Pembangunan Manusia
Sylviana Astika Br Tarigan
NIM : E1031201003
Pendahuluan
Kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraannya
adalah salah satu ciri utama kemandirian keuangan daerah. Sayangnya, masih
banyak daerah yang bergantung pada transfer fiskal antar pemerintah dari
pemerintah pusat, bukannya mengoptimalkan pendapatan daerah sendiri, malah
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia, yang bertujuan untuk
membuat daerah menjadi mandiri, telah berjalan selama dua dekade sejak tahun
2001. Kapasitas keuangan daerah adalah juga salah satu kriteria yang menentukan
keberhasilan daerah tertinggal. Studi ini memetakan kemampuan finansial dari
daerah tertinggal dengan menggunakan metode penelitian deskriptif. Itu sumber
data dari pendapatan dan belanja daerah 2020 anggaran di 62 daerah tertinggal
menurut Presiden Peraturan Nomor 63 Tahun 2020. Kami memanfaatkan
kemampuan finansial indeks, analisis pola hubungan antara pusat dan pemerintah
daerah, serta analisis kuadran. Hasil dari tiga analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah tertinggal adalah masih belum mandiri secara finansial
karena masih bergantung pada bantuan pemerintah pusat.
Pembahasaan
Kinerja keuangan merupakan pengukuran kinerja yang menggunakan
indikator keuangan. beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data
keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut:
(1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. keuangan daerah kemandirian (otonomi
fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah untuk mendanai kegiatannya,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang dibutuhkan oleh daerah. Kemandirian
keuangan daerah ditunjukkan dengan besarnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, untuk
misalnya hibah dari pemerintah pusat atau dari pinjaman. Rasio kemandirian
menggambarkan wilayah ketergantungan pada sumber pendanaan eksternal.
Semakin tinggi rasio independensi berarti semakin tingkat ketergantungan daerah
terhadap pihak eksternal (terutama pusat dan provinsi) pemerintah) lebih rendah,
dan sebaliknya. Rasio independensi juga menggambarkan tingginya tingkat
keikutsertaan masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi yang merupakan
komponen utama pendapatan daerah pendapatan asli. Semakin tinggi masyarakat
membayar pajak dan retribusi daerah maka semakin tinggi pula tingkatnya
kesejahteraan rakyat akan menjadi,
(2) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal. Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk melakukan eksplorasi dan mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan
untuk mengukur tingkat kontribusi Daerah Pendapatan Asli Daerah sebagai
sumber penerimaan yang dikelola sendiri terhadap total penerimaan daerah.
Daerah pendapatan asli adalah pendapatan yang berasal dari hasil pajak daerah,
retribusi daerah, badan usaha milik daerah dan pengelolaan barang milik daerah
dan lain-lain yang sah pendapatan. Total Pendapatan Daerah adalah penjumlahan
seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran, dan
(3) Daerah Rasio Efektivitas Pendapatan Asli. Rasio efektivitas menggambarkan
kemampuan lokal pemerintah dalam mewujudkan Pendapatan Asli Daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi
daerah yang sebenarnya. Kemampuan daerah dalam melaksanakan tugasnya
dikategorikan sebagai: efektif jika mencapai minimal 1 (satu) atau 100 persen.
Semakin tinggi rasio efektivitas, semakin baik kemampuan daerah tersebut.
Daerah yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan otonomi dapat
dilihat dari dua karakteristik. Karakteristik pertama terletak pada keuangan
kapasitas daerah dimana daerah tersebut memiliki kemampuan, kewenangan dan
kreativitas dalam mencari, mengoptimalkan atau memanfaatkan sumber daya
fiskal yang dimilikinya dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan daerah.
pemerintah. Ciri kedua adalah bahwa daerah tidak bergantung pada pusat bantuan
atau dana perimbangan atau bantuan pusat harus diminimalkan, PAD harus
menjadi sumber fiskal terbesar dalam APBD. Kedua karakteristik ini pada
akhirnya akan berpengaruh pada seberapa lokal pemerintah berhubungan dengan
pemerintah pusat dalam hal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Beberapa pola hubungan antara pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan fiskal desentralisasi seperti yang
dijelaskan oleh Hersey & Blanchard (2004) adalah sebagai berikut :
1. Pola hubungan instruktif, dimana pemerintah pusat lebih banyak peran dominan
dari pemerintah daerah, dalam pola ini pemerintah daerah menjadi kurang mandiri
dalam memanfaatkan sumber keuangannya;
Daftar Pustaka
Ermhita Savitry, dkk. 2011. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar. Volume 4,
Nomor 1. Diakses dari https://media.neliti.com/media... pada hari Kamis, 31
Maret 2022 pukul 20:00 WIB.
Muhammad Hidayat, dkk. 2016. ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA BARAT DALAM ERA
OTONOMI DAERAH. Vol.4 No.2. Diakses dari file:///C:/Users/GC-
2/Downloads/sungkai-1035-2556-1-sm-1.pdf... pada hari Kamis, 31 Maret 2022
pukul 22.11 WIB.
Sri Suranta. 2019. Regional financial performance and human development index:
Study in Central Java and South Kalimantan provinces. Diakses dari
file:///C:/Users/GC-2/Downloads/14177-39615-2-PB.pdf... pada hari Jumat, 1
April 2022 pukul 23:04 WIB.