Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN


BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010-2014
Untuk penulisan skripsi S1 pada Program Studi Ekonomi Pembangunan
Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi UPN Veteran Yogyakarta

Disusun Oleh:
Nama

: Ginanjar Anas Permadi

Nomor Mahasiswa

: 143120027

Program Studi

: Ekonomi Pembangunan

Jurusan

: Ilmu Ekonomi

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2016

1.1 Latar Belakang Masalah


Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi di pertengahan tahun 1997
menimbulkan
Konsekuensinya

berbagai
adalah

dampak
munculnya

negatif,

terutama

ketimpangan

bagi

ekonomi

masyarakat.
yang

sangat

memprihatinkan dan ini menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah pusat.
Puncak dari krisis tersebut adalah runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang
sentralistik dan fasis otoriter pada tahun 1998 yang menjadi awal reformasi.
Perubahan politik dan penguasa di Indonesia juga mempengaruhi segala aspek
pemerintahan didalam negeri, dan hal ini juga mengakibatkan pemerintahan daerah
juga mengalami perubahan. Reformasi dalam aspek pemerintahan telah membawa
isu tentang otonomi daerah di masyarakat semakin kencang karena otonomi daerah
dianggap menjadi solusi atas krisis dimasyarakat. Hal ini direspon pemerintah
dengan diberlakukanya undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan di revisi menjadi
undang-undang tahun 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan undangundang nomor 25 tahun 1999 dan di revisi menjadi undang-undang nomor 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam
kedua undang-undang tersebut terdapat pengambil alihan sejumlah wewenang dan
tanggung jawab pemerintah pusat dalam mengelola dan melaksanakan
pembangunan daerah sebagai kesatuan dari pembangunan nasional oleh daerah. Hal
ini ditunjukan untuk peningkatan kualitas dan pengoptimalan penyelenggaraan
pemerintahan serta pelayanan terhadap masyarakat.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi

masyarakat

sesuai

peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan pemerataan


antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban
dan kewenangan pembagian tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuanganya. Tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk memacu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta meningkatkan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu dan

dinamis, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan terhadap daerah
dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau daerah (Bastian,
2001).
Agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik minimal ada
lima strategi yang harus diperhatikan (Mulyanto 2004).
1. Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan
otonomi daerah demi kepentingan masyarkat di daerahnya.
2. Self Modifying Power, berupa tiga kemampuan menyesuaikan terhadap
peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi dan potensi
daerah termasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi keunggulan
daerah.
3. Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintah daerah
yang mempunyai legitimasi dan dukungan yang kuat dari masyarakatnya, baik pada
posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang
kekuasaan legislatif.
4. Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi
dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai
aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat.
5. Developing Brain Power, dalam arti membangun sumber daya manusia yang
handal, profesional dan bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah.
Sedangkan menurut (Mulyanto. 2003: 2), untuk menentukan keberhasilan
pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia setidaknya ada
4 faktor yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan otonomi
daerah.
2. Faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintah daerah.

3. Faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya


aktivitas pemerintahan daerah.
4. Faktor organisasi dan manajemen adalah faktor yang merupakan sarana untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik.
Selain itu menurut (Kuncoro, 2002) ada beberapa faktor yang dapat
menghambat keberhasilan pemerintah daerah dalam menjalankan otonominya.
1. Dominannya dana transfer dari pusat.
2. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah
(PAD)
3. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan .
4. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
diandalkan sebagai sumber penerimaan.
5. Kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
pemerintah daerah dituntuk untuk memeliki kinerja keuangan daerah yang lebih
besar. Dengan tingkat kinerja keuangan yang lebih baik berarti daerah tidak akan
lagi tergantung pada bantuan dari pemerintah pusat dan propinsi melalui dana
perimbangan. Namun tidak berarti jika kemandirian keuangan daerah tinggi maka
daerah sudah tidak perlu lagi mendapatkan dana perimbangan. Dana perimbbangan
masih tetap diperlukan untuk memepercepat pembangunan di daerah. Semakin
tinggi tingkat kemandirian keuangan maka daerah dapat memberikan pelayanan
publik yang lebih berkualitas melakukan investasi pembangunan jangka panjang,
dan sebagainya. Oleh karena itu perhatian terhadap manajemen pendapatan dan
analisis pendapatan daerah menjadi sangat penting bagi pemerintag daerah. Salah
satu teknik yang paling banyak digunakan untuk menganalisis laporan keuangan
adalah Analisis Rasio Keuangan. Analisis Rasio Keuangan adalah suatu ukuran
untuk mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang

tersedia. Analisis Rasio Keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja


Daerah (APBD) dilakukan dengan cara mengitung rasio kemandirian daerah, rasio
ketergantungan daerah, derajat desentralisasi, rasio efektivitas pendapatan asli
daerah (PAD), rasio efisiensi pendapatan asli daerah, rasio efektivitas pajak daerah,
rasio efisiensi pajak daerah, derajat kontribusi BUMD, rasio kemampuan
mengembalikan pinjaman, rasio pendpatan terhadap hutang (Mahmudi, 2010)
Menurut (Mahmudi, 2010) terkait dengan tugas untuk menegakkan
akuntabilitas kinerja keuangan, Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk
mempublikasikan laporan keuangan kepada pemangku kepentingan. Terdapat dua
alasan utama mengapa Pemerintah Daerah perlu mempublikasikan laporan
keuangan, yaitu:
1. Dilihat dari sisi internal, laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan
evaluasi kinerja bagi Pemerintah Daerah secara keseluruhan maupun unit-unit
kinerja di dalamnya (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Laporan keuangan
merupakan bentuk pertanggungjawaban internal (internal accountability), yaitu
pertanggungjawaban Kepala Satuan Kerja kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah
kepada pegawai pemda-pemda dan DPRD.
2. Dilihat dari sisi pemakaian eksternal, laporan keuangan Pemerintah Daerah
merupakan bentuk pertanggungjawaban eksternal (external accountability), yaitu
pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada masyarakat, investor, kreditor,
lembaga donor, pers, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan laporan
tersebut sebagai dasar untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik.
Perkembangan keuangan di Kabupaten Banjarnegara bisa dilihat dari
realisasi penerimaan daerah pada tahun penelitian yaitu tahun 2010-2014. Dengan
melihat data tersebut maka dapat diketahui apakah daerah tersebut mengalami
perkembangan atau tidak di era otonomi daerah. Data realisasi penerimaan daerah
Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada tabel 1.1 .

Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Kabupaten Banjarnegara 2010-2014
(ribu rupiah)
Tahun
Penerimaan
Pertumbuhan (%)
2010
1.037.010,311
28.07%
2011
1.136.518,480
9.59%
2012
1.291.218,547
13.61%
2013
1.453.536,831
12.57%
2014
1.454.177,687
0.04%
Sumber : BPS Jawa Tengah Statistik Keuangan Pemerintah Daerah 2010-214
Dari tabel 1.1 tentang realisasi penerimaan Kabupaten Banjarnegara tahun
2010-2014 terlihat

bahwa pertumbuhan realisasi

penerimaan kabupaten

Banjarnegara yang cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, hal ini bisa dilihat
bahwa pertumbuhan realisasi penerimaan pada tahun 2010 yang tinggi yaitu
28.07% dan sekaligus menjadi yang tertinggi selama lima tahun terahir. Pada tahun
2011 pertumbuhan realisasi penerimaan turun drastis menjadi 9.59%. Pada tahun
berikutnya yaitu tahun 2012 pertumbuhan naik kembali walau hanya sedikit
menjadi 13.61%. Pada tahun 2013 pertumbuhan mengalami penurunan lagi menjadi
12.57% dan pada tahun 2014 mengalami penurunan yang sangat drastis bahkan
pertumbuhan realisasi penerimaan di Kabupaten Banjarnegara hanya 0.04%.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat untuk
menganalisa keuangan pemerintah daerah dalam hal ini kinerja keuangan
daerahnya adalah dengan analisis rasio keuangan terhadap APBD. Penggunaan
analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak
dilakukan sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan bulat mengenai nama dan
kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis
rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah perakuntasian dalam
APBD berbeda dengan laporan keuangan sektor privat.

Berdasarkan latar belakang dan paparan diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan pengkajian/penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan urain latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
dalam membiayai daerahnya dinilai dari rasio kemandirian daerah?
2. Bagaimana tingkat ketergantungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
terhadap pemerintah pusat dan provinsi ditinjau dari rasio ketergantungan?
3. Bagaimana kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara dalam
penyelanggaraan desentralisasi ditinjau dari rasio derajat desentralisasi?
4. Bagaimana efektifitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya?
5. Bagaimana efektifitas dan efisiensi pajak daerah Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya?
6. Bagaimana kemampuan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam membayar
utang jangka panjang ditinjau dari rasio DSCR?
1.3 Batasan Masalah
Pengambilan batasan masalah analasis rasio keuangan pemerintah daerah
Kabupaten Banjarnegara berfokus pada perkembangan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) pada tahun anggaran 200102014. Rasio keuangan terdiri
dari rasio kemandirian, rasio ketergantungan, rasio derajat desentralisasi, rasio
efektivitas PAD, rasio efisiensi PAD, rasio efektivitas pajak daerah, rasio efisiensi
pajak daerah, derajat konribusi BUMD, Debt Service Coverage Ratio, dan Debt
Service Ratio. Peneliti membatasi penelitian ini dengan tidak menggunakan rasio
utang, rasio DSR, rasio derajat kontribusi BUMD, karena keterbatasan data, dan
untuk rasio utang peneiliti tidak menggunakan Rasio Utang karena rasio utang pada

umumnya digunakan oleh pihak eksternal terutama kreditor untuk menilai kinerja
keuangan pemerintah daerah. Selain itu peneliti tidak menggunakan rasio DSR
karena DSR digunakan untuk menghitung utang skala makro dan umumnya
digunakan oleh pemerintah pusat.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.

Menganalisis

kemandirian

keuangan

daerah

Pemerintah

Kabupaten

Banjarnegara dalam membiayai daerahnya dinilai dari rasio kemandirian daerah.


2. Menganalisis tingkat ketergantungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
terhadap pemerintah pusat dan provinsi ditinjau dari rasio ketergantungan.
3. Menganalisis kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara dalam
penyelanggaraan desentralisasi fiskal ditinjau dari rasio derajat desentralisasi fiskal.
4. Menganalisis efektifitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya.
5. Menganalisis efektifitas dan efisiensi pajak daerah Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya.
6. Menganalisis kemampuan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam
membayar utang jangka panjang ditinjau dari rasio DSCR.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara, Masyarakat serta bagi Akademisi.
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, diharapkan penelitian ini bisa menjadi
masukan dan acuan supaya bisa meningkatkan kinerja keuangan daerahnya di
tahun-tahun yang akan datang supaya lebih efektif dan efisien.
2. Bagi Masyarakat, penelitian ini bisa memberikan informasi tentang pengelolaan
keuangan pemerintah daerah supaya lebih kritis lagi kalau ada kesalahan dalam
pengelolaan keuangan pemerintah.

3. Bagi Akademisi, diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan acuan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
1.6 Keaslian Penelitian
Untuk menunjukan bahwa penelitian ini asli dan belum pernah di teliti
sebelumnya, peneliti akan membedakan dengan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya yang berhubungan dengan kinerja dan kemandirian
keuangan daerah sebagai berikut:
Tabel 1.2
Penelitian Sebelumnya
No
1

Peneliti
Rahman,
Naukoko,
Albert.
(2014)

Sample
Kota Manado
dan Kota Bitung

Alat Analisis
Rasio kemandirian,
rasio ddf, rasio ikr,
rasio pertumbuhan,
rasio keserasian

Agustina
(2013)

Kota Malang

Rasio kemandirian,
rasio
efektivitas,
rasio efisiensi, rasio
aktivitas, dan rasio
pertumbuhan.

Fambayun
(2013)

Kabupaten
Magetan

Rasio Kemandirian,
rasio
efektivitas,
rasio efisiensi, rasio
aktivitas,
rasio
pertumbuhan.

Hasil Analisis
Hasil penelitian menunjukkan Melihat
hasil perhitungan tingkat kemampuan
keuangan Kota Manado dan Kota
Bitung selama periode penelitian, dapat
dilihat dari tingkat kemandirian Kota
Manado masih sedikit lebih unggul
dengan rata-rata pertumbuhan mencapai
2% setiap tahunnya, meskipun masih
berada
dibawah
20%
tingkat
kemandirian, dibandingkan dengan Kota
Bitung yang hanya mencapai 1% tingkat
pertumbuhan tiap tahun dan berada di
bawah 10 % tingkat kemandirian.
Hasil analisis rasio kinerja keuangan
daerah dan tingkat kemandirian kota
Malang
pada
tahun
2007-2011
menunjukkan bahwa tingkat keuangan
kemandirian yang instruktif dengan ratarata sebesar 18,76%, rasio efektivitas
sebesar 105% yang berarti sangat
efektif, rasio efisiensi yang bersifat
efisien dengan rata-rata sebesar 4,89%,
rasio aktivitas belanja rutin terhadap
APBD sebesar 76,8% lebih besar
dibandingkan rasio aktivitas belanja
pembangunan terhadap APBD yang
hanya memiliki rata-rata sebesar 22,2%
serta rasio pertumbuhan terdiri dari PAD
sebesar 26,58%, pendapatan sebesar
15,18%, belanja rutin sebesar 16,25%,
dan belanja pembangunan sebesar
17,51%.
Berdasarkan
hasil
analisis
dan
pembahasan yang telah diuraikan, ratarata kinerja pengelolaan keuangan dan
tingkat kemandirian daerah kabupeten
Magetan berdasarkan analisis rasio
keuangan adalah baik. Hal ini dilihat
dari rasio kemandirian 6,84%, rasio
efektivitas dengan rata-rata 120,62%,
rasio efisiensi 2,40%, rasio aktivitas
menunjukan
pemerintah
lebih
memprioritaskan untuk belanja rutin
dibanding
belanja
tidak

Hidayat,
Pratomo dan
Agus
(2012)

Kabupaten/kota
pemekaran
di
Sumatera Utara

Analisis
pertumbuhan,
analisis
peranan,
analisis
peta
kemampuan
keuangan
dengan
metode kuadran.

Efendi Dan
Wuryanti
(2011)

Kabupaten
Nganjuk

Rasio kemandirian,
rasio DDF, rasio
indeks kemampuan
rutin,
rasio
keserasian,
rasio
pertumbuhan.

rutin(pembangunan). Dan rasio aktivitas


terlihat kalau pemerintah kabupaten
magetan mengalami trend positif dalam
kinerjanya.
1. Dilihat dari sisi pertumbuhan
kabupaten/kota pemekaran mengalami
pertumbuhan pengeluaran yang lebih
besar daripada pengeluarannya.
2. Dilihat dari indikator kinerja PAD.
Kabupaten/kota pemekaran mengalami
pertumbuhan PAD yang positif tetapi
relatif kecil peranannya dalam struktur
APBD
3. Dari peta kemampuan keuangan
dengan
metode
kuadran
mengindikasikan ketidaksiapan masingmasing kabupaten dan masih kurangnya
kemandirian dalam berotonomi.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) rasio
kemandirian berstatus rendah sekali, (3)
rasio derajat desentralisasi fiskal masih
kurang, (3) rasio indeks rutin berskala
kurang,
(4)
rasio
keserasian
menunjukkan hasil belanja rutin lebih
besar dari belanja pembangunan, (5)
rasio pertumbuhan terjadi pertumbuhan
positif dan negatif. Keterbatasan
penelitian: hanya menggunakan analisis
rasio, tidak menganalisis keseluruhan
unsur
APBD.

Perbedaan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari


tempat dan tahun penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjarnegara
rentang tahun 2010-2014. Dan untuk menganalisis Keuangan Daerah Kabupaten
Banjarengara dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa analisis rasio
yaitu rasio kemandirian daerah, rasio ketergantungan daerah, rasio desentralisasi
fiskal, rasio efektivitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), rasio
efektivitas dan efisiensi pajak daerah, dan untuk menganalisis kemampuan
Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara digunakan rasio Debt Service
Coverage Ratio (DSCR)

2.1 Kajian Pustaka


Pada bagian ini akan disampaikan tinjauan pustaka yang terdiri dari
beberapa literatur tentang pemerintah daerah, keuanagan daerah, penelitian
sebelumnya dan kerangka pemikiran konseptual.
2.2 Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai ketentuan yang tercantum
dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam penjelasannya mengenai Pembagian Urusan
Pemerintahan menjelaskan bahwa Penyelenggaraan Desentralisasi mensyaratkan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Otonom.
Pembagian urusan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat
berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan
pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan
hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan yang dimaksud
diantaranya:
a. Politik luar negeri.
b. Pertahanan dan Keamanan.
c. Moneter.
d. Yustisi dan Agama.
e. Urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada
daerah.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent
artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap
urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah, ada yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada yang diserahkan kepada
Kabupaten atau Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent
secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota

maka disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan


pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan yang meliputi:
1. Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan

mempertimbangkan

dampak

/akibat

yang

ditimbulkan

dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan


bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
Kabupaten/Kota. Apabila dampaknya regional maka menjadi kewenangan
Provinsi, dan apabila dampaknya nasional maka menjadi kewenangan Pemerintah.
2. Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian
urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan
dampak/akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan
lebih terjamin.
3. Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan)
untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai
dalam penyelenggaraan urusan. Untuk itu pembagian urusan harus disesuaikan
dngan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan
pemerintah tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus
dihadapi.
2.3 Keuangan Daerah
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal
1 ayat 5 PP No. 58 Tahun 2005). Keuangan Daerah dapat juga diartikan sebagai
semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga dengan segala

satuan, baik yang berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan
daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih
tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan atau peraturan perundangan yang
berlaku (Mamesa, 1995).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat
dua unsur penting yaitu :
1. Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi
daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku
merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah;
2. Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan
adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta
pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.
Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2)
memenuhi kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian
(Binder,1984). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo,2000):
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat
(DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi
yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan
perangkat daerah lainnya.

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan


keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money,
transparansi dan akuntabilitas.
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik
rasio maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran
multi tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran
akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran,
serta transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran
asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat
pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap
penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian,
serta mempermudah mendapatkan informasi.
2.4 Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Dasar hukum pengelolaan keuangan daerah adalah:
1. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
2. UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
4. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

5. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.


6. UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
7. PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
8. PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
9. Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.5 Asas Umum Keuangan Daerah
Berdasarkan pasal 66 UU No. 33/2004, asas umum pengelolaan keuangan
daerah adalah sebagai berikut:
1. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien,

ekonomis,

efektif,

transparan,

dan

bertanggungjawab

dengan

memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.


2. APBD, perubahan APBD, dan pertanggung jawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan
distribusi.
4. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
5. Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun
anggaran berikutnya.
6. Penggunaan surplus APBD dimaksudkan untuk membentuk dana cadangan atau
penyertaan dalam perusahaan daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari DPRD.

2.6 Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah


Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan
pengawasan keuangan daerah (Halim dan Damayanti, 2007). Pengelolaan
keuangan daerah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan value for
money. Transparansi merupakan wujud adanya keterbukaan dalam proses
perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Dalam prinsip ini,
anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses
anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan bersama, terutama
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Adapun prinsip akuntabilitas terkait
dengan pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran,
mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga pelaksanaan harus benar-benar dapat
dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.
Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut
tetapi juga berhak menuntut pertanggung jawaban atas rencana ataupun
pelaksanaan anggaran tersebut. Sedangkan prinsip value for money menerapkan
prinsip ekonomi, efisiensi dan efektifitas dalam proses penganggaran. Ekonomi
berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan
kualitas tertentu dengan harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa dalam
penggunaan dana masyarakat (public money) harus menghasilkan output yang
maksimal (berdayaguna). Selanjutnya, efektifitas berarti bahwa penggunaan
anggaran harus mencapai target atau tujuan yang menyangkut kepentingan public.
Prinsip-prinsip lain yang juga dianut dalam pengelolaan keuangan daerah,
seperti yang tercantum dalam pasal 67 UU No. 33/2004 adalah sebagai berikut:
1. Peraturan daerah tentang APBD merupakan dasar bagi pemerintah daerah untuk
melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
2. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran
atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia.

3. Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan keuangan


lainnya yang sesuai dengan program pemerintah daerah didanai melalui APBD.
4. Keterlambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan
APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.
5. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan keuangan daearah.
6. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
7. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut
dalam Peraturan daerah tentang APBD.
Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, agar terwujud tata kelola
keuangan yang transparan dan akuntabel, diperlukan suatu proses pengawasan dan
pengendalian pengelolaan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban. Proses ini diperlukan agar keseluruhan tahapan siklus
pengelolaan keuangan daerah tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga
penyimpangan atau kesalahan dapat dihindari atau diminimalisasi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan berjalan sesuai rencana
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang
dilaksanakan

oleh

pemerintah

terkait

dengan

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala


daerah. Fungsi pembinaan dalam pengelolaan keuangan daerah berdasar pasal 130
PP No. 58/2005 dan pasal 309 Permendagri No. 13/2006 disebutkan bahwa
pembinaan dalam pengelolaan keuangan daerah meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan.
1. Pemberian pedoman mencakup perencanaan dan penyusunan APBD,
pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, pertanggung jawaban

keuangan daerah, pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan pengelolaan


keuangan daerah.
2. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi mencakup perencanaan dan
penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah,
serta pertanggung jawaban keuangan daerah yang dilaksanakan secara berkala
dan/atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun
kepada daerah tertentu sesuai kebutuhan.
3. Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau
wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, perangkat daerah, dan pegawai
negeri sipil daerah serta kepada bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
4. Penelitian dan pengembangan dilaksanakan secara berkala atau pun sewaktuwaktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan.
Secara ringkas, dalam sistem pengelolaan keuangan daerah terdapat tiga
siklus utama, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pada tahap
perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat melalui musrenbang
yang dilakukan oleh DPRD dan pemerintah daerah sebagai cikal bakal keterlibatan
masyarakat dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang akhirnya memberi
payung dan arah bagi suatu APBD. Dari musrenbang tersebut dihasilkan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang kemudian dijabarkan dalam usulan
kegiatan/aktivitas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan diproses dengan
Standar Analisis Belanja (SAB) sehingga setiap aktivitas yang diusulkan dapat
mencerminkan visi, misi, tujuan, sasaran, dan hasil yang telah ditetapkan. Selain
itu, anggaran yang diusulkan juga harus mencerminkan (anggaran) kinerja karena
telah diproses dengan menekankan aspek kinerja. Pada tahap pelaksanaan, input
yang digunakan adalah APBD yang sudah ditetapkan untuk kemudian dilaksanakan
dan dicatat melalui sistem akuntansi guna menghasilkan laporan pelaksanaan
APBD, baik berupa laporan semesteran maupun tahunan sebagai laporan
pertanggung jawaban kepala daerah. Sedangkan pada tahap pengendalian, meliputi
penyampaian laporan pertanggung jawaban kepala daerah kepada DPRD, proses

evaluasi laporan pertanggung jawaban, serta keputusan evaluasi berupa penerimaan


atau penolakan laporan pertanggung jawaban.
2.7 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Pemerintah
Anggaran dapat diartikan sebagai suatu daftar atau pernyataan yang
terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran organisasi yang diharapkan dalam
jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Anggaran Daerah adalah rencana kerja
Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu
tahun). Anggaran Daerah atau umum disebut dengan istilah APBD merupakan
instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen
kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi dan
peranannya secara efisien. Sedangkan efektivitas diartikan sebagai upaya untuk
menyelaraskan kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan publik (Mardiasmo,
2002).
Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber
daya lainnya secara sistematis dan akuntabel, diperlukan suatu rencana keuangan
yang andal dan terwujud dalam suatu penganggaran. Selain sebagai alat ukur dan
pertanggung

jawaban

kinerja

pemerintah,

sistem

penganggaran

yang

dikembangkan oleh pemerintah berfungsi sebagai pengendali keuangan, rencana


manajemen, prioritas penggunaan dana, dan pertanggung jawaban kepada publik.
Terkait dengan rencana manajemen, sistem penganggaran berfungsi sebagai suatu
metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang
dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan dimana
manfaat tersebut dideskripsikan melalui seperangkat sasaran dan dituangkan dalam
target kinerja pada setiap unit kerja. Untuk mengidentifikasi keterkaitan biaya
dengan manfaat serta keterkaitan antara nilai uang dan hasil di tingkat pemerintahan
daerah, pemerintah daerah menuangkan penganggaran tersebut dalam suatu
rencana keuangan yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana


keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang
APBD yang disetujui oleh DPRD. Menurut pasal 16 Permendagri No. 13/2006
(Yuwono, 2008), APBD memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Otorisasi; anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Perencanaan; anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Pengawasan; anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintah daerah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
4. Alokasi; anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan
efisiensi dan efektifitas perekonomian.
5. Distribusi; kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
6. Stabilisasi; anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Arti penting anggaran daerah dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini
(Halim, 2007) :
1. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan dan
menjamin kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang
tak terbatas dan terus berkembang sedangkan sumber daya yang ada terbatas.
Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of
resources), pilihan (choice) dan trade off.

Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen yang


memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang nyata, luas
dan bertanggungjawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar mencerminkan
kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan kekhasan daerah, maka
dari itu APBD harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut
(Halim, 2004):
1. Keadilan Anggaran, di mana pembiayaan Pemerintah Daerah dilakukan melalui
mekanisme pajak dan retribusi yang dipilih oleh segenap lapisan masyarakat
daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan penggunaannya
secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa adanya diskriminasi.
2. Disiplin Anggaran, anggaran daerah disusun dengan orientasi pada kebutuhan
masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pemerintah,
pembangunan, dan pelayanan publik.
3. Transparansi dan Akuntabilitas, anggaran daerah harus mampu memberikan
informasi yang lengkap dan akurat, serta dilaksanakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
4. Efisiensi dan Efektifitas, dimana anggaran yang tersedia harus bisa dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan bagi kepentingan masyarakat.
5. Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran
defisit (defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.
Menurut PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 16-19, asas-asas umum APBD adalah:
1. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah.

2. Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah


dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.
3. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi
dan stabilisasi.
4. APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
ditetapkan dengan perda
5. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dianggarkan dalam APBD.
6. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang
terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
7. Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan
adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup;
9. Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan dasar
hukum yang melandasinya.
10. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.
Berdasar Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, disebutkan bahwa struktur APBD terdiri atas pendapatan,
belanja, dan pembiayaan.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan (UU No.
33/2004 pasal 1). Pendapatan daerah dalam struktur APBD dikelompokkan atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang
sah.

2. Belanja Daerah
Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
(UU No. 33/2004 pasal 1). Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi/ kabupaten/
kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya
dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama pemerintah
pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan belanja, urusan wajib
diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kuaitas kehidupan masyarakat
sebagai upaya pemenuhan kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas
umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan melalui prestasi kinerja dalam
pencapaian standar minimal sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibiayai kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya (UU No. 33/2004 pasal 1).
Pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu,
transfer dari dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
pinjaman daerah.
2.8 Sumber Penerimaan Daerah
Sumber-sumber pendapatan tetap yang digunakan untuk membiayai
berbagai kegiatan daerah otonom, menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah sebagai
berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan.

2. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
3. Lain-lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain Pendapatan yang Sah adalah dana yang bersumber dari :
a. Dana darurat dari Pemerintah Pusat dalam rangka penanggulangan
korban/kerusakan akibat bencana alam.
b. Hibah berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten di
luar wilayah propinsi, dari perusahaan daerah (BUMD), dari perusahaan negara
(BUMN), atau dari masyarakat.
c. Bantuan keuangan dari Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten di wilayah
propinsi, bantuan keuangan dari Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten lainnya di
luar wilayah propinsi.
2.9 Jenis Belanja Daerah
Menurut permendagri No.13 Tahun 2006 Pasal 36 menjelaskan belanja
daerah menurut kelompok belanja dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Belanja Tidak Langsung
Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang diaggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksaan program dan kegiatan pemerintah.
Kelompok belanja tidak langsung menurut permendagri no.13 tahun 2006 dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai ( Belanja kompensasi, tunjangan dan uang represtasi)
b. Bunga
c. Subsidi

d. Hibah
e. Bantuan Sosial
f. Belanja Bagi Hasil
g. Bantuan Keuangan
h. Belanja Tidak Terduga
2. Belanja Langsung
Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksaan program dan kegiatan pemerintah. Belanja langsung
dibagi menurut belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai (pengeluaran honoraium/upah dalam pelaksanaan program dan
kegiatan pemerintah)
b. Belanja Barang dan jasa
c. Belanja Modal
2.10 Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja keuangan Pemerintah Daerah adalah kemampuan suatu daerah
untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam
memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak
tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di
dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batasbatas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi, 1986).
Untuk minilai mengukur kinerja keuangan dapat menggunakan analisis
rasio keuangan yaitu perbandingan antara dua angka yang datanya diambil dari
elemen laporan keuangan. Analisis rasio keuangan dapat menginterpretasikan
perkembangan kinerja dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai macam rasio

keuangan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain: rasio
kemandirian, rasio ketergantungan, rasio derajat desentralisasi, rasio efektivitas
PAD, rasio efisiensi PAD, rasio efektivitas pajak daerah, rasio efisiensi pajak
daerah, derajat konribusi BUMD, Debt Service Coverage Ratio, Debt Service Ratio.
2.11 Penelitian Sebelumnya
Rahman, Naukoko, Albert melakukan penelitian pada tahun (2014) dan
mengkaji tentang Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan Daerah Di
Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada kota Manado Dan Kota Bitung Tahun 20082012) dengan menggunakan analisis rasio kemandirian, rasio ddf, rasio ikr, rasio
pertumbuhan, rasio keserasian. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan melalui
berbagai analisis rasio, didapati bahwa kemampuan kota Manado dan kota Bitung
masing tergolong kurang mampu dalam pembiayaan pengeluaran rutin yang
dilakukan, terlihat juga bahwa kedua pemerintah masih mengandalkan pendapatan
yang terlalu besar dari dana transfer pemerintah pusat.
Agustina melakukan penelitian tahun (2013) dengan judul Analisis Kinerja
Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Tingkat kemandirian Daerah Di Era otonomi
Daerah: Studi Kasus Kota Malang (Tahung Anggaran 2007-2011) dengan
menggunakan teknik Rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio
aktivitas, dan rasio pertumbuhan. Dari hasil analisis rasio keuangan daerah dapat
disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat
kemandirian daerah kota Malang yang terus membaik.
Fambayun melakukan penelitian pada tahun (2013) dengan judul Analisis
Kinerja Keuangan Daerah Dan Tingkat Kemandirian Daerah Di Kabupaten
Magetan (Tahun Anggaran 2009-2013) dengan menggunakan alat analisis Rasio
Kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas, rasio pertumbuhan.
Penelitian ini meunjukan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, ratarata kinerja pengelolaan keuangan dan tingkat kemandirian daerah kabupeten
Magetan berdasarkan analisis rasio keuangan adalah baik. Hal ini dilihat dari rasio
kemandirian 6,84%, rasio efektivitas dengan rata-rata 120,62%, rasio efisiensi
2,40%,

rasio aktivitas menunjukan pemerintah lebih memprioritaskan untuk

belanja rutin dibanding belanja tidak rutin(pembangunan). Dan rasio aktivitas


terlihat kalau pemerintah kabupaten magetan mengalami trend positif dalam
kinerjanya.
Hidayat, Pratomo, dan Agus melakukan penelitian pada tahun (2012)
dengan judul Analisis Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera
Utara. Mereka melakukan penelitian ini menggunakan alat Analisis pertumbuhan,
analisis peranan, analisis peta kemampuan keuangan dengan metode kuadran.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kabupaten pemekaran di Sumatera Utara
masih belum mampu mengelola keuanganya sendiri seperti berikut 1. Dilihat dari
sisi pertumbuhan kabupaten/kota pemekaran mengalami pertumbuhan pengeluaran
yang lebih besar daripada pengeluarannya. 2. Dilihat dari indikator kinerja PAD.
Kabupaten/kota pemekaran mengalami pertumbuhan PAD yang positif tetapi relatif
kecil peranannya dalam struktur APBD. 3. Dari peta kemampuan keuangan dengan
metode kuadran mengindikasikan ketidaksiapan masing-masing kabupaten dan
masih kurangnya kemandirian dalam berotonomi.
Efendi dan Wuryanti melakukan penelitian pada tahun (2011) dengan judul
Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung
Pelaksanaan Otda Di Kabupaten Nganjuk penelitian ini menggunakan alat analisis
Rasio kemandirian, rasio DDF, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian,
rasio pertumbuhan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) rasio kemandirian
berstatus rendah sekali, (3) rasio derajat desentralisasi fiskal masih kurang, (3) rasio
indeks rutin berskala kurang, (4) rasio keserasian menunjukkan hasil belanja rutin
lebih besar dari belanja pembangunan, (5) rasio pertumbuhan terjadi pertumbuhan
positif dan negatif. Keterbatasan penelitian: hanya menggunakan analisis rasio,
tidak menganalisis keseluruhan unsur APBD.

2.12 Kerangka Pemikiran Konseptual

Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara

APBD Kabupaten
Banjarnegara 2010 - 2014

1. Rasio Kemandirian Daerah


2. Rasio Ketergantungan Daerah
3. Rasio Derajat Desentralisasi
4. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi
PAD
5. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi
Pajak Daerah
6. Debt Service Coverage Ratio
(DSCR)

Gambar 2.1 Kerangka pemikiran konseptual.


Dari skema gambar 2.1 pemikiran konseptual diatas maka digambarkan
bahwa untuk menilai kinerja keuangan pemerintah daerah menggunakan rasio
keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio ketergantungan, rasio derajat
desentralisasi, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi PAD, rasio Efektivitas pajak
daerah, rasio efisiensi pajak daerah, DSCR..

3.1 Metode Penelitian


3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif
yaitu penelitian yang berusaha untuk memecahkan masalah yang ada sekarang
berdasarkan

data,

selain

menyajikan

data

juga

menganalisis

dan

mengiterprestasikan.
3.3 Data Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Badaan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Tengah dan Bappeda Kabupaten Bajarnegara, DPPKAD
Kabupaten Banjarnegara, buku-buku, literature, internet, catatan-catatan, serta
sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Menurut (Dajan, 1996)
yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang diterbitkan atau digunakan
oleh organisasi yang bukan pengelolanya. Adapaun data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah:
1. Data APBD Kabupaten Banjarnegara tahun 2010-2014.
2. Data Realisasi APBD Kabupaten Banjarnegara tahun 2010-2014.
2. Realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah Kabupaten banjarnegara 20102014.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan studi
kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Studi
Pustaka merupakan teknik analisis untuk mendapatkan informasi melalui catatan,
literatur, dokumentasi dan laporan-laporan terseleksi yang relevan dengan topik
penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian disusun dan diolah sesuai dengan
kepentingan dan tujuan penelitian.

3.5 Alat Analisis


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik
deskriptif. Statistik deskriptif mengacu pada transformasi data mentah ke dalam
suatu bentuk yang akan membuat pembaca lebih mudah memahami dan
menafsirkan maksud dari data atau angka yang ditampilkan (Sarwono, 2006).
Dalam menganalisis keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara
digunakan rumus-rumus sebagai berikut:
1. Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat, yang dihitung dengan rumus (Halim, 2004) :
Rasio Kemandirian

= 100%

Tabel 3.1
Pola Hubungan Dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kinerja Keuangan
Kemandirian (%)
Pola Hubungan
Rendah sekali
0 25
Instruktif
Rendah
25 50
Konsultatif
Sedang
50 75
Partisipatif
Tinggi
75 100
Delegatif
Sumber : (Halim, 2001)
2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah
dalam membiayai aktifitas pembangunan daerah melalui optimalisasi PAD, yang
diukur dengan rasio antara PAD dengan total penerimaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) tanpa subsidi (Dana Perimbangan). Dengan Formulasi
sebagai berikut :

Rasio ketergantungan keuangan daerah : 100%

Tabel 3.2
Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah
Presentase %
Ketergantungan Keuangan Daerah
0,00-10,00
Sangat rendah
10,01-20,00
Rendah
20,01-30,00
Sedang
30,01-40,00
Cukup
40,01-50,00
Tinggi
>50,00
Sangat tinggi
Sumber: Tim Litbang Depdagri - Fisipol UGM, 1991.
3. Derajat Desentralisasi Fiskal
Rasio ini menunjukan derajat kontribusi pendapatan asli daerah (PAD)
terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin
tinggi

kinerja

kemampuan

pemerintah

daerah

dalam

penyelenggaraan

desentralisasi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :


Derajat Desentralisasi : 100%


Tabel 3.3
Kriteria Penilaian Derajat Desentralisasi
Presentase
Kriteria Derajat Desentralisasi
0,00 - 10,00
Sangat kurang
10,01 - 20,00
Kurang
20,01 30,00
Sedang
30,01 40,00
Cukup
40,01 50,00
Baik
> 50,00
Sangat Baik
Sumber : Tim Litbang Depdagri Fisipol UGM, 1991
4. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
a. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
Rasio Efektivitas PAD menunjukan kinerja pemerintah daerah dalam
memobilisasi penerimaan PAD sesuai yang ditargetkan.
Rasio Efektivitas PAD :

100%

Tabel 3.4
Kriteria Penilaian Rasio Efektivitas PAD
Presentase %
< 75
75 89
90 99
100
> 100
Sumber : (Mahmudi, 2010)

Efektivitas PAD
Tidak efektif
Kurang efektif
Cukup efektif
Efektif
Samgat efektif

b. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah


Untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam memobilisasi
penerimaan PAD, indikator efektivitas PAD saja tidak cukup, sebab meskipun rasio
efektivitasnya sudah baik tetapi bila ternyata biaya untuk memncapai target tersebut
terlalu besar maka biaya pemungutan PAD tidak efisien. Maka dari itu perlu untuk
menghitung rasio efisiensi PAD (Mahmudi, 2010). Adapun rumus efisiensi PAD:

Rasio Efisiensi PAD : 100%


Tabel 3.5
Kriteria Penilaian Rasio Efisiensi PAD
Presante %
Efisiensi PAD
> 40
Tidak efisien
31 40
Kurang efisien
21 30
Cukup efisien
10 20
Efisien
< 10
Sangat efisien
Sumber : (Mahmudi, 2010)
5. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi Pajak Daerah
a. Rasio Efektivitas Pajak Daerah
Rasio efektivitas pajak menunjukan kinerja pemerintah daerah dalam
mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak daerah yang
ditargetkan.
Rasio Efektivitas Pajak Daerah :

100%

Rasio efektivitas pajak daerah dianggap baik apabila rasio ini mencapai
angka minimal 1 atau 100% (Mahmudi, 2010).

b. Rasio Efisiensi Pajak Daerah


Sama seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), rasio efisiensi pajak daerah
juga digunakan untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam melakukan
pemungutan pajak daerah.

Rasio Efisiensi Pajak Daerah : 100%


Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pajak dikatakan
efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 10% semakin kecil rasio ini maka
kinerja pemerintah daerah semakin baik (Mahmudi, 2010).
5. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Analisis DSCR sangat diperlukan apabila pemerintah daerah berencana
untuk mengadakan utang jangka panjang. DSCR merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan pemerintah daerah dalam membayar pinjaman.
DSCR :

( +()+)
++

100 %

Berdasarkan rasio ini, pemerintah daerah layak untuk melakukan pinjaman


daerah apabila dilai DSCR nya minimal sebesar 2,5. Jika nilai kurang dari 1, maka
hal itu mengindikasikan terjadinya arus kas negatif yang berarti pendapatan tidak
cukup untuk menutup seluruh beban utang berupa angsuran pokok dan bunga
(Mahmudi, 2010).
3.6 Definisi Operasional Variable
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah
yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Sedangkan menurut (Halim,
2004) Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dalam wilahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bagi Hasil Pajak Dan Bukan Pajak Untuk Daerah


Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan presentase untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004).
3. Bantuan Daerah Dan Pinjaman
Bantun daerah dalam hal ini adalah dana yang dialokasikan oleh pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah melalui dana perimbangan yang terdiri dari dana
bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, sedangkan pinjaman daerah
adalah dana yang diperoleh dari meminjam dari daerah lain maupun dari pihak lain
seperti bank dan lembaga keuangan lainya.
4. Pendapatan Daerah
Hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun bersangkutan. (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
pasal 1 ayat 13). Pendapatan daerah dalam struktur APBD dikelompokkan atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang
sah.
5. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembangunan daerah.
6. Belanja Wajib
Belanja wajib adalah belanja yang harus dipenuhi dan tidak bisa
dihindarkan dalam tahun anggaran yang bersangkutan oleh Pemerintah Daerah.

7. Biaya Pemerolehan Pendapatan Asli Daerah


Biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam mengumpulkan
pendapatan asli daerahnya.
8. Biaya Pemungutan Pajak Daerah
Biaya pemungutan pajak daerah adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah
daerah dalam memungut pajak daerahnya.
9. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Daftar Pustaka
Agustina, Oesi, (2013). Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Tingkat Kemandirian Daerah Di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota
Malang (Tahun Anggaran 2007-20011). Universitas Brawijaya. Malang.
Astriana. (2014). Analisis Rasio Keuangan Anggaran Dan Pendapatan Belanja
Daerah Kota Magelang Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kota Magelang Tahun Anggaran 2008-2012. Skripsi. Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Bastian, indra, (2001). Akuntansi Sektor Public. Penerbit BPFE. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2016. Statistik Keuangan Daerah
Kabupaten/Kota, http://jateng.bps.go.id.
Dajan, Anton, (1996). Pengantar Metode Statistik Jilid II. LP3S. Jakarta.
Devas, Nick, dan Binder, (1984). Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia. UI
Pres. Universitas Indonesia. Jakarta.
Efendi Dan Wuryanti, (2011). Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan
Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan OTDA Di Kabupaten Nganjuk.
Seminar Nasional Ilmu Ekonomi Terapan. Universitas Muhamadiyah
Ponorogo. Ponorogo.
Fambayun, (2013). Analisis Kinerja Keuangan Daerah Dan Tingkat Kemandirian
Daerah kabupaten Magetan (Tahun Anggaran 2009-2013). Universitas
Negeri Surabaya. Surabaya.
Fisipol UGM, (1991). Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab,
Laporan Akhir Penelitian, Litbang Depdagri. Jakarta.
Halim, Abdul, (2001). Bunga rampai Keuangan Daerah, Edisi Pertama, UUP
AMP. YKPN. Yogyakarta.
Halim, Abdul, (2004). Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah.
Salemba Empat. Jakarta.
Halim, Abdul dan Damayanti, (2007). Pengelolaan Keuangan Daerah, Seri Bunga
Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Halim, Abdul, (2008). Akuntansi Keuangan Daerah Edisi Revisi 3 . Salemba
Empat. Jakarta
Halim Dan Syam, (2012). Akuntansi Sektor Publik : teori, konsep dan aplikasi.
Salemba Empat. Jakarta.

Hidayat, Pratomo dan Agus, (2012).Analisis Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota


pemekaran Di Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian
Ekonomi Negara Berkembang Vol 12 No 33, Hal 213-222. Universitas
Islam Indonesia. Yogyakarta.
Mahmudi, (2007). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Unit Penerbit dan
Percetakan. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta.
Mahmudi, (2010). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah-Panduan
Bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan
Ekonomi, Sosial, dan Politik,Yogyakarta. Unit Penerbit dan
Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta.
Mardiasmo, (2000). Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mamesa, (1995). Sistem Akuntasi Keuangan Daerah. Pt. Gramedia Pustaka.
Jakarta.
Munir, H. Dasril dkk. (2004). Kebijakan & Manajemen Keuangan Daerah.
YPAPI. Yogyakarta.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Rahman, Naukoko dan Albert. (2014).Analisis Perbandingan Kemampuan
keuangan Daerah Di provinsi Sulawesi Utara (Study Pada Kota Manado
Dan Kota Bitung Tahun 2008-2012). Jurnal Berkala Ilmiah efisiensi
Volume 4 No 3 Oktober 2014. Universitas Sam Ratulangi. Manado
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Reksohadiprodjo, Sukanto, (2001). Ekonomika Publik Edisi I. BPFE UGM.
Yogyakarta.
Rudiyanto, (2015).Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah(Studi Pada
Daerah Kebupaten/Kota di Provinsi DIY dan Provinsi Banten). Skripsi.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Sarwono, Jonathan. (2006). Metode Penelitian kuantitatif & kualitatif . Penerbit
Graha Ilmu. Yogyakarta.

Syamsi, Ibnu. (1986). Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman,


dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional. CV. Rajawali. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai