Anda di halaman 1dari 12

TUGAS 3 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

SOAL :

1. Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi


keberhasilan otonomi daerah di Indonesia!

JAWABAN :

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah
merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Dengan melihat definisi diatas dapat diketahui bahwa sejatinya otonomi daerah itu
merupakan suatu kebijakan yang telah disepakati dalam perundang-undangan yang berlaku dan
harus dilaksanakan.

Hal itu sejalan dengan pernyataan Ryaas Rasyid bahwa “otonomi daerah di Indonesia merupakan
sebuah kebijakan strategis, maka dengan itu pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa ditunda-tunda
lagi jika memang bangsa Indonesia ingin menjadi sebuah bangsa yang lebih besar dan mencapai
tujuan-tujuan nasionalnya”.

Otonomi daerah telah memberikan peluang yang begitu besar terhadap daerah untuk dapat
membangun daerah sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Urusan pemerintahan
konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini.

Tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan upaya


mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar
daerah, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap
kebutuhan, potensi, dan karakteristik daerah masing-masing. Untuk maksud tersebut, peningkatan
kualitas desentralisasi urusan pemerintahan, melalui peningkatan hak dan tanggungjawab
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri.
Salah satu pendorong desentralisasi atau pembentukan daerah otonom adalah pengalaman
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada masa lalu, masa Orde Baru, yang
sentralistik. Penyelenggaraan pembangunan tidak didasarkan pada kondisi daerah atau lokal, yang
mengakibatkan terjadi kesenjangan antara daerah-daerah ”kaya” dengan daerah-daerah ”miskin”,
antara pulau Jawa dan luar Jawa, dan Kawasan Indonesia Bagian Barat dan Kawasan Indonesia
Bagian Timur. Kesenjangan antar daerah ini relatif tinggi dari berbagai indikator seperti
pendapatan per kapita antar daerah, konsumsi per kapita antar daerah, dan banyaknya penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik, ada beberapa faktor atau syarat yang harus
mendapat perhatian. Menurut Kaho, beragam faktor yang mempengaruhi otonomi daerah adalah:

1. Manusia pelaksananya harus baik.


Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang
paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan
penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau
subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah
maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang
diinginkan apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.
2. Keuangan harus cukup dan baik.
Kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23)
yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat
penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan
pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka
pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan
segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang
dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk
dan susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan
pandangan ke muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang
baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik
pula.
3. Peralatannya harus cukup dan baik.
Yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan
pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah
untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan
lainlain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi
keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
4. Organisasi dan manajemennya harus baik.
Yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan
satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain
dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Menurut Kaho, keempat faktor tersebut di atas mencakup faktor-faktor yang diungkapkan oleh
Gabriel U. Iglesias. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan selfsupporting dalam
bidang keuangan. Faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur kemampuan
daerah dalam melaksanakan otonomi. Berarti bahwa pelaksanaan otonomi atau rumah tangganya,
daerah membutuhkan dana atau uang. Keuangan menduduki posisi yang sangat penting dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah. Keadaan keuangan sangat menentukan bentuk,
corak serta kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditentukan bahwa sumber pendapatan
daerah terdiri atas:

- PAD, yaitu:
a. hasil pajak daerah
b. hasil retribusi daerah
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. lain-lain PAD yang sah;
- Dana perimbangan
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator penting untuk menilai tingkat keberhasilan
penyelenggaraan otonomi. Besarnya konstribusi PAD dalam APBD merupakan ukuran
keberhasilan penyelenggaraan pembangunan, peningkatan pelayanan, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Semestinya semua daerah otonom mampu meningkatkan kontribusi
PAD dalam APBD, oleh karena pembentukan daerah otonom didasarkan potensi yang
diasumsikan dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Halim, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: (1) kemampuan
keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk
menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan; dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung
oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.20 Kedua ciri tersebut akan
mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah
satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave dalam
mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah.

SOAL :
2. Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!

JAWABAN :

Permasalahan dalam otonomi daerah di Indonesia sejak diberlakukannya paket UU mengenai


Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal
lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan
yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu
penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan
dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.

Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah
keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu
tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan
yang jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan
rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari,
beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan atau hambatan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan
berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Adapun hambatan-hambatan
tersebut antara lain :

- Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah


Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya
sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya
maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh
kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan,
baik itu rutin maupun pembangunan.
Dengan hal ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan
pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi
pemerintah daerah, pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan
kohersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable
dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).
Instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan
banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis
jangka pendek bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus
ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari
rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang
yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau
retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.

- Pemahaman terhadap Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang Belum


Mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut
pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Desentralisasi diperlukan
dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai
wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau
integrasi nasional. Untuk mewujudkan dinamika demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang kepada masyarakat
untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi
percepatan pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
haruslah mantap.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka sejumlah besar fungsi-
fungsi pemerintahan dialihkan dari pusat ke daerah, dalam banyak hal melewati provinsi.
Berdasarkan kedua undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali pertahanan,
urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan perdagangan dan hukum, telah
dialihkan ke daerah otonom. Kota dan kabupaten memikul tanggung jawab di hampir
semua bidang pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan
provinsi bertindak sebagai koordinator.
Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang, hal itu berada dalam
tanggung jawab pemerintah daerah. Kedua undang-undang ini, mencerminkan realitas
politik bahwa warga negara Indonesia kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar
dalam mengelola urusan sendiri. Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik
pada saat ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah
dilaksanakan. Mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum
mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak
dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan
yang baru.
Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri
untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai pengguna jasa” adalah pelayanan publik
yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas
desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai
unsur utama dalam pencapaian tata pemerintahan lokal.

- Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Belum Memadai


Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga
legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan
bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat.
Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Setidaknya terdapat dua
penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu: Pertama, pemerintah pusat rupanya tak
kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Kedua,
desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian
elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra
daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui
semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh
tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hubungan pusat dan daerah juga masih
menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar.
Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999
melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa
daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan
yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena
perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru,
tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh. Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh
dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.

- Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan yang Belum Menunjang Sepenuhnya


Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan
amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan
mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun
masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program
desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan melalui peningkatan
kapasitas dan kompetensi yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyelenggaraan
otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia
pelaksananya baik, dalam artian mentalitas, integritas maupun kapasitasnya. Pentingnya
posisi manusia pelaksana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi
yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh
sebab itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan
sendirinya melahirkan implikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan
otonomi daerah.

- Korupsi di Daerah.
Korupsi di Daerah. Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan
berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari
pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak
pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghamburhamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana
anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui
anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan
sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah
juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah
diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para
pejabat publik itu?

- Adanya Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah.


Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu konflik horizontal yang
terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, sebagai akibat dari
penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada
hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak taat kepada pemerintah provinsi.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala
daerah,rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.

SOAL :

3. Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat
untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

JAWABAN :

Penyelesaian masalah otonomi daerah di Indonesia pada intinya, masalah-masalah tersebut


seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi
daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif
pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya
baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang
memungkinkan untuk itu.

Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan
alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif
bagi perekonomian daerah, yaitu

- efisiensi anggaran
- revitalisasi perusahaan daerah.

Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi,
jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain.
Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan
kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping
itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi hemat.

Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena
kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah
cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-
prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak
bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa
menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui
privatisasi.

Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru. Di
bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus
mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.

- Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di


daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan
pembangunan antar daerah.
- Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan
kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.
- Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang
dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah
melakukan korupsi.
- Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan
diatasnya yang lebih tinggi.
- Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk
mencegah pembentukan dinasti politik.
- Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang
berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
- Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi),
mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.
- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor
lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
- Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
- Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat.
- Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu
diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi
membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi
Daerah.

Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknumoknum di
tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah
daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi
dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang
mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahanpermasalahan itu tentu harus
dicari solusi dan penyelesaiannya agar tujuan awal ataupun citacita luhur dari otonomi daerah
dapat tercapaida terwujud dengan baik.

SOAL :

4. Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!

JAWABAN :

Istilah Good Governance sering disebut dalam berbagai kesempatan dan dimaknai secara
berlainan, bahkan menjadi konsep yang populer dalam banyak debat akademik dan politik
Kontemporer. Satu sisi ada yang memaknai Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga
pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Istilah ini merujuk pada arti asli
Governing yang berarti mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik
dalam suatu negeri.

Karena itu Good Governance dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan
pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik
untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Dengan demikian
ranah Good Governance tidak terbatas pada negara melalui birokrasi pemerintahan, tetapi juga
pada ranah masyarakat sipil yang di representasikan oleh organisasi non pemerintah seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan juga sektor swasta singkatnya, tuntutan terhadap tata
kelola pemerintahan yang baik tidak selayaknya ditujukan hanya kepada penyelenggara negara
atau pemerintahan, melainkan juga pada masyarakat diluar pemerintahan yang secara bersemangat
menuntut penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya saling
meletakkan kepercayaan antara satu sama lain yaitu negara dengan birokrasi pemerintahannya
dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis agar
mahasiswa, masyarakat dan swasta dapat memberi kepercayaan. Sektor swasta sebagai pengelola
sumber daya diluar negara dan birokrasi pemerintahan mendapat dukungan kepercayaan dari
negara dan masyarakat serta mahasiswa, dan pada akhirnya keterlibatan organisasi
kemasyarakatan sebagai kekuatan perimbang mendapat kepercayaan dari negara dan swasta.

Dachroni (2009) mengemukakan tiga tren gerakan yang patut menjadi perhatian gerakan
mahasiswa kekinian. Pertama, tren/model gerakan intelektualitas. Sebagai kaum yang memiliki
kecerdasan dan ketajaman menganalisa suatu persoalan sudah saatnya kiblat pergerakan
mahasiswa saat ini berbasis riset dan kajian-kajian ilmiah, karena salah satu wujud dari tridharma
perguruan tinggi adalah pendidikan dan penelitian. Kedua, tren/model gerakan jamaah atau
pengkaderan. Bukan sebuah gerakan kalau tidak mampu melakukan proses pengkaderan, sebab
untuk melakukan suatu perubahan diperlukan kerja-kerja berjamaah, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS As-Shaff ayat 4, “sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-
Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ketiga, adalah tren atau model gerakan mahasiswa kewirausahaan. Tak bisa dipungkiri, cukup
banyak aktivis dan gerakan mahasiswa yang mengorbankan bahkan menjual idealismenya karena
mengalami penyakit kanker (kantong kering). Sudah saatnya, dengan kedua modal di atas gerakan
mahasiswa harus memikirkan kondisi finansialnya dengan model pemberdayaan wirausaha.

Dalam tulisan lain Dachroni (2012) mengemukakan tentang konsep gerakan mahasiswa yang
dilandasi oleh kebersamaan, hal ini merupakan suatu keharusan bagi gerakan mahasiswa untuk
membangun sebuah kebersamaan gerakan, khususnya dalam menyikapi isu-isu public yang
strategis dan menindas masyarakat lemah. Menurutnya, ada tiga tantangan besar ketika kita
membicarakan masalah membangun kebersamaan gerakan mahasiswa yang saat ini terkesan
bergerak sendiri-sendiri. Pertama, perbedaan persepsi (pandangan). Cara pandang gerakan
mahasiswa yang relative berbeda dalam menyikapi suatu persoalan. Kedua, motif kepentingan
yang berbeda-beda dan bahkan tidak jarang disusupi dengan kepentingan politik praktis. Ketiga,
egoism gerakan dalam merebut isu dan perebutan kekuasaan di kampus.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Peran mahasiswa sebagai kaum terpelajar dalam
Good Governance diantaranya:

- Pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah bersatu
dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan
dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda
aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah
bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini
biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan
proyek demonstrasi.
- Melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas-untuk menciptakan
masyarakat komunikatif yang demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung
elitis dan menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga
gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan
masyarakat yang selama ini banyak ditindas.
- Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisiapsi dalam pemilu
dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa dan NKRI maju
seperti negara lain di dunia.
- Mendorong dan memandu masyarakat secara langsung atau pun tidak untuk memilih
parpol dan calon walik rakyat yang jujur, amanah, cerdas, pejuang, berani, dan mempunyai
track record yang baik di masayrakat.
- Memberikan informasi kepada masyarakat tentang parpol dan calon wakil rakyat yang baik
dan pantas untuk dipilih, supaya hasil pemilu dapat membawa bangsa ini semakin maju di
bawah pemimpin yang tepat.
- Mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan
berjiwa intelektual organik-meminjam istilah Antonio Gramsci.

Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila dibangun diatas kepercayaan
pada tiga pilar pendukungnya dan dapat berfungsi secara baik yaitu negara, sektor swasta, dan
masyarakat. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk melaksanakan pelayanan
publik yang baik. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya diluar negara dan birokrasi
pemerintahan harus memberi kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut.

Penerapan cita tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan keterlibatan masyarakat dan
organisasinya sebagai kekuatan pengembang negara. Tata kelola pemerintahan yang baik dapat
terwujud apabila didukung dengan prinsip yang dapat membangkitkan kepercayaan berupa
partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, kesetaraan dan keadilan, dan akuntabilitas.

SUMBER REFERENSI :

Lasiyo dkk. 2020. MKDU4111. Pendidikan Kewarganegaraan, Otonomi Daerah serta Good and
Clean Government. Tangerang Selatan. Universitas Terbuka.

Indra J. Piliang, et. el., (ed.), Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, PartnershipGovernance for
Indonesia, Divisi Kajian Demokrasi Lokal-Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, November 2003, hlm.
83.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi
Faktorfaktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.

Faisal A Rani dkk. 2010. Kontribusi PAD dalam APBD sebagai Indikator Keberhasilan Otonomi
Daerah. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Banda Aceh. Universitas Syiah Kuala.
Faisal, Akmal HN. 2016. Otonomi Daerah : Masalah Dan Penyelesaiannya Di Indonesia. Jurnal
Akuntansi, Vol. 4, No. 2, April 2016 : 206-215. Banda Aceh. Jurnal Tata Niaga Politeknik Negeri
Lhokseumawe.

S Nugroho, AF Wijaya, M Said. 2015. Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa Dalam
Upaya Mewujudkan Good Governance. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 3. Malang.
Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai