Disusun Oleh:
Nama
Nomor Mahasiswa
: 143120027
Program Studi
: Ekonomi Pembangunan
Jurusan
: Ilmu Ekonomi
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2016
berbagai
adalah
dampak
munculnya
negatif,
terutama
ketimpangan
bagi
ekonomi
masyarakat.
yang
sangat
memprihatinkan dan ini menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah pusat.
Puncak dari krisis tersebut adalah runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang
sentralistik dan fasis otoriter pada tahun 1998 yang menjadi awal reformasi.
Perubahan politik dan penguasa di Indonesia juga mempengaruhi segala aspek
pemerintahan didalam negeri, dan hal ini juga mengakibatkan pemerintahan daerah
juga mengalami perubahan. Reformasi dalam aspek pemerintahan telah membawa
isu tentang otonomi daerah di masyarakat semakin kencang karena otonomi daerah
dianggap menjadi solusi atas krisis dimasyarakat. Hal ini direspon pemerintah
dengan diberlakukanya undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan di revisi menjadi
undang-undang tahun 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan undangundang nomor 25 tahun 1999 dan di revisi menjadi undang-undang nomor 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam
kedua undang-undang tersebut terdapat pengambil alihan sejumlah wewenang dan
tanggung jawab pemerintah pusat dalam mengelola dan melaksanakan
pembangunan daerah sebagai kesatuan dari pembangunan nasional oleh daerah. Hal
ini ditunjukan untuk peningkatan kualitas dan pengoptimalan penyelenggaraan
pemerintahan serta pelayanan terhadap masyarakat.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi
masyarakat
sesuai
peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan
dinamis, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan terhadap daerah
dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau daerah (Bastian,
2001).
Agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik minimal ada
lima strategi yang harus diperhatikan (Mulyanto 2004).
1. Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan
otonomi daerah demi kepentingan masyarkat di daerahnya.
2. Self Modifying Power, berupa tiga kemampuan menyesuaikan terhadap
peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi dan potensi
daerah termasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi keunggulan
daerah.
3. Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintah daerah
yang mempunyai legitimasi dan dukungan yang kuat dari masyarakatnya, baik pada
posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang
kekuasaan legislatif.
4. Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi
dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai
aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat.
5. Developing Brain Power, dalam arti membangun sumber daya manusia yang
handal, profesional dan bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah.
Sedangkan menurut (Mulyanto. 2003: 2), untuk menentukan keberhasilan
pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia setidaknya ada
4 faktor yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan otonomi
daerah.
2. Faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintah daerah.
Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Kabupaten Banjarnegara 2010-2014
(ribu rupiah)
Tahun
Penerimaan
Pertumbuhan (%)
2010
1.037.010,311
28.07%
2011
1.136.518,480
9.59%
2012
1.291.218,547
13.61%
2013
1.453.536,831
12.57%
2014
1.454.177,687
0.04%
Sumber : BPS Jawa Tengah Statistik Keuangan Pemerintah Daerah 2010-214
Dari tabel 1.1 tentang realisasi penerimaan Kabupaten Banjarnegara tahun
2010-2014 terlihat
penerimaan kabupaten
Banjarnegara yang cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, hal ini bisa dilihat
bahwa pertumbuhan realisasi penerimaan pada tahun 2010 yang tinggi yaitu
28.07% dan sekaligus menjadi yang tertinggi selama lima tahun terahir. Pada tahun
2011 pertumbuhan realisasi penerimaan turun drastis menjadi 9.59%. Pada tahun
berikutnya yaitu tahun 2012 pertumbuhan naik kembali walau hanya sedikit
menjadi 13.61%. Pada tahun 2013 pertumbuhan mengalami penurunan lagi menjadi
12.57% dan pada tahun 2014 mengalami penurunan yang sangat drastis bahkan
pertumbuhan realisasi penerimaan di Kabupaten Banjarnegara hanya 0.04%.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat untuk
menganalisa keuangan pemerintah daerah dalam hal ini kinerja keuangan
daerahnya adalah dengan analisis rasio keuangan terhadap APBD. Penggunaan
analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak
dilakukan sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan bulat mengenai nama dan
kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis
rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah perakuntasian dalam
APBD berbeda dengan laporan keuangan sektor privat.
Berdasarkan latar belakang dan paparan diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan pengkajian/penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan urain latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
dalam membiayai daerahnya dinilai dari rasio kemandirian daerah?
2. Bagaimana tingkat ketergantungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
terhadap pemerintah pusat dan provinsi ditinjau dari rasio ketergantungan?
3. Bagaimana kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara dalam
penyelanggaraan desentralisasi ditinjau dari rasio derajat desentralisasi?
4. Bagaimana efektifitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya?
5. Bagaimana efektifitas dan efisiensi pajak daerah Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara dalam merealisasikan pendapatan daerahnya?
6. Bagaimana kemampuan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam membayar
utang jangka panjang ditinjau dari rasio DSCR?
1.3 Batasan Masalah
Pengambilan batasan masalah analasis rasio keuangan pemerintah daerah
Kabupaten Banjarnegara berfokus pada perkembangan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) pada tahun anggaran 200102014. Rasio keuangan terdiri
dari rasio kemandirian, rasio ketergantungan, rasio derajat desentralisasi, rasio
efektivitas PAD, rasio efisiensi PAD, rasio efektivitas pajak daerah, rasio efisiensi
pajak daerah, derajat konribusi BUMD, Debt Service Coverage Ratio, dan Debt
Service Ratio. Peneliti membatasi penelitian ini dengan tidak menggunakan rasio
utang, rasio DSR, rasio derajat kontribusi BUMD, karena keterbatasan data, dan
untuk rasio utang peneiliti tidak menggunakan Rasio Utang karena rasio utang pada
umumnya digunakan oleh pihak eksternal terutama kreditor untuk menilai kinerja
keuangan pemerintah daerah. Selain itu peneliti tidak menggunakan rasio DSR
karena DSR digunakan untuk menghitung utang skala makro dan umumnya
digunakan oleh pemerintah pusat.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis
kemandirian
keuangan
daerah
Pemerintah
Kabupaten
3. Bagi Akademisi, diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan acuan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
1.6 Keaslian Penelitian
Untuk menunjukan bahwa penelitian ini asli dan belum pernah di teliti
sebelumnya, peneliti akan membedakan dengan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya yang berhubungan dengan kinerja dan kemandirian
keuangan daerah sebagai berikut:
Tabel 1.2
Penelitian Sebelumnya
No
1
Peneliti
Rahman,
Naukoko,
Albert.
(2014)
Sample
Kota Manado
dan Kota Bitung
Alat Analisis
Rasio kemandirian,
rasio ddf, rasio ikr,
rasio pertumbuhan,
rasio keserasian
Agustina
(2013)
Kota Malang
Rasio kemandirian,
rasio
efektivitas,
rasio efisiensi, rasio
aktivitas, dan rasio
pertumbuhan.
Fambayun
(2013)
Kabupaten
Magetan
Rasio Kemandirian,
rasio
efektivitas,
rasio efisiensi, rasio
aktivitas,
rasio
pertumbuhan.
Hasil Analisis
Hasil penelitian menunjukkan Melihat
hasil perhitungan tingkat kemampuan
keuangan Kota Manado dan Kota
Bitung selama periode penelitian, dapat
dilihat dari tingkat kemandirian Kota
Manado masih sedikit lebih unggul
dengan rata-rata pertumbuhan mencapai
2% setiap tahunnya, meskipun masih
berada
dibawah
20%
tingkat
kemandirian, dibandingkan dengan Kota
Bitung yang hanya mencapai 1% tingkat
pertumbuhan tiap tahun dan berada di
bawah 10 % tingkat kemandirian.
Hasil analisis rasio kinerja keuangan
daerah dan tingkat kemandirian kota
Malang
pada
tahun
2007-2011
menunjukkan bahwa tingkat keuangan
kemandirian yang instruktif dengan ratarata sebesar 18,76%, rasio efektivitas
sebesar 105% yang berarti sangat
efektif, rasio efisiensi yang bersifat
efisien dengan rata-rata sebesar 4,89%,
rasio aktivitas belanja rutin terhadap
APBD sebesar 76,8% lebih besar
dibandingkan rasio aktivitas belanja
pembangunan terhadap APBD yang
hanya memiliki rata-rata sebesar 22,2%
serta rasio pertumbuhan terdiri dari PAD
sebesar 26,58%, pendapatan sebesar
15,18%, belanja rutin sebesar 16,25%,
dan belanja pembangunan sebesar
17,51%.
Berdasarkan
hasil
analisis
dan
pembahasan yang telah diuraikan, ratarata kinerja pengelolaan keuangan dan
tingkat kemandirian daerah kabupeten
Magetan berdasarkan analisis rasio
keuangan adalah baik. Hal ini dilihat
dari rasio kemandirian 6,84%, rasio
efektivitas dengan rata-rata 120,62%,
rasio efisiensi 2,40%, rasio aktivitas
menunjukan
pemerintah
lebih
memprioritaskan untuk belanja rutin
dibanding
belanja
tidak
Hidayat,
Pratomo dan
Agus
(2012)
Kabupaten/kota
pemekaran
di
Sumatera Utara
Analisis
pertumbuhan,
analisis
peranan,
analisis
peta
kemampuan
keuangan
dengan
metode kuadran.
Efendi Dan
Wuryanti
(2011)
Kabupaten
Nganjuk
Rasio kemandirian,
rasio DDF, rasio
indeks kemampuan
rutin,
rasio
keserasian,
rasio
pertumbuhan.
mempertimbangkan
dampak
/akibat
yang
ditimbulkan
dalam
satuan, baik yang berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan
daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih
tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan atau peraturan perundangan yang
berlaku (Mamesa, 1995).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat
dua unsur penting yaitu :
1. Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi
daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku
merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah;
2. Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan
adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta
pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.
Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2)
memenuhi kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian
(Binder,1984). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo,2000):
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat
(DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi
yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan
perangkat daerah lainnya.
ekonomis,
efektif,
transparan,
dan
bertanggungjawab
dengan
oleh
pemerintah
terkait
dengan
penyelenggaraan
urusan
jawaban
kinerja
pemerintah,
sistem
penganggaran
yang
2. Belanja Daerah
Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
(UU No. 33/2004 pasal 1). Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi/ kabupaten/
kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya
dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama pemerintah
pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan belanja, urusan wajib
diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kuaitas kehidupan masyarakat
sebagai upaya pemenuhan kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas
umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan melalui prestasi kinerja dalam
pencapaian standar minimal sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibiayai kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya (UU No. 33/2004 pasal 1).
Pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu,
transfer dari dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
pinjaman daerah.
2.8 Sumber Penerimaan Daerah
Sumber-sumber pendapatan tetap yang digunakan untuk membiayai
berbagai kegiatan daerah otonom, menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah sebagai
berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan.
2. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
3. Lain-lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain Pendapatan yang Sah adalah dana yang bersumber dari :
a. Dana darurat dari Pemerintah Pusat dalam rangka penanggulangan
korban/kerusakan akibat bencana alam.
b. Hibah berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten di
luar wilayah propinsi, dari perusahaan daerah (BUMD), dari perusahaan negara
(BUMN), atau dari masyarakat.
c. Bantuan keuangan dari Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten di wilayah
propinsi, bantuan keuangan dari Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten lainnya di
luar wilayah propinsi.
2.9 Jenis Belanja Daerah
Menurut permendagri No.13 Tahun 2006 Pasal 36 menjelaskan belanja
daerah menurut kelompok belanja dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Belanja Tidak Langsung
Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang diaggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksaan program dan kegiatan pemerintah.
Kelompok belanja tidak langsung menurut permendagri no.13 tahun 2006 dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai ( Belanja kompensasi, tunjangan dan uang represtasi)
b. Bunga
c. Subsidi
d. Hibah
e. Bantuan Sosial
f. Belanja Bagi Hasil
g. Bantuan Keuangan
h. Belanja Tidak Terduga
2. Belanja Langsung
Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksaan program dan kegiatan pemerintah. Belanja langsung
dibagi menurut belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai (pengeluaran honoraium/upah dalam pelaksanaan program dan
kegiatan pemerintah)
b. Belanja Barang dan jasa
c. Belanja Modal
2.10 Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja keuangan Pemerintah Daerah adalah kemampuan suatu daerah
untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam
memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak
tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di
dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batasbatas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi, 1986).
Untuk minilai mengukur kinerja keuangan dapat menggunakan analisis
rasio keuangan yaitu perbandingan antara dua angka yang datanya diambil dari
elemen laporan keuangan. Analisis rasio keuangan dapat menginterpretasikan
perkembangan kinerja dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai macam rasio
keuangan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain: rasio
kemandirian, rasio ketergantungan, rasio derajat desentralisasi, rasio efektivitas
PAD, rasio efisiensi PAD, rasio efektivitas pajak daerah, rasio efisiensi pajak
daerah, derajat konribusi BUMD, Debt Service Coverage Ratio, Debt Service Ratio.
2.11 Penelitian Sebelumnya
Rahman, Naukoko, Albert melakukan penelitian pada tahun (2014) dan
mengkaji tentang Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan Daerah Di
Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada kota Manado Dan Kota Bitung Tahun 20082012) dengan menggunakan analisis rasio kemandirian, rasio ddf, rasio ikr, rasio
pertumbuhan, rasio keserasian. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan melalui
berbagai analisis rasio, didapati bahwa kemampuan kota Manado dan kota Bitung
masing tergolong kurang mampu dalam pembiayaan pengeluaran rutin yang
dilakukan, terlihat juga bahwa kedua pemerintah masih mengandalkan pendapatan
yang terlalu besar dari dana transfer pemerintah pusat.
Agustina melakukan penelitian tahun (2013) dengan judul Analisis Kinerja
Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Tingkat kemandirian Daerah Di Era otonomi
Daerah: Studi Kasus Kota Malang (Tahung Anggaran 2007-2011) dengan
menggunakan teknik Rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio
aktivitas, dan rasio pertumbuhan. Dari hasil analisis rasio keuangan daerah dapat
disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat
kemandirian daerah kota Malang yang terus membaik.
Fambayun melakukan penelitian pada tahun (2013) dengan judul Analisis
Kinerja Keuangan Daerah Dan Tingkat Kemandirian Daerah Di Kabupaten
Magetan (Tahun Anggaran 2009-2013) dengan menggunakan alat analisis Rasio
Kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas, rasio pertumbuhan.
Penelitian ini meunjukan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, ratarata kinerja pengelolaan keuangan dan tingkat kemandirian daerah kabupeten
Magetan berdasarkan analisis rasio keuangan adalah baik. Hal ini dilihat dari rasio
kemandirian 6,84%, rasio efektivitas dengan rata-rata 120,62%, rasio efisiensi
2,40%,
Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara
APBD Kabupaten
Banjarnegara 2010 - 2014
data,
selain
menyajikan
data
juga
menganalisis
dan
mengiterprestasikan.
3.3 Data Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Badaan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Tengah dan Bappeda Kabupaten Bajarnegara, DPPKAD
Kabupaten Banjarnegara, buku-buku, literature, internet, catatan-catatan, serta
sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Menurut (Dajan, 1996)
yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang diterbitkan atau digunakan
oleh organisasi yang bukan pengelolanya. Adapaun data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah:
1. Data APBD Kabupaten Banjarnegara tahun 2010-2014.
2. Data Realisasi APBD Kabupaten Banjarnegara tahun 2010-2014.
2. Realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah Kabupaten banjarnegara 20102014.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan studi
kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Studi
Pustaka merupakan teknik analisis untuk mendapatkan informasi melalui catatan,
literatur, dokumentasi dan laporan-laporan terseleksi yang relevan dengan topik
penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian disusun dan diolah sesuai dengan
kepentingan dan tujuan penelitian.
= 100%
Tabel 3.1
Pola Hubungan Dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kinerja Keuangan
Kemandirian (%)
Pola Hubungan
Rendah sekali
0 25
Instruktif
Rendah
25 50
Konsultatif
Sedang
50 75
Partisipatif
Tinggi
75 100
Delegatif
Sumber : (Halim, 2001)
2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah
dalam membiayai aktifitas pembangunan daerah melalui optimalisasi PAD, yang
diukur dengan rasio antara PAD dengan total penerimaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) tanpa subsidi (Dana Perimbangan). Dengan Formulasi
sebagai berikut :
Tabel 3.2
Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah
Presentase %
Ketergantungan Keuangan Daerah
0,00-10,00
Sangat rendah
10,01-20,00
Rendah
20,01-30,00
Sedang
30,01-40,00
Cukup
40,01-50,00
Tinggi
>50,00
Sangat tinggi
Sumber: Tim Litbang Depdagri - Fisipol UGM, 1991.
3. Derajat Desentralisasi Fiskal
Rasio ini menunjukan derajat kontribusi pendapatan asli daerah (PAD)
terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin
tinggi
kinerja
kemampuan
pemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan
100%
Tabel 3.4
Kriteria Penilaian Rasio Efektivitas PAD
Presentase %
< 75
75 89
90 99
100
> 100
Sumber : (Mahmudi, 2010)
Efektivitas PAD
Tidak efektif
Kurang efektif
Cukup efektif
Efektif
Samgat efektif
100%
Rasio efektivitas pajak daerah dianggap baik apabila rasio ini mencapai
angka minimal 1 atau 100% (Mahmudi, 2010).
( +()+)
++
100 %
Daftar Pustaka
Agustina, Oesi, (2013). Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Tingkat Kemandirian Daerah Di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota
Malang (Tahun Anggaran 2007-20011). Universitas Brawijaya. Malang.
Astriana. (2014). Analisis Rasio Keuangan Anggaran Dan Pendapatan Belanja
Daerah Kota Magelang Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kota Magelang Tahun Anggaran 2008-2012. Skripsi. Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Bastian, indra, (2001). Akuntansi Sektor Public. Penerbit BPFE. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2016. Statistik Keuangan Daerah
Kabupaten/Kota, http://jateng.bps.go.id.
Dajan, Anton, (1996). Pengantar Metode Statistik Jilid II. LP3S. Jakarta.
Devas, Nick, dan Binder, (1984). Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia. UI
Pres. Universitas Indonesia. Jakarta.
Efendi Dan Wuryanti, (2011). Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan
Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan OTDA Di Kabupaten Nganjuk.
Seminar Nasional Ilmu Ekonomi Terapan. Universitas Muhamadiyah
Ponorogo. Ponorogo.
Fambayun, (2013). Analisis Kinerja Keuangan Daerah Dan Tingkat Kemandirian
Daerah kabupaten Magetan (Tahun Anggaran 2009-2013). Universitas
Negeri Surabaya. Surabaya.
Fisipol UGM, (1991). Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab,
Laporan Akhir Penelitian, Litbang Depdagri. Jakarta.
Halim, Abdul, (2001). Bunga rampai Keuangan Daerah, Edisi Pertama, UUP
AMP. YKPN. Yogyakarta.
Halim, Abdul, (2004). Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah.
Salemba Empat. Jakarta.
Halim, Abdul dan Damayanti, (2007). Pengelolaan Keuangan Daerah, Seri Bunga
Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Halim, Abdul, (2008). Akuntansi Keuangan Daerah Edisi Revisi 3 . Salemba
Empat. Jakarta
Halim Dan Syam, (2012). Akuntansi Sektor Publik : teori, konsep dan aplikasi.
Salemba Empat. Jakarta.