Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota yang ada di

provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data laporan

keuangan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan data yang

diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)

Perwakilan Provinsi Sumatera Barat untuk periode 2016-2020 terdapat 19

kabupaten dan kota yang ada di provinsi Sumatera Barat. Berikut adalah daftar

nama-nama kabupaten dan kota yang ada di provinsi Sumatera Barat :

Tabel 1
Nama Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat
   
No Kabupaten/Kota
1 Kabupaten Agam
2 Kabupaten Dharmasraya
3 Kabupaten Kepulauan Mentawai
4 Kabupaten Lima Puluh Kota
5 Kabupaten Padang Pariaman
6 Kabupaten Pasaman
7 Kabupaten Pesisir Selatan
8 Kabupaten Sijunjung
9 Kabupaten Solok
10 Kabupaten Solok Selatan
12 Kabupaten Tanah Datar
13 Kota Bukittinggi
14 Kota Padang
15 Kota Padang Panjang
16 Kota Pariaman
17 Kota Payakumbuh
18 Kota Sawahlunto
19 Kota Solok

40
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik sensus,

yaitu menjadikan seluruh populasi sebagai sampel dalam penelitian. Sampel

yang dipakai berjumlah 95 sampel. Adapun variabel independen yang dipakai

dalam penelitian ini adalah budgetary solvency ratio, financial flexibility ratio,

financial independence ratio, efficiency ratio. Sedangkan variabel dependennya

adalah financial distress, yang diukur dengan menggunakan rasio belanja modal

terhadap total belanja daerah.

Financial distress merupakan kondisi dimana pemerintah daerah

mengalami kesulitan keuangan yang ditandai dengan nilai dari rasio belanja

modal terhadap total belanjanya kurang dari 30%. Sehingga pemerintah daerah

tidak mempunyai ketersediaan dana untuk diinvestasikan pada infrastruktur yang

digunakan untuk pelayanan publik. Berikut merupakan nilai rasio belanja modal

terhadap total belanja pemerintah daerah kabupaten dan kota di provinsi

Sumatera Barat periode 2016-2020:

41
4.1.1 Rasio Belanja Modal

Tabel 2
Nilai Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2016-2020
 
Rasio Belanja Modal Terhadap Total
No Kabupaten/Kota Belanja
2016 2017 2018 2019 2020
1 Kabupaten Agam 16% 22% 17% 21% 12%
2 Kabupaten Dharmasraya 33% 32% 26% 25% 22%
3 Kabupaten Kepulauan Mentawai 31% 34% 28% 34% 20%
4 Kabupaten Lima Puluh Kota 22% 21% 21% 21% 14%
5 Kabupaten Padang Pariaman 25% 29% 21% 21% 16%
6 Kabupaten Pasaman 25% 21% 16% 14% 14%
7 Kabupaten Pasaman Barat 27% 26% 30% 24% 18%
8 Kabupaten Pesisir Selatan 19% 17% 16% 23% 19%
9 Kabupaten Sijunjung 29% 24% 24% 23% 18%
10 Kabupaten Solok 19% 17% 16% 18% 11%
11 Kabupaten Solok Selatan 31% 32% 28% 27% 16%
12 Kabupaten Tanah Datar 17% 19% 16% 18% 10%
13 Kota Bukittinggi 13% 20% 25% 26% 31%
14 Kota Padang 19% 19% 19% 21% 14%
15 Kota Padang Panjang 27% 35% 20% 16% 10%
16 Kota Pariaman 27% 24% 21% 22% 15%
17 Kota Payakumbuh 22% 25% 21% 23% 17%
18 Kota Sawahlunto 22% 24% 13% 17% 13%
19 Kota Solok 25% 25% 25% 19% 6%
Nilai Tertinggi 33% 35% 30% 34% 31%
Nilai Terendah 13% 17% 13% 14% 6%
  Nilai Rata-Rata 24% 25% 21% 22% 16%
Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa dari 95 sampel yang dipakai, terdapat 85

sampel yang berpotensi financial distress, sedangkan 10 sampel lainnya

terkategori non financial distress. Sampel dengan kategori financial distress

yang penyerapan belanja modalnya bahkan tidak mencapai 20% seperti

Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, menunjukkan bahwa belanja modal

42
yang seharusnya berpengaruh besar terhadap kualitas pelayanan publik hanya

mendapatkan porsi yang kecil, pemerintah daerah berupaya meningkatkan

penerimaan daerah namun tidak diikuti dengan upaya meningkatkan pelayanan

publik.

Pemerintah daerah belum memaksimalkan penyerapan belanja modal

dengan baik, yang terlihat dalam laporan realisasi anggaran, dimana penyerapan

untuk belanja pegawai justru jauh lebih besar dibandingkan dengan penyerapan

belanja modal. Contohnya saja seperti Kabupaten Tanah Datar untuk tahun

2016-2020, dalam laporan realisasi anggarannya memang terlihat jelas bahwa

penyerapan belanja modal hanya berkisar 10% sampai 19%, sedangkan untuk

belanja pegawai mencapai 52% sampai 70%. Penyerapan belanja pegawai yang

tinggi menyebabkan ketimpangan dalam belanja daerah yang juga bisa

berdampak pada penyerapan belanja modal karena disamping langsung bisa

dirasakan masyarakat, belanja modal juga memiliki manfaat jangka panjang.

4.1.2 Kabupaten dan Kota dengan Kategori Non Financial Distress

Berikut adalah daftar pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi


Sumatera Barat yang tidak mengalami financial distress.

Tabel 3

Kabupaten dan Kota yang Tidak Mengalami

Financial Distress

No Kabupaten/Kota Tahun

1 Kabupaten Dharmasraya 2016 dan 2017

2 Kabupaten Kepulauan Mentawai 2016, 2017, 2019

43
3 Kabupaten Pasaman Barat 2018

4 Kabupaten Solok Selatan 2016 dan 2017

5 Kota Bukittinggi 2020

6 Kota Padang Panjang 2017


Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Untuk pemerintah daerah yang masuk dalam kategori non financial

distress, Seperti Kabupaten Dharmasraya untuk tahun 2016, kemampuan

pemerintah daerah tersebut dalam memaksimalkan penyerapan belanja

modalnya sudah terbilang baik yakni 33%, dengan penyerapan belanja pegawai

sebesar 44%. Sama halnya dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten

Pasaman Barat, Kabupaten Solok Selatan, Kota Bukittinggi, Kota Padang

Panjang, dimana penyerapan belanja modalnya berkisar antara 31% sampai 35%

maka dapat diketahui bahwa pemerintah daerah sudah berupaya untuk menyerap

belanja modal dengan baik sehingga dengan kondisi tersebut dampak positifnya

bisa langsung dirasakan oleh masyarakat terkait dengan kualitas pelayanan

publiknya. Jika dilihat dari penyerapan belanja pegawai untuk pemerintah daerah

Kabupaten Kepulauan Mentawai berkisar 29% sampai 39%, Kabupaten

Pasaman Barat berkisar 42%, Kabupaten Solok Selatan berkisar 39% sampai

40%, Kota Bukittinggi berkisar 45% dan Kota Padang Panjang penyerapan

belanja pegawainya berkisar 31%.

Jika dibandingkan dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota yang

terkategori financial distress yang penyerapan belanja pegawainya bahkan diatas

50% sementara penyerapan belanja modalnya tidak mencapai 30%, maka hal ini

berbanding terbalik dengan pemerintah daerah Kabupaten Dharmasraya (tahun

44
2016 dan 2017), Kabupaten Kepulauan Mentawai (tahun 2016, 2017 dan 2019),

Kabupaten Solok Selatan (tahun 2016 dan 2017), Kabupaten Pasaman Barat

(Tahun 2018), Kota Bukittinggi (tahun 2020), Kota Padang Panjang (tahun

2017) yang mana penyerapan belanja modalnya mencapai 30% dan penyerapan

belanja pegawainya juga sudah mulai ditekan sehingga tidak terlalu tinggi dan

tidak menimbulkan ketimpangan yang terlalu signifikan dalam belanja

daerahnya.

4.1.3 Statistik Deskriptif

Tabel 4
Descriptive Statistics: Pemerintah Daerah Kategori Financial Distress

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Budgetary Solvency Rasio 85 .873 1.252 1.07651 .081218

Financial Flexibility 85 .000 .7155.464 .262.60715 907.602330

Financial Independence 85 .048 911 .10996 .098274

Efficiency Rasio 85 80 116 94.15 7.514

Valid N (listwise) 85

Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Tabel 5
Descriptive Statistics: Pemerintah Daerah Kategori Non Financial Distress
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Budgetary Solvency Rasio 10 .856 1.160 1.03220 .087833

Financial Flexibility 10 12.534 998.465 263.47880 391.147339

Financial Independence 10 .040 .140 .07760 .030266

Efficiency Rasio 10 86 115 96.60 8.329

Valid N (listwise) 10

Sumber: Data Sekunder yang Diolah

45
Berdasarkan tabel 4 dan tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata

budgetary solvency ratio dari pemerintah daerah dengan kategori non financial

distress lebih kecil daripada yang mengalami financial distress. Dalam hal

penyebaran data, menunjukkan bahwa data tidak menyebar. Nilai rata-rata dari

financial flexibility ratio dari masing-masing kategori menunjukkan bahwa nilai

rata-rata dari pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress lebih

tinggi daripada pemerintah daerah yang mengalami financial distress untuk

penyebaran data dari masing-masing kategori menunjukkan bahwa data

menyebar. Untuk nilai dari financial independence ratio dari pemerintah daerah

dengan kategori financial distress lebih besar daripada pemerintah daerah

dengan kategori non financial distress. Begitu juga dengan standar deviasi, yang

menunjukkan bahwa nilai standar deviasi lebih kecil dari rata-ratanya, sehingga

data dikatakan tidak menyebar. Selanjutnya Untuk nilai rata-rata dari efficiency

ratio dari masing-masing kategori menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari

pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress lebih tinggi daripada

pemerintah daerah yang mengalami financial distress. Untuk penyebaran data

dari masing-masing kategori menunjukkan bahwa data menyebar.

4.2 Analisis Regresi Logistik Biner

Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kemampuan variabel rasio keuangan dalam memprediksi status

financial distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di provinsi Sumatera

Barat. Dalam penelitian ini, analisis regresi logistik biner memiliki beberapa

tahapan pengujian sebagai berikut :

46
A. Uji Nilai Likelihood

Sutaryo (2010) menyatakan bahwa, untuk mengetahui kelayakan model yang

digunakan dalam penelitian, maka cara yang digunakan yaitu dengan melihat

nilai -2 log likelihood. Pengujian nilai ini adalah dengan membandingkan nilai -

2 log likelihood sebelum ditambah variabel independen dengan nilai -2 log

likelihood setelah ditambah variabel independen. Jika terjadi penurunan nilai

dari -2 log likelihood sebelum ditambah variabel independen ke -2 log likelihood

setelah ditambah variabel independen, maka model yang dipakai layak atau

cocok.

Tabel 6
Hasil Pengujian Nilai Likelihood
2 Log
Iteration
Likelihood
Step 0 Initial 63.934

Step 1 Model Summary 50.222

Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa, nilai -2 log likelihood sebelum adanya

variabel independen adalah sebesar 63,934 dan menjadi 50,222 setelah ditambah

variabel independen. Penurunan sebesar 13,716 menunjukkan bahwa secara

keseluruhan model adalah baik dan mampu untuk menguji hipotesis.

B. Uji Nilai Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test

Sutaryo (2010) mengatakan bahwa Uji nilai Hosmer and Lemeshow’s Goodness

of Fit Test dilakukan untuk membuktikan bahwa data empiris cocok atau sesuai

dengan model regresi dalam penelitian atau tidak ada perbedaan antara model

dengan data sehingga model penelitian dapat dikatakan fit.

47
Tabel 7
Hasil Pengujian Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 8.784 8 .361
Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Tabel diatas menunjukkan nilai Chi-square sebesar 8,784 dan signifikansi

sebesar 0,361 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data empiris dalam

penelitian ini cocok atau sesuai dengan model regresi dalam penelitian ini atau

tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model penelitian dapat

dikatakan fit.

C. Koefisien Determinasi (Uji Nagelkerke’s R Square)

Tabel 8
Hasil Pengujian Nagelkerke R Square

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square


1 50.222a .134 .274
Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Sutaryo (2010) mengatakan bahwa uji nilai nagelkerke R2 digunakan untuk

melihat seberapa besar tingkat variabel independen dalam mempengaruhi

variabel dependen dalam model yang digunakan pada penelitian ini.

Berdasarkan tabel diatas, nilai dari Nagelkerke R Square adalah 0,274. Hal ini

menunjukkan bahwa budgetary solvency ratio, financial independence ratio,

financial flexibility ratio dan efficiency ratio mampu menjelaskan pengaruh

terhadap financial distress dalam model yang digunakan sebesar 27,4%

sedangkan 72,6% lainnya dijelaskan oleh faktor di luar penelitian.

D. Uji Parameter Regresi Logistik

48
Sutaryo (2010) menyatakan bahwa parameter atau koefisien regresi merupakan

nilai yang menggambarkan besaran dan arah pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen dalam model regresi. Dalam penelitian ini kriteria

pengujian yang digunakan adalah jika nilai probabilitas variabel independen

lebih kecil dari 5%, maka variabel independen berpengaruh signifikan terhadap

financial distress, sebaliknya jika nilai probabilitas variabel independen lebih

besar dari 5% maka dapat dikatakan bahwa variabel independen tidak

berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Berikut adalah hasil

pengujian parameter regresi logistik dalam penelitian ini :

Tabel 9
Hasil Pengujian Parameter Logistik
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Kesimpulan

BS -65.910 33.008 3.987 1 .046 .000 H1 Diterima


FF -.001 .001 .674 1 .412 .999 H2 Ditolak
FI -27.214 13.685 3.954 1 .047 .000 H3 Diterima
EF -.605 .356 2.888 1 .089 .546 H4 Ditolak
Constant 127.467 68.571 3.456 1 .063 2.280E+55
Sumber: Data Sekunder yang Diolah

Mengacu pada output tabel diatas, diketahui bahwa variabel yang memiliki

nilai Sig.< 0,05 adalah Budgetary Solvency Ratio dan Financial Independence

Ratio. Dengan demikian, maka variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap

financial distress, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh signifikan

terhadap financial distress. Sutaryo (2010) mengatakan bahwa estimasi

parameter β digunakan untuk mengukur sejauh mana variabel independen

mampu meningkatkan log probabilitas suatu event terjadi. Tabel 9 diatas

49
menunjukkan nilai koefisien dalam model regresi penelitian ini sebesar -65,910;

-27,214; -0,001; dan 0,650. Nilai konstanta sebesar 127,467 menunjukkan

bahwa ketika semua rasio yang digunakan bernilai nol maka nilai odds financial

distress = log probabilitas financial distress (Y0) dibagi non financial distress

(Y1) adalah sebesar -127,467.

Nilai negatif dari koefisien Budgetary Solvency Ratio, Financial

Flexibility Ratio, Financial Independence Ratio, Efficiency Ratio menunjukkan

bahwa hubungan antara nilai rasio-rasio tersebut dengan nilai odds financial

distress adalah berbanding terbalik. Semakin besar nilai Budgetary Solvency

Ratio, Financial Flexibility Ratio, Financial Independence Ratio, Efficiency

Ratio maka semakin menurun financial distress. Ketika rasio-rasio ini bernilai

konstan maka setiap satu kenaikan nilai dari setiap rasio akan menurunkan nilai

odds financial distress = log probabilitas financial distress (Y0) dibagi non

financial distress (Y1) sebesar -127,467.

Berdasarkan penjelasan analisis diatas, maka dapat dirumuskan model regresi

logistik sebagai berikut :

Y = -65,910(BS)-27.214(FI)-0,001(FF) -0,605(EF)

4.3 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan variabel rasio keuangan

dalam memprediksi status financial distress pemerintah daerah kabupaten dan

kota di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan analisis data yang diperoleh,

koefisien determinasi atau nilai Nagelkerke R Square adalah 0,274. Hal ini

50
menunjukkan bahwa rasio keuangan dalam penelitian ini mampu menjelaskan

pengaruh terhadap financial distress dalam model yang digunakan oleh

penelitian sebesar 27,4%. Sedangkan 72,6% lainnya dijelaskan oleh faktor diluar

penelitian seperti good governance, kondisi wilayah dan pemekaran wilayah.

Dari pengujian parameter logistic dapat diketahui besaran arah pengaruh

masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Berikan

penjelasan mengenai pengaruh dari masing-masing variabel independen

terhadap financial distress.

1. Pengaruh Budgetary Solvency Ratio Terhadap Financial Distress

Hasil pengujian hipotesis pertama memiliki nilai signifikansi 0,046 dan

koefisien -65.910. Nilai signifikansi yang kecil dari 5% menunjukkan bahwa

budgetary solvency ratio berpengaruh signifikan terhadap financial distress.

Budgetary solvency ratio digunakan untuk mengukur kemampuan pendapatan

daerah dalam mendanai seluruh belanjanya. Pengukurannya dilakukan dengan

membandingkan antara total pendapatan daerah dengan total belanja daerah

yang harus dikeluarkan. Penelitian ini berhasil mendukung hipotesis pertama

yang menyatakan budgetary solvency ratio berpengaruh negatif signifikan

terhadap financial distress.

Hal ini berarti saat pendapatan daerah mampu memenuhi belanja

daerahnya, maka potensi suatu daerah untuk mengalami financial distress juga

akan menurun. Dalam penelitian ini, belanja modal merupakan alat ukur penentu

dari pemerintah daerah berpotensi financial distress atau tidak, sehingga saat

51
belanja daerah terpenuhi secara baik oleh pendapatan daerah maka didalamnya

juga sudah terpenuhi belanja modal yang nantinya akan mendatangkan manfaat

jangka panjang yang bisa dirasakan oleh masyarakat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ritongga et al. (2012) yang

mampu membuktikan bahwa semakin tinggi nilai dari dimensi budgetary

solvency ratio ini maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial

distress pemerintah daerah. Seemakin baik pula kemampuan pendapatan

pemerintah untuk menutupi pengeluaran operasionalnya, sehingga pemerintah

daerah tersebut dapat terhindar dari financial distress.

2. Pengaruh Financial Flexibility Ratio Terhadap Financial Distress

Hasil pengujian hipotesis kedua memiliki nilai signifikansi 0,412 dan

koefisien -0, 001. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 5% menunjukkan

bahwa financial flexibility ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap financial

distress. Penelitian ini gagal mendukung hipotesis kedua yang menyatakan

bahwa financial flexibility ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap financial

distress. Jika pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membiayai

pembangunan daerah, maka pemerintah daerah dapat menerbitkan pinjaman

daerah pada pihak ketiga sesuai dengan PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman

Daerah. Pinjaman daerah dapat diajukan oleh pemerintah daerah jika pemerintah

daerah bersangkutan dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 56/2018.

Jika suatu daerah tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 56/2018 tersebut, maka pemerintah daerah

52
tidak diperbolehkan melakukan pinjaman pada pihak ketiga karena

dikhawatirkan mengalami kesulitan dalam pengembalian pokok dan bunga

pinjaman. Hal ini akan berdampak pada sulitnya pemerintah daerah untuk

memberikan pelayanan publik yang maksimal dan berjangka panjang, karena

juga akan sulit untuk meningkatkan alokasi dana untuk belanja modal saat

kondisi keuangan pemerintah daerah dalam keadaan kurang baik. Kondisi

kesulitan keuangan ini di anggap sebagai kondisi financial distress di

pemerintah daerah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sanda,

2016) yang menjelaskan bahwa financial flexibility ratio tidak berpengaruh

signifikan terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan financial flexibility

ratio dalam penelitian ini menyertakan hutang dalam perhitungannya sehingga

tidak relevan untuk sektor publik (Harun, 2009). Indikator tersebut tidak relevan

untuk pemerintah daerah karena menurut UU No. 23/2014 Bab XI tentang

Pemerintah Daerah, pemerintah pusat akan memberikan Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk menutup kekurangan

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

3. Pengaruh Financial Independence Ratio Terhadap Financial Distress

Hasil pengujian dari hipotesis ketiga memiliki nilai signifikansi 0,047 dan

koefisien -27,214. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 5% menunjukkan

bahwa financial independence ratio berpengaruh signifikan terhadap financial

distress. Nilai koefisien negatif menunjukkan bahwa kemampuan yang tinggi

53
pada pemerintah daerah untuk tidak membutuhkan sumber dana, kontrol, atau

pengaruh luar dimana hal tersebut digambarkan melalui proporsi pendapatan asli

daerah terhadap total pendapatan yang tinggi akan cenderung terhindar dari

financial distress. Penelitian ini berhasil mendukung hipotesis ketiga yang

menyatakan financial independence ratio berpengaruh negatif signifikan

terhadap financial distress. Tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar

pajak dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah

(PAD).

Kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber

keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung

berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan

pembangunan daerah dapat tercermin dari besarnya pendapatan yang dihasilkan

oleh pemerintah daerah tersebut. Pemerintah daerah yang mampu menguasai

sumber daya akan memiliki kekuatan untuk survive dalam memperbaiki

pelayanan publik dengan meningkatkan belanja modalnya, sehingga dengan

PAD yang tinggi maka pemerintah daerah bisa mengalokasikan lebih untuk

belanja modal dan berusaha untuk terhindar dari financial distress karena

pemerintah daerah tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan

mempunyai keleluasaan dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan

masyarakat dan terhindar dari financial distress .

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yanti,

Rida Damai (2018) yang menjelaskan bahwa financial independence ratio

berpengaruh signifikan negatif terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan

54
bahwa kemampuan yang tinggi pada pemerintah daerah untuk tidak

membutuhkan sumber dana, kontrol atau pengaruh luar dimana hal tersebut

digambarkan melalui proporsi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan

yang tinggi akan cenderung terhindar dari financial distress.

4. Pengaruh Efficiency Ratio Terhadap Financial Distress

Hasil pengujian hipotesis keempat memiliki nilai signifikansi 0,089 dan

koefisien -0,605. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 5% menunjukkan bahwa

efficiency ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress,

sehingga penelitian ini gagal mendukung hipotesis keempat yang menyatakan

bahwa efficiency ratio berpengaruh positif signifikan terhadap financial distress.

Tingkat rasio efisiensi tidak dapat menggambarkan financial distress

secara langsung karena pada hasil penelitian ini, rasio efisiensi berada di kisaran

tingkat efisien akan tetapi tingkat kondisi financial distress pada kabupaten/ kota

masih tinggi, maka rasio efisiensi tidak dapat menggambarkan alokasi belanja

modal secara langsung sehingga pelayanan publik tidak maksimal dilakukan

(Rasuli & Silfi, 2013). Pemerintah daerah perlu menghitung dengan cermat

berapa alokasi belanja daerah termasuk didalmnya alokasi untuk belanja modal

yang akan berdampak pada kualitas pelayanan publik yang diberikan, dengan

begitu dapat diketahui apakah pendapatan yang diterima sudah terealisasikan

dengan efisien atau tidak.

55
Pada sektor pelayanan publik suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan

secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapi hasil (output)

dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil

yang diinginkan. Namun, dari sampel pada penelitian ini disebabkan tumpang

tindihnya pendanaan pada suatu kegiatan dan tidak sesuai dengan implementasi

anggarannya. Hal ini terlihat dari banyaknya layanan publik apa adanya secara

tidak efisien dan kurang sesuai dengan kebutuhan publik yang sesungguhnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wulandari, Yoli & Arza, F.I

(2020) yang menjelaskan bahwa efficiency ratio tidak berpengaruh terhadap

financial distress, karena kinerja pemerintah daerah yang kurang bagus serta

tidak efisien dalam mengalokasikan dana yang ada untuk pengeluaran, sehingga

akan memungkinkan dalam kekurangan dana untuk memberikan pelayanan

kepada publik atau mengalami kondisi financial distress.

56
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah peneliti lakukan,

maka dapat ditarik kesimpulan :

1. Nilai budgetary solvency ratio berpengaruh signifikan terhadap financial

distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat,

nilai koefisiennya bernilai negatif sehingga mendukung hipotesis pertama.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam menutupi

pengeluaran operasionalnya sudah baik, sehingga pemerintah daerah tersebut

dapat terhindar dari financial distress. Saat belanja daerah terpenuhi secara

baik oleh pendapatan daerah maka didalamnya juga sudah terpenuhi belanja

modal yang nantinya akan mendatangkan manfaat jangka panjang yang bisa

dirasakan oleh masyarakat.

57
2. Nilai financial flexibility ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap

financial distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera

Barat sehingga gagal mendukung hipotesis kedua. Hal ini dikarenakan

financial flexibility ratio dalam penelitian ini menyertakan hutang dalam

perhitungannya.

3. Nilai financial independence ratio berpengaruh signifikan negatif terhadap

financial distress pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera

Barat sehingga berhasil mendukung hipotesis ketiga, hal ini menunjukkan

bahwa kemampuan yang tinggi pada pemerintah daerah untuk tidak

membutuhkan sumber dana, kontrol atau pengaruh luar dimana hal tersebut

digambarkan melalui proporsi pendapatan asli daerah terhadap total

pendapatan yang tinggi akan cenderung terhindar dari financial distress.

4. Nilai efficiency ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress

pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat sehingga

tidak berhasil mendukung hipotesis keempat, hal ini menunjukkan bahwa

pemerintah daerah masih belum bisa efisien dalam keuangan daerahnya,

sehingga akan cenderung berpotensi financial distress. Pemerintah daerah

perlu menghitung dengan cermat berapa alokasi belanja daerah termasuk

didalmnya alokasi untuk belanja modal yang akan berdampak pada kualitas

pelayanan publik yang diberikan, dengan begitu dapat diketahui apakah

pendapatan yang diterima sudah terealisasikan dengan efisien atau tidak.

5.2 Implikasi Hasil Penelitian

58
Hasil dari kesimpulan penelitian ini memberikan bukti bahwa rasio

keuangan mampu memprediksi status financial distress pemerintah daerah

kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitian ini diharapkan

menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk melakukan upaya untuk mendorong

pemerintah daerah melakukan pembangunan dalam hal menghindari financial

distress pada sektor publik.

Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber

informasi bahwa keadaan keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di

Provinsi Sumatera Barat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang

diberikan, sehingga hal ini dapat menjadi alat evaluasi kinerja pemerintah pusat

dalam rangka kontrol terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

daerah.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Pemerintah daerah yang dijadikan sampel hanya pemerintah daerah yang

ada di Sumatera Barat saja, karena hal itu, kemungkinan hasil ini tidak

dapat digeneralisasi untuk pemerintah daerah di Indonesia.

2. Indikator yang dijadikan sebagai faktor penentu variabel dependen hanya

terdiri dari satu variabel, yaitu rasio belanja modal terhadap total belanja

daerah yang nilainya disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.

Indikator tersebut menurut peneliti belum menggambarkan keseluruhan

pengertian dari financial distress pada sektor publik.

59
3. Penelitian ini hanya menyertakan indikator keuangan sebagai variabel

independen. Sedangkan faktor non keuangannya tidak disertakan.

5.4 Saran

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini, maka saran

peneliti adalah sebagai berikut :

1. Untuk Pemerintah Pusat

Melakukan upaya yang dapat mendorong pemerintah daerah untuk

meningkatkan pembangunan infrastruktur yang dapat digunakan untuk

pelayanan publik.

2. Untuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat

Berupaya untuk dapat mengurangi belanja pegawai dan

mengalokasikannya ke belanja modal. Hal ini dilakukan untuk

mendorong pembangunan infrastruktur dalam rangka pelayanan kepada

publik yang lebih baik.

3. Untuk Penelitian Berikutnya

a) Menggunakan indikator keuangan dan non keuangan sebagai variabel

independen. Beberapa contoh indikator non keuangan tersebut adalah

good governance, kondisi wilayah, jumlah penduduk, pemekaran

wilayah dan umur daerah.

b) Mencari dan menggunakan indikator lain yang dapat menggambarkan

kondisi financial distress pemerintah daerah secara luas.

60

Anda mungkin juga menyukai