Penelitian ini dilakukan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota yang ada di
provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data laporan
keuangan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan data yang
kabupaten dan kota yang ada di provinsi Sumatera Barat. Berikut adalah daftar
Tabel 1
Nama Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat
No Kabupaten/Kota
1 Kabupaten Agam
2 Kabupaten Dharmasraya
3 Kabupaten Kepulauan Mentawai
4 Kabupaten Lima Puluh Kota
5 Kabupaten Padang Pariaman
6 Kabupaten Pasaman
7 Kabupaten Pesisir Selatan
8 Kabupaten Sijunjung
9 Kabupaten Solok
10 Kabupaten Solok Selatan
12 Kabupaten Tanah Datar
13 Kota Bukittinggi
14 Kota Padang
15 Kota Padang Panjang
16 Kota Pariaman
17 Kota Payakumbuh
18 Kota Sawahlunto
19 Kota Solok
40
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik sensus,
dalam penelitian ini adalah budgetary solvency ratio, financial flexibility ratio,
adalah financial distress, yang diukur dengan menggunakan rasio belanja modal
mengalami kesulitan keuangan yang ditandai dengan nilai dari rasio belanja
modal terhadap total belanjanya kurang dari 30%. Sehingga pemerintah daerah
digunakan untuk pelayanan publik. Berikut merupakan nilai rasio belanja modal
41
4.1.1 Rasio Belanja Modal
Tabel 2
Nilai Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2016-2020
Rasio Belanja Modal Terhadap Total
No Kabupaten/Kota Belanja
2016 2017 2018 2019 2020
1 Kabupaten Agam 16% 22% 17% 21% 12%
2 Kabupaten Dharmasraya 33% 32% 26% 25% 22%
3 Kabupaten Kepulauan Mentawai 31% 34% 28% 34% 20%
4 Kabupaten Lima Puluh Kota 22% 21% 21% 21% 14%
5 Kabupaten Padang Pariaman 25% 29% 21% 21% 16%
6 Kabupaten Pasaman 25% 21% 16% 14% 14%
7 Kabupaten Pasaman Barat 27% 26% 30% 24% 18%
8 Kabupaten Pesisir Selatan 19% 17% 16% 23% 19%
9 Kabupaten Sijunjung 29% 24% 24% 23% 18%
10 Kabupaten Solok 19% 17% 16% 18% 11%
11 Kabupaten Solok Selatan 31% 32% 28% 27% 16%
12 Kabupaten Tanah Datar 17% 19% 16% 18% 10%
13 Kota Bukittinggi 13% 20% 25% 26% 31%
14 Kota Padang 19% 19% 19% 21% 14%
15 Kota Padang Panjang 27% 35% 20% 16% 10%
16 Kota Pariaman 27% 24% 21% 22% 15%
17 Kota Payakumbuh 22% 25% 21% 23% 17%
18 Kota Sawahlunto 22% 24% 13% 17% 13%
19 Kota Solok 25% 25% 25% 19% 6%
Nilai Tertinggi 33% 35% 30% 34% 31%
Nilai Terendah 13% 17% 13% 14% 6%
Nilai Rata-Rata 24% 25% 21% 22% 16%
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
42
yang seharusnya berpengaruh besar terhadap kualitas pelayanan publik hanya
publik.
dengan baik, yang terlihat dalam laporan realisasi anggaran, dimana penyerapan
untuk belanja pegawai justru jauh lebih besar dibandingkan dengan penyerapan
belanja modal. Contohnya saja seperti Kabupaten Tanah Datar untuk tahun
penyerapan belanja modal hanya berkisar 10% sampai 19%, sedangkan untuk
belanja pegawai mencapai 52% sampai 70%. Penyerapan belanja pegawai yang
Tabel 3
Financial Distress
No Kabupaten/Kota Tahun
43
3 Kabupaten Pasaman Barat 2018
modalnya sudah terbilang baik yakni 33%, dengan penyerapan belanja pegawai
Panjang, dimana penyerapan belanja modalnya berkisar antara 31% sampai 35%
maka dapat diketahui bahwa pemerintah daerah sudah berupaya untuk menyerap
belanja modal dengan baik sehingga dengan kondisi tersebut dampak positifnya
publiknya. Jika dilihat dari penyerapan belanja pegawai untuk pemerintah daerah
Pasaman Barat berkisar 42%, Kabupaten Solok Selatan berkisar 39% sampai
40%, Kota Bukittinggi berkisar 45% dan Kota Padang Panjang penyerapan
50% sementara penyerapan belanja modalnya tidak mencapai 30%, maka hal ini
44
2016 dan 2017), Kabupaten Kepulauan Mentawai (tahun 2016, 2017 dan 2019),
Kabupaten Solok Selatan (tahun 2016 dan 2017), Kabupaten Pasaman Barat
(Tahun 2018), Kota Bukittinggi (tahun 2020), Kota Padang Panjang (tahun
2017) yang mana penyerapan belanja modalnya mencapai 30% dan penyerapan
belanja pegawainya juga sudah mulai ditekan sehingga tidak terlalu tinggi dan
daerahnya.
Tabel 4
Descriptive Statistics: Pemerintah Daerah Kategori Financial Distress
Valid N (listwise) 85
Tabel 5
Descriptive Statistics: Pemerintah Daerah Kategori Non Financial Distress
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Valid N (listwise) 10
45
Berdasarkan tabel 4 dan tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata
budgetary solvency ratio dari pemerintah daerah dengan kategori non financial
distress lebih kecil daripada yang mengalami financial distress. Dalam hal
penyebaran data, menunjukkan bahwa data tidak menyebar. Nilai rata-rata dari
rata-rata dari pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress lebih
menyebar. Untuk nilai dari financial independence ratio dari pemerintah daerah
dengan kategori non financial distress. Begitu juga dengan standar deviasi, yang
menunjukkan bahwa nilai standar deviasi lebih kecil dari rata-ratanya, sehingga
data dikatakan tidak menyebar. Selanjutnya Untuk nilai rata-rata dari efficiency
pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress lebih tinggi daripada
Barat. Dalam penelitian ini, analisis regresi logistik biner memiliki beberapa
46
A. Uji Nilai Likelihood
digunakan dalam penelitian, maka cara yang digunakan yaitu dengan melihat
nilai -2 log likelihood. Pengujian nilai ini adalah dengan membandingkan nilai -
setelah ditambah variabel independen, maka model yang dipakai layak atau
cocok.
Tabel 6
Hasil Pengujian Nilai Likelihood
2 Log
Iteration
Likelihood
Step 0 Initial 63.934
variabel independen adalah sebesar 63,934 dan menjadi 50,222 setelah ditambah
Sutaryo (2010) mengatakan bahwa Uji nilai Hosmer and Lemeshow’s Goodness
of Fit Test dilakukan untuk membuktikan bahwa data empiris cocok atau sesuai
dengan model regresi dalam penelitian atau tidak ada perbedaan antara model
47
Tabel 7
Hasil Pengujian Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 8.784 8 .361
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
sebesar 0,361 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data empiris dalam
penelitian ini cocok atau sesuai dengan model regresi dalam penelitian ini atau
tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model penelitian dapat
dikatakan fit.
Tabel 8
Hasil Pengujian Nagelkerke R Square
Berdasarkan tabel diatas, nilai dari Nagelkerke R Square adalah 0,274. Hal ini
48
Sutaryo (2010) menyatakan bahwa parameter atau koefisien regresi merupakan
terhadap variabel dependen dalam model regresi. Dalam penelitian ini kriteria
lebih kecil dari 5%, maka variabel independen berpengaruh signifikan terhadap
Tabel 9
Hasil Pengujian Parameter Logistik
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Kesimpulan
Mengacu pada output tabel diatas, diketahui bahwa variabel yang memiliki
nilai Sig.< 0,05 adalah Budgetary Solvency Ratio dan Financial Independence
49
menunjukkan nilai koefisien dalam model regresi penelitian ini sebesar -65,910;
bahwa ketika semua rasio yang digunakan bernilai nol maka nilai odds financial
distress = log probabilitas financial distress (Y0) dibagi non financial distress
bahwa hubungan antara nilai rasio-rasio tersebut dengan nilai odds financial
Ratio maka semakin menurun financial distress. Ketika rasio-rasio ini bernilai
konstan maka setiap satu kenaikan nilai dari setiap rasio akan menurunkan nilai
odds financial distress = log probabilitas financial distress (Y0) dibagi non
Y = -65,910(BS)-27.214(FI)-0,001(FF) -0,605(EF)
4.3 Pembahasan
koefisien determinasi atau nilai Nagelkerke R Square adalah 0,274. Hal ini
50
menunjukkan bahwa rasio keuangan dalam penelitian ini mampu menjelaskan
penelitian sebesar 27,4%. Sedangkan 72,6% lainnya dijelaskan oleh faktor diluar
daerahnya, maka potensi suatu daerah untuk mengalami financial distress juga
akan menurun. Dalam penelitian ini, belanja modal merupakan alat ukur penentu
dari pemerintah daerah berpotensi financial distress atau tidak, sehingga saat
51
belanja daerah terpenuhi secara baik oleh pendapatan daerah maka didalamnya
juga sudah terpenuhi belanja modal yang nantinya akan mendatangkan manfaat
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ritongga et al. (2012) yang
koefisien -0, 001. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 5% menunjukkan
daerah pada pihak ketiga sesuai dengan PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman
Daerah. Pinjaman daerah dapat diajukan oleh pemerintah daerah jika pemerintah
52
tidak diperbolehkan melakukan pinjaman pada pihak ketiga karena
pinjaman. Hal ini akan berdampak pada sulitnya pemerintah daerah untuk
juga akan sulit untuk meningkatkan alokasi dana untuk belanja modal saat
pemerintah daerah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sanda,
tidak relevan untuk sektor publik (Harun, 2009). Indikator tersebut tidak relevan
Hasil pengujian dari hipotesis ketiga memiliki nilai signifikansi 0,047 dan
53
pada pemerintah daerah untuk tidak membutuhkan sumber dana, kontrol, atau
pengaruh luar dimana hal tersebut digambarkan melalui proporsi pendapatan asli
daerah terhadap total pendapatan yang tinggi akan cenderung terhindar dari
pajak dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
PAD yang tinggi maka pemerintah daerah bisa mengalokasikan lebih untuk
belanja modal dan berusaha untuk terhindar dari financial distress karena
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yanti,
54
bahwa kemampuan yang tinggi pada pemerintah daerah untuk tidak
membutuhkan sumber dana, kontrol atau pengaruh luar dimana hal tersebut
koefisien -0,605. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 5% menunjukkan bahwa
secara langsung karena pada hasil penelitian ini, rasio efisiensi berada di kisaran
tingkat efisien akan tetapi tingkat kondisi financial distress pada kabupaten/ kota
masih tinggi, maka rasio efisiensi tidak dapat menggambarkan alokasi belanja
(Rasuli & Silfi, 2013). Pemerintah daerah perlu menghitung dengan cermat
berapa alokasi belanja daerah termasuk didalmnya alokasi untuk belanja modal
yang akan berdampak pada kualitas pelayanan publik yang diberikan, dengan
55
Pada sektor pelayanan publik suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan
secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapi hasil (output)
dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil
yang diinginkan. Namun, dari sampel pada penelitian ini disebabkan tumpang
tindihnya pendanaan pada suatu kegiatan dan tidak sesuai dengan implementasi
anggarannya. Hal ini terlihat dari banyaknya layanan publik apa adanya secara
tidak efisien dan kurang sesuai dengan kebutuhan publik yang sesungguhnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wulandari, Yoli & Arza, F.I
financial distress, karena kinerja pemerintah daerah yang kurang bagus serta
tidak efisien dalam mengalokasikan dana yang ada untuk pengeluaran, sehingga
56
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah peneliti lakukan,
dapat terhindar dari financial distress. Saat belanja daerah terpenuhi secara
baik oleh pendapatan daerah maka didalamnya juga sudah terpenuhi belanja
modal yang nantinya akan mendatangkan manfaat jangka panjang yang bisa
57
2. Nilai financial flexibility ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap
perhitungannya.
membutuhkan sumber dana, kontrol atau pengaruh luar dimana hal tersebut
didalmnya alokasi untuk belanja modal yang akan berdampak pada kualitas
58
Hasil dari kesimpulan penelitian ini memberikan bukti bahwa rasio
kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitian ini diharapkan
menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk melakukan upaya untuk mendorong
diberikan, sehingga hal ini dapat menjadi alat evaluasi kinerja pemerintah pusat
daerah.
ada di Sumatera Barat saja, karena hal itu, kemungkinan hasil ini tidak
terdiri dari satu variabel, yaitu rasio belanja modal terhadap total belanja
59
3. Penelitian ini hanya menyertakan indikator keuangan sebagai variabel
5.4 Saran
pelayanan publik.
60