Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Adanya otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia dan ditetapkan melalui

undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah merupakan

salah satu langkah pemerintah dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat

agar sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia yang dicantumkan pada

alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Salah satu kebijakan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya dana

transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui

Dana Alokasi Umum yang bersumber dari dana APBN. Dana transfer dari

pemerintah pusat merupakan salah satu sumber penerimaan yang digunakan untuk

pembiayaan pembangunan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah, membawa perubahan yang mendasar pada sistem

dan mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan

otonomi daerah yang bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan

kemampuan daerah dalam menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi

dan kabupaten/kota (Bratakusumah dan Solihin, 2003:16).

1
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan PAD

selalu diupayakan karena PAD merupakan penerimaan dari usaha untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dalam melakukan kegiatan Belanja Daerah yang berguna untuk memenuhi

kebutuhan publik dan mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat

kesejahteran masyarakat, di dalam pembangunannya, pemerintah menggunakan

anggaran yang salah satunya berasal dari dana transfer yang dalam hal ini Dana

Alokasi Umum serta dana yang disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang

berasal dari pendapatan lokal kabupaten/kota itu sendiri.

Namun, permasalahan yang sering terjadi saat ini adalah perkembangan

keuangan daerah menunjukan hubungan yang tidak simetris, dimana perubahan

perkembangan antara Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Daerah jauh lebih

rendah, apabila dibandingkan dengan perubahan pertumbuhan Dana Alokasi

Umum terhadap Belanja Daerah, hal ini tentunya dapat memberikan implikasi

bahwa tingkat ketergantungan kabupaten/kota dengan dana transfer yang

diberikan oleh pemerintah pusat cukup tinggi, padahal hubungan keuangan daerah

dalam rangka otonomi adalah agar dapat memberikan kebebasan kepada daerah

untuk melaksanakan fungsinya secara efektif dan efisien, yaitu dibantu dengan

adanya dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai yang berasal dari dana

perimbangan untuk menstimulus perekonomian.

Dibeberapa daerah, data menunjukan bahwa proporsi PAD hanya mampu

membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20 persen (Purbarini,

2015:10). Hal ini mencerminkan kondisi yang menunjukan bahwa, pemerintah

2
daerah terlalu mengandalkan Dana Alokasi Umum untuk membiayai Belanja

Daerah dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah

yang dipergunakan untuk melaksanaan urusan pemerintahan yang terdiri dari

urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-

undangan. Padahal, dalam era otonomi daerah, bukan hanya soal mengurus

pemerintahan sendiri, tetapi juga bagaimana daerah mampu mengembangkan

kemampuannya sendiri untuk mandiri (Subandi 2014:141).

Adapun tujuan utama dari dana transfer adalah untuk mengurangi

kesenjangan fiskal antar daerah melalui mekanisme hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah, sehingga tercipta kemudahan dalam pelaksanan

pembangunan yang memungkinkan tercapainya standar pelayanan publik

minimum. Meskipun demikian, pemberian transfer juga mengakibatkan

ketidakefektifan pembiayaan pada pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal

dengan flypaper effect atau kondisi ketika pemerintah daerah kabupaten/kota

disuatu wilayah cenderung merespon Belanja Daerah lebih besar dengan

menggunakan Dana Alokasi Umum yang diperoleh dari pemerintah pusat

dibandingkan dengan menggunakan anggaran Pendapatan Asli Daerah yang

dihasilkan oleh wilayah kabupaten/kota itu sendiri, permasalahan yang timbul ini,

juga terlihat dari bentuk pengaruh yang lebih besar dari Dana Alokasi Umum

daripada bentuk pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah di

suatu wilayah.

Menurut Oktavia (2013:5) Flypaper effect merupakan suatu fenomena

penyimpangan dalam hubungan transfer keuangan pemerintah pusat dengan

3
penerimaan, hal ini terjadi ketika pemerintah menerima grant, maka akan

dipergunakan untuk meningkatkan pengeluarannya, dalam hal ini pengeluaran

untuk Belanja Daerah ditingkatkan namun tanpa disertai dengan meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah. Kondisi ini menunjukan rendahnya kontribusi PAD

dalam komponen pembiayaan Belanja Daerah.

Fenomena flypaper effect terjadi dalam dua versi. Pertama, merujuk pada

peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan. Kedua,

mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap dana transfer yang lebih besar

dibandingkan elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah

(Listiorini, 2012:112)

Dengan demikian, apabila flypaper effect terus berlanjut di tahun-tahun

berikutnya, maka hal ini akan berdampak pada celah kepincangan fiskal, dan

kurang efektifnya penggalian-penggalian potensi daerah yang dapat menjadi

sumber pendapatan daerah yang seharusnya dapat memberikan kontribusi dalam

perkembangan perekonomian daerah melalui penerimaan PAD.

Selain itu, implikasi dari terjadinya flypaper effect pada Belanja Daerah di

kabupaten/kota adalah dapat menyebabkan berbagai permasalahan yang lebih

kompleks seperti ketidakmaksimalan dalam pemanfaatan sumber-sumber

penghasil pertumbuhan PAD, celah kepincangan fiskal, menimbulkan unsur

ketergantungan yang tinggi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, dan

adanya respon yang berlebihan dalam pemanfaatan dana transfer, yang pada

4
akhirnya menyebabkan kurangnya kemampuan kemandirian keuangan daerah

pada kabupaten/kota yang bersangkutan (Walidi, 2009: 35)

Pada penelitian ini terdapat 11 Kabupaten dan 4 Kota di Provinsi Sumatera

Selatan yang memiliki Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum yang

berbeda dimasing-masing wilayah. Dibawah ini merupakan tabel besarnya nilai

Pendapatan Asli Daerah yang diterima oleh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-

Selatan dari tahun 2013- 2016 :

Tabel 1.1 Data Pendapatan Asli Daerah per Kabupaten/Kota


di Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 2013-2016
(Dalam Juta Rupiah)
Tahun
Kabupaten/Kota
2013 2014 2015 2016
Lahat 78313 125319 189.584 184972
Musi Banyuasin 112649.5 172925 173.234 169012
Musi Rawas 75367 120153 98383 96743
Muara Enim 125111 138706 182.898 150192
Ogan Komering Ilir 68701 145591 138.652 108992
Ogan Komering Ulu 44680 79344 106821 87578
Palembang 558705 734219 737.237 781413
Prabumulih 50623 64170 72236 86253
Pagar Alam 29552 34179 53419 51113
Lubuklinggau 41693 50181 60.543 75797
Banyuasin 81364 106918 118.975 104218
Ogan Ilir 22080 49061 42844 109762
Oku Timur 36918 62418 64.280 69357
Oku Selatan 22897 33316 39355 35696
Empat lawang 24230 32656 25480 22347
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia
*Melalui website (djpk.depkeu.go.id)
*2017

Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten/Kota provinsi Sumatra-Selatan

setiap tahunnya cenderung meningkat . Pendapatan Asli Daerah merupakan segala

5
pendapatan yang berasal dari sumber-sumber penerimaan daerah itu sendiri. Data

diatas menunjukan perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatera-Selatan selama periode waktu 2013-2016.

Berdasarkan tabel diatas, data menunjukan bahwa terdapat perbedaan

Pendapatan Asli Daerah yang diterima oleh setiap kabupaten/kota di provinsi

Sumatera-Selatan, dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah tertinggi dicapai oleh

Kota Palembang dengan nominal tertinggi sebesar Rp. 781.413 (dalam jutaan)

sedangkan nilai PAD terendah yaitu Kabupaten Empat Lawang dengan nominal

PAD hanya sebesar Rp. 22.347 (dalam juta rupiah).

Adapun perkembangan Dana Alokasi Umum yang diterima oleh

kabupaten/kota Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Data Dana Alokasi Umum Perkabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
(Dalam Juta Rupiah )
Tahun
Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015 2016
Lahat 566788 615240 662781 703887
Musi Banyuasin 451258 411870 535577 324837
Musi Rawas 635201 420562 578786 641789
Muara Enim 678488 593564 610384 673162
Ogan Komering Ilir 844191 931159 931158 1049995
Ogan Komering Ulu 517310 568771 568562 635551
Palembang 1125008 1203662 1210604 1292124
Prabumulih 352645 383313 406701 414173
Pagar Alam 316529 354727 351582 390188
Lubuklinggau 377967 414758 451555 446789
Banyuasin 772464 824219 875974 930550
Ogan Ilir 520228 561377 557402 623839
Oku Timur 615539 680714 693714 760211
Oku Selatan 459578 512120 523633 588216
Empat lawang 308418 360872 366775 416952

Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia

6
*Melalui website (djpk.depkeu.go.id )(2017)

Dana Alokasi Umum adalah dana transfer yang diterima oleh pemerintah

daerah dari pemerintah pusat yang dapat digunakan untuk pembiayaan

pembangunan. Tabel diatas menunjukan besarnya Dana Alokasi Umum yang

diterima oleh pemerintah daerah kabupaten/kota Provinsi Sumatera-Selatan

periode tahun 2013 hingga 2016 yang mengalami fluktuasi namun cenderung

meningkat diberbagai daerah. Berdasarkan tabel diatas, besarnya Dana Alokasi

Umum yang diterima oleh pemerintah daerah jauh lebih besar daripada

penerimaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota itu sendiri,

Dana Alokasi Umum yang diterima oleh pemerintah daerah paling besar diterima

oleh kota Palembang sebagai ibukota provinsi dengan nominal dana transfer

sebesar Rp.1.292.124 (dalam juta rupiah). Adapun rata-rata pertumbuhan Dana

Alokasi Umum yang tertinggi selama 3 tahun terakhir periode 2013 hingga 2016

adalah Kabupaten Empat Lawang dengan persentase pertumbuhan penerimaan

sebesar 10.57%, hal ini menunjukan kondisi yang relavan dengan keadaan

Kabupaten Empat Lawang yang termasuk dalam wilayah yang baru dimekarkan,

karena, rendahnya PAD yang diterima oleh Kabupaten Empat Lawang

memberikan efek terhadap tingginya tingkat pembiayaan yang berasal dari dana di

luar pendapatan yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan Belanja Daerah, Dana

Alokasi Umum yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai dana transfer yang

akan dialokasikan ke setiap kabupaten/kota sebaiknya digunakan untuk investasi

yang efektif dalam pembiayaan Belanja Daerah sehingga dapat merangsang

7
potensi penerimaan-penerimaan baru yang dapat menjadi sumber penerimaan

pendapatan daerah, dan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.

Adapun tabel perkembangan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut :

Tabel 1.3 Data Belanja Daerah per Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatera Selatan periode 2013-1016

(Dalam Juta Rupiah)

Tahun
Kabupaten/Kota
2013 2014 2015 2016

Lahat 1425948 1388480 1559989 1545145

Musi Banyuasin 2844245 320570 3320765 2280009

Musi Rawas 1454772 1592855 1405484 1525668

Muara Enim 1974657 1783782 2188030 1856355

Ogan Komering Ilir 2313775 2291125 2540544 1904397

Ogan Komering Ulu 1022613 1031869 1225717 993279

Palembang 2554743 2812466 2869893 2915966

Prabumulih 771785 927133 930835 877919

Pagar Alam 611804 697779 796245 798880

Lubuklinggau 815366 896993 906543 809943

Banyuasin 1668920 1915163 1920556 1841970

Ogan Ilir 1057784 990877 1057783 1102973

Oku Timur 1084185 1161250 1327372 1285285

Oku Selatan 812222 875216 1052753 101440

Empat lawang 675748 800896 936332 648861

8
Sumber: Badan Pusat Statistik , Publikasi Kabupaten dan Kota
Provinsi Sumatra-Selatan dalam Angka, Berbagai Tahun * 2017

Belanja Daerah di Kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan setiap

tahunnya cenderung meningkat, dengan Belanja Daerah tertinggi tahun 2016 di

Kota Palembang senilai Rp.2.915.966 ( Dalam juta rupiah) yang kemudian

belanja tertinggi diikuti oleh Kabupaten Musi Banyuasin, sedangkan untuk

pengeluaran Belanja Daerah terendah di Kabupaten Empat Lawang yang hanya

senilai Rp. 648.861 (dalam jutaan). Tingkat pertumbuhan rata-rata Belanja Daerah

tertinggi adalah kota Pagaralam yang mencapai 15.46%, kemudian diikuti oleh

kabupaten Oku Selatan dengan persentase sebesar 13.58% dalam kurun waktu 3

tahun terakhir periode 2013 sampai 2016. Besarnya Belanja Daerah di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan sangat tergantung dengan penerimaan

yang diterima oleh Pemerintah daerah yang salah satunya bersumber dari

penerimaan PAD dan DAU. Belanja Daerah merupakan faktor penting dalam

pengelolaan keuangan daerah, oleh sebab itu, besarnya anggaran Belanja Daerah

perlu diperhatikan agar tidak terjadi kebocoran-kebocoran biaya dalam

pembangunan ekonomi daerah.

Dikarenakan kondisi fisik tiap kabupaten/kota berbeda dari segi potensi

daerah, maka dari itu terdapat indikasi yang kuat bahwa perilaku Belanja Daerah

sangat dipengaruhi oleh sumber penerimaan berupa dana transfer (DAU) yang

berasal dari Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan Belanja Daerah dalam

rangka memperbaiki dan mengembangkan infrastuktur daerah. Namun, apabila

pembiayaan pembangunan daerah lebih banyak menggunakan dana transfer, maka

hal ini berarti di wilayah tersebut kemungkinan besar terdapat indikasi fenomena

9
flypaper effect, dengan karakteristik data Belanja Daerah, Pendapatan Asli Daerah

(PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU ) yang berfluktuasi di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan maka penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang

“Analisis Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli

Daerah Serta Pengaruhnya terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatra-Selatan’’

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1.) Apakah terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD ) di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera

Selatan selama periode tahun 2007 –2016 ?

2.) Bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja

Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan ?

3.) Bagaimana Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja

Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

10
1.) Untuk mengetahui apakah terjadi Flypaper Effect di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera-Selatan selama periode tahun 2007-2016

2.) Untuk memberikan bukti empiris bagaimana pengaruh Dana Alokasi

Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan

3.) Untuk memberikan bukti empiris bagaimana pengaruh Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dilihat baik dari segi teori maupun terapan antara lain :

1.) Sebagai masukan dan tambahan referensi bagi pihak-pihak yang ingin

mengambil penelitian dan studi pustaka tentang keuangan daerah

2.) Menjadi bahan evaluasi tentang kebijakan keuangan daerah bagi

pemerintah agar tercapai efisiensi dalam penganggaran dana transfer yang

diberikan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah .

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Mengenai Perkembangan Aktivitas Pemerintah/ Hukum Wagner

Ekonom Jerman Adolf Wagner adalah tokoh utama hukum ini. Pada tahun 1982,

ia adalah orang pertama yang mencatat hubungan antara pertumbuhan ekonomi

dan pengeluaran pemerintah. Ia merumuskan hukum yang disebut "ekspansi terus

menerus untuk kegiatan pemerintah". Hukum yang ia tetapkan bahwa

pengeluaran pemerintah tumbuh terus menerus, dalam ukuran absolut atau relatif,

dengan perkembangan yang dicapai di masyarakat. Ini berarti bahwa ada

kebutuhan untuk meningkatkan belanja negara, sesuai dengan tiga alasan berikut

diidentifikasi oleh Wagner (Mangkoesobroto: 2001: 171 ) :

12
a) Permintaan untuk barang publik tumbuh dengan tingginya tingkat

industrialisasi, dan sektor publik berkembang untuk memastikan efisiensi kinerja

ekonomi.

b) Pembangunan ekonomi untuk perluasan layanan budaya, kepedulian sosial dan

pendidikan, menyebabkan pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi.

c) gangguan pemerintah untuk pengelolaan dan pembiayaan monopoli alami.

PkPP/ PPK
Z= Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Kurva Wagner

1 2 3 4 Waktu (tahun)
Gambar.2.1 Hukum Wagner tentang aktivitas Pengeluaran Pemerintah
*Sumber Mangkoesoebroto, 2001:172

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan

pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP dan

13
juga didasarkan pada pengamatan di negara-negara Eropa pada abad ke-19.

Kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk yang eksoponensial

(Mangkoesoebroto, 2001:172).

Menurut Wagner, ada 5 hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah

selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan, dan

pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi

pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekonomi, perkembangan demokrasi dan

ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan

(Dumairy, 1999)

Dengan demikian, hukum Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu

perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, maka secara relatif

pengeluaran Pemerintah pun akan mengalami peningkatan.

2.1.2 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah ini

dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan

pengeluaran pemerintah dengan tahap tahap pembangunan ekonomi yang dibagi

menjadi 3 tahap ( awal, menengah, dan lanjut ).

Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, rasio

investasi swasta terhadap GNP semakin besar, tetapi rasio investasi pemerintah

terhadap GNP akan semakin kecil. Sementara itu, Rostow berpendapat bahwa

pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah dari

penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran untuk layanan sosial seperti

program kesejahteraan hari tua, program pendidikan, program pelayanan

14
kesehatan masyarakat, prasarana transportasi, dan lain sebagainya

(Mangkoesoebroto, 2001:170). Dalam membicarakan penyebab pokok dari

pertumbuhan pengeluaran, dapat dilihat dari adanya faktor-faktor perubahan

kebutuhan ekonomi, antara lain perubahan populasi, perubahan pendapatan,

perubahan teknis, biaya relatif dari jasa publik dan urbanisasi ( Musgrave, 1991:

130 -132)

2.1. 3 Teori Makro Tentang Pengeluaran Pemerintah

Menurut Boediono (dalam Ramdhan, 2015: 13) Pengeluaran pemerintah terdiri

dari tiga pos utama yang dapat digolongkan sebagai berikut:

a.Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa.

b.Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai

Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi,

dimana perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara

tidak langsung.

c.Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.

Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar

barang melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada

warganya yang meliputi pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada

berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun,pembayaran bunga untuk

pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis transfer payment

15
mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan pos gaji pegawai meskipun

secara administrasi keduanya berbeda. (Boediono,1999)

2.1.4 Konsep dan Definisi Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani ‘’autos’’ dan ‘’nomos’’. Kata pertama berarti

sendiri dan kata kedua yang berarti pemerintah. Otonomi bermakna memerintah

sendiri, dalam wacana administrasi publik daerah sering disebut sebagai local self

government. Melalui No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, maka

otonomi daerah yang seluas-luasnya mulai ditempatkan pada daerah

kabupaten/kota serta diserahkan juga kewenangan yang lebih besar pada

pemerintah kabupaten/kota.

Menurut Saragih (2003:26) otonomi sendiri berarti adanya kebebasan

menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian

wilayah dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara. Konsep otonomi

daerah adalah kewenangan untuk menjalankan fungsi dan mengurus daerah

sendiri tidak datang begitu saja tetapi merupakan keputusan politik yang ditempuh

guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik

dan pembangunan.

Tujuan dari adanya otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah

yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi

pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai upaya untuk

mencapai tujuan tersebut, maka kepala daerah diberikan wewenang untuk

melaksanakan urusan pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan dari

16
pemerintah pusat, karena diyakini bahwa pembangunan daerah dapat lebih efektif

melalui strategi otonomi daerah.

2.1.5 Desentralisasi Fiskal


Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari proses

desentralisasi, menurut Saragih (2003:27) desentralisasi berarti penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan

masyarakat setempat secara otonom melalui penyerahan wewenang pemerintahan.

Maka dari itu, desentralisasi fiskal tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas

keuangan daerah, dimana kemandirian keuangan suatu daerah berdasarkan dengan

kemampuan menggali dan mengelola keuangannya.

Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses

distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada

pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas

pemerintahan dan pelayan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang

pemerintahan yang dilimpahkan.

Adapun menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah

pada bagian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah disebutkan bahwa

desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu

bentuk dari desentralisasi fiskal, merupakan instrumen kebijakan fiskal yang

utama bagi pemerintah daerah dan juga menunjukan kapasitas dan kemampuan

17
daerah. Menurut Oates (1999 : 1246) ada dua bentuk instrumen fiskal yang

penting pada sistem federal yaitu pajak,hibah antar pemerintah (intergovermental

grants), dan bagi hasil pendapatan (revenue sharing). Pendapat Usui dan

Alisjahbana, kunci utama dari desentralisasi fiskal adalah pembuatan menjadi

lebih dekat dengan masyarakat sehingga distribusi pelayanan publik menjadi lebih

mudah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal (dalam Handayani,

2009:98)

2.1.6 Belanja Daerah

Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun

bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa Pendapatan Asli

Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah, Belanja Daerah

adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan

bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan. Belanja Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa

Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan

pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri

dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian

atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan

pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan

18
peraturan perundang-undangan. Belanja Daerah dikelompokkan ke dalam belanja

tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja

yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan

kegiatan. Sementara belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan yang

terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Belanja Daerah juga terkait dengan penerimaan daerah, apabila

penerimaan lokal suatu daerah cukup tinggi maka akan semakin besar pula

kemampuan Belanja Daerah, sehingga alokasi Belanja Daerah harus tepat sesuai

dengan kebutuhan masyarakat agar alokasi anggaran lebih efektif dan efisien

(Susestyo et al, 2018: 128)

2.1.7 Dana Alokasi Umum

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum, selanjutnya

disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber

penerimaan daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi untuk saat ini masih

sangat didominasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat baik dalam

bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagi

hasil, sedangkan porsi PAD masih relatif kecil (Mardiasmo: 2004).

Dana Alokasi Umum (DAU) diartikan sebagai dana dari anggaran

belanja negara (APBN) yang dialokasikan ke wilayah tertentu dengan tujuan

untuk membantu mendanai kegiatan khusus urusan daerah sesuai dengan prioritas

nasional (Marwa et al, 2017:48).

19
Adapun cara menghitung Dana Alokasi Umum menurut ketentuan adalah

sebagai berikut (Widodo, 2007: 73) :

1) Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang – kurangnya 25% dari

penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah

kabupaten/kota ditetapkan masing – masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi

Umum sebagaimana di tetapkan di atas.

3) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu

ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh

daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan.

4) Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan

proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot

semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

2.1.8 Flypaper Effect

Istilah Flypaper Effect diperkenalkan pertama kali oleh Courant,

Gramlich, dan Rubinfeld (1979) untuk mengartikulasikan pemikiran Arthur Okun

(1930) yang menyatakan “money sticks where it hits” (Dalam Oktavia, 2014: 5).

Berkenaan dengan hal tersebut, fenomena flypaper effect menunjukan pada

kecenderungan prilaku dalam penganggaran Belanja Daerah yang kompenennya

lebih besar dengan menggunakan dana transfer oleh pemerintah pusat tanpa

disertai peningkatan penerimaan daerah, maka secara tidak langsung adanya

fenomena ini mengartikan bahwa dana transfer hanya berpindah tangan dari

20
pemerintah pusat ke pemerintah daerah tanpa memberikan efek yang berarti bagi

peningkatan kemandirian perekonomian yang menjadi salah satu tujuan dari

otonomi daerah. Secara sederhana, (Oates, 1999:1129) menyebutkan bahwa,

ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebut dengan

flypaper effect.

Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer

akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada

penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull dalam Hastuti, 2011:65). Fenomena

flypaper effect ini dapat terjadi dalam dua versi (Gorodnichenko dalam Hastuti ,

2011: 32), yaitu merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja

pemerintah yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pengeluaran

terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap

penerimaan pajak daerah itu sendiri.

Menurut Maimunah, Flypaper Effect disebut sebagai suatu kondisi yang

terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih boros)

dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan Dana

Alokasi Umum daripada menggunakan kemampuan sendiri, yang diproksikan

dengan Pendapatan Asli Daerah ( dalam Adiputra, 2014: 1234). Ia juga meneliti

bahwa Flypaper Effect berpengaruh untuk memprediksi Belanja Daerah periode

tahun selanjutnya. Menurut Sagbas dan Saruc (dalam mulya et at, 2016:191) ada

dua teori utama dari beberapa penelitian tentang sumber munculnya Flypaper

Effect yang sering digunakan yaitu Fiscal illusion dan The bureaucratic model.

21
Model birokratik berkaitan dengan dengan prilaku pemerintah dalam

membelanjakan anggaran, sedangkan teori fiscal illusion sebagai sumber Flypaper

Effect mengemukakan bahwa Flypaper Effect terjadi dikarenakan ketidaktahuan

atau ketidakpedulian penduduk daerah mengenai pembiayaan dan juga

pembelanjaan.

2.1.9 Konsep Penerimaan Pendapatan Daerah

Adapun hubungan pendapatan daerah dengan beragam variabel fisik, sosial dan

ekonomi adalah untuk mengidentifikasikan variabel mana yang paling dominan

atau mempunyai pengaruh terbanyak terhadap penerimaan pendapatan di suatu

daerah. Menurut Mardiasmo (dalam Salawi 2015: 4). Meskipun perbedaan tidak

berlaku di semua wilayah dengan kekuatan atau tingkatan yang sama, tetapi

terdapat aspek-aspek umum yang dapat memberikan beberapa generalisasi

penyebab utama perbedaan pendapatan daerah.

1. Faktor Geografis

Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumber daya

nasional, sumber energi, sumber daya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan

tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang

lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik

2. Faktor Historis

Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang

lalu untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup di

22
masa lalu menjadi alasan penting yang dihubungkan dengan isu insentif, untuk

pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit insentif untuk

pekerja keras. Sistem industri dimana pekerja merasa tereksploitasi, bekerja tanpa

istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang membatasi akan memberi sedikit

insentif dan menyebabkan pembangunan terhambat.

3. Faktor Politik

Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang

sangat kuat. Tidak stabilnya suhu politik sangat memengaruhi perkembangan dan

pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu

untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi disuatu

wilayah tidak akan berkembang. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah,

korupsi dan ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri

sendiri dan menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari

kebijakan pembangunan.

4. Faktor Administrasi (birokrasi)

Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam

menambah kesenjangan antarwilayah. Saat ini pemerintah dalam menjalankan

fungsinya membutuhkan administrator yang jujur, terdidik, terlatih dan efisien

karena birokrasi yang efisien akan berhasil dalam pembangunan regional dan

sebaliknya, terutama di era otonomi daerah atau desentralisasi, faktor birokrasi

sangat menentukan keberhasilan dalam penyelenggaran otonomi daerah.

5. Faktor Sosial

23
Beberapa faktor sosial dapat menjadi penghalang dalam pembangunan.

Seperti, penduduk di wilayah yang belum berkembang tidak memiliki lembaga

dan keinginan (attitude) yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Di lain

pihak penduduk dari wilayah yang lebih maju memiliki kelembagaan dan

keinginan yang kondusif untuk pembangunan.

6. Faktor Ekonomi

Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan dalam faktor produksi,

proses kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang buruk, kekuatan

pasar yang bebas dan pasar tidak sempurna, berlangsung yang menambah

perbedaan dalam pembangunan ekonomi.

2.1.10 Pendapatan Asli Daerah

PAD merupakan salah satu komponen sumber penerimaan daerah sebagaimana

diatur dalam pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 1999, serta PP Mendagri Nomor 13

Tahun 2006 mengenai pengelolaan keuangan daerah, direvisi menjadi PP

Mendagri Nomor 59 Tahun 2007 bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari

Pendapatan Asli Daerah yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, B. Dana Perimbangan, C. Pinjaman

Daerah serta lain-lain pendapatan daerah yang sah.

1. Hasil Pajak Daerah.

Jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah propinsi yaitu pajak kendaraan

bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan

bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air

24
permukaan. Sedangkan jenis pajak daerah untuk kabupaten terdiri dari pajak

hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak

pengambilan bahan galian golongan C.

2. Hasil Retribusi Daerah.

Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa

atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ada tiga

golongan retribusi daerah yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan

retribusi perizinan tertentu.

(a) Retribusi jasa umum: yaitu retribusi atas jasa yang diberikan emerintah daerah

untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau

badan.

(b) Retribusi Jasa Usaha: yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah

daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula

disediakan oleh sektor swasta.

(c) Retribusi perizinan tertentu: yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah

daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang

dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas

kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,

sarana/fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan kelestarian

lingkungan.

3. Hasil BUMD

25
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan, yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden

atau bagian laba yang diperoleh oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang

dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi

pemerintah daerah.

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Penerimaan yang terrgolong dalam jenis pendapatan ini antara lain

pendapatan bunga deposito, jasa giro, hasil penjualan surat berharga investasi,

pendapatan dari ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan daerah, denda,

penggantian biaya, dan lain-lain

2.1.11 Konsep Rasio Pajak

Pajak daerah merupakan salah satu sumber bagi peningkatan PAD di suatu

wilayah. Rasio Pajak Daerah adalah kemampuan kabupaten/kota dalam

meningkatkan pajak daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah, yaitu

rasio antara pajak daerah terhadap total pendapatan daerah (APBD). Rasio pajak

juga menunjukan kemampuan Pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan

pajak daerah, semakin tinggi penerimaan pajak suatu daerah maka akan semakin

tinggi tax ratio nya. Formulasi untuk menghitung rasio pajak daerah sebagai

berikut :

Pajak Daerah
Rasio Pajak Daerah=
Total Pendapatan Daerah

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tax ratio, antara lain ;


a. Faktor yang bersifat makro, diantaranya tarif pajak, tingkat pendapatan

perkapita dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik .

26
b. Faktor yang bersifat mikro, diantaranya tingkat kepatuhan wajib pajak,

komitmen dan koordinasi antar lembaga negara serta kesamaan persepsi antara

wajib pajak dan petugas pajak.

Angka tax ratio digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas

administrasi perpajakan dalam rangka menghimpun penerimaan pajak disuatu

daerah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maddah dan Tabar (2016)

dalam jurnal yang berjudul ‘’ Studying the Flypaper Effect in the Provinces of

Iran 2000-2013’’ dengan menggunakan data time series 28 provinsi di Iran

selama tahun 2000 -2013 yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Iran dan

Departemen Keuangan beberapa provinsi. Semua variabel yang digunakan dalam

model penelitian ini dalam bentuk logaritmik dengan teknik estimasi metode

GMM dan analisis eksperimental. Model dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: 𝐺𝑖 = α 𝑌𝑖α 𝑃𝑔𝑖β, 𝑖 = 1,2, ..., 𝑁 (1)

di mana Gi adalah konsumsi i barang yang disediakan pemerintah(pengeluaran

pemerintah), Yi adalah pendapatan i, Pgi adalah pajak-harga untuk Gi.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan aplikasi eviews maka hasil dari t-

statistik menunjukkan bahwa koefisien produk domestik bruto di provinsi,

pendapatan pajak dan pendapatan hibah signifikan pada level 1%. Koefisien

kontribusi pajak sangat kecil karena kapasitas pajak lemah, dan kelambatan

belanja provinsi tidak signifikan secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terjadi Flypaper Effect di propinsi Iran mengingat koefisien yang

27
signifikan dari pendapatan dana hibah pemerintah pusat yang diberikan kepada

pemerintah daerah .

Amalia (2015) melakukan penelitian terhadap fenomena flypaper effect

dengan judul ‘’Analisis Flypaper effect pada Belanja Daerah Kabupaten dan

Kota di Provinsi Banten’’ objek penelitian ini meliputi 8 kabupaten dan kota di

Provinsi Banten dengan sumber data yang diperoleh dari laporan realisasi APBD

2010-2013. Desain penelitian menggunakan model pengujian hipotesis dengan

menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel.Adapun metode analisis

data yang digunakan adalah regresi berganda. Metode analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan software

statistic Eviews 6. Tahapan analisis dalam penelitian ini terdiri dari: estimasi

model regresi dengan menggunakan data panel, uji asumsi klasik, uji analisis

regresi dan analisis ekonomi. Model persamaan regresi yang digunakan adalah

sebagai berikut:

BDit = β0 + β1PADit + β2DAUit + ε ........................................................,,.........

Dimana :

BD : Belanja Daerah

PAD : Pendapatan Asli Daerah

DAU : Dana Alokasi Umum

i : Cross-section

t : Time series

β0 : Intesep/konstanta

β1, β2 : Koefisien regresi

28
ε : Error term

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) PAD dan DAU secara

simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah, (2) PAD dan DAU

secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah, (3) tidak

terjadi flypaper effect pada kabupaten dan kota di Provinsi Banten pada tahun

2010-2013.

Penelitian yang berjudul ‘’ Flypaper effect Dana Alokasi Umum,

Pendapatan Asli Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Belanja Daerah

Kabupaten/Kota Di Sulawesi Tengah’’ yang dilakukan oleh Salawali, dan Lapian

(2015) ini berfokus pada 10 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui data sekunder dengan jenis

data time series dan cross section. Sumber data yang diperlukan dalam penelitian

ini berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah, referensi studi

kepustakaan melalui, jurnal, artikel, makalah yang didapat dari perpustakaan dan

internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

ekonometrika data panel dengan GLS (Generalized Least Squares). Model dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

BDit= a + β1DAUit + β2PADit + eit…………………………...................….....

Keterangan:

BDit = Belanja Daerah (BD)

DAUit = Dana Alokasi Umum (DAU) tahun tersebut

DAUit-1 = Dana Alokasi Umum (DAU) tahun sebelumnya

PADit = Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun tersebut

29
PADit -1 = Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun sebelumnya

a = konstanta

β1, β2 = koefisien regresi

e = error term

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa secara parsial DAU dan

PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Tengah tersebut pada tahun 2007-2012 karena masing-masing

nilai t statistik lebih besar dari t tabel α = 1% yaitu DAU sebesar 15,293 > 2,704

dan PAD sebesar 3,861 > 2,704. Secara simultan DAU dan PAD juga

berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah karena nilai F statistik

lebih besar dari nilai F tabel α = 1% yaitu sebesar 165,716 > 99,50. Dalam

penelitian juga didapat hasil bahwa terjadi flypaper effect dimana sumber

penerimaan terbesar dari DAU mempengaruhi besaran belanja di tahun

berikutnya.

Dari Penelitian yang dilakukan oleh Adiputra (2014) dengan judul ‘’

Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Karangasem’’ dengan variabel

yang digunakan adalah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah sebagai

variabel independen dan Belanja Daerah yang ditunjukkan oleh APBD sebagai

variabel dependen. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah observasi dan dokumentasi . Sumber data didapat dari BPS yaitu berupa

data sekunder DAU,PAD dan Belanja Daerah. Teknik analisis data yang

digunakan adalah teknik analisis proporsi, Statistik Deskriptif - Crosstab, dan

30
Trend Teknik analisis Least Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama

periode 2005-2010, dari penelitian tidak menemukan fenomena flypaper effect.

Tidak terjadinya flypaper effect di Kabupaten Karangasem periode tahun 2005-

2010 juga dikuatkan dengan penerimaan Pajak Daerah yang terus meningkat dari

tahun 2005-2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah tidak

lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah,

dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) (0.039) < α (0.05) dan Dana Alokasi

Umum (DAU) (0.030) < α (0.05). Dengan kata lain Kabupaten Karangasem sudah

mandiri dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di daerahnya dan berhasil

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang – undangan No.32 Tahun

2004 tentang otonomi daerah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nabilah (2014) yang terdapat

dalam jurnal ekonomi yang berjudul ‘’Analisis Flypaper Effect PAD dan DAU

Terhadap Belanja Daerah di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010-2014’’

dengan alat analisis menggunakan regresi data panel, hasil penelitian menunjukan

bahwa variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dan alokasi umum (DAU)

berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah serta tidak terjadinya fenomena

flypaper effect selama periode penelitian pada Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Timur.

Dari penelitian yang berjudul ‘’Flypaper Effect : Fenomena Serial waktu

dan lintas Kabupaten/Kota Di Jawa Timur 2003-2013’’ Oleh Oktavia (2014).

Analisis ini menggunakan analisis regresi data panel. Hasil penelitian ini

31
menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum

(DAU) secara umum berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah (BD). Hasil

pengujian untuk runtun waktu menunjukkan bahwa dengan data tahun 2003-2013

terjadi flypaper effect yang ditunjukkan dengan pengaruh DAU lebih signifikan

terhadap Belanja Daerah dari pada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah.

Kabupaten / kota di Jawa Timur umumnya mengalami flypaper effect hal ini

terbukti atau diterima karena respon Belanja Daerah masih lebih besar disebabkan

oleh dana perimbangan khususnya yang berasal dari komponen DAU. Semakin

besar dana transfer (DAU) yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah,

maka tingkat ketergantungan pemerintah daerah dalam membiayai Belanja Daerah

juga akan semakin tinggi untuk melaksanakan program dan kegiatan yang ada di

daerah. Akibatnya, respon Belanja Daerah lebih besar dari komponen DAU yang

diterima.

Penelitian yang dilakukan oleh Shiddieqy dan Afriana (2013) “ Flypaper

Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

terhadap Belanja Daerah pada Kota dan Kabupaten di Pulau Kalimantan’’ Dari

penelitian tersebut, berdasarkan pengujian statistik dengan model regresi linier

berganda, penelitian ini menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

Dana Alokasi Umum (DAU) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

Belanja Daerah pada kota dan Kabupaten Pulau di Kalimantan, pengujian secara

parsial diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah terbukti mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap Belanja Daerah pada tingkat kepercayaan 90 %.

Sedangkan Dana Alokasi Umum secara empiris tidak berpengaruh secara

32
signifikan terhadap Belanja Daerah pada Kota dan Kabupaten di Pulau

Kalimantan dan besarnya pengaruh Pendapatan Asli Daerah lebih tinggi dari pada

pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah pada kota dan provinsi di

pulau Kalimantan , sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi flypaper effect pada

keuangan daerah pemerintah kota dan kabupaten di pulau Kalimantan pada

periode tahun 2012.

Pevcin (2011) dalam penelitiannya di Slovenia yang berjudul ’ Fly-Paper

Effect in Slovenian Municipal’’ meneliti keberadaan Flypaper effect di kota

Slovenia yang menggunakan data cross section dengan menggunakan data

pengeluaran dan data pendapatan untuk tahun fiskal 2006 di 193 kota Slovenia.

Sumber data termasuk data sekunder yang diperoleh dari Departemen Keuangan.

Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif statistik dengan estimasi model

log-linear.

Salah satu kelemahan terkait dengan desentralisasi adalah pendapatan

pemerintah daerah PAD mungkin tidak cukup untuk membiayai penyediaan

barang dan jasa, yang memberikan dasar pemikiran untuk pemerintah pusat

memberikan transfer ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang

menentukan fungsi pengeluaran untuk barang yang disediakan oleh pemerintah

didalam penelitiannya adalah sebagai berikut :

EXP = f (REV, TAXPRICE, NEEDS)

Dimana EXP adalah tingkat pengeluaran untuk barang yang disediakan

oleh pemerintah, REV adalah jumlah total sumber daya yang tersedia untuk

pendanaan tersebut pengeluaran, TAXPRICE menggambarkan harga pajak relatif

33
pengeluaran, dan needs mendefinisikan faktor kelembagaan dan lainnya yang

berpengaruh pada hasil pengeluaran kota. Kesimpulan dari hasil analisis yang

dilakukan di kota-kota Slovenia untuk tahun 2006 cenderung mendukung

keberadaan flypaper effect dalam pembiayaan pembangunan di kota kota Negara

Slovenia. Akibatnya, dana transfer juga mengembangkan total pengeluaran kota.

Efek dari masalah ini harus ditangani lebih lanjut, karena keberadaan efeknya

adalah indikasi inefisiensi dalam sistem pengeluaran.

Widodo (2007) melakukan penelitian di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali

periode 2001-2005 dengan judul ‘’Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) pada

Kabupaten/Kota di pulau Bali’’ menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi

Flypaper Effect hanya pada perhitungan Belanja Daerah ditahun 2003, sedangkan

tahun 2001, 2002, 2004, dan 2005 tidak ditemukan adanya Flypaper Effect pada

pemerintah Kabupaten/kota di Bali.

2.3 Kerangka Pikir:

Untuk dapat mengetahui kerangka pemikiran dalam penelitian Flypaper Effect

pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta

pengaruhnya terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan , dapat dilihat pada gambar 1.1

34
Dana Alokasi Umum Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Flypaper Effect

Belanja Daerah

Gambar.2.2 Kerangka pikir Flypaper Effect pada DAU dan PAD serta
pengaruhnya terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi
Sumatera-Selatan.

Besar kecilnya Dana Alokasi Umum yang diterima dari Pemerintah Pusat

dan Pendapatan Asli Daerah yang diterima suatu daerah dapat mempengaruhi

tinggi rendahnya Belanja Daerah. Kontribusi Dana Alokasi Umum yang lebih

besar dari pada Pendapatan Asli Daerah untuk melakukan Belanja Daerah dapat

menyebabkan terjadinya flypaper effect atau kondisi dimana Pemerintah daerah

merespon Belanja Daerah lebih besar daripada Pendapatan Asli Daerah suatu

Kabupaten/Kota.

35
2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pembahasan, teori, dan penelitian-penelitian sebelumnya, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H1: Terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan

Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera - Selatan

H2: Dana Alokasi Umum secara langsung berpengaruh positif terhadap

Belanja Daerah

H3: Pendapatan Asli Daerah secara langsung berpengaruh positif terhadap

Belanja Daerah

36
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah :

1. Membahas tentang fenomena Flypaper Effect yang mungkin terjadi pada

Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah serta pengaruh dari

variabel independen Dana Alokasi Umum yang dilambangkan sebagai

(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah sebagai (PAD) terhadap variabel

dependen Belanja Daerah (BD).

2. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera-Selatan dari tahun 2007

sampai tahun 2016.

3. Terdiri dari 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera-Selatan yang tidak

mengalami pemekaran selama 5 tahun terakhir, yaitu: Kabupaten Lahat,

Musi Banyuasin, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Banyuasin,

Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan

Komering Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu

Timur, Ogan Komering Ulu Selatan, Kabupaten Empat Lawang, Kota

Palembang, Kota Prabumulih, Pagaralam, dan Kota Lubuklinggau.

37
3.2 Data

3.2.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh dan bersumber dari pihak lain yaitu dari

publikasi Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan dan

buku-buku ataupun literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang

dibahas di dalam penelitian ini.

3.2.2 Data Menurut Waktu

Data yang digunakan adalah data sekunder dengan jenis data panel, karena

terdiri dari beberapa entitas dalam kurun waktu tertentu. Data Panel adalah

pengabungan data time series dan cross section yang merupakan data berdasarkan

periode waktu, dan data cross section yang merupakan pengambilan sampel dari

individu. karena jumlah pengamatan menjadi sangat banyak sehingga

memungkinkan mendapat hasil estimasi yang terbaik dan efisien, hal ini

dikarenakan adanya peningkatan jumlah variabel yang diteliti berdampak pada

variabel bebas. Data didalam penelitian ini meliputi:

 Data Dana Alokasi Umum

 Data Pendapatan Asli Daerah

 Data Belanja Daerah

38
3.2.3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif

karena alat analisis yang digunakan menggunakan model model statistik dan

ekonometrika.

3.3 Teknik Analisis

Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah dengan

menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan kualitatif deskriptif. Metode

kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisis indikasi Flypaper Effect di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan. Metode Kuantitatif digunakan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap besarnya Belanja Daerah. Pengolahan

data dilakukan dengan bantuan microsoft excel dan software eviews 8.

3.3.1 Analisis Kuantitatif Deskriptif

Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh

perubahan Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja

Daerah. Teknik analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

teknik analisis kuantitatif menggunakan analisis regresi data panel dalam

mengukur apakah variabel dependen benar-benar ditentukan oleh variabel

independent. Untuk mengukur apakah variabel Belanja Daerah dipengaruhi oleh

variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah maka digunakan

model regresi sebagai beikut:

39
Sumsel (BDkt)= βo+ β1 Sumsel (DAUkt)+ β2 Sumsel (PADkt) + εkt+ µkt

Keterangan:

Sumsel (BDkt) = Nilai total Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota (k) tahun (t)

Sumsel(DAUkt ) = Nilai Total Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/Kota (k)


tahun (t)

Sumsel(PADkt) = Nilai Total Pendapatan Asli Daerah pada Kabupaten/Kota (k)


tahun (t)

t = tahun

k= Kabupaten/Kota

β0 = Konstan

εkt = Komponen kesalahan random (random error)

µkt= Error term pada Kabupaten/Kota (k) tahun (t)/ residual individu

Terdapat beberapa metode dalam mengestimasi persamaan regresi dengan

menggunakan data panel yaitu, Fixed Effect, Random Effect, dan Common Efffect.

1. Fixed Effect (Model Efek Tetap)

Teknik dengan pengujian pendekatan Fixed Effect adalah teknik

mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk menangkap

adanya perbedaan intersep. Pengertian Fixed Effect ini didasarkan adanya

perbedaan intersep antara perusahaan namun intersepnya sama antar waktu (time

in variant). Disamping itu, model ini juga mengansumsikan bahwa koefisien

regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar waktu.Pendekatan dengan variabel

40
dummy ini dikenal dengan sebutan Fixed Effect Model atau Least Square Dummy

Variabel (LSDV).

2. Random Effect (Random Efek Model)

Random Effect Model adalah model estimasi regresi data panel dengan

asumsi koefisien slope kontan dan intersep berbeda antara individu dan antar

waktu (Random Effect). Model yang tepat untuk mengestimasi Random Effect

adalah Generalized Least Square (GLS) sebagai estimatornya, karena dapat

meningkatkan efesiensi dari least square.

3. Common Effect ( Pooled Least Square)

Pendekatan dengan Common Effect atau Pooled Least Square Model

adalah model estimasi yang menggabungkan data time series dan data cross

section dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) untuk

mengestimasi parameternya. Model Common Effect merupakan model sederhana

yang hanya menggabungkan seluruh data time series dan cross section sehingga

di dalam pendekatan ini, tidak memperhatikan dimensi individu dan waktu, yang

berarti perilaku data antar kabupaten/kota diasumsikan sama dalam berbagai

kurun waktu.

Dalam memilih model yang paling tepat untuk penelitian, dapat dilakukan

dengan teknik estimasi model regresi data panel, yaitu dengan melakukan Uji

Chow yang kemudian dilanjutkan dengan Uji Haustmant.

41
3.3.2 Uji Chow

Didalam teknik analisis data yang menggunakan data panel, diperlukan

adanya pengujian untuk memilih model terbaik. Uji Chow ialah pengujian untuk

menentukan model Fixed Effect atau Common Effect yang lebih tepat digunakan

dalam mengestimasi data panel. Hipotesis dari uji chow adalah:

Ho: digunakan common effect Model

H1: digunakan Fixed effect model dan dilanjutkan dengan uji haustman

Pedoman yang digunakan dalam pengambilan keputusan dari uji chow

adalah sebagai berikut :

1. Jika nilai probabilitis Chi square > 0.05 maka terima Ho, yang artinya model

common effect

2. Jika nilai probabilitas Chi Square < 0.05 maka tolak Ho, yang berarti model

fixed effect, dan dilanjutkan dengan uji Haustman untuk memilih model fixed

effect atau random effect yang lebih sesuai untuk model didalam penelitian.

3.3.3 Uji Hausmant

Hausman test adalah pengujian statistik untuk memilih apakah model

Fixed Effect atau Random Effect yang lebih tepat digunakan dalam regresi data

panel. Uji ini dikembangkan oleh Hausman yang didasarkan pada ide dimana

LSDV di dalam model Fixed Effect tidak efisien dan GLS adalah efiesien atau

kemungkinan alternatif lainnya, model OLS yang lebih efisien, sedangkan GLS

42
tidak efesien. Pengujian haustman test ini dilakukan dengan cara meregresikan

data model random effect, yang kemudian dibandingkan dengan fixed effect

dengan membuat hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis Uji Hausmant:

Ho: Random effect model

H1: Fixed effect model

Apabila nilai probabilitas chi square setelah data di regresikan > 0.05

maka terima Ho yang artinya lebih tepat menggunakan model random effect

didalam penelitian, namun apabila nilai probabilitas chi square < 0,05 maka tolak

Ho, yang berarti fixed effect model yang lebih sesuai.

3.3.4 Uji Asumsi Klasik

Suatu model dapat dikatakan baik untuk alat prediksi apabila mempunyai

sifat - sifat tidak bias linier terbaik untuk penaksir (BLUE) . Disamping itu, suatu

model terbilang cukup baik dan dapat dipakai untuk memprediksi apabila sudah

lulus dari serangkaian uji asumsi klasik yang melandasinya. Uji asumsi klasik

terdiri dari:

3.3.4.1 Uji Multikolineritas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan

adanya korelasi antar variabel independen. Jika terjadi korelasi, maka terdapat

multikolinieritas dimana model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi

43
diantara variabel independen. Keadaan adanya multikolineritas ini hanya terjadi

pada regresi linear berganda, hal ini dikarenakan jumlah variabel bebasnya lebih

dari satu, sedangkan pada regresi sederhana, tidak mungkin terjadi kasus ini

disebabkan variabel bebasnya hanya terdiri dari satu variabel. Ada beberapa cara

yang dapat digunakan untuk menguji ada atau tidaknya multikolonieritas dalam

model regresi. Dalam pengujian ini, menggunakan analisis matrik korelasi antar

variabel independen dengan melihat nilai collerations antar variabel bebas,

apabila koefisien korelasi cukup tinggi yaitu diatas 0.85, maka hal ini berarti

terdapat multikoliniearitas didalam model, namun apabila koefisien korelasi

cukup rendah, maka hal ini berarti di dalam model regresi tidak ada unsur

multikolineritas ( Winarjono, 2005:135)

3.3.4.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah

model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lainnya , yang dapat menyebabkan hasil estimasi menjadi tidak

bias serta perhitungan standart error tidak bisa dipercaya kebenarnya sehingga uji

t ataupun uji f tidak bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi ( Winarjono.

2005:147). Apabila varians dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,

maka disebut homokedastisitas dan jika varians tidak sama atau dalam hal ini

varian residual tidak konstan maka hal ini disebut heterokedastisitas. Model

regresi yang baik adalah model regresi yang bersifiat homokedastisitas atau tidak

terjadi heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas

adalah dengan cara uji glejser , Uji glejser dilakukan dengan cara meregresikan

44
variabel-variabel bebas terhadap residual absolut. Apabila probabilitas variabel-

variabel bebas > 0.05, maka di dalam model penelitian tidak adanya gangguan

heteroskedastitas, namun apabila probababilitas variabel bebas signifikan secara

statistik maka model mengandung masalah heteroskedastisitas. ( Winarjono,

2005:152)

3.3.3.3 Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi dilakukan untuk menguji apakah terdapat

hubungan antara residual antar waktu pada model penelitian yang digunakan,

sehingga estimasi menjadi bias. Autokorelasi berarti adanya korelasi antara

anggota observasi satu dengan observasi lain yang berlainan waktu ( Winarjono,

2005: 177) Dampak dari adanya gangguan autokorelasi didalam model adalah

estimasor OLS tidak menghasilkan estimator yang BLUE. Untuk memprediksi

gangguan autokorelasi didalam model, maka digunakan uji Durbin Watson.

Penentuan ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Autokorelasi
Autokorelasi
Ragu-Ragu Tidak Ada Ragu-Ragu
Negatif
Positif Autokorelasi

0 DL 1.760 2 Du 1.760 2
2 4- Du 4- DL 4
4- Du
Gambar: Statistik Durbin-Watson (d)
Sumber: Winarjono, 2005 : 183

Menurut Gujarati dan Porter (2009), persamaan yang memenuhi asumsi

klasik hanya persamaan data panel yang menggunakan teknik analisis Generalized

Least Square (GLS). Dalam eviews, hanya random effect model yang

45
menggunakan metode GLS, sedangkam fixed effect dan commond effect

menggunakan Ordinary Least square (OLS). Dengan demikian, Apabila

berdasarkan pemilihan metode estimasi yang sesuai untuk persamaan regresi

adalah random effect, maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik, namun

apabila persamaan regresi lebih cocok menggunakan commond effect atau fixed

effect, maka perlu dilakukan uji asumsi klasik.

3.3.5 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi R2 sebagai ukuran ketetapan penafsiran yang

menunjukan proporsi variasi yang diterangkan oleh regresi. Koefisien determinasi

R2 juga menjelaskan proporsi atau persentase sumbangan variavel independen

terhadap naik turunnya variabel dependen. Semakin mendekati 1, maka tingkat

kemampuan menerangkan hasil estimasi yang semakin tinggi. Selain Koefisien

determinasi R2 , terdapat nilai R, yang merupakan koefiesien korelasi. R adalah

suatu ukuran hubungan antar dua variabel, yang mempunyai nilai antara -1 dan 1.

Apabila variabel tersebut mempunyai hubungan linier yang sempurna

maka koefisien korelasi itu bernilai 1 atau -1. Tanda positif atau negatif hanya

menunjukan apakah variabel-variabel tersebut memiliki hubungan secara positif

atau negatif.

3.3.6 Uji F statistik ( Pengujian koefisien regresi secara serentak )

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebas secara

bersama-sama terhadap variabel terikat. Apabila nilai F hitung secara absolut

lebih besar dari nilai F tabel maka variabel-variabel bebas secara keseluruhan

46
berpengaruh terhadap variabel terikat (Gujarati, 2004: 45). Untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap variabel

terikat dapat menggunakan cara dengan melihat apakah hipotesis tersebut diterima

atau ditolak yang dilakukan dengan membandingkan F-hitung dengan F-tabel.

Adapun kriteria yang digunakan yaitu :

Ho diterima
Ho ditolak

Gambar 3.1 . Kurva Uji F statistik

 Ho akan ditolak jika F-hitung > dari F tabel, Hal ini

menunjukan bahwa seluruh variabel independen (bebas) secara

bersama-sama mempunyai pengaruh pada variabel dependen

(terikat) di tingkat signifikasi dan derajat kebebasan ( α)

tertentu, didalam penelitian ini digunakan taraf signifikasi

α=5%

 Ho akan diterima apabila F-hitung < F-tabel, artinya variabel-

variabel bebas tidak berpengaruh signifikan secara serentak

terhadap variabel dependen.

47
3.3.7 Uji T Statistik ( T- test)

Pengujian ini digunakan untuk untuk mengetahui apakah variabel –

variabel independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen. Pada

penelitian ini, t hitung akan dibandingkan dengan t tabel pada tingkat signifikasi

α= 5%.Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

1.) Ho: akan ditolak jika T-hitung > dari T tabel, hal ini menunjukan bahwa

seluruh variabel independen (bebas) secara parsial mempengaruhi variabel

dependen (terikat) pada tingkat signifikasi dan derajat kebebasan ( α)

tertentu, didalam penelitian ini digunakan taraf signifikasi α=5%

2.) Ho: akan diterima apabila T-hitung < T-tabel, artinya variabel-variabel

bebas secara parsial tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

3.4 Definisi Operasionalisasi Variabel

Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah Belanja

Daerah (BD) sedangkan variabel bebas (independent variable) adalah Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), keterkaitan antar

variabel ini juga menentukan apakah terjadi fenomena Flypaper Effect pada

wilayah penelitian. Adapun definisi operasional dan pengukuran variabel pada

penelitian ini sebagai berikut :

3.4.1 Belanja Daerah (BD)

Belanja Daerah dalam penelitian ini adalah semua kewajiban

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan sebagai pengurang nilai kekayaan

bersih daerah, dalam hal ini Belanja Daerah yang terdiri dari belanja langsung dan

48
belanja tidak langsung. Nilai variabel Belanja Daerah ini diambil dari angka pos

Belanja Daerah pada APBD kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-Selatan periode

tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun 2016 yang dihitung dengan satuan

rupiah.

3.4.2 Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

(Yani, 2002:110) . Variabel DAU yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Dana Alokasi Umum kabupaten/kota di Provinsi Sumatra-Selatan yang tidak

mengalami pemekaran wilayah dalam beberapa tahun terakhir. Nilai variabel

Dana Alokasi Umum ini diambil dari nilai Dana Alokasi Umum yang tertera pada

angka pos APBD kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-Selatan periode anggaran

tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 yang dihitung dengan satuan rupiah.

3.4.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari

sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipunggut berdasarkan Peraturan

daerah sesuai dengan Peraturan Perundangan-Undangan (Yani, 2002:39). Di

dalam penelitian ini nilai variabel Pendapatan Asli Daerah diambil dari pos

Penerimaan yang terdapat pada APBD kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-

Selatan pada periode tahun anggaran 2007 sampai dengan 2016 yang dihitung

dengan satuan rupiah.

49
3.4.5 Flypaper Effect

Flypaper effect adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pemerintah daerah

merespon belanja lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) yang

diproksikan dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan

menggunakan kemampuan keuangan daerah itu sendiri yaitu besarnya nilai

Pendapatan Asli Daerah (PAD), atau dapat dilihat dari perbandingan antara

koefisien DAU dengan koefisien PAD, sehingga dapat difungsikan jika b1 > b2

b1
atau > 1 maka hal ini menunjukan bahwa terjadinya Flypaper Effect pada
b2

suatu wilayah (Tresch, 2002 : 924)

50
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Variabel Penelitian

4.1.1 Keadaan Geografis Provinsi Sumatera- Selatan

Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Sumatera-Selatan


Sumber: Sumatera-Selatan dalam Angka 2016

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Sumatera yang

memiliki luas wilayah 87.421,17 Km2 dan terletak pada 1 0 - 4 0 Lintang Selatan

dan 1020 - 1060 Bujur Timur. Secara administrasi wilayah Provinsi Sumatera

selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di sebelah Utara, berbatasan dengan

provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebelah timur, berbatasan dengan provinsi

51
Lampung di Sebelah Selatan dan wilayah sebelah Barat berbatasan dengan

provinsi Bengkulu.

Menurut Badan Pusat Statistik (2016) Provinsi Sumatera Selatan memiliki

iklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan tidak kurang dari 180C, dan suhu rata-

rata tahunan 200C - 250C dengan curah hujan rata-rata 70cm/pertahun.

Kondisi topografi di Provinsi Sumatera-Selatan mempunyai ketinggian

daerah antara 400 meter sampai dengan 1700 meter diatas permukaan laut (dpl).

Provinsi Sumatera-Selatan juga mempunyai kondisi geografi yang bervariasi,

mulai dari dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan. Wilayah pantai timur

sebagian besar merupakan daerah rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang

surut air laut, dan di wilayah bagian barat merupakan dataran yang luas, namun

daerah wilayah barat pedalaman merupakan daerah pegunungan yang mempunyai

kontur wilayah yang berbukit-bukit. Daratan tinggi yang terkenal di Provinsi

Sumatera-selatan adalah Bukit Barisan yang membelah Sumatera-Selatan dalam

daerah perbukitan dan daerah lembah. Bagian barat dari bukit barisan merupakan

lereng, dengan sepanjang wilayah ini terdapat daerah daerah perkebunan karet,

perkebunan teh, perkebunan kelapa sawit, kopi, dan berbagai macam sayuran

yang menjadi salah satu hasil sumber daya alam Provinsi Sumatera-Selatan

(Sumsel dalam Angka, 2016)

52
4.1.2 Pemerintah Provinsi Sumatera-Selatan

Sama halnya dengan Provinsi lain yang terdapat di Indonesia, dengan adanya

pemberlakuaan otonomi daerah pada tahun 1999, Provinsi sumatera selatan terus

mengalami pemekaran wilayah dari kabupaten/kota induk menjadi kabupaten/kota

baru di wilayah Provinsi Sumatera-Selatan. Dalam perkembangan nya hingga

tahun 2017, terbentuk 10 kabupaten/kota baru yang mengalami pemekaran dari

kabupaten/kota induk, antara lain: Pada tahun 2001, Kota Pagaralam dimekarkan

dari Kabupaten Lahat, Kota Prabumulih dimekarkan dari Kabupaten Muara Enim,

dan Kota Lubuklinggau yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas,

pada tahun 2002 Kabupaten Banyuasin dimekarkan dari Kabupaten Musi

Banyuasin, pada 18 Desember 2003 Kabupaten Komering Ulu mengalami

pemekaran menjadi Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan dan di tanggal yang

sama Kabupaten Ogan Komering Ilir dimekarkan menjadi Kabupaten Ogan Ilir,

sedangkan pada tanggal 2 Januari tahun 2007 Kabupaten Empat Lawang di

mekarkan dari Kabupaten Lahat. Setelah 5 tahun tidak terjadi pemekaran wilayah

di Provinsi Sumatera-Selatan, pada tahun 2012 terjadi pemekaran kembali , yaitu

terbentuk Kabupaten Pali yang merupakan pemekaran wilayah dari kabupaten

induk Muara Enim, kemudian ditahun berikutnya, pada tahun 2013 Kabupaten

Musi Rawas Utara (Muratara) merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi

Rawas.

Secara administratif pada tahun 2017 provinsi Sumatera Selatan terdiri

dari 13 (tiga belas) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota.

53
Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan,Kelurahan,

dan Pemerintahan Desa. Adapun Pembagian wilayah administrasi 17

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1 Pembagian Daerah Administrasi Provinsi Sumatera Selatan


Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2016
No Kabupaten/Kota Ibukota Luas Wilayah (KM2) Kecamatan Kelurahan Desa
1 . Ogan Komering Ulu Baturaja 3.747,77 12 14 143
2 OKU Timur Martapura 3 397,10 19 7 252
3 OKU Selatan Muara Dua 4 544,18 20 7 305
4 Ogan Komering Ilir Kayu Agung 17 086,39 18 13 314
5 Muara Enim Muara Enim 6.901,36 20 10 245
6 . Lahat Lahat 4.297,12 22 18 360
7 Musi Rawas Muara Beliti 6.330,53 14 13 186
8 Musi Banyuasin Sekayu 14.530,36 14 13 227
9 . Banyuasin Pangkalan Balai 12.361,43 19 16 288
10 Ogan Ilir Indralaya 2.411,24 16 14 224
11 Empat Lawang Tebing Tinggi 2.312,12 10 3 153
12 Panukal Abab Lematang Ilir Talang Ubi 1.844,71 5 6 65
13 Musi Rawas Utara Muara Rupit 5.836,70 7 7 82
14 Palembang Palembang 363,68 16 107 _
15 Prabumulih Prabumulih 458,11 6 22 15
16 Pagaralam Pagaralam 632,80 5 35 _
17 Lubuklinggau Lubuklinggau 365,49 8 72 _
Jumlah 87 421, 17 231 2.859 377

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sumatera-Selatan dalam angka, 2016

Setelah adanya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi,

wilayah administrasi provinsi Sumatera-Selatan terbagi menjadi 13 (tiga belas)

Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota. Kabupaten yang memiliki

jumlah kecamatan dan desa terbanyak adalah Kabupaten Lahat dengan total

kecamatan berjumlah 22 kecamatan dan 360 desa. Kabupaten Ogan Komering ilir

adalah kabupaten yang mempunyai wilayah terluas di provinsi Sumatera selatan

dengan luas wilayah keseluruhan sebesar 17.086,39 Km 2 atau sebesar 19.54%

yang kemudian di ikuti oleh Kabupaten Musi Banyuasin dengan persentase

54
16.62%, sedangkan wilayah yang terkecil adalah Kota Lubuklinggau yang hanya

sebesar 365,49 Km2 yang senilai dengan 0.42% dari keseluruhan wilayah provinsi

Sumatera-Selatan.

4.1.3 Perkembangan Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Umum diukur dari jumlah

penerimaan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dana Alokasi Umum

yang diterima oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera-Selatan setiap tahunnya

mengalami fluktuasi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan keuangan

di masing-masing wilayah. Berikut ini adalah grafik yang menunjukan rata-rata

pertumbuhan Dana Alokasi Umum di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan

selama periode tahun 2007 hingga 2016:

55
Grafik 4.1.1 Rata-Rata Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Daerah
Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Rata-Rata Pertumbuhan (%)
16.47
9.81 9.05 8.76 9.23 9.13 8.82 10.1
6.63 5.5 7.21 8.55 7.87 6.96
4.57
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Musi Rawas

Empat lawang
Palembang
Musi Banyuasin

Lubuklinggau
Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Ogan Ilir

Oku Timur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Grafik 4.1.1 Rata-Rata Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota


Provinsi Sumatera-selatan 2007- 2016

Sumber: Sumsel Dalam Angka berbagai tahun , Diolah 2018

Rata-Rata pertumbuhan perkembangan Dana Alokasi Umum di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan terbesar adalah Kabupaten Empat

Lawang, yaitu senilai 16.47 %. Hal ini dikarenakan Empat Lawang merupakan

wilayah terakhir yang dimekarkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang

diikutsertakan di dalam penelitian ini, sehingga peningkatan penerimaan Dana

Alokasi Umum lebih besar apabila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya

di Provinsi Sumatera-Selatan, sedangkan daerah yang mempunyai pertumbuhan

Dana Alokasi Umum terendah adalah Kabupaten Musi Rawas yang hanya sebesar

4.57% yang kemudian diikuti oleh Kabupaten Musi Banyusasin dengan selisih

rata-rata pertumbuhan sebesar 0.93%. Pada hakikatnya, pertumbuhan

perkembangan Dana Alokasi Umum yang rendah menggambarkan hal yang

56
cukup baik bagi kemampuan keuangan daerah, hal ini menunjukan bahwa

persentase dana transfer yang diberikan untuk pembiayaan pembangunan tidak

begitu besar dalam komposisi pembangunan perekonomian daerah .

4.1.4 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah

Prinsip yang mendasari Pendapatan Asli Daerah adalah desentralisasi

fiskal yang didalamnya terdapat fungsi dan kewenangan daerah yang harus

dijalankan oleh Pemerintah daerah (Pemda). Pada prinsipnya harus memiliki

kewenangan dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritasnya, serta

didukung oleh penerimaan daerah yang memadai. Sesuai dengan asas

desentralisasi, pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri

dengan sebaik-baiknya, maka dari itu perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan

yang cukup dalam melaksanakan tugas nasional dan asas dekonsentrasi serta tugas

pembantuan. setiap daerah diwajibkan menggali segala kemungkinan sumber-

sumber keuangan sendiri dan dengan dalam batas-batas peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pendapatan Asli Daerah berbeda-beda disetiap wilayah karena sesuai

dengan kemajuan dibidang industri, pariwisata, dan kekayaan alam yang

melimpah di daerah tersebut. Untuk daerah yang memiliki Pendapatan Asli

Daerah rendah, disebabkan oleh karena daerah tersebut masih tertinggal dan

masih sedikitnya infrastruktur yang menunjang pendapatan atau penerimaan dana

dari wilayah yang bersangkutan. Berikut adalah data rata – rata persentase

Pendapatan Asli Daerah per Kabupaten/Kota di Sumatera-Selatan periode 2007 –

2016 :

57
Grafik. 4.1.2 Rata-Rata Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah per
Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Rata-Rata Pertumbuhan (%)
43.5

21.13 19.6 20.3 18.44 22.22 21.4425.3123.38


12.5111.6816.7413.55 16.27 13.5
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Musi Rawas

Palembang

Empat lawang
Musi Banyuasin

Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Lubuklinggau

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Oku Timur
Ogan Ilir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Sumber: Sumatera Selatan Dalam Angka Berbagai Tahun *Diolah 2018

Rata-Rata pertumbuhan persentase Pendapatan Asli Daerah terbesar

selama periode tahun 2007- 2016 adalah Kabupaten Empat Lawang dengan

persentase sebesar 43.50 %. Meskipun Kabupaten Empat Lawang mempunyai

Pendapatan Asli Daerah yang cukup minim bahkan terendah dalam beberapa

tahun periode, namun Kabupaten Empat Lawang merupakan kabupaten yang

mempunyai rata-rata pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah tertinggi di Provinsi

Sumatera-selatan. Hal ini menunjukan adanya peningkatan diberbagai sektor

sumber-sumber penghasil PAD di Kabupaten Empat lawang, seperti pajak dan

dana-dana retribusi yang terus digali, sedangkan rata-rata pertumbuhan 10 tahun

terakhir Pendapatan Asli Daerah terendah adalah Kabupaten Muara Enim dengan

persentase sebesar 11.68%.

58
4.1.5 Perkembangan Belanja Daerah

Belanja Daerah merupakan realisasi belanja yang tertuang dalam APBD pemerintah

daerah yang diarahkan untuk mendukung terciptanya penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Rata-rata pertumbuhan Belanja

Daerah kabupaten kota di Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut:

Grafik. 4.1.3 Rata-Rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Kabupaten/Kota


di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


25
20
15
10
5
0
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Empat lawang
Musi Rawas

Palembang
Musi Banyuasin

Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Lubuklinggau

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Ogan Ilir

Oku Timur

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Sumber
: Sumatera Selatan Dalam Angka Berbagai Tahun *Diolah 2018

Tingkat rata rata pertumbuhan Belanja Daerah tertinggi yaitu Kabupaten

Empat Lawang yang mencapai 20.99%, sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja

Daerah terendah adalah Kabupaten Musi Banyuasin yang hanya senilai 4.33%.

Hal ini menunjukan bahwa kabupaten Empat Lawang yang dalam hal ini

merupakan kabupaten pemekaran terakhir mempunyai tingkat Belanja Daerah

yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena Kabupaten Empat Lawang sedang

59
dalam proses pembangunan, sehingga rata-rata pertumbuhan Belanja Daerah

sangat tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sumatera-Selatan.

4.2. Hasil Estimasi

Hasil estimasi pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah

terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan secara

lengkap ditampilkan pada lampiran 4, sedangkan secara ringkas ditampilkan pada

tabel 4.2. berikut ini :

Tabel 4.2. Hasil Estimasi Generalized Least Square (GLS)

Dependent Variable: BD
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/27/18 Time: 18:54
Sample: 2007 2016
Periods included: 10
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 150
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD 1.679038 0.398060 4.218055 0.0000


DAU 1.712912 0.199072 8.604470 0.0000
C 144200.6 112617.3 1.280447 0.2024

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 318523.7 0.5662


Idiosyncratic random 278814.6 0.4338

Weighted Statistics

Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8

Berdasarkan hasil estimasi diatas, dapat dibentuk model persamaan untuk

melihat pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap

60
Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera-Selatan yang diperoleh

dari tabel 4.2. adalah sebagai berikut:

BD = 1.679038PAD + 1.712912DAU + 144200.6

(0.398060 ) (0.199072) (112617.3)


R2: 0.637084
F-statistik : 129.0261
DW : 2.006445

Sebelum hasil estimasi dianalisis lebih lanjut, maka akan dilakukan

pemilihan model terbaik terlebih dahulu, pemilihan model terbaik digunakan

untuk memilih model Commond effect, Fixed Effect, atau Random effect yang

paling sesuai dengan penelitian.

4.2.1 Pemilihan Model Terbaik

Didalam mengestimasi data panel, terdapat 3 pendekatan yang digunakan,

yaitu model commond effect, fixed effect dan random effect. Setelah dilakukan

pengujian terhadap 3 model yang telah di estimasi tersebut, maka akan dipilih

model mana yang paling tepat atau yang paling sesuai dengan penelitian.

Berdasarkan karakteristik data yang dimiliki, ada beberapa pengujian yang

digunakan untuk memilih model regresi data panel ( CE,FE,RE), yaitu: F test (

Chow test) dan Hausman Test.

61
4.2.1.1 Uji Chow (Chow Test)

Uji Chow ialah pengujian yang bertujuan untuk menentukan model Fixed

Effect atau Common Effect yang lebih tepat digunakan dalam mengestimasi data

panel. Hipotesis dari uji chow adalah:

Ho: Common Effect Model

H1: Fixed effect model

Jika probabilitas chi square > 0.05 maka terima Ho, namun apabila probabilitas

chi square < 0.05 maka tolak Ho.

Tabel 4.3 Hasil Pengujian dari uji chow menggunakan eviews 8 :


Uji Chow ( Chow Test ) :

Menentukan Model Terbaik antara Comman effect atau Fixed Effect

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 13.071880 (14,133) 0.0000


Cross-section Chi-square 129.811965 14 0.0000

*Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8

Berdasarkan hasil estimasi output uji chow diatas, dapat dinyatakan model

FE lebih tepat dari CE karena nilai Prob. cross section < 0.05 atau kurang dari

taraf signifikasi alpha 5%. Karena nilai probabilitas cross section F statistik

0,00000 < 0,05 maka menolak Ho yang berarti model Fixed Effect lebih tepat

dibandingkan dengan model Commond Effect.

62
4.2.1.2 Uji Haustman (Haustman Test)

Setelah dilakukan uji chow terhadap estimasi data panel, maka dilanjutkan

dengan uji haustman, uji hausmant adalah pengujian statistik untuk memilih

apakah model Fixed Effect atau Random Effect yang lebih tepat digunakan dalam

regresi data panel. Uji ini dikembangkan oleh Hausman dengan berdasarkan ide

bahwa LSDV di dalam model Fixed Effect tidak tepat dan dalam hal ini GLS

adalah efesien sedangkan model OLS adalah tidak efesien, sedangkan di lain

pihak, kemungkinan alternatifnya adalah metode OLS efesien dan GLS tidak

efisien.

4.4 Tabel Hasil Estimasi Uji Haustman

Correlated Random Effects - Hausman Test


Equation: Untitled
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 2.173667 2 0.3373

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

PAD 1.672003 1.679038 0.016274 0.9560


DAU 1.782821 1.712912 0.003136 0.2119

Sumber: Output Eviews 8, Diolah 2018

Dari tampilan diatas, nilai probabilitas Cross section random sebesar

0.3373 , yang nilainya > dari 0,05 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa model

terbaik untuk mengestimasi penelitian ini adalah menggunakan estimasi Random

Effect ( RE). Hal ini sejalan dengan pendapat Nachrowi (2006: 318) yang

63
menyatakan bahwa jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (T)

lebih kecil dibandingkan jumlah individu (N) maka akan digunakan metode

Random effect dalam pengolahannya.

Setelah dilakukan pemilihan model terbaik, maka sebelum hasil estimasi

di analisis lebih lanjut, maka perlu dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji

multikolineritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi, serta dilanjutkan dengan

pengujian secara statistik.

4.2.2. Uji Asumsi Klasik

4.2.2.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang

baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel (Priyastama, 2017: 122).

Untuk dapat menentukan apakah terdapat multikolinearitas dalam model

regresi pada penelitian ini maka dapat dilihat dari nilai koefisien matriks korelasi

variabel-variabel bebas. Apabila koefisien > 0.85, maka di dalam model regresi

terjadi multikolinearitas.

Adapun nilai korelasi variabel dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Corellations Matriks Independent Variabel.

PAD DAU
 1.000000  0.723451
 0.723451  1.000000
Sumber: Output Eviews 8, Diolah 2018.

64
Pada tabel 4.5 terlihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki nilai lebih

besar dari 0.85 yang berarti bahwa tidak terjadi masalah multikolinearitas antar

variabel bebas

4.2.2.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan varian dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain

(Priyastama, 2017: 125). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi

adanya heteroskedastisitas pada model adalah dengan melakukan uji glejser. Uji

glejser dilakukan dengan cara meregresikan variabel-variabel bebas terhadap

residual absolut. Berikut ini adalah hasil uji glejser pada penelitian:

Tabel 4.6 Hasil Estimasi Uji Glejser

Dependent Variable: RESABS


Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 03/21/18 Time: 23:43
Sample: 2007 2016
Periods included: 10
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 150
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD -0.058861 0.132375 -0.444654 0.6572


DAU 0.028259 0.066861 0.422649 0.6732
C 131938.7 31947.07 4.129915 0.0001

Sumber: Output Eviews 8, Diolah 2018

Karena nilai probabilitas variabel-variabel bebas pada uji glejser > 0.05, yaitu
PAD sebesar 0.657 dan Variabel DAU 0.6732 maka, dapat disimpulkan bahwa
pada model penelitian tidak terdapat gangguan heteroskedastisitas.

4.2.2.3 Uji Autokorelasi

65
Autokorelasi terjadi apabila terdapat korelasi antara observasi satu dengan

observasi yang berlainan waktu (untuk data time series) dan runtut ruang( untuk

data cross section) . Untuk mengetahui adanya autokorelasi dalam model regresi

dapat dilakukan melalui pengujian terhadap nila Durbin Watson (DW) dengan

ketentuan sebagai berikut ( Winarjono, 2005:141) :

a. Tidak terjadi autokorelasi apabila D-W test berkisar 2, yaitu terletak antara

du dan 4-du, pada umumnya nilai D-w yang berkisar antara 1,5 – 2.5

adalah bebas autokorelasi.

b. Terjadi masalah autokorelasi apabila D-W < DL, atau D-W mendekati 0

berarti pada model mengalami autokorelasi positif, dan apabila D-W >

DL, maka model mengalami autokorelasi negatif.

c. Ragu –ragu / tanpa keputusan, yaitu jika DL < D-Wtest < Du atau 4-du <

d-w test < 4-dl. Oleh karena itu kita harus membandingkan nilai Durbin

watson test dengan nilai tabelnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.2 , nilai Durbin Watson Statistik

adalah senilai 2.006445 dengan n sebesar 150 sampel, dan nilai k = 2. Nilai D L

pada tabel Durbin Watson untuk n=150 sampel dan k=2 adalah 17062,

sedangkan nilai Du adalah 17602, setelah dihitung nilai 4-Du adalah 2.2398 dan

4-DL adalah 2.2938. Maka pengujian autokorelasi dapat diliat pada gambar

dibawah ini:

66
Autokorelasi Autokorelasi
Ragu -ragu Tidak Ada Ragu -ragu
Postif Negatif
Autokorelasi
DL 1.760 2
Du 1 .7 602

4- Du 1.760 2
4- DL 1 .7 602

2.0064
0 1 .7 602 1.7062 1.7602 2.2398 2.2938 4

Gambar.4.2 Pengujian Daerah Autokorelasi

Karena nilai Durbin–watson statistik senilai 2.0064 dan terletak diantara

Du dan 4-Du, maka pada model penelitian dinyatakan bebas dari gangguan

autokorelasi.

Dengan demikian, asumsi-asumsi klasik seperti multikolinearitas,

heteroskedastisitas, dan autokorelasi di dalam model regresi dapat dipenuhi dari

model ini.

4.2.3 Pengujian Statistik

Pengujian ini bertujuan untuk menguji signifikasi peranan setiap variabel

secara individual (parsial) maupun secara serentak antara variabel independen

terhadap variabel dependen dengan cara mencari nilai T-tabel dan F-tabel dengan

interval α = 5 persen. Pengujian Statistik, terdiri dari Uji F dan Uji T.

4.2.3.1 Uji F statistik ( Uji Simultan)

Uji F adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel

independen (DAU dan PAD) secara bersama-sama mempengaruhi variabel

dependen yang dalam hal ini adalah variabel Belanja Daerah (BD). Pengujian ini

67
dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan nilai F-tabel. Berikut ini

adalah hasil pengujian F hitung statistik:

Tabel 4.7 Hasil Pengujian F hitung statistik


R-squared 0.637084    Mean dependent var 281963.4
Adjusted R-squared 0.632146    S.D. dependent var 459975.1
S.E. of regression 278979.3    Sum squared resid 1.14E+13
F-statistic 129.0261    Durbin-Watson stat 2.006445
Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Output Eviews 8, Diolah 2018

Adapun hipotesis dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:

Ho : Tidak ada pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah

terhadap Belanja Daerah

Ha : Ada pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap

Belanja Daerah

Kriteria pengujian :

Ho diterima jika Fhitung < Ftabel

Ha diterima jika Fhitung > Ftabel α = 5%

Dari hasil regresi diatas diperoleh F-hitung sebesar 129.1. Apabila

digunakan asumsi dengan tingkat kepercayaan α = 5% , untuk n=150 sampel , k=2

dan df= n-k-1 = 147 maka diperoleh F-tabel sebesar 3.06, maka dapat disimpulkan

bahwa terima Ha dan menolak Ho yang berarti secara bersama-sama variabel PAD

dan DAU memiliki pengaruh yang nyata terhadap besar kecilnya Belanja Daerah

di kabupaten/kota Provinsi Sumatra-Selatan (F-hitung > F-tabel).

68
4.2.3.2 Uji T statistik ( Uji parsial )

Uji T statistik yaitu pengujian yang digunakan untuk mengetahui apakah

variabel independen DAU dan PAD secara parsial berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen. Berikut adalah hasil uji T yang dianalisis

menggunakan software eviews 8:

Tabel 4.8 Hasil Pengujian T statistik

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD 1.679038 0.398060 4.218055 0.0000


DAU 1.712912 0.199072 8.604470 0.0000
C 144200.6 112617.3 1.280447 0.2024

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 318523.7 0.5662


Idiosyncratic random 278814.6 0.4338

Sumber: Output Eviews 8, Diolah 2018

Adapun hipotesis yang digunakan untuk melakukan uji ini adalah sebagai

berikut:

Ho : Variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah tidak memiliki

pengaruh yang nyata (tidak signifikan) terhadap variabel Belanja Daerah

(BD)

Ha : Variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah memiliki

pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap variabel Belanja Daerah (BD)

69
Dengan kriteria pengujian , Ho akan diterima jika Fhitung < Ftabel dan Ha diterima

jika Fhitung > Ftabel (α = 5%). Berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.8, dapat

diketahui bahwa:

Pengaruh variabel Dana Alokasi Umum dilhat dari nilai t-statistik sebesar

8.604 dan nilai t-tabel untuk n= 150 sampel k=2, df= n-k-1=147 adalah 1.655, hal

ini menunjukan nilai t-statistik > dari t-tabel (8.604 > 1.655) yang berarti menolak

Ho dan menerima Ha, artinya variabel Dana Alokasi Umum secara parsial

mempunyai pengaruh yang nyata terhadap Belanja Daerah diterima pada taraf

signifikasi 5%.

Pengaruh variabel Pendapatan Asli Daerah dilihat dari nilai t-statistik

sebesar 4.218 dan nilai t-tabel adalah 1.655, hal ini menunjukan nilai t-statistik >

dari t-tabel (4.218 > 1.655) yang berarti menolak H o dan menerima H1, artinya

variabel Pendapatan Asli Daerah secara parsial signifikan mempengaruhi Belanja

Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Sumatra-Selatan diterima pada taraf

signifikasi alpha 5%.

70
Gambar 4.3 Diagram Hasil Uji T

4.2.3.3 Analisis Flypaper Effect

Untuk melihat apakah terjadi flypaper effect atau tidak dapat dilihat dari

perbandingan antara koefisien DAU dan koefisien PAD, atau dapat difungsikan

b1
jika b1 > b2 atau > 1 maka terjadi flypaper effect (Tresch, 2002:924).
b2

Menurut Pentury (2011:293) untuk mengatahui apakah terjadi flypaper

effect atau tidak di suatu daerah, maka dapat dilakukan dengan dua (2) cara yaitu:

dengan melihat pengaruh dari besarnya variabel PAD, apabila PAD tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah maka dapat

dikatakan bahwa telah terjadi flypaper effect, cara yang kedua adalah dengan

melihat nilai koefisien dari variabel independent, yaitu DAU dan PAD. Jika nilai

koefisien yang dimiliki oleh PAD lebih besar dari nilai koefisien yang dimiliki

oleh DAU maka dapat dikatakan tidak terjadi flypaper effect. Sedangkan

sebaliknya jika nilai koefisien yang dimiliki oleh salah satu yang berasal dari

71
transfer daerah yaitu DAU lebih besar daripada nilai koefisien dari PAD maka

dapat dikatakan telah terjadi flypaper effect.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel diatas, maka dapat

disimpulkan terjadi flypaper effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-selatan

selama periode 2007-2016. Hal ini dikarenakan koefiesien Dana Alokasi Umum

lebih besar daripada koefisien Pendapatan Asli Daerah , dengan nilai koefisien

Pendapatan Asli Daerah yang hanya sebesar 1,679038 atau lebih kecil 0.33874

apabila dibandingkan dengan nilai koefisien Dana Alokasi Umum.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Flypaper Effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan

Pengujian Flypaper effect dapat dilihat dari besarnya nilai Dana Alokasi Umum

yang diterima oleh daerah kabupaten/kota dibandingkan dengan nilai Pendapatan

Asli Daerah yang dihasilkan oleh kabupaten/kota itu sendiri. Berdasarkan hasil

estimasi regresi data panel diatas, meskipun variabel Dana Alokasi Umum dan

Pendapatan Asli Daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja

Daerah, namun besarnya nilai koefisien dana transfer yang diberikan oleh

pemerintah pusat lebih mendominasi dalam mempengaruhi besarnya Belanja

Daerah daripada dana yang berasal dari PAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa

terjadi flypaper effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-selatan selama

periode tahun 2007 hingga 2016. Hal ini dikarenakan koefisien Dana Alokasi

Umum lebih besar daripada koefisien Pendapatan Asli Daerah, dengan nilai

koefisien Pendapatan Asli Daerah yang hanya sebesar 1,679038 atau lebih kecil

72
0.33874 apabila dibandingkan dengan nilai koefisien Dana Alokasi Umum.

Indikasi Flypaper Effect juga dapat dilihat dengan membandingkan nilai DAU

terhadap koefisien PAD yang dihitung dengan pendekatan Flypaper Effect yaitu

1.712912
senilai =1 .02. Angka tersebut menunjukan besarnya perbandingan
1679038

variabel DAU dan PAD yang lebih besar dari 1 yang berarti tingkat

ketergantungan tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan masih

cukup tinggi terhadap dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam

melakukan kegiatan Belanja Daerah yang digunakan untuk pengembangan

fasilitas publik dan pembangunan infrastuktur di tiap-tiap kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan. Tingkat ketergantungan ini seharusnya diminimalisir,

karena suatu daerah harus mampu menciptakan kondisi daerah yang mandiri

dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, sehingga pembangunan

ekonomi diperoleh dari efisiensi penggalian sektor-sektor penerimaan lokal.

Terjadinya fenomena Flypaper Effect di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan ini juga memperkuat teori ‘’money sticks where it hits’’ yang dapat

diartikan bahwa dana transfer hanya berpindah tangan dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah tanpa memberikan efek yang berarti, karena tujuan awal dari

adanya dana transfer adalah sebagai stimulus perekonomian daerah agar

tercapainya hakikat dari pelaksanaan sistem otonomi daerah. Namun, kondisi

yang terjadi saat ini, Provinsi Sumatera-Selatan sedang giat dalam melakukan

pembangunan, akan tetapi pada kenyataanya, Pendapatan Asli Daerah yang

diterima belum mampu membiayai secara dominan program/kegiatan Belanja

Daerah yang telah direncanakan. Adanya fenomena flypaper effect yang terjadi di

73
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan ini mengisyaratkan bahwa didalam

pembiayaan urusan pemerintahan menunjukan adanya tingkat ketergantungan

pembiayaan pembangunan dari dana transfer yang diterima, sehingga di dalam

sistem penganggaran Belanja Daerah perlu memperhatikan kegiatan yang

memang menjadi prioritas dan tidak memperbesar anggaran biaya untuk suatu

kegiatan yang sulit diukur hasil/manfaat yang diterima.

Adanya Flypaper effect yang terjadi di Provinsi Sumatra-Selatan ini harus

mengarah pada perbaikan dalam sistem mekanisme pengelolaan penerimaan dan

pengeluaran keuangan daerah, hal ini juga merujuk pada model wewenang

birokratik atau yang dikenal dengan The bureaucratic model. dimana model

birokratik menegaskan bahwa flypaper effect sebagai akibat dari perilaku

birokratik yang leluasa untuk membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak

yang dalam hal ini merupakan salah satu komponen terbesar dari PAD. Adapun

menurut hukum Wagner, pengeluaran sektor publik akan tumbuh sejalan dengan

perubahan struktur perekonomian dan kenaikan pendapatan. Terutama disebabkan

karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat,

seperti halnya hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Wagner

mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state

sehingga didalam teori ini menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas

bertindak, terlepas dengan masyarakat lain, termasuk didalamnya kewenangan

dalam membelanjakan anggaran biaya. Fenomena flypaper effect yang terjadi di

Provinsi Sumatra-Selatan yang terdapat pada penelitian ini juga terjadi dibeberapa

daerah, sehingga penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

74
Salawi dan Lapian (2015) dan Oktavia (2014) yang menyimpulkan bahwa

flypaper effect terjadi pada daerah-daerah yang belum mandiri dalam kemampuan

keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan yang masih mengandalkan dari

alokasi dana transfer.

4.3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Daerah


Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, koefisien variabel Dana Alokasi

Umum sebesar 1.72919 dengan t sebesar 8.60447 dan probabilitas 0,000. Hal ini

menunjukkan pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah positif dan signifikan

karena diterima pada alpha atau taraf signifikasi < 5%. Nilai Koefisien Dana

Alokasi Umum adalah sebesar 1,712912, artinya apabila variabel lain tidak

berubah atau dianggap konstan, maka jika Dana Alokasi Umum meningkat

sebesar 1 %, hal ini akan mempengaruhi peningkatan Belanja Daerah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 1,71 %. Pengaruh Dana

Alokasi Umum yang signifikan terhadap Belanja Daerah juga dapat dilihat dari

besarnya Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera-Selatan merupakan alokasi dana terbesar yang diterima oleh daerah,

bahkan apabila dibandingkan dengan dana yang berasal dari penerimaan lokal

daerah. Hal ini sejalan dengan hasil uji parsial/uji statistik dimana Dana Alokasi

Umum berpengaruh positif signifikan sebesar 8,604 terhadap Belanja Daerah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Keadaan ini menunjukan bahwa

semakin tinggi Dana Alokasi Umum yang diterima oleh pemerintah daerah maka

akan semakin meningkatkan besarnya Belanja Daerah pemerintah kabupaten/kota

75
di tahun berjalan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Afriza (2012) bahwa Dana Alokasi Umum sangat mempengaruhi besarnya

Belanja Daerah, akan tetapi hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan

penelitian yang dilakukan oleh Widodo ( 2007) yang menyatakan bahwa besarnya

pengaruh DAU tidak signifikan terhadap perkembangan Belanja Daerah. Hal ini

dikarenakan wilayah yang menjadi penelitian Widodo merupakan wilayah yang

tergolong mandiri dalam hal kemampuan keuangan. Adanya perbedaan hasil

penelitian ini dikarenakan masing-masing wilayah mempunyai karakteristik yang

berbeda dalam hal potensi sumber-sumber kekayaan daerah dan perbedaan dalam

kemampuan pengelolaan keuangan daerah.

4.3.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Hasil estimasi regresi data panel menunjukan variabel Pendapatan Asli

Daerah secara statistik mempengaruhi variabel Belanja Daerah secara positif

signifikan karena nilai probabilitas variabel PAD 0.0000 atau < 0.05 (alpha 5%).

Nilai koefisien Pendapatan Asli Daerah sebesar 1,679038, artinya apabila variabel

lain tidak berubah atau dianggap konstan (cateris paribus) , maka jika Pendapatan

Asli Daerah meningkat sebesar 1 % maka hal ini akan mempengaruhi peningkatan

Belanja Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-Selatan sebesar 1,67%.

Kesimpulan ini sejalan dengan hasil uji parsial/uji statistik dimana Pendapatan

Asli Daerah berpengaruh positif signifikan sebesar 4,2180 terhadap Belanja

Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, hal ini disebabkan karena

PAD di kabupaten/kota di Provinsi Sumatra-selatan adalah faktor yang cukup

76
dominan dalam menentukan penyusunan, perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan daerah, yang terwujud pada perkembangan anggaran daerah

(APBD). Meskipun Pendapatan Asli Daerah mempunyai pengaruh yang positif

signifikan dan didalam pertumbuhannya juga menunjukan perkembangan yang

cukup baik, akan tetapi besarnya komponen Pendapatan Asli Daerah yang

diterima oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra-Selatan belum mampu

membiayai besarnya pengeluaran Belanja Daerah secara keseluruhan. Penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekawarna (2017) dan

Purnamasari (2016) yang menyatakan bahwa pengaruh Pendapatan Asli Daerah

terhadap Belanja Daerah positif signifikan, Hal ini menunjukan bahwa

Pendapatan Asli Daerah merupakan faktor penting dalam komponen penyusunan

anggaran Belanja Daerah, karena pada hakikatnya, suatu daerah seharusnya

mampu mengoptimalkan potensi penerimaan Pendapatan Asli Daerah dan

membangun perekonomian dengan memanfaatkan optimalisasi sumber-sumber

potensi lokal sehingga terciptanya tujuan dari asas desentralisasi dan otonomi

daerah.

77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah secara bersama-sama

berpengaruh signifikan terhadap besarnya Belanja Daerah, Dana Alokasi Umum

dan Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh positif signifikan secara parsial,

namun meskipun variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah, Flypaper Effect

tetap terjadi pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera selatan periode 2007 hingga tahun 2016 .

5.2 Saran

Adapun saran dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karena terdapat indikasi fenomena flypaper effect di Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatra-Selatan, maka pemerintah sebaiknya mengusulkan

kegiatan yang memang menjadi prioritas, dan mengusulkan nilai jumlah

Belanja yang sesuai (rasional) dalam hal ini tidak terlalu besar untuk setiap

komponen belanja dan anggaran dari setiap kegiatan.

2. Karena PAD berpengaruh signifikan terhadap perkembangan Belanja

Daerah di Provinsi Sumatera Selatan, maka peningkatan efektivitas dan

efisiensi dalam menganalisis perolehan sumber-sumber PAD harus lebih

diintensifkan.

3. Tiap-tiap Pemerintah daerah kabupaten/kota Provinsi Sumatra-selatan

diharapkan dapat terus menggali potensi penerimaan daerah agar tidak

78
bergantung dari dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk

pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur dalam mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat.

4. Memahami dan menyadari bahwa DAU tersebut hanyalah sebagai pemicu

untuk kemandirian suatu daerah dan sebagai langkah awal keberhasilan

otonomi. Sehingga dari alokasi dana tersebut, Pemerintah dapat bergerak

aktif dalam menggali sumber-sumber PAD yang berpotensi dapat

menaikkan persentase penerimaan PAD dan menurunkan dana alokasi

yang diterima.

5. Penerimaan dan Pengeluaran Daerah merupakan dasar dalam pengelolaan

keuangan daerah, oleh sebab itu didalam penganggaran harus diperhatikan

kegiatan yang memang mempunyai peluang besar dalam menimbulkan

efek baik bagi perekonomian.

79
Daftar Pustaka

Adiputra, I Made Pradana. 2014. “Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah di
Kabupaten Karangasem”. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Humanika
JINAH, Vol. 3 No. 2 Singaraja, Bali.

Afrina dan Shidieqy Hasnan. 2013. “ Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah
Pada Kota dan Kabupaten di Pulau Kalimantan’’. Stie Nasional
Banjarmasin,Dinamika Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.6.No.2
September 2013

Afrizawati. 2012.‘’Analisis Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota


Di Sumatera Selatan’’. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi Vol 2
No.1.2012

Amalia, Fitri. 2015. “Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten
dan Kota di Provinsi Banten’’. Jurnal Organisasi dan Manajemen,
Volume 11, Nomor 1, Maret 2015.

Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan. 2016. ‘’Sumatera-Selatan Dalam


Angka’’. BPS: Sumatera Selatan

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Publikasi Pendapatan Asli Daerah Dana
Alokasi Umum dan Belanja Daerah . https://www.bps.go.id/ (diunduh
14 Agustus , 2017)

Boediono. 1999.’’Teori Ekonomi Pembangunan’’. Fakultas Ekonomika & Bisnis.


Universitas Gaja Mada. Yogyakarta:LPFE

Bratahkusuma, Deddy Supriady dan Dadang Solihin. 2003. ‘’Otonomi


Penyelenggaraan Pemerintah Daerah’’.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. Kementrian Keuangan Republik


Indonesia. http://www.djpk.depkeu.go.id/ (diunduh pada tanggal 13
Agustus 2017).

Dumairy.1999.’’Perekonomian Indonesia’’. Jakarta: Erlangga Indonesia

Ekawarna, Unjaswati S. 2017. ‘’Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah


(Studi Komparasi Daerah Induk dan Pemekaran Kabupaten/Kota di

80
Provinsi Jambi) . Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan
Daerah Vol. 4 No. 3. ISSN: 2338-4603 . Maret 2017

Gujarati,Damodar.2009. ‘’Ekonometrika Dasar’’. Terjemahan Sumarno Zain,


Jakarta: Erlangga.

Hastuti, Indhi. 2011. ‘’Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum


(DAU),Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Kinerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)(Studi Pada Kota Dan Kabupaten Semarang’’
Semarang :Magister Akuntansi Undip.

Listiorini. 2012. ‘’Flypaper Effect Pada Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli
Daerah Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Sumatera-
Utara’’. Jurnal Keuangan dan Bisnis. Vol 4. No.2 Juli 2012.

Maddah, Majid dan Tabbar Fozieh. 2016. ’’Studying the Flypaper Effect in the
Provinces of Iran (2000-2013)’’. Jurnal Iran. Econ. Rev. Vol. 20, No. 3,
2016. pp. 339-354

Mardiasmo. 2004. ‘’Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah Dalam


Mewujudkan Good Governance’’. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Marwa,Taufik, Susetyo dan Azwardi. 2016 . ‘’Government expenditure, economic


growth and manpower Absorption analysis of regencies and cities in
south sumatera, indonesia’’. Faculty of economic sriwijaya university.
RJOAS. 12(60) dec.2016

Mulya, Rahmatul. Dan Brastaman. 2016. ‘’Pengaruh Flypaper Effect pada dana
alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Kota Banda Aceh (Studi Empiris pada
Pemeritah Kota Banda Aceh Tahun 2008-2014)’’. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Ekonomi Akuntansi (JIMEKA) Vol. 1, No. 2, (2016)

Musgrave, Richard.A. dan Peggy.B.Musgrave. 1991. ‘’Keuangan Negara Dalam


Teori dan Praktek ‘’( Edisi Kelima Terjemahan Dalam Bahasa
Indonesia). Penerbit Erlangga: Jakarta

Nabilah,NA, Sulistyo, dan Kusuma. 2014. ‘’ Analisis Flypaper Effect PAD dan
DAU Terhadap Belanja Daerah di Provinsi Kalimantan Timur Tahun
2010-2014’’. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi pembangunan UMM.

Oates, Wallace E. 1999. ‘’An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic


Literature’’ Vol. XXXVII (September 1999) pp. 1120–1149

81
Oktavia, Deni. 2014. ‘’Flypaper Effect: Fenomena serial waktu dan lintas
Kabupaten/Kota Di jawa Timur 2003 – 2013’’. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, Volume 11, Universitas Jember.

Pevcin, Primoz. 2011. ‘’ Fly- paper Effect in Slovenian Municipal Finances’’.


HKJU – CCPA, god. 11. (2011.), br. 3., str. 707–728 Faculty of
Administration, University of Ljubljana, Slovenia

Penthury, M.A. 2011. “ Flypaper Effects Anomaly Of West Papua Capital Public
Expenditure “. Economic Journal Of Emerging Markets, 3(3), pp: 289-
297.
Pramuka, A. Bambang, 2010. ‘’Flypaper effect pada pengeluaran pemerintah
daerah di Jawa’’.Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 11, Nomor 1,
Juni 2010.

Priyastama, Romie. 2017. Buku Sakti Kuasai SPSS. STRAT UP. PT. Anak hebat
Indonesia. Bantul

Purbarini,Endah.2015. ‘’Flypaper Effect on Operating Expenditure and Capital


Expenditure of the City Goverment in Indonesia’’. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 16 (1) Juni 2015, 75-84.

Salawali, dan Lapian . 2015. ‘’Flypaper effect Dana Alokasi Umum, Pendapatan
Asli Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota Di Sulawesi Tengah’’. Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Sam Ratulangi, Manado

Saragih, Juli Panglima. 2003. ‘’Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah


Dalam Otonomi’’. Ghalia Indonesia Jakarta.

Subandi. 2014. ‘’Ekonomi Pembangunan cetakan ketiga’’. Bandung. Penerbit:


Alfabeta

Suparmoko. 2012. ‘’Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik’’.


Yogjakarta;BPFE

Susetyo, Bashir, dkk. 2018. “Impact of Capital Expenditure and Public Utility
Custumers to Economic Development of District-City in Sumatera-
Indonesia’’. International Journal of Economics and Financial Issue .
ISSN: 2146-4138

82
Tresch, R. 2002. ‘’Finance public Anormative theory’’. Department of economic,
Boston College Chestnut Hill, Massachusetts.

Walidi. 2009. ‘’Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pendapatan Perkapita,


Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening, Tesis’’. Medan.
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2009.

Widodo, Pambudi Tri. 2007. ‘’Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada
Kabupaten / Kota di Bali’’. UII, Yogyakarta.

Winarjono,Agus.2005.’’Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk ekonomi dan


bisnis’’Ekonisia. Kampus Fakultas Ekonomi UII, Sleman Yogyakarta.

Yani, Achmad.2002.’’Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan


Daerah Indonesia’’. PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta

________,Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang


Pemerintah Daerah.

________,Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang


Pemerintah Daerah.

_______, Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang


Pemerintahan Daerah.

_______, Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang


Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

_______, Republik Indonesia , Peraturan Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006


tentang pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

_______, Republik Indonesia , Peraturan Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007


tentang pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

83
Daerah Penerimaan
Ho

Ha Ha

-1.655 0 1.655

-1.655 0 1.655 41280 PAD

-1.655 0 1.655 810644 DAU

84
Gambar: Kurva uji T statistik, diolah 2018

85

Anda mungkin juga menyukai