129 0.121684

Probability Probability

0.941654 0.940972

White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0.086985 Obs*R-squared 0.175445 Dependent Variable: POVGAP Method: Least Squares Date: 04/01/06 Time: 11:59 Sample: 1 336 Included observations: 336 Variable Coefficient C 585.8161 BPEGAWAI -0.004695 AREA -0.002557 R-squared 0.024238 Adjusted R-squared 0.018377 S.E. of regression 469.4168 Sum squared resid 73377267 Log likelihood -2542.158 Durbin-Watson stat 0.788990 Dependent Variable: NPOOR000

Probability Probability

0.916712 0.916015

Std. Error t-Statistic 50.32133 11.64151 0.003521 -1.333477 0.001043 -2.452358 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Prob. 0.0000 0.1833 0.0147 500.2768 473.7905 15.14975 15.18383 4.135794 0.016819

Method: Least Squares Date: 04/01/06 Time: 12:01 Sample: 1 336 Included observations: 336 Variable Coefficient C -10006.20 BPEGAWAI 1.612234 POVGAP 9.430947 R-squared 0.626641 Adjusted R-squared 0.624399 S.E. of regression 9480.549 Sum squared resid 2.99E+10 Log likelihood -3552.008 Durbin-Watson stat 1.605469 Estimasi dengan Vektor Autoregression Date: 04/01/06 Time: 12:50 Sample(adjusted): 2002 2004 Included observations: 3 after adjusting endpoints Standard errors & t-statistics in parentheses PDRB PDRB(-1) -0.609605 (0.86358) (-0.70591) PDRB(-2) R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 1.293098 (0.74086) (1.74540) 0.362302 -0.275397 4.45E+15 66708460 -56.65642 -55.32309 -55.92402 78167742 59068818

Std. Error t-Statistic 1176.100 -8.507943 0.071185 22.64860 1.096897 8.597839 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 14167.32 15469.28 21.16076 21.19484 279.4516 0.000000

Date: 04/01/06 Time: 13:07 Sample(adjusted): 2003 2005 Included observations: 3 after adjusting endpoints Standard errors & t-statistics in parentheses TOTBELJ TOTBELJ(-1) -0.005577 (0.00643) (-0.86718) TOTBELJ(-2) R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent 1.142034 (0.00976) (116.995) 0.999889 0.999779 5.30E+14 23018628 -53.46434 -52.13101 -52.73193 9.07E+08

S.D. dependent

1.55E+09

Date: 04/01/06 Time: 13:08 Sample(adjusted): 2003 2005 Included observations: 3 after adjusting endpoints Standard errors & t-statistics in parentheses TOTPEND TOTPEND(-1) 2.218271 (0.21341) (10.3946) TOTPEND(-2) R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent -1.298909 (0.23176) (-5.60450) 0.680068 0.360136 2.49E+15 49877645 -55.78415 -54.45081 -55.05174 2.90E+09 62353684

Dependent Variable: BHPBP Method: Least Squares Date: 04/01/06 Time: 23:45 Sample: 1 336 Included observations: 336 Variable Coefficient C -0.971310 DENSITY 0.000590 PDRBTOTAL 0.000700 R-squared 0.511679 Adjusted R-squared 0.508746 S.E. of regression 2.880259 Sum squared resid 2762.532 Log likelihood -830.7044 Durbin-Watson stat 1.690620

Std. Error t-Statistic 0.197422 -4.919972 8.81E-05 6.694283 4.93E-05 14.21424 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 1.259482 4.109400 4.962526 4.996607 174.4639 0.000000

Anda mungkin juga menyukai