Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemerintah daerah merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk mengatur

roda pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan daerah. Suatu

pemerintah daerah dapat maju dan berkembang apabila mampu menciptakan roda

pemerintahan yang transparan, akuntabilitasnya tinggi dan penerapan value for

money yang benar. Sebagai organisasi yang tidak berorientasi keuntungan,

pemerintah daerah memiliki tujuan utama yaitu memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Pelayanan tersebut berupa pendidikan, kesehatan masyarakat,

keamanan, penegakan hukum, transportasi publik, infrastuktur dan penyediaan

barang kebutuhan publik.

Sutaryo (2010) menyebutkan bahwa penyerahan wewenang pengelolaan

keuangan daerah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah menyebabkan

adanya tuntutan pertanggungjawaban dari berbagai pihak, terutama pemerintah

pusat. Ia juga menambahkan bahwa penyerahan wewenang ini juga akan

menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan.

Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan sebagai akibat

dari penyerahan urusan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah

semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah

1
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk

kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Dalam analisis laporan keuangan dibutuhkan sebuah alat yang relevan.

Subramanyam dan Wild (2013) mengatakan bahwa alat analisis keuangan yang

paling populer dan banyak digunakan adalah rasio keuangan. Ia mengatakan

bahwa rasio keuangan menyatakan hubungan matematis antara dua kuantitas. Ia

juga menambahkan bahwa rasio keuangan dapat mengungkapkan hubungan

penting dan menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang

sulit untuk dideteksi dengan mempelajari masing-masing komponen yang

membentuk rasio.

Beberapa penelitian telah menggunakan rasio keuangan dalam memprediksi

kondisi keuangan pemerintah daerah di Indonesia, yakni financial distress.

Beberapa penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Sutaryo (2010)

yang menemukan bahwa Return On Asset (ROA), Position Goverment Wealth

(PosGW), Current Liquidity Goverment Wealth (CLGW), dan Long Term Debt to

total Asset (LTDA) ratio berpengaruh signifikan terhadap financial distress.

Pada penelitian yang dilakukan oleh fitriana (2017) yang menemukan

bahwa rasio kinerja keuangan dan rasio solvabilitas berpengaruh negative

terhadap financial distress, sedangkan rasio kemandirian keuangan berpengaruh

positif. Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat diindikasikan bahwa rasio

keuangan dapat digunakan untuk memprediksi kondisi keuangan pemerintah

daerah, yakni financial distress pada waktu yang akan datang.

2
Pada Ritongga et al. (2012), dan Husniati (2016) menggunakan rasio

keuangan untuk menilai kondisi keuangan pemerintah daerah di Indonesia.

Beberapa rasio yang digunakan oleh Ritongga et al. (2012) terdiri dari budgetary

solvency ratio, financial flexibility ratio dan financial independence ratio,

sedangkan salah satu rasio yang digunakan oleh Husniati (2016) adalah efficiency

ratio. Dimensi rasio tersebut telah dirancang sesuai dengan model laporan

keuangan pemerintah daerah di Indonesia, namun rasio-rasio tersebut belum diuji

secara empiris kesesuainnya terhadap prediksi financial distress.

Financial Distress yaitu suatu kondisi yang sampai saat ini masih menjadi

pokok bahasan utama di Indonesia khususnya pada daerah. Financial distress

terjadi salah satunya disebabkan oleh dana yang seharusnya dialokasikan sesuai

dengan fungsinya tidak teralokasikan sesuai dengan semestinya.

Kegagalan fungsi alokasi pemerintah dapat disebut juga sebagai financial

distress (Tubels, 2014). Financial distress dapat terjadi pada berbagai jenis sektor

usaha baik itu yang dimiliki swasta atau pemerintahan. Pengertian financial

distress pada sektor pemerintahan adalah ketidakmampuan pemerintah untuk

menyediakan pelayanan pada publik sesuai standar mutu pelayanan yang telah

ditetapkan (Jones dan Walker, 2007) dalam Sutaryo, dkk (2012).

Ketidakmampuan pemerintah ini karena pemerintah tidak mempunyai

ketersediaan dana untuk diinvestasikan pada infrastruktur yang digunakan dalam

penyediaan pelayanan pada publik tersebut. Akibat dari financial distress yaitu

berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang tidak dapat menikmati fasilitas

yang semestinya didapatkan.

3
Pada pemerintah daerah di Indonesia, ketidakmampuan pemerintah daerah

dalam menyediakan infrastruktur disebabkan oleh minimnya jumlah belanja

modal yang dikeluarkan, pembelanjaan daerah lebih banyak digunakan untuk

belanja pegawai yang dapat menjadi salah faktor yang menyebabkan pemerintah

mengalami kondisi financial distress. Ketika pelayanan publik masih buruk maka

menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan yang

baik kepada masyarakat.

Menurut Hasan & Nurhidayat (2016) semakin besarnya proporsi belanja

modal terhadap belanja daerah secara keseluruhan merupakan salah satu ukuran

kualitas belanja yang baik. Belanja modal yang besar diharapkan akan

memberikan dampak yang positif bagi daerah yang kemudian akan meningkatkan

potensi penerimaan daerah yang baru. Belanja modal merupakan pengeluaran

pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan publik yang hasilnya

dapat digunakan langsung oleh masyarakat.

Fenomena yang terjadi saat ini adalah pengelolaan keuangan daerah yang

belum optimal yang ditunjukkan dengan belanja pegawai yang cukup tinggi,

sedangkan belanja modal relatif rendah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan

tahun 2020 dari anggaran belanja daerah se-Provinsi Sumatera Barat sebesar

Rp25.760 triliun sekitar 42% atau Rp10.872 triliun dialokasikan untuk belanja

pegawai. Belanja barang dan jasa sebesar Rp5.761 triliun atau 22%, sedangkan

belanja modal hanya sebesar Rp3.519 triliun atau 13% dari total belanja

pemerintah daerah.

4
Pemerintah daerah masih mengalami penyerapan belanja modal yang

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah masih belum efektif dan

efisien dalam mengoptimalkan belanja daerah khususnya belanja modal yang

memiliki peranan penting dalam pelayanan publik. Minimnya jumlah belanja

modal yang dikeluarkan karena belanja daerah lebih banyak digunakan untuk

belanja pegawai, dapat menjadi salah faktor yang menyebabkan pemerintah

mengalami kondisi financial distress.

Penelitian ini mengacu pada penelitian Yanti (2018) yang meneliti tentang

prediksi financial distress pemerintah daerah di Sumatera Barat, dalam

penelitiannya Financial distress terjadi salah satunya disebabkan oleh dana yang

seharusnya dialokasikan sesuai dengan fungsinya tidak teralokasikan sesuai

dengan semestinya. Dalam penelitian Yanti (2018) menggunakan short-term

solvency ratio, long-term solvency ratio, budgetary solvency ratio, financial

flexibility ratio, financial independence ratio. Sedangkan dalam penelitian ini,

menggunakan budgetary solvency ratio, financial flexibility ratio, financial

independence ratio dan efficiency ratio. Alasan penulis memilih rasio ini adalah

sebagai tolok ukur untuk:

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan

otonomi daerah. Berdasarkan hasil dari analisis rasio keuangan daerah

akan diketahui tingkat kemandirian keuangan daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan

daerah. Berdasarkan hasil dari analisis rasio keuangan daerah akan

diketahui tingkat efektivitas dan efisiensi keuangan daerah.

5
3. Mengukur sejauh mana aktivitas Pemerintah Daerah dalam

membelanjakan pendapatan daerahnya. Berdasarkan hasil dari analisis

rasio keuangan daerah akan diketahui apakah Pemerintah Daerah aktif atau

tidak membelanjakan dana yang ada untuk kegiatan pembangunan.

4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam

pembentukan pendapatan daerah. Berdasarkan hasil dari analisis rasio

keuangan daerah akan diketahui sumber manakah yang memberikan

kontribusi terbesar dan terkecil dalam pembentukan pendapatan daerah

yang terdiri atas PAD, Pendapatan Transfer yang terdiri atas Transfer

Pemerintah Pusat dan Transfer Pemerintah Provinsi untuk

kota/kabupaten), dan Lain-lain Pendapatan yang sah.

5. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan

pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Berdasarkan

hasil dari analisis rasio keuangan daerah akan diketahui apakah daerah

mengalami pertumbuhan atau tidak dalam perolehan pendapatan. Selain

itu, juga akan diketahui apakah daerah mengalami pertumbuhan atau tidak

dalam hal pengeluaran keuangan daerah, dilakukan dalam rentang waktu

tertentu. Hasilnya akan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan

perbaikan oleh Pemerintah Daerah untuk masa yang akan datang.

Prediksi financial distress didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemerintah

daerah dalam menyediakan pelayanan publik (Syurmita, 2014) dan indikator

pengukuran yang digunakan adalah belanja modal, karena penggunaannya akan

dirasakan langsung oleh masyarakat. Pemerintah daerah kabupaten dan kota yang

6
ada di provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu dari beberapa pemerintah

daerah yang memiliki potensi untuk mengalami financial distress.

Pada pemerintah daerah Kota Padang dan Kabupaten Agam pada tahun

2020 yang rasio belanja modalnya sangat rendah yakni 14% untuk Kota Padang

dan 11% untuk Kabupaten Agam, terkait dengan rasio belanja modal yang sangat

rendah, maka pemerintah daerah tersebut dinyatakan berpotensi untuk mengalami

financial distress karena ketidakmampuan pemerintah daerah tersebut untuk

menyediakan pelayanan publik yang baik.

Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian mengatakan dari

kunjungan yang dilakukan ke sejumlah daerah ditemukan bahwa banyak

pemerintah daerah yang mengalokasikan belanja modal dalam jumlah kecil dan

lebih banyak menggunakan alokasi dana untuk belanja pegawai. Sebagian besar,

hampir 70% bahkan ada yang 80% untuk belanja operasional dan belanja

pegawai. Belanja modal tinggal 12%, itu pun masih digunakan untuk rapat

pegawai sekitar 3-4%, jadi yang sampai ke masyarakat sekitar 7-8% . Jadi porsi

belanja modal ini ditambah mejadi 30% sampai 40% dari total alokasi belanja.

Menurut Syurmita (2014) apabila nilai dari rasio belanja modal terhadap

total belanja dibawah 30% maka dapat dinyatakan bahwa pemerintah daerah

tersebut dalam status financial distress, hal ini dianggap relevan dengan peraturan

yang berlaku Peraturan Presiden No.2/2015 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dan Peraturan Presiden

No.18/2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024. Berdasarkan latar belakang diatas,

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “Analisis

7
Pengaruh Rasio Keuangan dalam Memprediksi Status Financial Distress

Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat

Periode 2016-2020)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah budgetary solvency ratio berpengaruh terhadap status financial

distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat?

b. Apakah financial flexibility ratio berpengaruh terhadap status financial distress

pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat?

c. Apakah financial independence ratio berpengaruh terhadap status financial

distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat?

d. Apakah efficiency ratio berpengaruh terhadap status financial distress

pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian tentang pengaruh rasio

keuangan dalam memprediksi status financial distress pemerintah daerah ini

dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh rasio keuangan berupa

budgetary solvency terhadap status financial distress pada pemerintah daerah

kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.

8
b. Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh rasio keuangan berupa

financial flexibility terhadap status financial distress pada pemerintah daerah

kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.

c. Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh rasio keuangan berupa

financial independence terhadap status financial distress pada pemerintah

daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.

d. Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh rasio keuangan berupa

efficiency ratio terhadap status financial distress pada pemerintah daerah

kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

a. Bagi Peneliti

Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat menerapkan pengetahuan yang

diperoleh selama masa pendidikan baik formal maupun informal. Selain itu

diharapkan peneliti memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai indikator-

indikator prediksi financial distress berupa rasio keuangan pada pemerintah

daerah.

b. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan para pembaca

maupun sebagai salah satu bahan referensi atau bahan pertimbangan dalam

penelitian selanjutnya dan sebagai penambah wacana keilmuan.

c. Bagi Pemerintah Daerah

9
Untuk membuktikan bahwa rasio keuangan dapat membantu mengantisipasi

kondisi masa depan, yang nantinya informasi yang tercermin dalam rasio

keuangan tersebut dapat menjadi titik awal untuk merencanakan tindakan-

tindakan yang akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja dimasa depan.

d. Bagi Pemerintah Pusat

Untuk membuktikan bahwa rasio keuangan dapat dijadikan alat evaluasi

pelaksanaan otonomi daerah dan sebagai dasar pengambilan keputusan

pengawasan terhadap pejabat daerah dalam menjalankan roda pemerintahan

terkait dengan pengelolaan keuangan daerah.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab,

yang masing-masing terdiri dari:

a. BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah mengenai

topik yang diangkat, tujuan, manfaat, Batasan masalah dan sistematika

penulisan secara ringkas mengenai isi setiap bab dari skripsi.

b. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan beberapa teori dan konsep dasar yang

berhubungan dengan penelitian.

c. BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai jenis penelitian, populasi dan sampel, jenis dan

sumber data, teknik pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran

variable, teknik analisis data, serta pengujian hipotesis.

10
d. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini menjelaskan tentang analisis data-data yang telah diperoleh dari

dengan metode dan teknik yang sesuai dengan teori dan pembahasannya.

e. BAB V PENUTUP

Dalam bab ini berisikan kesimpulan dari seluruh kegiatan peneltian,

keterbatasan penulis, dan saran-saran.

11

Anda mungkin juga menyukai