Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS RASIO KEMANDIRIAN DAN RASIO EFEKTIFITAS PAD

TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DI KOTA PADANG


PANJANG

Abdul Aziz_18043174_ aziez.goodadvice@gmail.com

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengukur sejauh
mana tingkat kemandirian dan efektifitas PAD di Kota Padang Panjang dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah. Data penelitian adalah deskriptif kuantitatif yaitu
dengan menganalisis perhitungan-perhitungan rasio kemandirian dan efektifitas
PAD. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan dokumentasi yaitu dengan mengambil data Laporan Keuangan
Pemda Kota Padang Panjang pada laman website BPK RI Perwakilan Sumatera
Barat (Padang.bpk@go.id). Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa
tingkat rasio kemandirian Pemda Kota Padang Panjang masih berada pada kategori
rendah sekali/instruktif dengan rata-rata rasio 15,89%. Rasio kemandirian yang
tertinggi terjadi pada tahun 2017 yaitu berada pada rasio 17,69%, walaupun ini tetap
masih dikategori rendah sekali. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat
kemandirian Pemda Kota Padang Panjang dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan hasil
dari analisis rasio efektifitas PAD sudah berada pada kategori sangat efektif yaitu
rata-rata rasio 110,60%. Semakin tinggi rasio efektifitas, maka semakin bagus kinerja
pemerintah daerah. Hal ini sudah ditunjukkan oleh Pemda Kota Padang Panjang dari
tahun 2014-2017.

Kata Kunci : Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas PAD, Kinerja Keuangan Daerah

Abstract : The purpose of this study is to analyze and measure the extent of
independence and effectiveness of PAD in Padang Panjang City in the context of the
implementation of regional autonomy. The research data is quantitative descriptive,
namely by analyzing the calculations of the ratio of independence and effectiveness
of PAD. The type of data used is secondary data. The technique of data collection is
done by documentation, namely by taking the data of the Padang Panjang City
Government Financial Report on the BPK RI West Sumatra Representative website
page (Padang.bpk@go.id). The results of the analysis showed that the level of
independence of the Padang Panjang City Government was still in the very low /
instructive category with an average ratio of 15.89%. The highest independence ratio
occurred in 2017, which is in the ratio of 17.69%, although this is still in the very
low category. This shows that the low level of independence of the Padang Panjang
City Government in self-financing government activities, development, and services
to the community. While the results of the analysis of the PAD effectiveness ratio are
already in the very effective category which is an average ratio of 110.60%. The
higher the effectiveness ratio, the better the performance of local government. This
has been demonstrated by the Padang Panjang City Government from 2014-2017.

Keywords : Independence Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Regional Financial


Performance
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada
tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian
wewenang untuk pengelolaan keuangan kepada daerah atau disebut dengan
otonomi daerah sehingga diharapkan daerah dapat membiayai pembangunan
dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri tanpa campur tangan dari
pemerintah pusat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU
No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah). Dengan demikian otonomi daerah
mampu lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. Upaya peningkatan pembangunan daerah
harus didasarkan pada otonomi yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung
jawab untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan dan mendorong pemerintah membangun di seluruh tanah air.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam
bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti
sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat
diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
(https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah).
Tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk memacu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan
rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat, serta
meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu,
dan dinamis, serta bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan
kesatuanbangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan
terhadap daerah dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau
daerah (Bastian, 2001).
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang
secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan
(Syamsuddin, 2007).
Masing-masing pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis,
adil, merata dan berkesinambungan, terutama setelah diberlakukannya
i

otonomi daerah. Kewajiban tersebut dapat terpenuhi apabila pemerintah


daerah mampu mengelola potensi daerah yaitu potensi SDA, SDM dan
sumber daya keuangan secara optimal. Keberhasilan pengelolaan potensi
daerah tersebut dapat dinilai dari kinerja keuangan pemerintah daerah
tersebut. Sedangkan kinerja keuangan pemda dapat diukur berdasarkan
laporan pertanggungjawaban yang telah dibuat.
Pada zaman sekarang ini, memberikan peluang bagi perubahan
paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju
paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang.
Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi
daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam
satu paket Undang-undang yaitu UU No. 22 tahun 1999 yang telah diubah
dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu
melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya
daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-
sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya, dan (2)
ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar
pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan
terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Menurut
Halim (2004:24), kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu
ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam
menjalankan otonomi daerah.
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai kinerja keuangan
pemerintah daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja dibidang
keuangan daerah khususnya pada kemandirian dan efektifitas PAD. Kinerja
keuangan pemerintah daerah dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor utama
antara lain, penerimaan daerah, belanja daerah, pembiayaan daerah, sumber
daya manusia dan kondisi makro ekonomi suatu daerah (Sesotyaningtyas,
2012).
Indikator kemandirian keuangan suatu daerah adalah rasio Pendapatan
Asli Daerah terhadap Dana Perimbangan dan pinjaman, dengan demikian
PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber pengeluaran pemerintah
daerah berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah suatu daerah.
Kemampuan daerah otonom dalam melaksanakan otonomi keuangan secara
penuh dalam periode yang pendek bisa dianggap konservatif, baik sebagai
akibat kapabilitas daerah otonom yang tidak dapat berubah begitu cepat
maupun sistem keuangan, yaitu pemerintah pusat tidak serta-merta mau
kehilangan kendali atas pemerintah daerah.
Kuncoro (2002) menjelaskan beberapa hal yang dapat menghambat
keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi, yaitu (1)
dominannya transfer dan pusat, (2) kurang berperannya perusahaan daerah
sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), (3) tingginya derajat
sentralisasi dalam bidang perpajakan, (4) kendati pajak daerah cukup
beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber
penerimaan, (5) kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah.
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja
keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat
komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah
masih sangat terbatas sehingga secara teoretis belum ada kesepakatan yang
bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan
keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan
akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu
dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya
dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo,
2002: 169).
Menurut Halim (2002:128) ada beberapa rasio keuangan yang dapat
digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah yaitu rasio
kemandirian keuangan (otonomi fiskal), rasio efektifitas terhadap pendapatan
asli daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian, rasio
pertumbuhan (analisis shift), rasio proporsi pendapatan dan belanja daerah
(analisis share).
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah yang berasal dari
sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.
Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal
dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.
Rasio kemandirian bertujuan untuk menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana eksternal dan menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah (Halim, 2007:233). Rasio
kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap
total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan
(http://www.djpk.depkeu.go.id).
Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan
dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan
daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektief apabila rasio yang
dicapai minimal 100%. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas
menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. (Halim, 2002:128).
Penelitian yang dilakukan oleh Ruslina (2003) disusun dalam sebuah
skripsi yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan APBD untuk Menilai
Kinerja Pemerintah Daerah” studi kasus Kabupaten Maluku Tenggara.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio
efektivitas dan rasio efisiensi pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku
Tenggara. Ruslina mengemukakan bahwa tingkat kemandirian daerah
Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai
rata-rata sebesar 2,93% untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap
tahun sebesar 0,46%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemandirian daerah
masih sengat jauh dari yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan
daerah adalah sebuah pencapaian dari sebuah hasil kerja pemerintah daerah
dalam bidang keuangan yang bisa diukur melalui kemandirian dan efektifitas.
Dengan adanya pengukuran kemandirian dan efektifitas suatu pemda, maka
kita bisa mengukur sejauh mana pemda bisa optimal dalam menggunakan
pendapatan asli daerahnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas, peneliti ingin mengetahui
kinerja keuangan daerah yang lebih komprehensif pada Kota Padang Panjang
berdasarkan rasio kemandirian dan rasio efektivitas keuangan daerah. Oleh
karena itu penulis meneliti kembali dengan judul “Analisis Rasio
Kemandirian dan Rasio Efektifitas PAD terhadap Kinerja Keuangan
Daerah Di Kota Padang Panjang”.

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1) Bagaimana kinerja keuangan pemda Kota Padang Panjang yang diukur
melalui rasio kemandirian pada tahun anggaran 2014-2017 ?
2) Bagaimana kinerja keuangan pemda Kota Padang Panjang yang diukur
melalui rasio efektifitas PAD pada tahun anggaran 2014-2017 ?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1) Kinerja keuangan pemda Kota Padang Panjang dengan analisis rasio
kemandirian pada tahun anggaran 2014-2017
2) Kinerja keuangan pemda Kota Padang Panjang dengan analisis rasio
Efektifitas PAD pada tahun anggaran 2014-2017

4. Kontribusi / Manfaat Penelitian


Adapun kontribusi/manfaat penelitian ini adalah :
1) Bagi Penulis
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahun dan wawasan peneliti
dalam hal kinerja keuangan daerah yang diukur melalui rasio
kemandirian dan rasio efektifitas PAD, dan juga untuk membandingkan
teori dan praktek dilapangan yang sebenarnya.
2) Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapar memberikan masukan dan bahan
evaluasi serta pertimbangan mengenai kinerja keuangan daerah
khususnya Pemda Kota Padang Panjang, agar dapat meningkatkan
kinerja keuangannya.
3) Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi para
masyarakat maupun stakeholder untuk mengetahui tingkat kinerja
keuangan daerah khususnya Pemda Kota Padang Panjang, agar bisa
mengawasi jalannya kinerja pemerintah daerah.

B. KAJIAN TEORITIS
1. Otonomi Daerah
Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi
disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan
urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional
dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah
mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara
lain menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan
meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan (Widjaja,
2004:22).
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Widjaja, 2004:76).

Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi (Halim,


2001:167) adalah sebagai berikut.
1) Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar
pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan
terbesar. Dengan demikian, peranan pemerintah daerah menjadi lebih
besar.

2. Keuangan Daerah
Menurut Yani (2009:347), keuangan daerah merupakan semua hak dan
kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Ruang lingkup keuangan daerah meliputi :
a. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta
melakukan pinjaman.
a. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
membayar tagihan pihak ketiga;
b. Penerimaan daerah.
c. Pengeluaran daerah.
d. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
daerah.
e. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan
umum.
Struktur APBD terdiri atas tiga komponen utama,yaitu:
a. Pendapatan
Dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah.
b. Belanja
Dibagi ke dalam empat bagian, yaitu belanja aparatur daerah, belanja
pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja
tidak terduga. Belanja aparatur dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori, yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, dan belanja modal / pembangunan. Belanja pelayanan
publik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal.
c. Pembiayaan
Pos pembiayaan merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit
anggaran. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber
pembiayaan, yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah.
Menurut pasal 55 UU. No. 5 / Tahun 1974, sumber pendapatan
pemerintah daerah terdiri dari tiga komponen besar yaitu :
1) Pendapatan asli daerah yang meliputi:
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan
Umum (BLU) Daerah
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
2) Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi:
a. Sumbangan dari pemerintah
b. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan
3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah

3. Kinerja Keuangan Pemerintah


a. Pengertian Kinerja Keuangan
Menurut Bastian (2006:274) kinerja adalah gambaran pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Secara umum, kinerja merupakan
prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Dalam
mengukur keberhasilan/kegagalan suat organisasi, seluruh aktivitas organisasi
tersebut harus dapat dicatat dan diukur. Pengukuran ini tidak hanya dilakukan
pada input (masukan) program, tetapi juga pada keluaran manfaat dari
program tersebut.
Menurut Syamsi (1986:199) menjelaskan bahwa kinerja keuangan
pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan
mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi
kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan
kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung
sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam
menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-
batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Pengukuran kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk menilai
apakah program/kegiatan yang telah direncanakan telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana tersebut, dan yang lebih penting adalah apakah telah
mencapai keberhasilan yang telah ditargetkan pada saat perencanaan
(Nordiawan, 2010:158).
Tujuan penilaian kinerja di sektor publik (Mahmudi, 2007 dalam
Halim, 2007:158) sebagai berikut :
1) Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi.
Penilaian kinerja pada organisasi sektor publik digunakan untuk
mengetahui tingkat ketercapaian tujuan dan juga menunjukkan apakah
organisasi berjalan sesuai arah menyimpang dari tujuan yang ditetapkan.
2) Menyediakan sarana pembelajaran pegawai.
Pengukuran kinerja merupakan sarana untuk pembelajaran pegawai
tentang cara mereka seharusnya bertindak, serta memberikan dasar dalam
perubahan perilaku, sikap, skill, atau pengetahuan kerja yang harus
dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.
3) Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya.
Saat ini, kinerja harus lebih baik dari kinerja sebelumnya, dan kinerja
mendatang harus lebih baik daripada sekarang.
4) Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan.
Pemberian penghargaan dan hukuman. Organisasi yang berkinerja tinggi
berusaha menciptakan sistem reward, insentif, dan gaji yang memiliki
hubungan yang jelas dengan knowledge, skill, dan kontribusi individu
terhadap kinerja organisasi.
5) Memotivasi pegawai.
Dengan pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen
kompensasi, pegawai yang berkinerja tinggi akan memperoleh reward.
6) Menciptakan akuntabilitas publik.
Pengukuran kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial
dicapai, seberapa bagus kinerja finansial organisasi, dan kinerja
lainnya yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus
diukur dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja.
Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin
besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh Pemerintah
Daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh
dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri (Hirawan, 1990: 26).
Kewajiban pemerintah untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya
dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan
sehubungan dengan hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat
dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja
pemerintah. Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya
menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber yang diperoleh sudah
digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan
informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah,
bagaimana penggunaannya dan posisi pemerintah saat itu.
b. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Menurut Halim (2001) analisis keuangan merupakan sebuah usaha
mengidentifikasi ciri- ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang
tersedia. Sedangkan pada pasal 4 PP Nomor 58 tahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah menegaskan bahwa keuangan daerah dikelola
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode
sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang
terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan
rasio keuangan yang dimiliki pemerintah daerah tertentu dengan rasio
keuangan daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif
sama untuk melihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah
tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan
digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. berdasarkan
pasal 6 UU No. 33 tahun 2004 pendapatan asli daerah bersumber dari :
restribusi daerah , pajak daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.

Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan
APBN yang dialokasikan pada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi Undang-undang No.32 tahun 2004
menetapkan perubahan terhadap aliran dana dari pusat ke daerah. Dalam
Undang-undang tersebut, komponen perimbangan tidak mengalami
perubahan, tetapi terjadi perubahan proporsi aliran dana dari pusat dan
daerah dalam undang-undang tersebut komponen perimbangan tidak
mengalami perubahan, tetapi terjadi proporsi aliran dana.

Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah pinjaman bersumber dari : Pemerintah,
Pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank,
dan masyarakat.

Lain – Lain Pendapatan Yang Sah


Lain-lain pendapatan yang sah terdiri atas pendapatan hibah dan
pendapatan dana darurat. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang
berasal dari APBN untuk keperluan seperti bencana alam yang tidak
diinginkan dalam negara kesatuan Republik Indonesia

Rasio Kemandirian Daerah


Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam mebiayai
pengeluaran daerah adalah dengan melihat lebih jauh seberapa besar
kontribusi masing-masing sumber PAD terhadap total PAD, dan seberapa
efektifnya target-target perencanaan terhadap realisasinya. Rasio kemandirian
ini dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan realisasi PAD
dengan pendapatan transfer serta pinjaman daerah. Rasio menggambarkan
sejauh mana tingkat kemandirian suatu daerah terhadap dana ekstern.
Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah semakin
tinggi tingkat kemandirian keuangan daerahnya. Rasio ini juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.
Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari
pendapatan asli daerah.

PAD
RASIO KEMANDIRIAN = X 100 %
PENDAPATAN TRANSFER + PINJAMAN

Kategori penilaian rasio kemandirian ini dilakukan dengan pola


hubungan berikut :

Tabel 1
Pola Hubungan, Rasio Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah

Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian ( % ) Pola Hubungan


Rendah Sekali 0% - 25% Instruktif
Rendah 25% - 50% Konsultif
Sedang 50% - 75% Partisipatif
Tinggi 75% - 100% Delegatif
Sumber : Abdul Halim, (2007)

a) Pola hubungan instruktif, di mana peranan Pemerintah Pusat lebih


dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah (daerah yang
tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
b) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat
sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah.
c) Pola hubungan partisipatif, peranan Pemerintah Pusat sudah mulai
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi
daerah.
d) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.

Rasio Efektifitas PAD


Rasio Efektifitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Namun,
semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin
baik. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
REALISASI PENERIMAAN PAD
RASIO EFEKTIFITAS PAD = X 100 %
TARGET ( ANGGARAN ) PAD

Adapun kriteria penilaian rasio efektifitas ini adalah menggunakan


rujukan Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri No.690.900-327
Tahun 1996

Tabel. 2
Kriteria Efektifitas Keuangan Pemerintah Daerah

Kemampuan Keuangan Rasio Efektifitas ( % )


Sangat Efektif > 100
Efektif 90 - 100
Cukup Efektif 80 - 90
Kurang Efektif 60 - 80
Tidak Efektif 0 - 60
Sumber : Kepmendagri No.690.900-327/1996

4. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Liantino (2018) mengenai kinerja keuangan
BPPKAD Kota Surakarta tahun 2012-2016 dilihat dari 5 rasio keuangan
daerah yaitu rasio kemandirian daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi
keuangan daerah, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan. Penelitian ini
dilakukan di kantor Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Surakarta. Hasil analisis menunjukan bahwa Kinerja Keuangan
BPPKAD Kota Surakarta dilihat dari Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
dianggap tinggi yang termasuk dalam pola delegatif, kemudian Rasio
Efektifitas PAD efektifitas kinerja keuangan Kota Surakarta termasuk dalam
kategori belum efektif sehingga harus mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya dan memperluaskan sektor-sektor yang berpotensi menambah
Pendapatan Asli Daerah, kemudian Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
didapatkan tidak efisien sehingga pemda Kota Surakarta harus mengurangi
besarnya belanja yang dikeluarkan, kemudian Rasio Aktifitas/Rasio
keserasian dianggap relatif baik, biaya yang dikeluarkan oleh Pemda Kota
Surakarta untuk pembelanjaan modal cukup mampu dalam melakukan
kegiatan kebutuhan pembangunan daerah tersebut, dan Rasio Pertumbuhan
secara keseluruhan mengalami penurunan yang signifikan sehingga membuat
kurang maksimalnya jumlah pendapatan yang diterima Kota Surakarta.
Penelitian yang sama telah dilakukan sebelumnya oleh Dwirandra
(2006). Melakukan penelitian tentang efektivitas dan kemandirian keuangan
daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali tahun 2002-2006. Penelitian
ini menggunakan analisis rasio efektivitas dan analisis rasio kemandirian
sebagai alat kabupaten/kota di Bali dalam periode tersebut masuk dalam
kategori keuangan yang cukup efektif. Rasio efektivitas keuangan berkisar
dari 75,01% sampai dengan di atas 100%. Daerah otonom Kabupaten/Kota di
Bali dalam periode dua tahun terakhir masuk dalam kategori kemandirian
keuangan yang sedang (rasio Kemampuan Keuangan Daerah lebih dari 50%
sampai dengan 75%) dan rendah (rasio Kemampuan Keuangan Daerah lebih
dari 25% sampai dengan 50%).
Penelitian yang dilakukan oleh Ruslina (2003) yang berjudul
“Analisis Rasio Keuangan APBD untuk Menilai Kinerja Pemerintah Daerah”
di Pemda Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi
pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Ruslina
mengemukakan bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku
Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93%
untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari
yang diharapkan. Pendapatan daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian
besar masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56%
dari total pendapatan yang diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa jika
menggunakan indikator PAD, maka Kabupaten Maluku Tenggara dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah masih belum mampu ditinjau dari
aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih sangat tergantung
dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD Kabupaten
Maluku Tenggara dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun
anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar
7,22%. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara
cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target
yang ingin dicapai kurang dari 100%. Hal ini menunjukkan bahwa
pemungutan PAD Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun ke tahun
semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD
semakin proporsional dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini
menunjukkan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik.
Simatupang (2007:88) melakukan penelitian mengenai evaluasi
APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan
indikator efektivitas, efisiensi, perkembangan APBD dan kemampuan
keuangan daerah, dengan hasil penelitian bahwa Kabupaten Musi Banyuasin
memiliki peringkat terbaik atas evaluasi APBD yang dilakukan sedangkan
Kabupaten Musi Rawas berada pada peringkat terendah.
Selanjutnya Diana (2008) melakukan penelitian mengenai analisis
kinerja atas laporan keuangan pemerintah propinsi se-Sumatera Bagian
Selatan dengan indikator kemandirian keuangan daerah, efektivitas, efisiensi,
aktivitas dan perkembangan APBD. Teknik analisis yang digunakan adalah
teknik analisis deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk melihat urutan
peringkat evaluasi pelaksanaan laporan keuangan pemda propinsi Se-
Sumbagsel dan untuk melihat elastisitas PAD terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hasil analisis menunjukkan bahwa propinsi Sumatera Selatan
menduduki peringkat pertama dalam evaluasi pelaksanaan laporan keuangan
Pemerintah daerah dan hasil analisis elastisitas menunjukkan secara rata-rata
kelima propinsi memiliki nilai elastisitas pendapatan asli daerah yang
inelastis. Selain itu juga digunakan uji beda Kolmogorof Smirnov dengan
hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata atas evaluasi pelaksanaan
Laporan Keuangan pada Propinsi se-Sumatera bagian Selatan.
Suprapto (2006) melakukan penelitian yang berjudul analisis kinerja
keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah
tahun 2000-2004. Peneliti menggunakan rasio kemandirian, efektivitas dan
efisiensi dalam mengukur Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemandirian Kabupaten Sleman
sangat rendah dan belum mampu untuk melaksanakan otonomi keuangan
daerah. Pada rasio efektivitas Kabupaten Sleman menunjukkan kinerja
pemerintah daerah yang baik, karena setiap tahunnya target PAD yang ingin
dicapai selalu terealisasikan sesuai dengan yang telah ditargetkan bahkan
untuk setiap tahunnya realisasi PAD yang diterima lebih dari target yang
ditetapkan. Sedangkan PAD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin
efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin
proporsional.
Penelitian yang dilakukan Lubis dan Hafni (2017) mengenai rasio
keuangan untuk mengukur kinerja keuangan pemda Kab. Labuhan Batu tahun
anggaran 2011-2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur
kinerja keuangan Kabupaten Labuhan Batu yang diukur dengan menghitung
rasio independensi, rasio efektivitas , Rasio efisiensi, rasio aktivitas /
harmoni, laju pertumbuhan dan DSCR. Hasil analisis data menunjukkan
adanya kemandirian keuangan daerah Kabupaten Labuhan Batu Tahun
Anggaran 2011-2013 dalam kategori rendah. Efektivitas keuangan daerah
dalam kategori sangat efektif di tahun 2011 - 2012 dan tidak efektif di tahun
2013. Sedangkan efisiensi keuangan daerah berada pada kategori sangat
efisien.

5. Definisi Variabel / Objek Penelitian


a) Rasio Kemandirian Daerah
Rasio kemandirian adalah kemampuan daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah.
b) Rasio Efektifitas PAD
Rasio efektifitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah
dalam memobilisasi penerimaan pendapatan PAD sesuai dengan yang
ditargetkan
c) Kinerja Keuangan Daerah
Tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang
meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator
keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan selama satu periode anggaran.

6. Kerangka Kerja Penelitian

Rasio Kemandirian
Kinerja Keuangan Daerah
Rasio Efektifitas PAD
C. METODE PENELITIAN
1. Jenis Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Data yang digunakan
adalah data sekunder yang diperoleh dari BPK RI Perwakilan Provinsi
Sumatera Barat, berupa Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2014 - 2017
Kota Pdang Panjang.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Kota Padang Panjang dengan
melihat LRA Tahun Anggaran 2014 - 2017, yang dilakukan pada bulan
Oktober 2019.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Peneliti
mengambil LRA Pemda Kota Padang Panjang Tahun Anggaran 2014 - 2017
yang diambil dari web BPR RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat yang
kemudian diolah.
4. Metode Pengolahan Data
a. Rasio Kemandirian Daerah
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan daerah yang berasal dari sumber
lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.
Cara pengukurannya adalah sebagai berikut :

PAD
RASIO KEMANDIRIAN = X 100 %
PENDAPATAN TRANSFER + PINJAMAN

b. Rasio Efektifitas PAD


Rasio Efektifitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Namun,
semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah
semakin baik.
Cara pengukurannya adalah sebagai berikut :

REALISASI PENERIMAAN PAD


RASIO EFEKTIFITAS PAD = X 100 %
TARGET ( ANGGARAN ) PAD

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Gambaran Umum Objek Penelitian
Kota Padang Panjang adalah kota dengan luas wilayah terkecil
di Sumatra Barat, Indonesia. Kota ini memiliki julukan sebagai Kota Serambi
Mekkah, dan juga dikenal sebagai Mesir van Andalas (Egypte van Andalas).
Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah
administratif Kabupaten Tanah Datar. Kota ini juga disebut kota dingin. Kota
ini berada di daerah ketinggian yang terletak antara 650 sampai 850 meter di
atas permukaan laut, berada pada kawasan pegunungan yang berhawa sejuk
dengan suhu udara maksimum 26.1& °C dan minimum 21.8& °C, serta
berhawa dingin dengan suhu udara yang pada umumnya minimum 17& °C,
dengan curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata 3.295& mm/tahun. Di
bagian utara dan agak ke barat berjejer tiga gunung : Gunung
Marapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Tandikek.
Kota ini sebagai pemerintah daerah terbentuk berdasarkan Undang-
Undang nomor 8 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota kecil
dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah pada tanggal 23
Maret 1956. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957,
status kota ini sejajar dengan daerah kabupaten dan kota lainnya di Indonesia.
Berdasarkan keputusan DPRD Peralihan Kota Praja nomor
12/K/DPRD-PP/57 tanggal 25 September 1957, maka kota Padang Panjang
dibagi menjadi 4 wilayah administrasi, yakni Resort Gunung, Resort Lareh
Nan Panjang, Resort Pasar dan Resort Bukit Surungan.
Kemudian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
istilah kota praja diganti menjadi kotamadya dan berdasarkan peraturan
menteri nomor 44 tahun 1980 dan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 1982
tentang susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan, maka resort diganti
menjadi kecamatan dan jorong diganti menjadi kelurahan dan berdasarkan
peraturan pemerintah nomor 13 tahun 1982 kota Padang Panjang dibagi atas 2
kecamatan dengan 16 kelurahan. (https://id.m.wikipedia.org)
2. Hasil Penelitian
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPK RI Perwakilan Provinsi
Sumatera Barat yang berupa Laporan Realisasi Anggaran Tahun Anggaran
2014 - 2017 dapat dibuat perhitungan rasio kinerja keuangan mengenai :
a) Rasio Kemandirian Daerah
Kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan keuangan daerah
tersebut dalam mendanai belanja daerahnya dari kemampuan sendiri, yaitu
PAD. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan
pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah,
dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan
tingkat pertisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi
daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah.
Tabel. 3
Kemandirian Keuangan Kota Padang Panjang Tahun 2014 – 2017

PENDAPATAN KEMANDIRIAN
TAHUN PAD PINJAMAN KATEGORI
TRANSFER (%)
Rendah
2014 51.601.386.498,33 378.738.216.086,00 - 13,62 Sekali/Instruktif
Rendah
2015 67.035.654.310,81 381.194.551.009,00 - 17,59 Sekali/Instruktif
Rendah
2016 70.357.124.066,02 479.579.235.757,00 - 14,67 Sekali/Instruktif
Rendah
2017 88.837.033.624,67 502.225.856.055,00 - 17,69 Sekali/Instruktif
Sumber : BPR RI Perwakilan Provinsi Sumbar (Padang.bpk@go.id) (Data diolah)

Melalui perhitungan rasio kemandirian menunjukkan bahwa rasio


kemandirian Daerah Kota Padang Panjang selama periode 2014 sampai
dengan 2017 rendah sekali/instruktif. Pola hubungan Instruktfi artinya
peran pemerintah pusat sangat dominan (tingkat kemandirian Pemda Kota
Padang Panjang jauh dari kata mandiri).

b) Rasio Efektifitas PAD


Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan
dengan Realisasi Pendapatan Asli Daerah yang telah ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel. 4
Efektifitas PAD Keuangan Kota Padang Panjang Tahun 2014 - 2017

TARGET ( ANGGARAN EFEKTIFITAS


TAHUN PAD KATEGORI
) PAD (%)
2014 110,44 Sangat Efektif
51.601.386.498,33 46.724.333.148,00
2015 126,32 Sangat Efektif
67.035.654.310,81 53.068.561.858,50
2016 104,63 Sangat Efektif
70.357.124.066,02 67.242.233.885,11
2017 101,02 Sangat Efektif
88.837.033.624,67 87.942.928.085,00
Sumber : BPR RI Perwakilan Provinsi Sumbar (Padang.bpk@go.id) (Data diolah)

Berdasarkan perhitungan rasio efektifitas menyatakan bahwa kinerja


Pemerintah Daerah Kota Padang Panjang dalam merealisasikan
pendapatan PAD yang direncanakan tahun 2014 - 2017 rata-rata sangat
efektif itu ditunjukkan dengan hasil yang berada di atas 100 %.
3. Pembahasan
a. Rasio Kemandirian Daerah
Hasil dari perhitungan tabel. 3 menunjukkan bahwa rasio kemandirian
Kota Padang Panjang periode tahun anggaran 2014-2017 secara
keseluruhan berada pada kategori rendah sekali/instruktif yaitu pada rasio
kemandirian 0% - 25%.
Rata-rata rasio kemandirian daerah Kota Padang Panjang berada pada
15,89% dari tahun 2014-2017 yang ada pada kategori rendah sekali, dan
sifat rasionya ini fluktuatif. Rasio kemandirian yang tertinggi diperoleh
pada tahun 2017 yaitu 17,69% walaupun masih berada pada kategori
rendah sekali, dan rasio yang terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu
sebesar 13,62%.
Hal ini telah menunjukkan rendahnya tingkat kemampuan keuangan
pemda Kota Padang Panjang dalam membiayai sendiri kegiatan
kepemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Dan
juga dapat diartikan bahwa tidak ada peningkatan secara signifikan dalam
hal partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, yaitu dalam hal
pembayaran pajak dan retribusi yang merupakan komponen utama PAD.
Besarnya penerimaan pajak dan retribusi daerah sebenarnya
menunjukkan pemerintah daerah mengandalkan penerimaan pajak sebagai
sumber penerimaan PAD, yang nantinya digunakan untuk membiayai
pembangunan daerah. Penerimaan yang tinggi dari pajak dan retribusi
daerah menunjukkan pemerintah daerah yakin bisa menggali potensi
daerah dengan maksimal sehingga pendapatan pemerintah daerah yang
berupa pajak akan meningkat. Namun, dari penerimaan pajak dan retribusi
daerah sebagai komponen utama PAD dengan nilai yang masih rendah,
menunjukkan pemerintah Kota Padang Panjang kurang yakin dapat
menggali potensi daerah, sehingga PAD yang bersumber dari pajak dan
retribusi tidak besar.
b. Rasio Efektifitas PAD
Dari hasil perhitungan tabel. 4 yang membandingkan antara realisasi
PAD dengan target (anggaran) PAD di Pemda Kota Padang Panjang. Dari
hasil rasio efektifitas di atas dapat dirata-ratakan efektifitas PAD Kota
Padang Panjang berada pada 110,60% ini dapat dikatakan bahwa tingkat
efektifitas pemda Kota Padang Panjang sangat efektif.
Dilihat dari tahun 2014-2017 yang berada pada rasio 110,44%,
126,32%, 104,63%, 101,02% yang mana ini dikategorikan sangat efektif
walaupun tidak mengalami kenaikan dengan stabil, namun semua rasio
nya sudah melebihi 100%.
Rasio efektifitas ini menunjukkan kemampuan pemerintah dalam
memobilisasi penerimaan pendapatan PAD sesuai dengan apa yang telah
ditargetkan (anggarkan). Semakin tinggi rasio ini, maka semakin bagus
kinerja pemda. Hal ini telah ditunjukkan oleh Pemda Kota Padang Panjang
dalamn melaksanakan efektifitas PAD nya pada tahun2014-2017 dengan
sangat efektif.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
tingkat kemandirian Pemda Kota Padang Panjang masih jauh dari kategori
mandiri atau delegatif (tidak ada campur tangan dari pemerintah pusat dalam
hal pembiayaan daerah). Pemda Kota Padang Panjang masih bergantung
penuh/dominan kepada pusat daripada kemandirian daerahnya sendiri.
Dimana rata-rata rasio kemandirian daerah Pemda Kota Padang Panjang
berada pada 15,89% untuk tahu n 2014-2017, yang masuk pada kategori
rendah sekali/instruktif.
Sedangkan untuk rasio efektifitas yang didapatkan setelah dianalisis
menunjukkan bahwa tingkat capaian realisasi PAD yang didapatkan sudah
sangat efektif, terbukti dengan rata-rata rasio efektifitas PAD Kota Padang
Panjang berada pada rasio 110,60% yang mengindikasikan sangat efektif
karena sudah melebihi 100% anggaran yang ditargetkan. Ini juga
menunjukkan bahwa Pemda Kota Padang Panjang sudah bisa memobilisasi
penerimaan PAD sesuai dengan target.
b. Saran
Bagi Pemda Kota Padang Panjang bisa lebih meningkatkan lagi
kemandirian daerahnya agar bisa meningkatkan PAD lebih baik lagi dengan
cara baik itu retribusi daerah, pajak daerah, penghasilan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain yg sah. Dengan komponen tersebut Pemda
Kota Padang Panjang bisa mengoptimalkan penerimaan yang lebih tinggi
agar PAD meningkat.
Sedangkan untuk capaian efektifitas yang sudah sangat efektif di
Pemda Kota Padang Panjang bisa menjadi motivasi untuk lebih baik dalam
menigkatkan PAD untuk tahun-tahun berikutnya.
Dan bagi peneliti selanjutnya bisa memperluas cakupan penelitian ke
tingkat provinsi agar data yang didapatkan lebih faktual dan terpapar jelas,
dan juga bisa menambahkan rasio-rasio lain dalam menganalisis kinerja
keuangan daerah.

6. DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi pertama.
Yogyakarta: BPFE,UGM.
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik:Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Diana. 2008. Analisis Kinerja Atas Laporan Keuangan Pemerintah Propinsi Se-
Sumatera Bagian Selatan. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Depdagri. 1997. Kepmendagri No.690.900-327/1996, Tentang Pedoman Penilaian
dan Kinerja Keuangan.
Dwirandra, A.A.N.B. 2006. Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom
Kabupaten/Kota di Proponsi Bali Tahun 2002-2006 (Skripsi). Universitas
Udayana Bali.
Fitra, Halkadri. 2019. Modul Manajemen Keuangan Daerah. Padang: Universitas
Negeri Padang.
Halim, Abdul. 2001. Akuntansi Sektor Publik - Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2002. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama.
Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Hirawan, Susijati B. 1990. Keleluasaan Daerah atau Kontrol Pusat ?. Jakarta: FE-
UI.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta. Erlangga.
Liantino, Wita. 2018. Analisis Rasio Keuangan Daerah Dalam Menilai Kinerja
Keuangan Pada Kantor Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan
Kekayaan Aset Daerah (BPPKAD) Di Kota Surakarta. Skripsi. Jurusan
Manajemen, FE, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lubis, Putri Kemala Dewi dan Nurlia Hafni. 2007. Analisis Rasio Keuangan Untuk
Mengukur Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhan Batu
tahun Anggaran 2011-2013. Skripsi. Jurusan Ekonomi, FE, Universitas
Negeri Medan dan Universitas Muhammadiyah Sumater Utara.
Mahmudi. 2007. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Unit
Penerbit dan Pencetakan Sekolah Tinggi Ilmu manajemen YKPN.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta.
Nadeak, Rusliana. 2003. Analisis Rasio Keuangan Pada APBD untuk Menilai
Kinerja Pemerintah Daerah. Skripsi. Jurusan akuntansi, FE, Universitas
sanata Dharma.
Nordiawan, Deddi. 2010. Akuntansi sektor Publik Edisi 2.Jakarta : Salemba Empat.
Padang.bpk@go.id
Sesotyaningtyas, M. 2012. Pengaruh Leverage, Ukuran Legislatif,
Intergovernmental Revenue, Dan Pendapatan Pajak Daerah Terhadap
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Accounting Analysis Journal.
Simatupang, Paula. Studi Komparasi Evaluasi APBD Kabupaten/Kota di Propinsi
Sumatera Selatan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya,
Palembang.
Suprapto, Tri. 2006. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sleman dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2004. Skripsi. Universitas
Islam Indonesia.
Syamsuddin, Haris. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPPI Pres.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di
Daerah. 1974. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. 1999. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. 2004. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah. 2004. Jakarta
Widjaja, HAW. 2003. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.
Yani, Ahmad. 2009. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
www.djpk.depkeu.go.id

Anda mungkin juga menyukai