SOAL :
JAWABAN :
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah
merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Dengan melihat definisi diatas dapat diketahui bahwa sejatinya otonomi daerah itu
merupakan suatu kebijakan yang telah disepakati dalam perundang-undangan yang berlaku dan
harus dilaksanakan.
Hal itu sejalan dengan pernyataan Ryaas Rasyid bahwa “otonomi daerah di Indonesia merupakan
sebuah kebijakan strategis, maka dengan itu pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa ditunda-tunda
lagi jika memang bangsa Indonesia ingin menjadi sebuah bangsa yang lebih besar dan mencapai
tujuan-tujuan nasionalnya”.
Otonomi daerah telah memberikan peluang yang begitu besar terhadap daerah untuk dapat
membangun daerah sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Urusan pemerintahan
konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini.
Untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik, ada beberapa faktor atau syarat yang harus
mendapat perhatian. Menurut Kaho, beragam faktor yang mempengaruhi otonomi daerah adalah:
Dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditentukan bahwa sumber pendapatan
daerah terdiri atas:
- PAD, yaitu:
a. hasil pajak daerah
b. hasil retribusi daerah
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. lain-lain PAD yang sah;
- Dana perimbangan
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator penting untuk menilai tingkat keberhasilan
penyelenggaraan otonomi. Besarnya konstribusi PAD dalam APBD merupakan ukuran
keberhasilan penyelenggaraan pembangunan, peningkatan pelayanan, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Semestinya semua daerah otonom mampu meningkatkan kontribusi
PAD dalam APBD, oleh karena pembentukan daerah otonom didasarkan potensi yang
diasumsikan dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Halim, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: (1) kemampuan
keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk
menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan; dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung
oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.20 Kedua ciri tersebut akan
mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah
satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave dalam
mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah.
SOAL :
2. Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!
JAWABAN :
Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah
keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu
tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan
yang jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan
rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari,
beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan atau hambatan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan
berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Adapun hambatan-hambatan
tersebut antara lain :
- Korupsi di Daerah.
Korupsi di Daerah. Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan
berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari
pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak
pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghamburhamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana
anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui
anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan
sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah
juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah
diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para
pejabat publik itu?
SOAL :
3. Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat
untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!
JAWABAN :
Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan
alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif
bagi perekonomian daerah, yaitu
- efisiensi anggaran
- revitalisasi perusahaan daerah.
Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi,
jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain.
Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan
kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping
itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena
kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah
cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-
prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak
bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa
menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui
privatisasi.
Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru. Di
bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus
mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknumoknum di
tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah
daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi
dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang
mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahanpermasalahan itu tentu harus
dicari solusi dan penyelesaiannya agar tujuan awal ataupun citacita luhur dari otonomi daerah
dapat tercapaida terwujud dengan baik.
SOAL :
4. Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!
JAWABAN :
Istilah Good Governance sering disebut dalam berbagai kesempatan dan dimaknai secara
berlainan, bahkan menjadi konsep yang populer dalam banyak debat akademik dan politik
Kontemporer. Satu sisi ada yang memaknai Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga
pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Istilah ini merujuk pada arti asli
Governing yang berarti mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik
dalam suatu negeri.
Karena itu Good Governance dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan
pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik
untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Dengan demikian
ranah Good Governance tidak terbatas pada negara melalui birokrasi pemerintahan, tetapi juga
pada ranah masyarakat sipil yang di representasikan oleh organisasi non pemerintah seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan juga sektor swasta singkatnya, tuntutan terhadap tata
kelola pemerintahan yang baik tidak selayaknya ditujukan hanya kepada penyelenggara negara
atau pemerintahan, melainkan juga pada masyarakat diluar pemerintahan yang secara bersemangat
menuntut penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya saling
meletakkan kepercayaan antara satu sama lain yaitu negara dengan birokrasi pemerintahannya
dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis agar
mahasiswa, masyarakat dan swasta dapat memberi kepercayaan. Sektor swasta sebagai pengelola
sumber daya diluar negara dan birokrasi pemerintahan mendapat dukungan kepercayaan dari
negara dan masyarakat serta mahasiswa, dan pada akhirnya keterlibatan organisasi
kemasyarakatan sebagai kekuatan perimbang mendapat kepercayaan dari negara dan swasta.
Dachroni (2009) mengemukakan tiga tren gerakan yang patut menjadi perhatian gerakan
mahasiswa kekinian. Pertama, tren/model gerakan intelektualitas. Sebagai kaum yang memiliki
kecerdasan dan ketajaman menganalisa suatu persoalan sudah saatnya kiblat pergerakan
mahasiswa saat ini berbasis riset dan kajian-kajian ilmiah, karena salah satu wujud dari tridharma
perguruan tinggi adalah pendidikan dan penelitian. Kedua, tren/model gerakan jamaah atau
pengkaderan. Bukan sebuah gerakan kalau tidak mampu melakukan proses pengkaderan, sebab
untuk melakukan suatu perubahan diperlukan kerja-kerja berjamaah, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS As-Shaff ayat 4, “sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-
Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ketiga, adalah tren atau model gerakan mahasiswa kewirausahaan. Tak bisa dipungkiri, cukup
banyak aktivis dan gerakan mahasiswa yang mengorbankan bahkan menjual idealismenya karena
mengalami penyakit kanker (kantong kering). Sudah saatnya, dengan kedua modal di atas gerakan
mahasiswa harus memikirkan kondisi finansialnya dengan model pemberdayaan wirausaha.
Dalam tulisan lain Dachroni (2012) mengemukakan tentang konsep gerakan mahasiswa yang
dilandasi oleh kebersamaan, hal ini merupakan suatu keharusan bagi gerakan mahasiswa untuk
membangun sebuah kebersamaan gerakan, khususnya dalam menyikapi isu-isu public yang
strategis dan menindas masyarakat lemah. Menurutnya, ada tiga tantangan besar ketika kita
membicarakan masalah membangun kebersamaan gerakan mahasiswa yang saat ini terkesan
bergerak sendiri-sendiri. Pertama, perbedaan persepsi (pandangan). Cara pandang gerakan
mahasiswa yang relative berbeda dalam menyikapi suatu persoalan. Kedua, motif kepentingan
yang berbeda-beda dan bahkan tidak jarang disusupi dengan kepentingan politik praktis. Ketiga,
egoism gerakan dalam merebut isu dan perebutan kekuasaan di kampus.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Peran mahasiswa sebagai kaum terpelajar dalam
Good Governance diantaranya:
- Pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah bersatu
dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan
dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda
aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah
bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini
biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan
proyek demonstrasi.
- Melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas-untuk menciptakan
masyarakat komunikatif yang demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung
elitis dan menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga
gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan
masyarakat yang selama ini banyak ditindas.
- Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisiapsi dalam pemilu
dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa dan NKRI maju
seperti negara lain di dunia.
- Mendorong dan memandu masyarakat secara langsung atau pun tidak untuk memilih
parpol dan calon walik rakyat yang jujur, amanah, cerdas, pejuang, berani, dan mempunyai
track record yang baik di masayrakat.
- Memberikan informasi kepada masyarakat tentang parpol dan calon wakil rakyat yang baik
dan pantas untuk dipilih, supaya hasil pemilu dapat membawa bangsa ini semakin maju di
bawah pemimpin yang tepat.
- Mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan
berjiwa intelektual organik-meminjam istilah Antonio Gramsci.
Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila dibangun diatas kepercayaan
pada tiga pilar pendukungnya dan dapat berfungsi secara baik yaitu negara, sektor swasta, dan
masyarakat. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk melaksanakan pelayanan
publik yang baik. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya diluar negara dan birokrasi
pemerintahan harus memberi kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut.
Penerapan cita tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan keterlibatan masyarakat dan
organisasinya sebagai kekuatan pengembang negara. Tata kelola pemerintahan yang baik dapat
terwujud apabila didukung dengan prinsip yang dapat membangkitkan kepercayaan berupa
partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, kesetaraan dan keadilan, dan akuntabilitas.
SUMBER REFERENSI :
Lasiyo dkk. 2020. MKDU4111. Pendidikan Kewarganegaraan, Otonomi Daerah serta Good and
Clean Government. Tangerang Selatan. Universitas Terbuka.
Indra J. Piliang, et. el., (ed.), Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, PartnershipGovernance for
Indonesia, Divisi Kajian Demokrasi Lokal-Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, November 2003, hlm.
83.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi
Faktorfaktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Faisal A Rani dkk. 2010. Kontribusi PAD dalam APBD sebagai Indikator Keberhasilan Otonomi
Daerah. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Banda Aceh. Universitas Syiah Kuala.
Faisal, Akmal HN. 2016. Otonomi Daerah : Masalah Dan Penyelesaiannya Di Indonesia. Jurnal
Akuntansi, Vol. 4, No. 2, April 2016 : 206-215. Banda Aceh. Jurnal Tata Niaga Politeknik Negeri
Lhokseumawe.
S Nugroho, AF Wijaya, M Said. 2015. Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa Dalam
Upaya Mewujudkan Good Governance. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 3. Malang.
Universitas Brawijaya