Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu ukuran yang

dapat digunakan untuk memastikan kemampuan daerah dalam melaksanakan

aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja keuangan

pemerintah daerah menjadi suatu hal yang penting bagi pemerintah daerah dan

pihak eksternal. Data pengukuran kinerja keuangan yang bersumber dari

informasi finansial yang diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat,

dapat menjadi peningkatan program selanjutnya demi menghasilkan pelayanan

publik yang lebih baik dan berkualitas.

Kinerja keuangan pemerintah daerah sangat tergantung pada

pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan daerah harus mengikuti prinsip

secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi value for money serta

partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Pengelolaan keuangan

daerah yang dilakukan dengan menggunakan prinsip tersebut akan mendorong

pertumbuhaan ekonomi, mengurangi jumlah penganguran dan menurunkan

tingkat kemiskinan (Setyanda, 2010).

Pengukuran kinerja menurut Fahmi (2012).merupakan komponen yang

penting karena akan memberikan umpan balik atas rencana yang telah

diimplementasikan, mengungkapkan bahwa fungsi dari pengukuran kinerja

dapat menjelaskan mengenai evaluasi bagaimana program tersebut berjalan,

1
2

sarana perbandingan atas pelayanan yang diberikan dan alat komunikasi

dengan publik. Selain itu, tuntutan pengukuran kinerja keuangan pemerintah

daerah perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa masih buruknya kinerja

pemerintah daerah di Indonesia yang dapat terlihat dengan adanya pernyataan

Ketua BPK RI, bahwa masih buruknya transparansi dan akuntabilitas

pemerintah daerah sehingga hal tersebut berdampak pada buruknya penilaian

kinerja pemerintah daerah.

Penelitian mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah telah dilakukan

oleh Hamzah (2014), Sumarjo (2010), Sumarjo (2010), Suhardjanto (2010),

Maiyora (2015), Anzarsari (2014), Puspa Sari (2016) Kusumawardani (2012), Siti

Nur Rochmah (2015), Minarsih dan Kumalasari (2015). Para peneliti pada

umumnya menggunakan variabel karakteristik pemerintah daerah sebagai

variabel independen dan kinerja keuangan sebagai variabel dependen.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarjo menunjukan bahwa

variabel size, leverage, dan intergovernmental revenue berpengaruh terhadap

kinerja keuangan pemerintah daerah. Sedangkan variabel kemakmuran

(wealth) dan ukuran legislatif tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah. Hasil penelitian Sumarjo ini berbanding terbalik dengan

penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto dimana variabel leverage tidak

berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh mengenai variabel size juga berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Maiyora dimana variabel size tidak berpengaruh terhadap

kinerja keuangan pemerintah.


3

Penelitian Anzarsari yang menggunakan variabel karakteristik pemerintah

daerah (size, wealth, ukuran legislatif dan intergovernmental revenue) dan kinerja

keuangan pemerintah daerah yang dapat menjelaskan bahwa variabel wealth dan

intergovernmental renevue berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah.

Sedangkan size dan ukuran legislatif tidak berpengaruh terhadap kinerja pemerintah

daerah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Indah menunjukkan bahwa ukuran

pemerintah daerah, PAD dan Dana perimbangan berpengaruh pada Kinerja

Keuangan pemerintah daerah, sedangkan leverage dan ukuran legislatif tidak

berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, kinerja pemerintah daerah dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kapasitas fiskal,

government size, PAD, leverage, kemakmuran (wealth), dana perimbangan,

belanja pembangunan dan legislative size. Mempertimbangkan hasil

penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis

lebih lanjut tentang pengaruh kapasitas fiskal, government size dan legislative

size terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Kemudian yang menjadi

obyek dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di provinsi Aceh dan

Sumatera Utara.

Alasan pemilihan obyek penelitian tersebut karena selain kedua provinsi

tersebut memilki kesamaan secara karakteristik daerah dan faktor geografis yang

saling berdekatan juga karena data laporan keuangannya tercatat lengkap pada

situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan

(www.djpk.depkeu.go.id). Disamping itu, Pemerintah Aceh menerima transfer


4

dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam jumlah yang cukup besar dari pemerintah

pusat untuk mendanai progam pemerintah daerah sedangkan pemerintah

provinsi Sumatera Utara tidak menerima dana Otsus, sehingga penulis tertarik

untuk mengetahui kondisi keuangan dan faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi kinerja keuangan pada kedua provinsi tersebut.

Berdasar fenomena diatas dan hasil penelitian sebelumnya, penulis

menjadikan kondisi tersebut sebagai bahan penelitian, sehingga penulis tertarik

untuk melakukan penelitian yang penulis tuangkan dalam bentuk penelitian

dengan judul: “Pengaruh Kapasitas Fiskal, Government Size Dan

Legislative Size Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh kapasitas fiskal secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut?

2. Bagaimanakah pengaruh government size secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut?

3. Bagaimanakah pengaruh legislative size secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut?

4. Bagaimanakah pengaruh kapasitas fiskal, government size dan legislative size

secara simultan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di

Aceh dan Sumut?


5

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tuijuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh kapasitas fiskal secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.

2. Untuk mengetahui pengaruh government size secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.

3. Untuk mengetahui pengaruh legislative size secara parsial terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.

4. Untuk mengetahui pengaruh kapasitas fiskal, government size dan legislative

size secara simultan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi pemerintah daerah

Memberikan tambahan informasi dan wawasan serta memberikan

masukan bagi pemerintah daerah agar dapat mengembangkan

kelembagaannya agar dapat meningkatkan kinerja keungan pemerintah

daerah.

b. Bagi Penulis

Memberikan kesempatan bagi peneliti untuk menerapkan teori yang telah

diperoleh di bangku kuliah dan menambah wawasan peneliti serta

mengetahui pentingnya faktor kapasitas fiskal, government size dan


6

legislative size yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah

daerah.

c. Bagi Pihak Lain

Penelitian ini dapat dilakukan sebagai bahan referensi yang nantinya

akan memberikan perbandingan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini dan agar lebih terarah dan

berjalan dengan baik, maka perlu dibuat batasan masalah. Adapun ruang lingkup

permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Peneliti dilakukan hanya pada data-data keungan pemerintah daerah

kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.

2. Penelitian ini hanya membahas tentang pengaruh kapasitas fiskal,

government size dan legislative size terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut.


7

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kapasitas Fiskal

Definisi kapasitas fiskal menurut peraturan menteri keuangan nomor

224/PMK.07/2008 adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah

yang dicerminkan melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah

(tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, pinjaman lama dan penerimaan

lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk

membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan

dengan jumlah penduduk miskin.

Pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada

mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan demi terciptanya suatu

perbaikan standar hidup masyarakat secara cepat, baik dari sektor swasta maupun

pemerintah. Adanya desentralisasi dan otonomi daerah menuntut pemerintah

daerah untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan

untuk membiayai program-program yang terkait dengan pengurangan kemiskinan

dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Diterbitkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dalam pengaturan

pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut otonomi

diberikan kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan

kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong


8

upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas

pemerintah lainnya dan akhirnya menyebabkan orientasi pemerintah pada tuntutan

dan pelayanan publik.

Desentralisasi fiskal diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

karena adanya kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik

pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila diatur langsung

oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, kecenderungan tersebut masih belum nampak.

Hal ini disebabkan sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan

Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot PAD

melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi dengen peningkatan efektivitas

pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam

implementasi Otonomi Daerah. Peraturan Pemerintah ini telah mendorong daerah-

daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan

pengelolaan keuangan daerah. Dengan manajemen keuangan daerah yang sehat

diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan

akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena

merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya

penyelenggaraan pemerintah yang bersih (clean government) dan tata

pemerintahan yang baik (good governance).

Undang-undang No.32 Tahun 2004 menerangkan bahwa pemerintahan

kabupaten/kota memiliki urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah


9

kabupaten/kota yang terdiri dari perencanaan dan pengendalian pembangunan;

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum;

penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan

masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitas pengembangan koperasi,

usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan;

pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum

pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan

dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan. Urusan lainnya yang bersifat meliputi urusan pemerintahan secara nyata

ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Pemerintah daerah membuat perencanaan APBD untuk mendukung

urusan-urusan pemerintah di atas. APBD merupakan gambaran dari kebijakan

pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan

operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Anggaran adalah pernyataan

tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam

sebuah rentang waktu tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di

masa lalu (Franciari, 2012).

Kapasitas fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai

sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat

yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang

diperlukan daerah. Dalam penelitian ini kapasitas fiskal diukur dengan:


10

∑ PAD
Kapasitas Fiskal = ∑ Belanja Rutin
x 100% (Rochmah, 2015)

Dimana :

PAD = Pendapatan Asli Daerah

Belanja Rutin = Belanja yang ditunjukkan untuk membiayai kegiatan rutin

pelaksanaan pemerintahan, meliputi belanja pegawai,

belanja barang, pembayaran bunga dan cicilan utang,

subsidi dan pengeluaran rutin lainya.

2.2 Government Size

Ukuran (size) pemerintah daerah menunjukkan seberapa besar

organisasi tersebut (Suhardjanto 2010). Perusahaan yang memiliki ukuran yang

lebih besar akan memiliki tekanan yang besar pula dari publik untuk

menyajikan laporan keuangannya secara lengkap. Begitu pula dalam sektor

pemerintahan, Pemerintah Daerah yang memiliki ukuran besar dituntut untuk

melakukan transparansi atas pengelolaan keuangannya sebagai bentuk

akuntabilitas publik melalui pengungkapan informasi yang lebih banyak dalam

laporan keuangan (Syafitri 2012).

Size adalah suatu nominal yang dapat mendiskripsikan sesuatu.

Sebagai informasi bahwa size perusahaan yang diukur dengan menggunakan

total aktiva akan lebih baik karena nilai aktiva relatif stabil dibandingkan

dengan nilai penjualan dan kapitalisai pasar dalam mengukur size perusahaan.

Size dapat diukur dengan jumlah karyawan, total aset, total pendapatan, dan

tingkat produktifitas. Penelitian yang dilakukan oleh menemukan bahwa


11

entitas yang lebih besar memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dari pada

entitas yang lebih kecil (Nasser, 2009).

Penelitian Sumarjo (2010) menjelaskan karakteristik pemerintah daerah

dengan menggunakan ukuran (size) pemerintah daerah yang diproksikan dengan

total aset. Aset adalah elemen neraca yang akan membentuk informasi berupa

posisi keuangan jika dihubungkan dengan elemen neraca yang lain yaitu modal

dan kewajiban. Financial Accounting Standards Boards (FASB) No. 6 paragraph

25 mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi masa datang yang cukup pasti

yang diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat

transaksi atau kejadian masa lalu.

Ukuran (size) yang besar dalam pemerintah daerah akan memberikan

kemudahan kegiatan operasional yang kemudian akan mempermudah dalam

memberi pelayanan masyarakat yang memadai. Selain itu kemudahan di bidang

operasional juga akan memberi kelancaran dalam memperoleh pendapatan asli

daerah (PAD) guna kemajuan daerah sebagai bukti peningkatan kinerja

(Kusumawardani 2012).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumarjo (2010) yang menyatakan

bahwa semakin besar ukuran (size) pemerintah daerah maka semakin baik

kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut. Pemerintah daerah yang

memiliki ukuran besar memiliki tekanan yang besar untuk melakukan

pengungkapan kinerja keuangan. Pemerintah daerah dalam melakukan

pengungkapan atas laporan kinerjanya akan lebih terdorong untuk

mengungkapkan hal-hal yang bersifat good news. Good news tersebut dapat
12

berupa laporan mengenai baiknya kinerja pemerintah daerah tersebut sehingga

meningkatkan skor kinerjanya.

2.3 Legislative Size

Legislatif/DPRD merupakan bentuk lembaga perwakilan rakyat daerah

(propinsi/kabupaten/kota) di Indonesia yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintah daerah bersama dengan pemerintah daerah.Anggota

DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan yang dipilih

berdasarkan hasil pemilihan umum (Sumarjo, 2010). Dalam struktur

pemerintahan daerah, DPRD berada di tiga wilayah administatif, yaitu di tingkat

propinsi disebut DPRD Propinsi berkedudukan di ibukota provinsi, tingkat

kabupaten disebut DPRD Kabupaten berkedudukan di ibukota kabupaten, dan

tingkat kota disebut DPRD Kota, berkedudukan di kota.

DPRD sebagai badan legislatif mempunyai fungsi pengawasan terhadap

keuangan daerah agar Pemerintah Daerah dapat mengelola anggaran yang ada

untuk dapat di dayagunakan dengan baik. Banyaknya jumlah anggota DPRD

diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah

sehingga berdampak dengan adanya peningkatan pada pengungkapan laporan

keuangan Pemerintah Daerah.

Gilligan dan Matsusaka (2011) memproksikan ukuran legislatif dengan

jumlah anggota Badan Legislatif yang ada di Pemerintah Daerah di Amerika

Serikat. Sumarjo (2010) juga menggunakan proksi jumlah anggota DPRD

untuk mengukur ukuran legislatif. Berdasarkan penelitian Gilligan dan


13

Matsusaka dan Sumarjo (2010), maka dalam penelitian ini juga menggunakan

jumlah anggota DPRD sebagai proksi untuk mengukur ukuran legislatif.

ULEG = Jumlah anggota DPRD (Sumarjo, 2010)

2.4 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

2.4.1 Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan

atau instansi pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk

menggambarkan kinerja perusahaan atau instansi tersebut. Penelitian yang

dilakukan Susanti (2010) mendefinisikan laporan keuangan sebagai salah satu

informasi yang secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana

pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya

pemilik, serta jendela informasi yang memungkinkan bagi pihak-pihak diluar

manajemen, mengetahui kondisi entitas tersebut.

Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (SPAP) No. 1 menjelaskan

definisi laporan keuangan sebagai laporan yang terstruktur mengenai posisi

keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan.

Laporan keuangan menjadi alat yang digunakan untuk menunjukkan pencapaian

kinerja dan pelaksanaan fungsi pertanggungjawaban dalam suatu entitas. Oleh

karena itu, pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus memadai agar

dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan sehingga menghasilkan keputusan

yang cermat dan tepat (Choiriyah, 2010).


14

2.4.2 Jenis-jenis Laporan Keuangan

Melihat besarnya manfaat dari laporan keuangan maka pemerintah

pusat menerbitkan aturan mengenai kewajiban Presiden dan Gubernur

/Bupati/Walikota untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan yang dituangkan melalui

UU No. 17 tahun 2003. Berdasarkan PP RI No. 24 tahun 2005 laporan

keuangan setidaknya meliputi:

a. Laporan Realisasi Anggaran

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2005 laporan realisasi

Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber

daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu

periode pelaporan. Lebih lanjut, dalam laporan realisasi anggaran

setidaknya menyajikan unsur pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit,

pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran.

b. Neraca

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset,

kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu (PP RI No. 24 tahun 2005).

Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana.

c. Laporan Arus Kas

Laporan Arus Kas menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaan,

perubahan kas dan setara kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas

dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus masuk dan keluar kas

diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non- keuangan,


15

pembiayaan, dan non-anggaran (PP RI No. 24 tahun 2005). Unsur yang

dicakup dalam laporan arus kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas.

d. Catatan atas Laporan Keuangan

Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian

dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan

Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup

informasi tentang kebijakan akuntansi yang digunakan oleh entitas

pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk

diungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-

ungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan

keuangan secara wajar. Agar dapat digunakan oleh pengguna dalam

memahami dan membandingkannya dengan laporan keuangan entitas

lainnya.

2.4.3 Manfaat Laporan Keuangan

Peranan pelaporan keuangan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi

Pemerintahan paragraf 21 dan 22 (PP No. 24/2005) menyatakan bahwa laporan

keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi

keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan

selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk

membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan

anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi

efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan dan membantu menentukan

ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.


16

Laporan keuangan merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan

good governance. Hal ini dikarenakan melalui laporan keuangan maka unsur

akuntabilitas dalam mencapai good governance dapat terpenuhi. Pada

perkembangannya, usaha pemerintah dalam mencapai good governance masih

kurang. Belakangan ini, berkembanglah tuntutan masyarakat mengenai

akuntabilitas yang tidak hanya sekedar dalam bentuk laporan pertanggung

jawaban, namun masyarakat menginginkan adanya pengukuran kinerja

keuangan pemerintah (Munawir, 2010).

2.5 Kinerja Pemerintah Daerah

2.5.1 Pengertian Kinerja

Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara

keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas

dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target

atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah

disepakati bersama. Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan fungsinya sesuai

dengan tanggungjawabnya (Pasolong, 2010).

Menurut Supardi (2014) mengatakan bahwa kinerja merupakan suatu

kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan, menyelesaikan tugas dan

tanggungjawab dengan sesuai harapan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dari

beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah keberhasilan

seseorang dimana suatu target kerja dapat diselesaikan pada waktu yang tepat atau
17

tidak melampui batas waktu yang disediakan sehingga tujuannya akan sesuai

dengan moral maupun etika perusahaan.

2.5.2 Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja keuangan merupakan salah satu cara yang dapat

dilakukan oleh pihak manajemen agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap

para penyandang dana dan juga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh

perusahaan. Menurut Hasibuan (2012) tujuan dan kegunaan penilaian prestasi

kerja adalah sebagai berikut:

a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untu promosi,

demosi, pemberhentian, dan penetapan besarnya balas jasa.

b. Untuk mengukur prestasi kerja yaitu sejauh mana karyawan bisa sukses

dalam pekerjaannya.

c. Sebagai dasar untuk evaluasi efektivitas seluruh kegiatam di dalam

perusahaan.

d. Sebagai dasar evaluasi program latihan dan keefektivan jadwal kerja, metode

kerja, struktur organisasi, gaya pengawasa, kondisi kerja, dan peralatan kerja.

e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan

yang berada di dalam organisasi.

f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai

tujuan untuk mendapatkan performa kerja yang baik.

g. Sebagai alat untuk mendorong atau membiasakan para atasan (supervisor,

managers, administrator) untuk mengobservasi perilaku bawahan

(subordinate) supaya diketahui minat dan kebutuhan-kebutuhan bawahannya.


18

h. Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan-kelemahan di

masa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

i. Sebagai kriteria di dalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.

j. Sebagai alat identifikasi kelemahan-kelemahan personel sebagai bahan

pertimbangan agar bisa diikutsertakan dalam program latihan kerja tambahan.

k. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.

l. Sebagai dasar perbaikan dan pegembangan uraian pekerajaan (job description).

Adapun menurut Sunyoto yang dikutip Mangkunegara (2012) manfaat

penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut:

a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi,

pemberhentian dan besarnya balas jasa

b. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan

c. Sebagai dasar mengevaluasi aktivitas seluruh kegiatan organisasi/perusahaan.

d. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan

yang ada dalam organisasi.

e. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal

kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasaan, dan kondisi kerja.

f. Sebagai alat untuk melihat kekurangan dan kelemahan serta untuk

meningkatkan kemampuan karyawan kembali.

g. Untuk mengukur sejauh mana karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.

h. Sebagai dasar untuk mengembangkan uraian tugas para karyawan.

Penilaian prestasi kerja bermanfaat untuk perbaikan prestasi kerja

karyawan, penyesuaiaan kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan untuk


19

latihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, penyimpangan

proses staffing, ketidakakuratan informasional, kesalahan desain pekerjaan,

kesempatan kerja yang adil dan tantangan eksternal.

2.6 Pengertian Kinerja

2.6.1 Pengertian Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang telah diperoleh suatu perusahaan

dalam periode tertentu dan terutang dalam laporan keuangan yang bersangkutan.

Menurut Irhan Fahmi (2011) kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan

untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan

menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar.

Dari uraian definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan

adalah gambaran suatu kualitas perusahaan yang tercermin melalui pelaksanaan

keuangan pada satu periode tertentu.

2.6.2 Pengertian Keuangan Daerah

Keuangan daerah dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban yang dinilai

dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uanga maupun barang

yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dikuasi atau dimiliki

negara atau daerah yang lebih tinggi atau pihak-pihak lain sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kinerja keuangan daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali

dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya

guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat


20

dan pembangunan daerahnya dengan tidak bergantung sepenuhnya kepada

pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan didalam menggunakan dana-dana

untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan

perundang-undangan (Rukmana, 2013).

Salah satu aspek pemerintah daerah yang harus diatur adalah masalah

pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya pemberdayaan

pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada

kepentingan publik, hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran

untuk kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam

perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.

Asas umum pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah sesuai isi pasal 4 yaitu Keuangan daerah dikelola

secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,

transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan,

kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

2.6.3 Analisis Rasio Keuangan Daerah

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan

pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja

keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah

daerah adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah

ditetapkan dan dilaksanakannya.


21

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD

belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara

bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam

rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif,

efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun

kaidah akuntansi dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh

perusahaan swasta (Fahmi, 2011).

Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan

hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya

sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat

pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah

daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi

daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah

daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

2.6.4 Jenis-jenis Rasio Keuangan Daerah

Menurut Halim, (2012). Beberapa rasio yang dapat dikembangkan

berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain:

a. Rasio kemandirian keuangan daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan kemampuan

pemda dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan

pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai

pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan

oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan


22

pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah

pusat ataupun dari pinjaman.

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantunagn daerah terhadap

sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mangandung arti

bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuah pihak eksternal

(terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian pula

sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi

masyarakat dalam pembangunan daerah.

Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat

dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama

PAD. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan

menggambarkan tingkat kesejatraan masyarakat yang semakin tinggi.

b. Rasio efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam

merialisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang

ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah menjalankan tugas

dikategorikan efektif apabila mencapai minimal sebesar atau 100 persen. Namun

demikian, semakin tinggi rasio efektivitas, maka kemampuan daerah pun semakin

baik. Guna memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio efektivitas tersebut perlu

dipersandingkan dengan rasio efesiensi yang dicapai pemda.

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara

besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi

pendapatan yang diterima. Kenerja pemda dalam melakukan pemungutan pendapatan


23

dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari satu atau di bawah 100

persen. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemda semakin baik.

c. Rasio aktivitas

Rasio ini menggambarkan pemda memprioritaskan alokasi dananya pada

belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase

dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi

(belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana

ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.

Belum ada tolak ukur yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun

pembangunan terhadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi

kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperluakan untuk

mencapai pertumbuhan ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah di Negara

berkembang, peranan pemda untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif

besar. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu

ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.

d. Debt service coverage ratio

Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana di

daerah, selain menggunakan PAD, pemerintah daerah dapat digunakan alternatif

sumber dana lain melalui pinjaman, sepanjang prosedur dan pelaksanaannya

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketentuan tersebut adalah:

1. Ketentuan yang menyangkut persyaratan:

a) Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75

persen dari penerimaan APBD tahun sebelumnya.


24

b) Debt service coverage ratio (DSCR) minimal 2,5 persen

DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan PAD merupakan

semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi daerah. Kelompok

pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: Pajak

daerah, Retribusi daerah, Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan

kekayaan milik daerah yang dipisahkan, Lain-lain PAD yang sah misalnya :

bantuan dana kontinjensi/penyeimbang dari pemerintah dan dana darurat.

2. Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman

a) Pinjaman jangka panjang digunakan untuk membiayai pembangunan

yang dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembayaran

pinjaman dan pelayanan masyrakat.

b) Pinjaman jangka pendek untuk mengatur arus kas.

3. Ketentuan yang menyangkut prosedur

a) Mendapat persetujuan DPRD.

b) Dituangkan dalam kontrak.

e. Rasio pertumbuhan

Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan

pemda dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai

dari periode ke periode berikutnya. Diketahuinya pertumbuhan untuk masing-

masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran untuk mengevaluasi

potensi-potensi yang perlu mendapatkan perhatian.


25

2.6.5 Rumus-rumus Rasio Keuangan Daerah

1. Rasio kemandirian keuangan daerah (Halim, 2012):

Pendapatan Asli Daerah


Rasio kemandirian = X 100%
Total Pendapatan Daerah

2. Rasio efektivitas dan efesiensi pendapatan asli daerah (Halim, 2012):

Realisasi Penerimaan PAD


Rasio efektivitas = X 100%
Target Penerimaan PAD

Total Realisasi Belanja Daerah


Rasio Efesiensi = X 100%
Total Realisasi Pendapatan Daerah

3. Rasio aktivitas (Halim, 2012):

Rasio belanja aparatur/rutin terhadap APBD =

Total Belanja Aparatur Daerah


X 100%
Total Belanja Daerah

Rasio belanja pelayanan publik/pembangunan terhadap APBD =

Total Belanja Pelayanan Publik


X 100%
Total Belanja Daerah

4. Debt Service Coverage Ratio (Halim, 2012):

(PAD+BD+DAU)−BW
DSCR = Total (Pokok Angsuran+Bunga+Biaya+Biaya Pinjaman)
X 100%

Keterangan:

PAD = Pendapatan asli daerah

BD = Bagian daerah

DAU = Dana alokasi umu

BW = Belanja wajib

5. Rasio pertumbuhan (Halim, 2012):

Pn − P0
r =
P0

Keterangan:
26

r = Rasio pertumbuhan

Pn = Total pendapatan daerah/PAD/Belanja modal/Belanja operasi

yang dihitung pada tahun ke-n

P0 = Total pendapatan daerah/PAD/Belanja modal/Belanja operasi

yang dihitung pada tahun ke-0 (tahun sebelum n)

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah,

antara lain:

1. Potensi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi

ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan daerah

dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi

atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga Dipenda untuk

meningkatakan penerimaan daerah.

Adapun tujuan dari analisis ratio keuangan pada sektor publik (APBD)

sebagai berikut:

a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan

otonomi daerah.

b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintahan daerah dalam membelanjakan

pendapatan daerahnya.

d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan

pendapatan daerah.
27

e. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran

yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

Banyak pihak yang berkepentingan terhadap ratio keuangan pada APBD

menurut Purwanto Widodo (2011) yaitu:

1. DPRD.

2. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam penyusunan APBD berikutnya.

3. Pemerintah pusat/provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan

pelaksaan pengelolaan keuangan daerah.

4. Masyarakat dan kreditor, sebagai pihak yang turut memiliki saham pemerintah

daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi.

Pengukuran kinerja organisasi merupakan komponen penting yang

memberikan motivasi dan arah serta umpan balik terhadap efektivitas perencanaan

dan pelaksanaan proses perubahan dalam suatu organisasi. Mardiasmo (2009)

mengemukakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk

membantu memperbaiki kinerja pemerintah.

Kinerja sebuah organisasi diukur menggunakan alat ukur kinerja yang

senantiasa mengalami perkembangan seiring perubahan lingkungan organisasi saat

ini yang semakin kompleks. Hal ini terlihat dari adanya dua jenis alat ukur kinerja,

yaitu yang bersifat tradisional dan alat ukur kinerja modern. Alat ukur kinerja

memuat indikator-indikator kinerja yang menjadi dasar untuk melakukan evaluasi

terhadap pencapaian organisasi.

Akuntansi sebagai sebuah sistem pencatatan dan pelaporan menjadi

mutlak diperlukan dalam sebuah organisasi termasuk di sektor pemerintahan.


28

Kinerja organisasi selama satu periode terekam dalam laporan yang dihasilkan

oleh sistem akuntansi sebuah organisasi. Laporan tersebut kemudian menjadi

dasar dalam mengukur kinerja organisasi.

Akuntansi sektor publik berfungsi untuk memfasilitasi terciptanya alat

ukur kinerja sektor publik yang memadai. Menurut Mahmudi (2010) yang

menyatakan bahwa akuntansi memiliki peran yang sangat penting dalam

menentukan indikator kinerja sebagai dasar untuk mengukur kinerja. Pengukuran

kinerja merupakan wujud dari akuntabilitas. Dengan demikian, akuntansi berperan

dalam upaya meningkatkan akuntabilitas dan transparansi organisasi pemerintah

bagi masyarakat.

2.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu diperlukan agar dapat memperjelas, menegaskan,

serta melihatkelebihandankelemahanberbagaiteoriyangdigunakanoleh penulis lain

dalam kajian masalah. Pada penelitianini,terdapatkajianterdahuludengan tujuan

penelitian yang sama dengan isi permasalahan sebagai berikut:

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Variabel
Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Siti Nur Faktor-Faktor yang Variabel PAD dan
Rochmah Mempengaruhi independen: Pertumbuhan
(2015) Kinerja Keuangan Pendapatan Asli Ekonomi
Pemerintah Daerah Daerah, Dana berpengaruh pada
(Studi Empiris pada Permbangan, Kinerja Keuangan
Kota dan Kabupaten Belanja Modal, Pemda, sedangkan
di Provinsi Jawa Dana Perimbangan,
Pertumbuhan
Tengah Tahun 2009- Belanja Modal,
Ekonomi, Ukuran
2012) Ukuran Legislatif,
Legislatif, Leverage
Leverage tidak
29

Variabel dependen: berpengaruh


Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah
Indah Pengaruh Ukuran Variabel Ukuran pemerintah
Puspa Sari Pemerintah Daerah, independen: Ukuran daerah, PAD dan
(2016) PAD, Leverage, dana Pemerintah Daerah, Dana perimbangan
Perimbangan dan PAD, Leverage, berpengaruh pada
Ukuran Legislatif dana Perimbangan Kinerja Keuangan
Terhadap Kinerja dan Ukuran Pemda, sedangkan
Keuangan Pemerintah Legislatif Variabel Leverage dan
Daerah (Studi pada dependen: Kinerja Ukuran legislatif
Kab/Kota Pulau Keuangan tidak berpengaruh
Sumatra) Pemerintah Daerah terhadap kinerja
keuangan
pemerintah daerah.
Gita Pengaruh Variabel Menunjukan hasil
Maiyora Karakteristik independen: Ukuran bahwa ukuran
(2015) Pemerintah Daerah (size), kemakmuran (size) dan
Terhadap Kinerja (wealth), ukuran intergovernmental
Keuangan Pemerintah legislatif, leverage revenue
Daerah di Pulau dan berpengaruh
Sumatera. intergovernmental terhadap kinerja
revenue. keuangan
Variabel dependen: pemerintah
Kinerja keuangan daerah. Sedangkan
pemerintah daerah. kemakmuran,
ukuran legislatif
dan leverage tidak
berpengaruh
erhadap kinerja
keuangan
pemerintah
daerah.
Ratna Ayu Pengaruh Size, Variabel Size dan
Minarsih Wealth, Leverage dan Independen: Size, kemakmuran,
(2015) Intergovernmental Wealth, Leverage leverage dan
Revenue Terhadap dan intergovernmental
Kinerja Keuangan Intergovernmental revenue (diukur
Pemerintah Daerah di Revenue. Variabel dengan rasio
Jawa Tengah Dependen: Kinerja efisiensi) tidak
Keuangan berpengaruh
Pemerintah Daerah terhadap kinerja
keuangan
pemerintah daerah.
Sedangkan
30

leverage dan
intergovernmental
revenue (diukur
dengan rasio
efektifitas)
berpengaruh positif
terhadap kinerja
keuangan
pemerintah daerah.
Desy Pengaruh Variabel Menunjukan hasil
Anzarsari Karakteristik independen: Ukuran bahwa wealth, dan
(2014) Pemerintah Daerah (size), kemakmuran intergovernmental
Terhadap Kinerja (wealth), ukuran renevue
Pemerintah Daerah di legislatif dan berpengaruh
Jawa Tengah. intergovernmental terhadap kinerja
revenue. Variabel pemerintah
dependen: Kinerja daerah. Sedangkan
pemerintah daerah. size dan ukuran
legislatif tidak
berpengaruh
terhadap kinerja
pemerintah
daerah.

2.8 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan

pengaruh variabel independen yaitu: Kapasitas Fiskal (X1), Government Size (X2),

Legislative Size (X3) terhadap variabel dependen yaitu: Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah (Y).

2.8.1 Hubungan Kapasitas Fiskal dengan Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah

Kapasitas fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri

kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
31

Semakin besar kapasitas fiskal maka semakin besar pula peningkatan kinerja

pemerintah daerah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Husna Hayati (2017)

yang menunjukan bahwa secara simultan kapasitas fiskal, government size dan

belanja modal berpengaruh terhadap kinerja keuangan pada kabupaten/kota di Aceh.

Secara parsial juga ditemukan bahwa variabel kapasitas fiskal, government size, dan

belanja modal juga berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah pada

kabupaten/kota di Aceh.

2.8.2 Hubungan Government Size dengan Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah

Ukuran (size) yang besar dalam pemerintah akan memberikan kemudahan

kegiatan operasional yang kemudian akan mempermudah dalam memberi pelayanan

masyarakat yang memadai. Kemudahan di bidang operasional juga akan memberi

kelancaran dalam memperoleh PAD guna kemajuan daerah sebagai bukti

peningkatan kinerja. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumarjo (2010) yang

menyatakan bahwa semakin besar ukuran (size) pemerintah daerah maka semakin

baik kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh

Mirna (2012) menunjukkan bahwa pengujian secara simultan menunjukkan bahwa

Size berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

2.8.3 Hubungan Legislative Size dengan Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah

Legislatif/DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi

pengawasan. Lembaga legislatif harus memperhatikan mengenai seberapa besar

pengeluaran pemerintah daerah yang akan dilakukan dan berapa pemasukan yang
32

akan diterima. Banyaknya jumlah anggota DPRD diharapkan dapat meningkatkan

pengawasan terhadap pemerintah daerah sehingga berdampak dengan adanya

peningkatan kinerja pemerintah daerah. Dengan demikian, semakin besar jumlah

anggota legislatif diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah

melalui adanya pengawasan. Hasil penelitian Mirna (2012), menunjukkan variabel

ukuran legislatif memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

berdasarkan rasio efisiensi.

Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat

dilihat pada gambar 2.1 berikut:

Kapasitas Fiskal
(X1)

Kinerja Keuangan
Government Size
Pemerintah Daerah
(X2)
(Y)

Legislative Size
(X3)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.9 Hipotesis Penelitian

Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang

masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis

ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang kan diteliti

(Arikunto, 2012). Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:
33

H1 : Kapasitas Fiskal berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah pada Kabupaten/Kota di Aceh dan Sumut.

H2 : Government Size berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah pada Kabupaten/Kota di Aceh dan Sumut.

H3 : Legislative Size berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah pada Kabupaten/Kota di Aceh dan Sumut.

H4 : Kapasitas Fiskal, Government Size, Legislative Size berpengaruh secara

simultan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah pada

Kabupaten/Kota di Aceh dan Sumut.


34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis yang bertujuan untuk

menguji hipotesis yang diajukan oleh peneliti mengenai pengaruh kapasitas fiskal,

government size dan legislative size terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Sedangkan data yang dipakai adalah data sekunder. Data yang diambil adalah data

keuangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh dan Sumut. Data keuangan

diperoleh melalui website dari dirjen perimbangan keuangan.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah yang terdiri atasobjek/subjek penelitian yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015).

Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

(LKPD) kabupaten/kota di Aceh dan Sumut tahun 2015 dan tahun 2016.

3.2.2 Sampel

Sampelmerupakansebagianatauwakil dari populasi yang memiliki sifat dan

karakter yang sama serta memenuhi populasi yang diselidiki (Sugiyono, 2015).

Sampel dalam penelitian ini adalah laporan keuangan pemerintah daerah yang

memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah yang mendapat opini
35

WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) akan menjadi sampel karena dianggap telah

memenuhi seluruh syarat kelengkapan laporan keuangan yang dibutuhkan dan

diharapkan mampu menjadi gambaran pemerintah daerah yang kinerja

keuangannya baik.

Dengan menggunakan sampel pemerintah daerah yang medapat opini

wajar tanpa pengecualian diharapkan tidak terjadi perbedaan nilai adj R square

yang besar dan tidak mempengaruhi hasil pengujian data dalam penelitian ini.

Dalam penelitian Rahardjo (2010) terjadi perbedaan hasil yang cukup besar

diantara dua model penelitian karena masih menggunakan sampel penelitian wajar

dengan pengecualian.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan

kriteria sampel berikut ini:

a. Sampel adalah laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh

dan Sumut yang menerbitkan laporan keuangan pada tahun 2015 dan 2016

yang telah daudit oleh BPK RI dengan mendapat opini audit wajar tanpa

pengecualian (unqualified opinion).

b. Sampel adalah laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh

dan Sumut yang telah dipublikasikan dalam Dirjen Perimbangan Keuangan

Negara serta mencantumkan seluruh data dan informasi yang dibutuhkan

dalam pengukuran variabel dan analisis data untuk pengujian hipotesis dalam

penelitian.
36

3.4 Definisi Operasional Variabel

3.4.1 Variabel Independen

Variabel independen merupakan variabel stimulus atau variabel yang

mempengaruhi variabel lain, variabel yang dapat diukur, dimanipulasi, atau dipilih

oleh peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang diobservasi

(Sarwono, 2012). Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Kapasitas Fiskal

Pemerintah daerah membuat perencanaan APBD untuk mendukung urusan-

urusan pemerintah di atas. APBD merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah

daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi

struktur yang mendukungnya. Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan

penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu

tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di masa lalu (Franciari, 2012).

Kapasitas fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

Dalam penelitian ini kapasitas fiskal diukur dengan:

∑ PAD
Kapasitas Fiskal = ∑ Belanja Rutin
x 100% (Rochmah, 2015)

b. Government Size

Ukuran (size) dapat diukur menggunakan total aset, jumlah karyawan, total

pendapatan, dan tingkat produktifitas (Sumarjo, 2010). Dalam penelitian ini ukuran

pemerintah daerah diukur menggunakan jumlah total aset pemerintah daerah. Baber

dalam Suamrjo (2010) mengunakan populasi penduduk untuk mengukur ukuran


37

(size). Penelitian Wuryaningsih dalam Sumarjo (2010) menggunakan nilai total aset

sebagai ukuran (size) pada sektor swasta dan nilai aktiva atau total aset dianggap

lebih stabil dibandingkan dengan nilai penjualan bersih dan kapitalisasi pasar.

Sumarjo (2010) juga menggunakan nilai aktiva sebagai proksi dari ukuran (size).

Karena dianggap lebih stabil maka dalam penelitian ini total aset pemerintah daerah

digunakan dalam mengukur size.

c. Legislative Size

DPRD sebagai badan legislatif mempunyai fungsi pengawasan terhadap

keuangan daerah agar Pemerintah Daerah dapat mengelola anggaran yang ada

untuk dapat di dayagunakan dengan baik. Banyaknya jumlah anggota DPRD

diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah

sehingga berdampak dengan adanya peningkatan pada pengungkapan laporan

keuangan Pemerintah Daerah. Gilligan dan Matsusaka (2001) memproksikan

ukuran legislatif dengan jumlah anggota Badan Legislatif yang ada di

Pemerintah Daerah di Amerika Serikat. Sumarjo (2010) juga menggunakan

proksi jumlah anggota DPRD untuk mengukur ukuran legislatif. Berdasarkan

penelitian Gilligan dan Matsusaka dan Sumarjo (2010), maka dalam penelitian

ini juga menggunakan jumlah anggota DPRD sebagai proksi untuk mengukur

ukuran legislatif.

ULEG = Jumlah anggota DPRD (Sumarjo, 2010)

3.4.2 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang memberikan reaksi/respon jika

dihubungkan dengan variabel independen. Variabel yang diamati dan diukur


38

untuk menentukan pengaruh yang disebabkan variabel independen (Sarwono,

2012). Kinerja keuangan pemerintah daerah di ukur dengan menggunakan dua

rasio sebagai berikut:

a. Rasio Efisiensi

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara

output dan input atau realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan daerah.

Semakin kecil rasio ini, maka pemerintah daerah dapat dikategorikan kinerja

keuangannya telah efisien. Dengan mengetahui perbandingan hasil realisasi

pengeluaran dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran rasio efisiensi,

maka penilaian kinerjanya dapat ditentukan. Apabila kinerja keuangan diatas

100% ke atas maka dapat dikatakan tidak efisien, 90%-100% adalah kurang

efisien, 80%-90% adalah cukup efisien, 60%-80% adalah efisien dan dibawah dari

60% adalah sangat efisien. Perhitungan rasio efisiensi didasarkan pada penelitian

yang dilakukan oleh Hamzah (2014).

Total Realisasi Belanja Daerah


Rasio Efesiensi = X 100%
Total Realisasi Pendapatan Daerah

b. Rasio Efektivitas

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam

merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target

yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2015). Semakin tinggi rasio

efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Apabila

presentase kinerja keuangan diatas 100% dapat dikatakan sangat efektif, 90%-100%

adalah efektif, 80%-90% adalah cukup efektif, 60%-80% adalah kurang efektif dan
39

kurang dari 60% adalah tidak efektif. Perhitungan rasio efektivitas diambil dari

penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2014).

Realisasi Penerimaan PAD


Rasio efektivitas = X 100%
Target Penerimaan PAD

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

N
Variabel Defenisi Skala Pengukuran
o
Dependent
1 Kinerja Kinerja keuangan Rasio 1. Rasio efesiensi = Total
Keuangan pemerintah daerah Realisasi Belanja
Pemerintah di ukur dengan Daerah/Total Realisasi
Daerah menggunakan dua Pendapatan Daerah x
rasio yaitu: 100%
1. Rasio efektifitas 2. Rasio efektivitas =
2. Rasio efisiensi Realisasi Penerimaan
PAD/ Target Penerimaan
PAD x 100%
Independent
1 Kapasitas Kapasitas fiskal Rasio Kapasitas Fiskal = ∑ PAD /
Fiskal menunjukkan ∑ Belanja Rutin x 100%
kemampuan daerah
dalam membiayai
sendiri kegiatan
pemerintahan,
pembangunan, dan
pelayanan kepada
masyarakat yang
telah membayar
pajak dan retribusi.
2 Government Ukuran dari Rasio Jumlah Penduduk
Size pemerintah daerah
yang diukur
melalui nilai total
aset
3 Legislative Rasio Jumlah anggota DPRD
Size
40

3.5 Metode Analisis

Berdasarkan pada tujuan dan hipotesis yang diungkapkan dalam penelitian

ini, maka metode analisis data yang dapat diterapkan adalah analisis regresi

berganda.Dilihat dari jenis penilitian ini yang merupakan penelitian korelasi,

metode analisis data dengan menerapkan analisis regresi berganda menjadi suatu

pilihan yang patut digunakan.Melalui analisis ini dapat dilihat pengaruh atau

hubungan antara variabel bebas (independent variable) dengan variabel terikat

(dependent variable).Dengan analisis regresi berganda maka dapat seberapa besar

variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Adapun persamaan regresi

berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e


Dimana:
Y = Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Х1 = Kapasitas Fiskal
X2 = Government Size
X3 = Legislative Size
a = Konstanta
b1-b2-b3 = Koefisien Regresi
e = Standard error

3.6 Pengujian Hipotesis

3.6.1 Uji Signifikan Parsial (Uji-T)

Uji T ini dipergunakan untuk melihat besarnya pengaruh masing-

masing variabel bebas terhadap variabel terikat secara sendiri-sendiri atau

parsial (Sarwono, 2013). Sehingga dalam penelitian ini Uji T dipergunakan

untuk melihat besarnya pengaruh dari variabel bebas (independent variable)


41

secara sendiri-sendiri terhadap variabel terikat (dependent variable).

Pengujian dilakukan dengan mengunakan aplikasi pengolahan data yaitu

SPSS. Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan Uji T adalah

sebagai berikut:

a. Merumuskan Hipotesis

Uji T memerlukan perumusan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif

(Ha).Hipotesis nol dan hipotesis alternatif dalam Uji T dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

H0 = Kapasitas Fiskal (X1), Government Size (X2) dan Legislative Size (X3) secara

parsial tidak berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y).

Ha = Kapasitas Fiskal (X 1), Government Size (X2 ) dan Legislative Size (X3 )

secara parsial berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah (Y).

b. Merumuskan Dasar Pengambilan Keputusan

Dasar pengambilan keputusan dalam hal ini maksudnya adalah dasar yang

digunakan sehingga dapat menetapkan diterima tidaknya hipotesis penelitian.

Kemudian, menetapkan taraf signifikansi sebesar 0,05. Lebih lanjutnya dapat

dilihat melalui kriteria atau dasar pengambilan keputusan berikut:

1. Jika nilai signifikan < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.

2. Jika nilai signifikan > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak.

Nilai signifikan penelitian dapat diketahui dari hasil pengolahan data

dengan SPSS pada tabel Coefficients dalam kolom Sig.


42

3.6.2 Uji Signifikan Simultan (Uji-F)

Untuk mengetahui apakah suatu model regresi sudah benar atau salah,

diperlukan uji hipotesis. Uji hipotesis dengan menggunakan Uji F dimaksudkan

agar dapat diketahui pengaruh dari variabel independen terhadap variabel

dependen. Dengan kata lain Uji F dipergunakan untuk melihat pengaruh dari

semua variabel bebas (independent variable) secara gabungan terhadap variabel

terikat (dependent variable) (Sarwono, 2013).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan Uji F adalah

sebagai berikut:

a. Merumuskan Hipotesis

Langkah pengujian hipotesis dapat dimulai dari menetapkan hipotesis nol

(null hypothesis)dan hipotesis alternatif (alternative hypothesis). Hipotesis nol

(H0) dan hipotesis alternatif (H1) dalam Uji F dari penelitian ini adalah:

H0 = Kapasitas Fiskal (X1), Government Size (X2) dan Legislative Size (X3)

secara simultan tidak berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah (Y).

Ha = Kapasitas Fiskal (X1), Government Size (X2) dan Legislative Size (X3)

secara simultan berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah (Y).

b. Merumuskan Dasar Pengambilan Keputusan

Dasar pengambilan keputusan dalam hal ini maksudnya adalah dasar yang

digunakan sehingga dapat menetapkan diterima tidaknya hipotesis penelitian.

Yang pertama dilakukan adalah menetapkan taraf signifikansi sebesar 0,05. Taraf
43

signifikansi diperlukan untuk menjadi pembanding dalam menentukan diterima

tidaknya hipotesis. Selanjutnya dapat dilihat melalui kriteria atau dasar

pengambilan keputusan berikut.

a. Jika nilai signifikan < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.

b. Jika nilai signifikan > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak.

Nilai signifikan penelitian dapat diketahui dari hasil pengolahan data

dengan SPSS pada tabel ANOVA dalam kolom Sig.

3.6.3 Pengujian Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi merupakan suatu nilai yang dapat menggambarkan

sejauh mana variabel bebas (independent variable) dalam penelitian dapat

mempengaruhi variabel terikat (dependent variable) dari pada pengaruh variabel-

variabel lain di luar model regresi dalam penelitian.Perhitungan uji koefisien

determinasi dapat menggunakan aplikai SPSS.

Dari hasil perhitungan SPSS akan diperoleh adjusted R Squere (R2).

Adujusted R Squere (R2) digunakan untuk melihat besarnya pengaruh nilai

Kapasitas Fiskal (X1), Government Size (X2) dan Legislative Size (X3) terhadap

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y). Semakin tinggi nilai dari koefisien

determinasi berarti menunjukkan semakin baik kemampuan variabel independen

dalam menjelaskan perilaku variabel dependen (Santoso, 2013).


44

BAB IV

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi linier berganda ini digunakan untuk mengetahui Pengaruh

Kapasitas Fiskal (X1), (X2), Ukuran Pemerintah dan Ukuran Pemerintah (X3) Terhadap

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) di Indonesia. Hasil analisis regresi linier

berganda dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1

Hasil Analisis Regresi Berganda


Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta T Sig.

1 (Constant) -14228937.692 5343039.007 -2.663 .012

Kapasitas_Fiskal_X1 -.004 .015 -.036 -.255 .801

Ukuran
-.028 .192 -.030 -.144 .887
Pemerintah_X2

Ukuran Legislatif 360537.300 105257.187 .744 3.425 .002

a. Dependent Variable: Kinrja_Kuangan_Y

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa data output dari analisis regresi linier

berganda yang dianalisis menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS)

maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

Y = -14228937.692 -0.004X1 -0.028X2 + 360537.300X3


45

4.1.2 Uji T (Parsial)

Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan program SPSS 21.0

yang tertera pada tabel diatas, diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4.2

Hasil Pengjian Hipotesis Parsial (Uji t)

Variabel t hitung t tabel Keterangan


Kapasitas Fiskal (X1) -0.255 2,042 Tidak Berpengaruh
Ukuran Pemerintah (X2) -0.144 2,042 Tidak Berpengaruh
Ukuran Legislatif (X3) 3.425 2,042 Berpengaruh

Pada variabel Kapasitas Fiskal (X1) didapatkan nilai thitung (-0.255) < ttabel

(2,042), maka H0 diterima (Ha ditolak). Artinya Kapasitas Fiskal (X1) tidak berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan

tingkat signifikansi 5% (0,05). Artinya semakin tinggi Kapasitas Fiskal (X1), semakin

rendah Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

Pada variabel Ukuran Pemerintah (X2) didapatkan nilai thitung (-0.144) < ttabel

(2,042), maka H0 diterima (Ha ditolak); Ukuran Pemerintah (X2) tidak berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan

tingkat signifikansi 5% (0,05). Artinya semakin tinggi Ukuran Pemerintah (X2) semakin

rendah Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

Pada variabel Ukuran Legislatif (X3) didapatkan nilai thitung (3.425) ≥ ttabel

(2,042), maka H 0 ditolak (Ha diterima). Ukuran Pemerintah (X3) berpengaruh positif

dan signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan tingkat
46

signifikansi 5% (0,05). Artinya semakin tinggi Legislative Size (X3) semakin tinggi pula

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

4.1.3 Uji F (Simultan)

Uji F dilakukan untuk menguji signifikansi koefisien regresi seluruh prediktor

(variabel independen) di dalam model secara serentak (simultan). Jadi menguji Pengaruh

Kapasitas Fiskal (X1), Ukuran Pemerintah (X2), dan Ukuran Legislatif (X3) Terhadap

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) di Indonesia.

Tabel 4.3

Hasil Pengjian Hipotesis Simultan (Uji F)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1682771505903220.000 3 560923835301073.500 10.272 .000b

Residual 1638196120833007.000 30 54606537361100.240

Total 3320967626736228.000 33

a. Dependent Variable: Kinrja_Kuangan_Y

b. Predictors: (Constant), Ukuran Legislatif Kapasitas_Fiskal_X1, _X2 Ukuran Pemerintah

Berdasarkan hasil perhitungan statistik yang menggunakan Statistical Product and

Service Solution (SPSS) yang tertera pada tabel di atas, diperoleh nilai Fhitung sebesar 10.272

dengan tingkat signifikansi 0.000. Nilai signifikansi yang dihasilkan tersebut lebih kecil dari

0.5. Hal ini berarti bahwa variabel Kapasitas Fiskal (X1) Ukuran Pemerintah, (X2), dan
47

Ukuran Pemerintah (X3) berpengaruh secara serentak atau simultan terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah (Y) di Indonesia.

4.1.4 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur besarnya Pengaruh

Kapasitas Fiskal (X1), Ukuran Pemerintah (X2), dan Ukuran Pemerintah (X3) Terhadap

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y). Hasil uji determinasi terdapat pada tabel di

bawah.

Tabel 4.4

Koefisien Determinasi (R2)

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate

1 .712a .507 .457 7389623.62784

a. Predictors: (Constant), Ukuran Legislatif, Kapasitas_Fiskal_X1,


Ukuran Pemerintah_X2

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai Adjusted R Square atau R2 0.457

(45,7%). Hal tersebut mempunyai arti bahwa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dapat

dijelaskan oleh Kapasitas Fiskal (X1), Ukuran Pemerintah (X2), dan Ukuran Pemerintah (X3)

sebesar 45,7%, sedangkan sisanya 54,3% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam

penelitian ini.
48

4.2 Pembahasan

Pada variabel Kapasitas Fiskal (X1) didapatkan nilai thitung (-0.255) < ttabel

(2,042), maka H0 diterima (Ha ditolak). Artinya Kapasitas Fiskal (X1) tidak berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan

tingkat signifikansi 5% (0,05). Artinya semakin tinggi Kapasitas Fiskal (X1), semakin

rendah Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

Hasil penelitian ini mengindikasi bahwa besarnya kapasitas fiskal suatu daerah

bergantung kepada porsi anggaran yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk

melakukan pembangunan. Semakin tinggi kapasitas fiskal suatu daerah, semakin besar

pula jumlah porsi anggaran yang akan akan dikelola oleh pemerintah daerah sehingga

memungkinkan besarnya kebobolan pada kinerja keuangan dan pengungkapan atas

laporan kinerjanya. Berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa kapasits fiskal di

Indonesia tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan

pemerintahan daerah.

Penelitian tentang pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap kinerja keuangan juga

pernah diteliti oleh Husna Hayati (2017) yang berjudul Pengaruh Kapasitas Fiskal,

Ukuran Pemerintah Dan Belanja Modal Terhadap Kinerja Keuangan (Studi Pada

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Aceh). Namun menunjukkan hasil yang berbeda.

Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap kinerja

keuangan.

Pada variabel (X2) Ukuran Pemerintah didapatkan nilai thitung (-0.144) < ttabel

(2,042), maka H0 diterima (Ha ditolak); (X2) tidak berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan tingkat signifikansi 5%


49

(0,05). Artinya semakin besar (X2) semakin ren Ukuran Pemerintah dah Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ukuran pemerintah daerah yang

diukur berdasarkan total asset yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Apabila ukuran

pemerintah daerah semakin besar maka kinerja keuangan pemerintah daerah kurang

baik. Pemerintah daerah dengan ukuran yang besar seharusnya memiliki tekanan

yang besar untuk melakukan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta

pengungkapan atas laporan kinerjanya, hal ini terjadi kemungkinan pemerintah

daerah belum dapat mengelola dengan baik aset yang dimilikinya untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Sari, (2016), Maiyora, (2015), dan Masdiantini dan Erawati, (2016) yang

menyatakan bahwa ukuran pemerintah daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah.

Pada variabel Ukuran Pemerintah (X3) didapatkan nilai thitung (3.425) ≥ ttabel

(2,042), maka H0 ditolak (Ha diterima). Ukuran Pemerintah (X3) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dengan tingkat signifikansi

5% (0,05). Artinya semakin tinggi Ukuran Pemerintah (X3) semakin tinggi pula Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah (Y) dan sebaliknya.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila besar atau tidaknya

ukuran legislatif berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah, hal ini

mengindikasikan bahwa banyaknya jumlah anggota DPRD dapat meningkatkan

kinerja keuangan pemerintah daerah. Peran yang diharapkan pada anggota DPRD

dalam kaitannya dengan kinerja yaitu dalam hal pengawasan pelaksanaan kinerja oleh
50

pemerintah daerah kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

Sesotyaningtyas, (2012) dan dan Maiyora, (2015) yang menyatakan bahwa ukuran

legislatif berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.


51

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data pada bab sebelumnya, maka

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kapasitas Fiskal secara parsial tidak berpengaruh terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah.

2. Ukuran Pemerintah secara parsial tidak berpengaruh terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah.

3. Ukuran Pemerintah secara parsial berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah.

4. Kapasitas Fiskal, , Ukuran Pemerintah dan Ukuran Pemerintah secara

simultan berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah sebaiknya dapat memberikan pengawasan lebih dalam

mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah dengan intensifikasi

dan ekstensifikasi yang merupakan ukuran dari kapasitas fiskal untuk

kembali digunakan kearah pengeluaran yang dapat mendorong

pembangunan daerah dan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya.
52

2. Berkaitan dengan pertumbuhan penduduk di setiap Provinsi memiliki

pengaruh positif dan signifikan sebaiknya pemerintah harus tetap

mengontrol pertumbuhan penduduk.

3. Pertambahan anggota legislatif diharapkan diiringi dengan meningkatnya

kemampuan setiap anggota legislatif agar Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah lebih baik.


53

Anda mungkin juga menyukai