Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan Otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia dan ditetapkan

melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

merupakan salah satu langkah Pemerintah dalam rangka memperbaiki

kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia yang

dicantumkan pada alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945.

Salah satu kebijakan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya dana

transfer yang diberikan oleh Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui

alokasi Dana Alokasi Umum yang bersumber dari dana APBN. Dana transfer dari

Pemerintah pusat merupakan salah satu sumber penerimaan yang digunakan untuk

pembiayaan pembangunan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah, membawa perubahan yang mendasar pada sistem

dan mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan

otonomi daerah yang bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan

kemampuan daerah dalam menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi

dan kabupaten/kota (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 169).

1
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan PAD

selalu diupayakan karena merupakan penerimaan dari usaha untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintah daerah. Peningkatan PAD harus berdampak pada

perekonomian daerah (Maryati dan Endrawati, 2010: 69).

Dalam melakukan kegiatan Belanja Daerah yang berguna untuk memenuhi

kebutuhan publik dan mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat

kesejahteran masyarakat, di dalam pembangunannya pemerintah menggunakan

anggaran yang salah satunya berasal dari dana transfer yang diberikan oleh

pemerintah pusat dalam hal ini Dana Alokasi Umum dan dana Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang berasal dari pendapatan lokal kabupaten/kota itu sendiri.

Namun, permasalahan yang sering terjadi saat ini adalah perkembangan

keuangan daerah menunjukan hubungan yang tidak simetris, dimana perubahan

perkembangan antara Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Daerah jauh lebih

rendah, apabila dibandingkan dengan perubahan pertumbuhan Dana Alokasi

Umum dengan Belanja Daerah, Hal ini tentunya dapat memberikan implikasi

bahwa tingkat ketergantungan kabupaten/kota dengan dana transfer yang

diberikan oleh pemerintah pusat cukup tinggi.

Karena data menunjukan proporsi PAD hanya mampu membiayai belanja

pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20 persen (Purbarini, 2015:10).

Sehingga, pemerintah daerah terlalu mengandalkan Dana Alokasi Umum untuk

membiayai Belanja Daerah dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi

yang dimiliki daerah. Belanja Daerah dipergunakan untuk pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi wewenang provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri

2
dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-

undangan.

Tujuan utama dari adanya dana transfer yang diberikan oleh Pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal

antar daerah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum.

Meskipun demikian, pemberian transfer juga mengakibatkan ketidakefektifan

pembiayaan pada pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper

effect atau kondisi ketika pemerintah daerah kabupaten/kota disuatu wilayah

cenderung merespon Belanja Daerah lebih besar dengan menggunakan Dana

Alokasi Umum yang didapat dari Pemerintah Pusat dibandingkan dengan

menggunakan anggaran Pendapatan Asli Daerah yang diterima oleh wilayah

kabupaten/Kota itu sendiri.

Menurut Oktavia (2013:5) Flypaper effect merupakan suatu fenomena

penyimpangan dalam hubungan transfer keuangan pemerintah pusat dengan

penerimaan, hal ini terjadi ketika pemerintah menerima grant, maka akan

dipergunakan untuk meningkatkan pengeluarannya dalam hal ini Belanja Daerah

tanpa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Kondisi ini menunjukan rendahnya

kontribusi PAD dalam komponen pembiayaan Belanja Daerah.

Fenomena flypaper effect terjadi dalam dua versi. Pertama, merujuk pada

peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan.

Kedua mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap dana transfer yang lebih

3
tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah

(Listiorini, 2012:112)

Dengan demikian, apabila flypaper effect terus berlanjut di tahun-tahun

berikutnya, maka hal ini akan berdampak pada celah kepincangan fiskal, dan

kurang efektifnya penggalian-penggalian potensi daerah yang dapat menjadi

sumber pendapatan daerah yang seharusnya dapat memberikan kontribusi dalam

perkembangan perekonomian daerah melalui penerimaan PAD.

Selain itu, implikasi dari terjadinya flypaper effect pada Belanja Daerah di

kabupaten/kota adalah dapat menyebabkan berbagai permasalahan yang lebih

kompleks seperti ketidakmaksimalan dalam pemanfaatan sumber-sumber

penghasil pertumbuhan PAD, celah kepincangan fiskal, menimbulkan unsur

ketergantungan yang tinggi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, dan

adanya respon yang berlebihan dalam pemanfaatan dana transfer, yang pada

akhirnya menyebabkan kurangnya kemampuan kemandirian keuangan daerah

pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan (Walidi, 2009: 35)

Pada penelitian ini terdapat 11 Kabupaten dan 4 Kota di Provinsi Sumatera

Selatan yang memiliki Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum yang

berbeda dimasing masing wilayah. Berikut ini merupakan tabel besarnya nilai

Pendapatan Asli Daerah yang diterima oleh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-

Selatan.

4
Tabel 1.1 Data Pendapatan Asli Daerah per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 2013-2016
(Dalam Juta Rupiah)
Tahun
Kabupaten/Kota
2013 2014 2015 2016
Lahat 78313 125319 189.584 184972
Musi Banyuasin 112649.5 172925 173.234 169012
Musi Rawas 75367 120153 98383 96743
Muara Enim 125111 138706 182.898 150192
Ogan Komering Ilir 68701 145591 138.652 108992
Ogan Komering Ulu 44680 79344 106821 87578
Palembang 558705 734219 737.237 781413
Prabumulih 50623 64170 72236 86253
Pagar Alam 29552 34179 53419 51113
Lubuklinggau 41693 50181 60.543 75797
Banyuasin 81364 106918 118.975 104218
Ogan Ilir 22080 49061 42844 109762
Oku Timur 36918 62418 64.280 69357
Oku Selatan 22897 33316 39355 35696
Empat lawang 24230 32656 25480 22347

Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia


*Melalui website (djpk.depkeu.go.id)
*2017

Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten/Kota provinsi Sumatera selatan

setiap tahunnya cenderung meningkat . Pendapatan Asli Daerah merupakan segala

pendapatan yang berasal dari sumber-sumber penerimaan daerah itu sendiri. Data

diatas menunjukan perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatera-Selatan selama periode waktu 2007-2016.

Berdasarkan tabel diatas, data menunjukan bahwa terdapat perbedaan

Pendapatan Asli Daerah yang diterima oleh setiap kabupaten/kota di provinsi

Sumatera-Selatan, dengan tingkat pendapatan Asli Daerah tertinggi dicapai oleh

Kota Palembang dengan nominal tertinggi sebesar Rp. 781.413 (dalam jutaan)

5
sedangkan nilai PAD terendah yaitu Kabupaten Empat Lawang dengan nominal

PAD hanya sebesar Rp. 22.347 (dalam juta rupiah).

Adapun perkembangan Dana Alokasi Umum yang diterima oleh

kabupaten/kota Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Data Dana Alokasi Umum Perkabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
(Dalam Juta Rupiah )
Tahun
Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015 2016
Lahat 566788 615240 662781 703887
Musi Banyuasin 451258 411870 535577 324837
Musi Rawas 635201 420562 578786 641789
Muara Enim 678488 593564 610384 673162
Ogan Komering Ilir 844191 931159 931158 1049995
Ogan Komering Ulu 517310 568771 568562 635551
Palembang 1125008 1203662 1210604 1292124
Prabumulih 352645 383313 406701 414173
Pagar Alam 316529 354727 351582 390188
Lubuklinggau 377967 414758 451555 446789
Banyuasin 772464 824219 875974 930550
Ogan Ilir 520228 561377 557402 623839
Oku Timur 615539 680714 693714 760211
Oku Selatan 459578 512120 523633 588216
Empat lawang 308418 360872 366775 416952

Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia

*Melalui website (djpk.depkeu.go.id)

*Diolah, 2017

Dana Alokasi Umum adalah dana transfer yang diterima oleh pemerintah

daerah dari pemerintah pusat yang dapat digunakan untuk pembiayaan

pembangunan. Grafik diatas menunjukan besarnya dana alokasi umum yang

diterima oleh pemerintah daerah kabupaten/kota Provinsi Sumatera-Selatan

periode tahun 2007 hingga 2016 yang mengalami fluktuasi namun cenderung

6
meningkat diberbagai daerah. Berdasarkan grafik diatas, besarnya dana alokasi

umum yang diterima oleh Pemerintah Daerah jauh lebih besar daripada

penerimaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah Pemerintah

Kabupaten/Kota itu sendiri, Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Pemerintah

Daerah paling besar diterima oleh kota Palembang sebagai ibukota Provinsi

dengan nominal dana transfer sebesar Rp.1292124. Dana Alokasi Umum yang

diberikan oleh pemerintah pusat sebagai dana transfer yang dialokasikan ke tiap

Kabupaten/Kota seharusnya digunakan untuk investasi yang efektif, sehingga

dapat merangsang potensi penerimaan-penerimaan baru yang dapat menjadi

sumber penerimaan pendapatan daerah, dan dapat memberikan dampak positif

bagi perekonomian Daerah.

Adapun tabel perkembangan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut :

Tabel 1.3 Data Belanja Daerah per Kabupaten/Kota


Provinsi Sumatera Selatan periode 2013-1016
(Dalam Juta Rupiah)
Tahun
Kabupaten/Kota
2013 2014 2015 2016
Lahat 1425948 1388480 1559989 1545145
Musi Banyuasin 2844245 320570 3320765 2280009
Musi Rawas 1454772 1592855 1405484 1525668
Muara Enim 1974657 1783782 2188030 1856355
Ogan Komering Ilir 2313775 2291125 2540544 1904397
Ogan Komering Ulu 1022613 1031869 1225717 993279
Palembang 2554743 2812466 2869893 2915966
Prabumulih 771785 927133 930835 877919
Pagar Alam 611804 697779 796245 798880
Lubuklinggau 815366 896993 906543 809943
Banyuasin 1668920 1915163 1920556 1841970
Ogan Ilir 1057784 990877 1057783 1102973

7
Oku Timur 1084185 1161250 1327372 1285285
Oku Selatan 812222 875216 1052753 101440
Empat lawang 675748 800896 936332 648861

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Selatan


*Publikasi Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Selatan dalam Angka, Berbagai
Tahun *diolah 2017

Belanja Daerah di Kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan setiap

tahunnya cenderung meningkat, dengan Belanja Daerah tertinggi tahun 2016 di

Kota Palembang senilai Rp.2.915.966 ( Dalam juta rupiah) yang kemudian

belanja tertinggi diikuti oleh Kabupaten Musi Banyuasin, Sedangkan untuk

pengeluaran Belanja Daerah Terendah di Kabupaten Empat Lawang yang hanya

senilai Rp. 648.861 (dalam jutaan). Besarnya Belanja Daerah di Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatera Selatan sangat tergantung dengan penerimaan yang diterima

oleh Pemerintah Daerah yaitu sumber penerimaan dari PAD dan DAU.

Dikarenakan kondisi fisik tiap kabupaten/kota berbeda dari segi potensi

daerah, maka dari itu terdapat indikasi yang kuat bahwa perilaku Belanja Daerah

sangat dipengaruhi oleh sumber penerimaan berupa dana transfer (DAU) yang

berasal dari Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan Belanja Daerah dan

memenuhi kebutuhan publik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan

infrastuktur daerah. Namun, apabila pembiayaan pembangunan daerah lebih

banyak menggunakan dana transfer, maka hal ini berarti di wilayah tersebut

kemungkinan besar terdapat indikasi fenomena flypaper effect.

Dengan karakteristik data Belanja Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dan Dana Alokasi Umum (DAU ) yang berfluktuasi di Kabupaten/Kota di

8
Provinsi Sumatera Selatan maka penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang

“Analisis Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli

Daerah Serta Pengaruhnya terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera-Selatan’’

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1.) Apakah terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD ) di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera

Selatan selama periode tahun 2007 –2016 ?

2.) Bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja

Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan ?

3.) Bagaimana Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja

Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1.) Untuk mengetahui apakah terjadi Flypaper Effect di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera-Selatan selama periode tahun 2007-2016

2.) Untuk memberikan bukti empiris bagaimana pengaruh Dana Alokasi

Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan

9
3.) Untuk memberikan bukti empiris bagaimana pengaruh Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dilihat baik dari segi teori maupun terapan antara lain :

1.) Sebagai masukan dan tambahan referensi bagi pihak-pihak yang ingin

mengambil penelitian dan studi pustaka tentang keuangan daerah

2.) Menjadi bahan evaluasi tentang kebijakan keuangan daerah bagi

pemerintah agar tercapai efisiensi dalam penganggaran dana transfer yang

diberikan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah .

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Mengenai Perkembangan Aktivitas Pemerintah/ Hukum Wagner

Ekonom Jerman Adolf Wagner adalah tokoh utama hukum ini. Pada tahun 1982,

ia adalah orang pertama yang mencatat hubungan antara pertumbuhan ekonomi

dan pengeluaran pemerintah. Ia merumuskan hukum yang disebut "ekspansi terus

menerus untuk kegiatan pemerintah". Hukum yang ia tetapkan bahwa

pengeluaran pemerintah tumbuh terus menerus, dalam ukuran absolut atau relatif,

dengan perkembangan yang dicapai di masyarakat. Ini berarti bahwa ada

kebutuhan untuk meningkatkan belanja negara, sesuai dengan tiga alasan berikut

diidentifikasi oleh Wagner (Mangkoesobroto: 2001: 171 ) :

a) Permintaan untuk barang publik tumbuh dengan tingginya tingkat

industrialisasi, dan sektor publik berkembang untuk memastikan efisiensi kinerja

ekonomi.

b) Pembangunan ekonomi untuk perluasan layanan budaya, kepedulian sosial dan

pendidikan, menyebabkan pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi.

c) gangguan pemerintah untuk pengelolaan dan pembiayaan monopoli alami.

11
PkPP/ PPK
Z= Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Kurva Wagner

1 2 3 4 Waktu (tahun)
Gambar.2.1 Hukum Wagner tentang aktivitas Pengeluaran Pemerintah
*Sumber Mangkoesoebroto, 2001:172

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan

pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP dan

juga didasarkan pada pengamatan di negara-negara Eropa pada abad ke-19.

Kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk yang eksoponensial

(Mangkoesoebroto, 2001:172).

Menurut Wagner, ada 5 hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah

selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan, dan

pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi

pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekonomi, perkembangan demokrasi dan

12
ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan

(Dumairy, 1999)

Dengan demikian, hukum Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu

perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, maka secara relatif

pengeluaran Pemerintah pun akan mengalami peningkatan.

2.1.2 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah ini

dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan

pengeluaran pemerintah dengan tahap tahap pembangunan ekonomi yang dibagi

menjadi 3 tahap ( awal, menengah, dan lanjut ).

Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, rasio

investasi swasta terhadap GNP semakin besar, tetapi rasio investasi pemerintah

terhadap GNP akan semakin kecil. Sementara itu, Rostow berpendapat bahwa

pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah dari

penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran untuk layanan sosial seperti

program kesejahteraan hari tua, program pendidikan, program pelayanan

kesehatan masyarakat, prasarana transportasi, dan lain sebagainya

(Mangkoesoebroto, 2001)

2.1. 3 Teori Makro Tentang Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya

kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar

13
dan banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang

bersangkutan (Suparmoko, 2012).

Pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat

digolongkan sebagai berikut (Boediono, 1999) :

a.Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa.

b.Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai

Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi,

dimana perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara

tidak langsung.

c.Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.

Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar

barang melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada

warganya yang meliputi misalnya pembayaran subsidi atau bantuan langsung

kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun,pembayaran bunga

untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis transfer

payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan pos gaji pegawai

meskipun secara administrasi keduanya berbeda. (Boediono,1999)

2.1.4 Konsep dan Definisi Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani ‘’autos’’ dan ‘’nomos’’. Kata pertama berarti

sendiri dan kata kedua yang berarti pemerintah. Otonomi bermakna memerintah

sendiri, dalam wacana administrasi publik daerah sering disebut sebagai local self

government. Melalui UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, maka

otonomi daerah yang seluas-luasnya mulai ditempatkan pada daerah

14
kabupaten/kota serta diserahkan juga kewenangan yang lebih besar pada

pemerintah kabupaten/kota.

Menurut Saragih (2003) otonomi sendiri berarti adanya kebebasan

menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian

wilayah dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara. Konsep otonomi

daerah adalah bahwa kewenangan untuk menjalankan fungsi atau mengurus

daerah sendiri tidak datang begitu saja tetapi merupakan keputusan politik yang

ditempuh guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,

pelayanan publik dan pembangunan.

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah

yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi

pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai upaya untuk

mencapai tujuan itu, maka kepala daerah diberikan wewenang untuk

melaksanakan urusan pemerintahannya sendiri tanpa ada campur tangan dari

pemerintah pusat.

2.1.5 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi yang artinya

desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, dimana

kemandirian keuangan daerah berdasarkan kemampuan menggali dan mengelola

keuangannya.

15
Menurut Saragih (2003) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan

sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih

tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau

tugas pemerintahan dan pelayan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan

bidang pemerintahan yang dilimpahkan.

Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada bagian

Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah disebutkan bahwa desentralisasi

adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

sebagai salah satu bentuk dari desentralisasi fiskal, merupakan instrumen

kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah dan juga menunjukan

kapasitas dan kemampuan daerah. Menurut Oates (1999 : 1246) ada dua bentuk

instrumen fiskal yang penting pada sistem federal yaitu pajak, dan hibah

antarpemerintah (intergovermental grants) dan bagi hasil pendapatan (revenue

sharing). Menurut Usui dan Alisjahbana, kunci utama dari desentralisasi fiskal

adalah pembuatan menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga distribusi

pelayanan publik menjadi lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

lokal (dalam Handayani, 2009:98).

2.1.6 Belanja Daerah

Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun
bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh
pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa Pendapatan Asli

16
Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Belanja Daerah
adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan. Belanja Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri
dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian
atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Belanja Daerah dikelompokkan ke dalam belanja
tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja
yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Sementara belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan yang
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja Daerah juga terkait dengan penerimaan daerah, apabila
penerimaan lokal suatu daerah cukup tinggi maka akan semakin besar pula
kemampuan Belanja Daerah, sehingga alokasi Belanja Daerah harus tepat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat agar alokasi anggaran lebih efektif dan efisien
(Susestyo et al, 2018: 128)

2.1.7 Dana Alokasi Umum

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU

adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan

daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber penerimaan daerah

dalam konteks otonomi dan desentralisasi untuk saat ini masih sangat didominasi

oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat baik dalam bentuk Dana

17
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagi hasil, sedangkan

porsi PAD masih relatif kecil (Mardiasmo : 2004).

Dana Alokasi Umum (DAU) diartikan sebagai dana dari anggaran

belanja negara (APBN) yang dialokasikan ke wilayah tertentu dengan tujuan

untuk membantu mendanai kegiatan khusus urusan daerah sesuai dengan prioritas

nasional (Marwa et al, 2017:48).

Adapun cara menghitung Dana Alokasi Umum menurut ketentuan adalah

sebagai berikut (Widodo, 2007: 73) :

1) Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang – kurangnya 25% dari

penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah

kabupaten/kota ditetapkan masing – masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi

Umum sebagaimana di tetapkan di atas.

3) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu

ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh

daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan.

4) Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan

proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot

semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

18
2.1.8 Flypaper Effect dalam Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan dari teori

perilaku konsumen. Wilde dalam Hastuti (2011:54) mempelopori analisis transfer

ke dalam format kendala anggaran dan kurva indiferensiasi. Transfer bersyarat

(conditional grants) berpengaruh pada konsumsi barang privat melalui efek harga.

Bantuan bersyarat, misalnya transfer penyeimbang tidak terbatas (open-ended

matching grants), akan menurunkan harga barang publik. Dalam konteks ini,

pemerintah memberikan subsidi untuk setiap unit barang publik. Pengaruh

transfer bersyarat pada konsumsi barang privat tergantung pada sensitivitas

silangnya. Jika, harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan

konsumsi barang privat apabila pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak.

Dengan adanya hal tersebut, maka kenaikan transfer sebagian berakibat pada

kenaikan konsumsi barang publik dan sebagian lagi pada konsumsi barang privat

secara tidak langsung melalui penurunan tarif pajak.

Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer

akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada

penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull dalam Hastuti, 2011:65). Fenomena

flypaper effect ini dapat terjadi dalam dua versi (Gorodnichenko dalam Hastuti ,

2011: 32). Yaitu merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja

pemerintah yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pengeluaran

terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap

penerimaan pajak daerah itu sendiri.

19
Menurut Maimunah Flypaper Effect disebut sebagai suatu kondisi yang

terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih boros)

dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan Dana

Alokasi Umum dari pada menggunakan kemampuan sendiri, yang diproksikan

dengan Pendapatan Asli Daerah ( dalam Adiputra, 2014: 1234). Ia juga meneliti

bahwa Flypaper Effect berpengaruh untuk memprediksi Belanja Daerah periode

tahun selanjutnya.

2.1.9 Konsep Penerimaan Pendapatan Daerah


Adapun hubungan pendapatan daerah dengan beragam variabel fisik dan sosial

ekonomi adalah untuk mengidentifikasikan variabel mana yang mempunyai

pengaruh terbanyak terhadap penerimaan pendapatan daerah. Meskipun

perbedaan tidak berlaku di semua wilayah dengan kekuatan (tingkatan) yang

sama, tetapi terdapat aspek-aspek umum yang dapat memberikan beberapa

generalisasi penyebab utama perbedaan pendapatan daerah (Mardiasmo, 2004).

1. Faktor Geografis

Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumber daya nasional,

sumber energi, sumber daya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan tidak akan

merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik

akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik

2. Faktor Historis

Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang lalu

untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup di masa

lalu menjadi alasan penting yang dihubungkan dengan isu insentif, untuk pekerja

dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit insentif untuk pekerja

20
keras. Sistem industri dimana pekerja merasa tereksploitasi, bekerja tanpa

istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang membatasi akan memberi sedikit

insentif dan menyebabkan pembangunan terhambat.

3. Faktor Politik

Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang sangat

kuat. Tidak stabilnya suhu politik sangat memengaruhi perkembangan dan

pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu

untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi disuatu

wilayah tidak akan berkembang. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah,

korupsi dan ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri

sendiri dan menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari

kebijakan pembangunan.

4. Faktor Administrasi (birokrasi)

Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam menambah

kesenjangan antarwilayah. Saat ini pemerintah dalam menjalankan fungsinya

membutuhkan administrator yang jujur, terdidik, terlatih dan efisien karena

birokrasi yang efisien akan berhasil dalam pembangunan regional dan sebaliknya.

5. Faktor Sosial

Banyak faktor sosial yang menjadi penghalang dalam pembangunan. Penduduk di

wilayah yang belum berkembang tidak memiliki lembaga dan keinginan (attitude)

yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Dilain pihak penduduk dari wilayah

yang lebih maju memiliki kelembagaan dan keinginan yang kondusif untuk

pembangunan.

21
6. Faktor Ekonomi

Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan dalam faktor produksi, proses

kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang buruk, kekuatan pasar

yang bebas dan pasar tidak sempurna, berlangsung yang menambah perbedaan

dalam pembangunan ekonomi.

PAD merupakan salah satu komponen sumber penerimaan daerah sebagaimana

diatur dalam pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 1999, serta PP Mendagri Nomor 13

Tahun 2006 mengenai pengelolaan keuangan daerah, direvisi menjadi PP

Mendagri Nomor 59 Tahun 2007 bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari A.

Pendapatan Asli Daerah yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, B. Dana Perimbangan, C. Pinjaman

Daerah D. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

1. Hasil Pajak Daerah.

Jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah propinsi yaitu pajak kendaraan

bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan

bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air

permukaan. Sedangkan jenis pajak daerah untuk kabupaten terdiri dari pajak

hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak

pengambilan bahan galian golongan C.

2. Hasil Retribusi Daerah.

Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh

22
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ada tiga

golongan retribusi daerah yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan

retribusi perizinan tertentu.

(a) Retribusi jasa umum. Yaitu retribusi atas jasa yang diberikan emerintah daerah

untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau

badan.

(b) Retribusi Jasa Usaha. Yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh

pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya

dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

(c) Retribusi perizinan tertentu. Yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah

daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang

dimaksudkanuntuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas

kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,

sarana/fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan kelestarian

lingkungan.

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya

yang dipisahkan. Yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden atau

bagian laba yang diperoleh oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang

dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi

pemerintah daerah.

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Yang tergolong dalam jenis

pendapatan ini antara lain pendapatan bunga deposito, jasa giro, hasil penjualan

23
surat berharga investasi, pendapatan dari ganti rugi atas kerugian/kehilangan

kekayaan daerah, denda, penggantian biaya, dan lain-lain

2.1.10 Konsep Rasio Pajak

Pajak daerah merupakan salah satu sumber bagi peningkatan PAD di suatu

wilayah. Rasio Pajak Daerah adalah kemampuan kabupaten/kota dalam

meningkatkan pajak daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah, yaitu

rasio antara pajak daerah terhadap total pendapatan daerah (APBD). Rasio pajak

juga menunjukan kemampuan Pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan

pajak daerah, semakin tinggi penerimaan pajak suatu daerah maka akan semakin

tinggi tax ratio nya. Formulasi untuk menghitung rasio pajak daerah sebagai

berikut :

Pajak Daerah
Rasio Pajak Daerah=
Total Pendapatan Daerah

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tax ratio, antara lain ;


a. Faktor yang bersifat makro, diantaranya tarif pajak, tingkat pendapatan

perkapita dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik .

b. Faktor yang bersifat mikro, diantaranya tingkat kepatuhan wajib pajak,

komitmen dan koordinasi antar lembaga negara serta kesamaan persepsi antara

wajib pajak dan petugas pajak.

Angka tax ratio digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas

administrasi perpajakan dalam rangka menghimpun penerimaan pajak disuatu

daerah.

2.2 Penelitian Terdahulu

24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maddah dan Tabar (2016) dalam

jurnal yang berjudul ‘’ Studying the Flypaper Effect in the Provinces of Iran

2000-2013’’ dengan menggunakan data time series 28 provinsi di Iran selama

tahun 2000 -2013 yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Iran dan

Departemen Keuangan beberapa provinsi. Semua variabel yang digunakan dalam

model penelitian ini dalam bentuk logaritmik dengan teknik estimasi metode

GMM dan analisis eksperimental. Model dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: 𝐺𝑖 = α 𝑌𝑖α 𝑃𝑔𝑖β, 𝑖 = 1,2, ..., 𝑁 (1)

di mana Gi adalah konsumsi i barang yang disediakan pemerintah(pengeluaran

pemerintah), Yi adalah pendapatan i, Pgi adalah pajak-harga untuk Gi.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan aplikasi eviews maka hasil dari t-

statistik menunjukkan bahwa koefisien produk domestik bruto di provinsi,

pendapatan pajak dan pendapatan hibah signifikan pada level 1%. Koefisien

kontribusi pajak sangat kecil karena kapasitas pajak lemah, dan kelambatan

belanja provinsi tidak signifikan secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terjadi Flypaper Effect di propinsi Iran mengingat koefisien yang

signifikan dari pendapatan dana hibah pemerintah pusat yang diberikan kepada

pemerintah daerah .

Dari Penelitian yang berjudul ‘’Analisis Flypaper effect pada Belanja

Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten’’ oleh Amalia (2015) dengan

objek penelitian meliputi 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten dengan sumber

data yang diperoleh dari laporan realisasi APBD 2010-2013. Desain penelitian

menggunakan model pengujian hipotesis dengan menggunakan data sekunder

25
dalam bentuk data panel.Adapun metode analisis data yang digunakan adalah

regresi berganda. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis kuantitatif dengan menggunakan software statistic Eviews 6. Tahapan

analisis dalam penelitian ini terdiri dari: estimasi model regresi dengan

menggunakan data panel, uji asumsi klasik, uji analisis regresi dan analisis

ekonomi. Model persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:

 BDit = β0 + β1PADit + β2DAUit + e..........................................................

Dimana :

BD : Belanja Daerah

PAD : Pendapatan Asli Daerah

DAU : Dana Alokasi Umum

i : Cross-section

t : Time series

β0 : Intesep/konstanta

β1, β2 : Koefisien regresi

e : Error term

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) PAD dan DAU secara simultan

berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah, (2) PAD dan DAU secara parsial

berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah, (3) tidak terjadi flypaper

effect pada kabupaten dan kota di Provinsi Banten pada tahun 2010-2013.

Penelitian yang berjudul ‘’ Flypaper effect Dana Alokasi Umum,

Pendapatan Asli Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Belanja Daerah

Kabupaten/Kota Di Sulawesi Tengah’’ yang dilakukan oleh Salawali, dan Lapian

26
(2015) ini berfokus pada 10 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui data sekunder dengan jenis

data time series dan cross section. Sumber data yang diperlukan dalam penelitian

ini berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah, referensi studi

kepustakaan melalui, jurnal, artikel, makalah yang didapat dari perpustakaan dan

internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

ekonometrika data panel dengan GLS (Generalized Least Squares). Model dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

BDit= a + β1DAUit + β2PADit + eit…………………………...................….....

Keterangan:

BDit = Belanja Daerah (BD)

DAUit = Dana Alokasi Umum (DAU) tahun tersebut

DAUit-1 = Dana Alokasi Umum (DAU) tahun sebelumnya

PADit = Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun tersebut

PADit -1 = Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun sebelumnya

a = konstanta

β1, β2 = koefisien regresi

e = error term

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa secara parsial DAU dan

PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Tengah tersebut pada tahun 2007-2012 karena masing-masing

nilai t statistik lebih besar dari t tabel α = 1% yaitu DAU sebesar 15,293 > 2,704

dan PAD sebesar 3,861 > 2,704. Secara simultan DAU dan PAD juga

27
berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah karena nilai F statistik

lebih besar dari nilai F tabel α = 1% yaitu sebesar 165,716 > 99,50. Dalam

penelitian juga didapat hasil bahwa terjadi flypaper effect dimana sumber

penerimaan terbesar dari DAU mempengaruhi besaran belanja di tahun

berikutnya.

Dari Penelitian yang dilakukan oleh Adiputra (2014) dengan judul ‘’

Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Karangasem’’ dengan variabel

yang digunakan adalah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah sebagai

variabel independen dan Belanja Daerah yang ditunjukkan oleh APBD sebagai

variabel dependen. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah observasi dan dokumentasi . Sumber data didapat dari BPS yaitu berupa

data sekunder DAU,PAD dan Belanja Daerah. Teknik analisis data yang

digunakan adalah teknik analisis proporsi, Statistik Deskriptif - Crosstab, dan

Trend Teknik analisis Least Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama

periode 2005-2010, dari penelitian tidak menemukan fenomena flypaper effect.

Tidak terjadinya flypaper effect di Kabupaten Karangasem periode tahun 2005-

2010 juga dikuatkan dengan penerimaan Pajak Daerah yang terus meningkat dari

tahun 2005-2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah tidak

lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah,

dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) (0.039) < α (0.05) dan Dana Alokasi

Umum (DAU) (0.030) < α (0.05). Dengan kata lain Kabupaten Karangasem sudah

mandiri dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di daerahnya dan berhasil

28
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang – undangan No.32 Tahun

2004 tentang otonomi daerah.

Dari penelitian yang berjudul ‘’Flypaper Effect : Fenomena Serial waktu

dan lintas Kabupaten/Kota Di Jawa Timur 2003-2013’’ Oleh Oktavia (2014).

Analisis ini menggunakan analisis regresi data panel. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum

(DAU) secara umum berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah (BD). Hasil

pengujian untuk runtun waktu menunjukkan bahwa dengan data tahun 2003-2013

terjadi flypaper effect yang ditunjukkan dengan pengaruh DAU lebih signifikan

terhadap Belanja Daerah dari pada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah.

Kabupaten / kota di Jawa Timur umumnya mengalami flypaper effect terbukti atau

diterima, respon BD masih lebih besar disebabkan oleh dana perimbangan

khususnya yang berasal dari komponen DAU. Semakin besar dana transfer (DAU)

yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka tingkat

ketergantungan pemerintah daerah dalam membiayai Belanja Daerah juga akan

semakin tinggi untuk melaksanakan program dan kegiatan yang ada di daerah.

Akibatnya, respon Belanja Daerah lebih besar dari komponen DAU.

Penelitian yang dilakukan oleh Shiddieqy dan Afriana (2013) “ Flypaper

Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Terhadap Belanja Daerah Pada Kota dan Kabupaten di Pulau Kalimantan’’ Dari

penelitian tersebut, berdasarkan pengujian statistik dengan model regresi linier

berganda, penelitian ini menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

29
Dana Alokasi Umum (DAU) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

Belanja Daerah pada kota dan Kabupaten Pulau di Kalimantan, pengujian secara

parsial diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah terbukti mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap Belanja Daerah pada tingkat kepercayaan 90 %.

Sedangkan dana alokasi umum secara empiris tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap Belanja Daerah pada Kota dan Kabupaten di Pulau Kalimantan dan

besarnya pengaruh Pendapatan Asli Daerah lebih tinggi dari pada pengaruh dana

alokasi umum terhadap belanja daerah pada kota dan provinsi di pulau

Kalimantan , sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi flypaper effect pada

keuangan daerah pemerintah kota dan kabupaten di pulau Kalimantan pada

periode tahun 2012.

’ Fly-Paper Effect in Slovenian Municipal Finances’’ oleh Pevcin (2011)

adalah penelitian yang meneliti keberadaan Flypaper effect di kota Slovenia yang

menggunakan data cross section dengan menggunakan data pengeluaran dan data

pendapatan untuk tahun fiskal 2006 di 193 kota Slovenia. Sumber data termasuk

data sekunder yang diperoleh dari Departemen Keuangan. Teknik analisis yang

digunakan adalah deskriptif statistik dengan estimasi model log-linear.

Salah satu kelemahan terkait dengan desentralisasi adalah bahwa

pendapatan pemerintah daerah PAD mungkin tidak cukup untuk membiayai

penyediaan barang dan jasa, yang memberikan dasar pemikiran untuk pemerintah

pusat untuk memberikan transfer ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Faktor yang menentukan fungsi pengeluaran untuk barang yang disediakan oleh

pemerintah adalah sebagai berikut :

30
 EXP = f (REV, TAXPRICE, NEEDS)

Dimana EXP adalah tingkat pengeluaran untuk barang yang disediakan

oleh pemerintah, REV adalah jumlah total sumber daya yang tersedia untuk

pendanaan tersebut pengeluaran, TAXPRICE menggambarkan harga pajak relatif

pengeluaran, dan needs mendefinisikan faktor kelembagaan dan lainnya yang

berpengaruh pada hasil pengeluaran kota. Kesimpulan dari hasil analisis yang

dilakukan di kota kota Slovenia untuk tahun 2006 cenderung mendukung

keberadaan flypaper effect dalam pembiayaan pembangunan di kota kota Negara

Slovenia. Akibatnya, dana transfer juga mengembangkan total pengeluaran kota.

Efek dari masalah ini harus ditangani lebih lanjut, karena keberadaan efeknya

adalah indikasi inefisiensi dalam sistem pengeluaran.

Penelitian Widodo (2007) ‘’Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) pada

Kabupaten/Kota di pulau Bali’’ menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi

Flypaper Effect hanya pada perhitungan Belanja Daerah ditahun 2003, sedangkan

tahun 2001, 2002, 2004, dan 2005 tidak ditemukan adanya Flypaper Effect pada

pemerintah Kabupaten/kota di Bali.

2.3 Kerangka Pikir:

31
Untuk dapat mengetahui kerangka pemikiran dalam penelitian Flypaper Effect

pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta

pengaruhnya terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan , dapat dilihat pada gambar 1.1

Dana Alokasi Umum Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Flypaper Effect

Belanja Daerah

Gambar.2.2 Kerangka pikir Flypaper Effect pada DAU dan PAD serta
pengaruhnya terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi
Sumatera-Selatan.

Besar kecilnya Dana Alokasi Umum yang diterima dari Pemerintah Pusat dan

Pendapatan Asli Daerah yang diterima suatu daerah dapat mempengaruhi tinggi

rendahnya Belanja Daerah. Kontribusi Dana Alokasi Umum yang lebih besar dari

pada Pendapatan Asli Daerah dapat menyebabkan terjadinya flypaper effect atau

kondisi dimana Pemerintah Daerah merespon Belanja Daerah lebih besar daripada

Pendapatan Asli Daerah suatu Kabupaten/Kota.

2.4 Hipotesis Penelitian

32
Berdasarkan pembahasan, teori, dan penelitian-penelitian sebelumnya, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H1: Terjadi Flypaper effect pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan

Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera - Selatan

H2: Dana Alokasi Umum Berpengaruh terhadap Belanja Daerah

H3: Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh terhadap Belanja Daerah

BAB III

33
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah :

1. Membahas tentang fenomena Flypaper Effect yang terjadi pada Dana

Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah serta pengaruh dari variabel

independen Dana Alokasi Umum yang dilambangkan sebagai (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah sebagai (PAD) terhadap variabel dependen

Belanja Daerah (BD).

2. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera-Selatan dari tahun 2007

sampai tahun 2016.

3. Terdiri dari 15 Kabupaten/Kota di Sumatera-Selatan yang tidak

mengalami pemekaran selama 10 tahun terakhir, yaitu: Kabupaten Lahat,

Musi Banyuasin, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Banyuasin,

Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan

Komering Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu

Timur, Ogan Komering Ulu Selatan, Kabupaten Empat Lawang, Kota

Palembang, Kota Prabumulih, Pagaralam, dan Kota Lubuklinggau.

34
3.2 Data

3.2.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dan bersumber dari pihak lain yaitu dari

publikasi Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan dan

buku-buku ataupun literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang

dibahas di dalam penelitian ini.

3.2.2 Data Menurut Waktu

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan

jenis data panel, karena terdiri dari beberapa entitas dalam kurun waktu tertentu.

Data Panel merupakan pengabungan data time series dan cross section yang

merupakan data yang berdasarkan periode waktu, dan data cross section yang

merupakan pengambilan sampel dari individu. Data panel digunakan agar

mendapat hasil estimasi yang terbaik serta efisien, karena peningkatan jumlah

variabel yang diteliti berdampak pada variabel bebas ( Pyndick dan

Rubenfield,2008) Data tersebut meliputi:

 Data Dana Alokasi Umum

 Data Pendapatan Asli Daerah

 Data Belanja Daerah

35
3.2.3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif

karena alat analisis yang digunakan menggunakan model model statistik dan

ekonometrika.

3.3 Teknik Analisis

Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah dengan

menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan kualitatif deskriptif. Metode

kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisis indikasi Flypaper Effect di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan. Metode Kuantitatif digunakan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Umum(DAU) dan Pendapatan

Asli Daerah (PAD) terhadap besarnya Belanja Daerah. Pengolahan data dilakukan

dengan bantuan microsoft excel dan software eviews 8.

3.3.1 Analisis Kuantitatif Deskriptif

Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh

perubahan Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja

Daerah. Teknik analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

teknik analisis kuantitatif menggunakan analisis regresi data panel dalam

mengukur apakah variabel dependen benar-benar ditentukan oleh variabel

independent. Untuk mengukur apakah variabel Belanja Daerah dipengaruhi oleh

variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah maka digunakan

model umum dengan model regresi sebagai beikut:

36
Sumsel (BDkt)= βo+ β1 Sumsel (DAUkt)+ β2 Sumsel (PADkt) ................... µkt

Keterangan:

Sumsel (BDkt) = Nilai total Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota (k) tahun (t)

Sumsel(DAUkt ) = Nilai Total Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/Kota (k)


tahun (t)

Sumsel(PADkt) = Nilai Total Pendapatan Asli Daerah pada Kabupaten/Kota (k)


tahun (t)

µkt = error term pada Kabupaten/Kota (k) tahun (t):

Data Panel ialah penggabungan dari data time series yang merupakan data

yang berdasarkan periode waktu, dan data cross section yang merupakan

pengambilan sampel dari individu, data panel digunakan agar mendapat hasil

estimasi terbaik serta efisien, karena peningkatan jumlah variabel yang diteliti

berdampak pada variabel bebas.

Terdapat beberapa metode dalam mengestimasi persamaan regresi dengan

menggunakan data panel yaitu, Fixed Effect, Random Effect, dan Common Efffect.

1. Fixed Effect

Teknik dengan pengujian model Fixed Effect adalah teknik mengestimasi data

panel dengan menggunakan variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan

intersep. Pengertian Fixed Effect ini didasarkan adanya perbedaan intersep antara

perusahaan namun intersepnya sama antar waktu (time in variant). Disamping itu,

model ini juga mengansumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar

perusahaan dan antar waktu.Pendekatan dengan variabel dummy ini dikenal

37
dengan sebutan Fixed Effect Model atau Least Square Dummy Variabel (LSDV)

atau disebut juga Covariance Model.

2. Random Effect

Random Effect Model adalah model estimasi regresi panel dengan asumsi

koefisien slope kontan dan intersep berbeda antara individu dan antar waktu

(Random Effect). Dimasukannya variabel dummy di dalam Fixed Effect Model

bertujuan untuk mewakili ketidaktahuan tentang model yang sebenarnya. Model

yang tepat digunakan untuk mengestimasi Random Effect adalah Generalized

Least Square (GLS) sebagai estimatornya, karena dapat meningkatkan efesiensi

dari least square.

3. Common Effect

Model Common Effect atau Pooled Least Square Model adalah model estimasi

yang menggabungkan data time series dan data cross section dengan

menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) untuk mengestimasi

parameternya. Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu

maupun waktu sehingga perilaku data antar perusahaan diasumsikan sama dalam

berbagai kurun waktu.

3.3.2 Uji Hausman

Hausman test adalah pengujian statistik untuk memilih apakah model

Fixed Effect atau Random Effect yang lebih tepat digunakan dalam regresi data

panel. Uji ini dikembangkan oleh Hausman dengan didasarkan pada ide bahwa

LSDV di dalam model Fixed Effect dan GLS adalah efesien sedangkan model

38
OLS adalah tidak efesien, di lain pihak alternatifnya metode OLS efesien dan

GLS tidak efesien.

Hipotesis Uji Hausmant:

 Ho: Random effect model

 H1: Fixed effect model

 Jika chi square > 0.05 maka terima Ho

Jika chi square < 0,05 maka Tolak Ho.

3.3.3 Uji Asumsi Klasik

Suatu model dikatakan baik untuk alat prediksi apabila mempunyai sifat - sifat

tidak bias linier terbaik untuk penaksir. Disamping itu suatu model dikatakan

cukup baik dan dapat dipakai untuk memprediksi apabila sudah lulus dari

serangkaian uji asumsi klasik yang melandasinya. Uji asumsi klasik terdiri dari:

3.3.3.1 Uji Multikolineritas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan

adanya korelasi antar variabel independen. Jika terjadi korelasi, maka terdapat

multikolinieritas (Multikol) dimana model regresi yang baik seharusnya tidak

terjadi korelasi diantara variabel independen. Keadaan ini hanya terjadi pada

regresi linear berganda, karena jumlah variabel bebasnya lebih dari satu.

Sedangkan pada regresi sederhana, tidak mungkin adanya kasus ini disebabkan

variabel bebasnya hanya terdiri dari satu variabel. Ada beberapa cara untuk

menguji ada atau tidaknya multikolonieritas dalam model regresi. Dalam

39
pengujian ini, menggunakan analisis matrik korelasi antar variabel independen

dengan melihat nilai collerations antar variabel bebas, Jika korelasi antar variabel

bebas kurang dari 0.80, maka, hal ini berarti tidak terjadi multikolonieritas dalam

model regresi.

3.3.3.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah

model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan

yang lain , sehingga hasil estimasi menjadi tidak bias (Ghozali, 2007). Jika

varians dari residu atau dari satu pengamatan yang lain tetap, maka disebut

homokedastisitas. Dan jika varians maka disebut heterokedastisitas. Model regresi

yang baik adalah yang Homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas

(Ghozali, 2007). Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah

dengan cara uji glejser , Uji glejser meregresikan variabel-variabel bebas terhadap

residual absolut. Apabila probabilitas variabel-variabel bebas > 0.05, maka di

dalam model penelitian tidak adanya gangguan heteroskedastitas.

3.3.3.3 Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara

residual antar waktu pada model penelitian yang digunakan, sehingga estimasi

menjadi bias.

Menurut Gujarati dan Porter ( 2009), persamaan yang memenuhi asumsi klasik

hanya persamaan data panel yang menggunakan teknik analisis Generalized Least

Square (GLS). Dalam eviews, hanya random effect model yang menggunakan

40
metode GLS, sedangkam fixed effect dan commond effect menggunakan Ordinary

Least square (OLS). Dengan demikian, Apabila berdasarkan pemilihan metode

estimasiyang sesuai untuk persamaan regresi adalah random effect, maka tidak

perlu dilakukan uji asumsi klasik, namun apabila persamaan regresi lebih cocok

menggunakan commond effect atau fixed effect, maka perlu dilakukan uji asumsi

klasik.

3.3.3 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi R2 sebagai ukuran ketetapan penafsiran yang menunjukan

proporsi variasi yang diterangkan oleh regresi. Koefisien determinasi R 2 juga

menjelaskan proporsi atau persentase sumbangan variavel independen terhadap

naik turunnya variabel dependen. Semakin mendekati 1, maka tingkat kemampuan

menerangkan hasil estimasi yang semakin tinggi. Selain Koefisien determinasi R 2

, terdapat nilai R, yang merupakan koefiesien korelasi. R adalah suatu ukuran

hubungan antar dua variabel, yang mempunyai nilai antara -1 dan 1.

Apabila variabel tersebut mempunyai hubungan linier yang sempurna

maka koefisien korelasi itu bernilai 1 atau -1. Tanda positif atau negatif hanya

menunjukan apakah variabel-variabel tersebut memiliki hubungan secara positif

atau negatif.

3.3.4 Uji F statistik ( Pengujian koefisien regresi secara serentak )

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebas secara

bersama-sama terhadap variabel terikat. Apabila nilai F hitung secara absolut

lebih besar dari nilai F tabel maka variabel-variabel bebas secara keseluruhan

41
berpengaruh terhadap variabel terikat. (Gujarati, 2004: 45). Untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap variabel

terikat dapat menggunakan cara dengan melihat apakah hipotesis tersebut diterima

atau ditolak yang dilakukan dengan membandingkan F-hitung dengan F-tabel.

Adapun kriteria yang digunakan yaitu :

Ho diterima Ho ditolak

Gambar 3.1 . Kurva Uji F statistik

 Ho akan ditolak jika F-hitung > dari F tabel, Hal ini

menunjukan bahwa seluruh variabel independen (bebas)

mampu menjelaskan atau mempengaruhi variabel dependen

(terikat) pada tingkat signifikasi dan derajat kebebasan ( α)

tertentu.

 Ho akan diterima apabila F-hitung < F-tabel, artinya variabel-

variabel bebas tidak berpengaruh signifikan secara serentak

terhadap variabel dependen.

42
3.3.5 Uji T Statistik ( T- test)

Pengujian ini digunakan untuk untuk mengetahui apakah variabel

independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen.Pada penelitian ini, t

hitung akan dibandingkan dengan t tabel pada tingkat signifikasi α= 5%.

3.4 Definisi Operasionalisasi Variabel

Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah Belanja Daerah

(BD) sedangkan variabel bebas (independent variable) adalah Dana Alokasi

Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Definisi operasional dan

pengukuran variabel tersebut adalah sebagai berikut

3.4.1 Belanja Daerah (BD)

Belanja Daerah adalah semua kewajiban kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam hal ini Belanja Daerah

yang terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung dengan periode

tahun anggaran 2007 sampai dengan 2016 yang dihitung dengan satuan rupiah.

3.4.2 Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai

kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Variabel

DAU yang digunakan dalam penelitian ini adalah DAU kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan yang tidak mengalami pemekaran wilayah 5 tahun

terakhir dengan periode tahun anggaran 2007 sampai dengan 2016 dengan satuan

rupiah.

43
3.4.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah kabupaten/kota

di Provinsi Sumatera-Selatan pada periode tahun anggaran 2007 sampai dengan

2016 dengan satuan rupiah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

3.3.5 Flypaper Effect

Flypaper effect adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pemerintah daerah

merespon belanja lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) yang

diproksikan dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan

menggunakan kemampuan keuangan daerah itu sendiri yaitu besarnya nilai PAD.

Atau dapat dilihat dari perbandingan antara koefisien DAU dengan koefisien

PAD, sehingga dapat difungsikan jika b1 > b2 berarti > 1 maka terjadi flypaper

effect (Tresch, 2002 : 924)

44
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Variabel Penelitian

4.1.1 Keadaan Geografis Provinsi Sumatera- Selatan

Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Sumatera-Selatan


Sumber: Sumatera-Selatan dalam Angka 2016

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Sumatera yang

memiliki luas wilayah 87.421,17 Km2 dan terletak pada 1 0 - 4 0 Lintang Selatan

dan 1020 - 1060 Bujur Timur. Secara administrasi wilayah Provinsi Sumatera

selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di sebelah Utara, berbatasan dengan

provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebelah timur, berbatasan dengan provinsi

45
Lampung di Sebelah Selatan dan wilayah sebelah Barat berbatasan dengan

provinsi Bengkulu.

Menurut Badan Pusat Statistik (2016) Provinsi Sumatera Selatan memiliki

iklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan tidak kurang dari 180C, dan suhu rata-

rata tahunan 200C - 250C dengan curah hujan rata-rata 70cm/pertahun.

Kondisi topografi di Provinsi Sumatera-Selatan mempunyai ketinggian

daerah antara 400 meter sampai dengan 1700 meter diatas permukaan laut (dpl).

Provinsi Sumatera-Selatan juga mempunyai kondisi geografi yang bervariasi,

mulai dari dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan. Wilayah pantai timur

sebagian besar merupakan daerah rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang

surut air laut, dan di wilayah bagian barat merupakan dataran yang luas, namun

daerah wilayah barat pedalaman merupakan daerah pegunungan yang mempunyai

kontur wilayah yang berbukit-bukit. Daratan tinggi yang terkenal di Provinsi

Sumatera-selatan adalah Bukit Barisan yang membelah Sumatera-Selatan dalam

daerah perbukitan dan daerah lembah. Bagian barat dari bukit barisan merupakan

lereng, dengan sepanjang wilayah ini terdapat daerah daerah perkebunan karet,

perkebunan teh, perkebunan kelapa sawit, kopi, dan berbagai macam sayuran

yang menjadi salah satu hasil sumber daya alam Provinsi Sumatera-Selatan

(Sumsel dalam Angka, 2016)

4.1.2 Pemerintah Provinsi Sumatera-Selatan

Sama halnya dengan Provinsi lain yang terdapat di Indonesia, dengan adanya

pemberlakuaan otonomi daerah pada tahun 1999, Provinsi sumatera selatan terus

mengalami pemekaran wilayah dari kabupaten/kota induk menjadi kabupaten/kota

46
baru di wilayah Provinsi Sumatera-Selatan. Dalam perkembangan nya hingga

tahun 2017, terbentuk 10 kabupaten/kota baru yang mengalami pemekaran dari

kabupaten/kota induk, antara lain: Pada tahun 2001, Kota Pagaralam dimekarkan

dari Kabupaten Lahat, Kota Prabumulih dimekarkan dari Kabupaten Muara Enim,

dan Kota Lubuklinggau yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas,

pada tahun 2002 Kabupaten Banyuasin dimekarkan dari Kabupaten Musi

Banyuasin, pada 18 Desember 2003 Kabupaten Komering Ulu mengalami

pemekaran menjadi Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan dan di tanggal yang

sama Kabupaten Ogan Komering Ilir dimekarkan menjadi Kabupaten Ogan Ilir,

sedangkan pada tanggal 2 Januari tahun 2007 Kabupaten Empat Lawang di

mekarkan dari Kabupaten Lahat. Setelah 5 tahun tidak terjadi pemekaran wilayah

di Provinsi Sumatera-Selatan, pada tahun 2012 terjadi pemekaran kembali , yaitu

terbentuk Kabupaten Pali yang merupakan pemekaran wilayah dari kabupaten

induk Muara Enim, kemudian ditahun berikutnya, pada tahun 2013 Kabupaten

Musi Rawas Utara (Muratara) merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi

Rawas.

Secara administratif pada tahun 2017 provinsi Sumatera Selatan terdiri

dari 13 (tiga belas) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota.

Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan,Kelurahan,

dan Pemerintahan Desa. Adapun Pembagian wilayah administrasi 17

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut :

47
Tabel 4.1 Pembagian Daerah Administrasi Provinsi Sumatera Selatan
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2016
No Kabupaten/Kota Ibukota Luas Wilayah (KM2) Kecamatan Kelurahan Desa
1 . Ogan Komering Ulu Baturaja 3.747,77 12 14 143
2 OKU Timur Martapura 3 397,10 19 7 252
3 OKU Selatan Muara Dua 4 544,18 20 7 305
4 Ogan Komering Ilir Kayu Agung 17 086,39 18 13 314
5 Muara Enim Muara Enim 6.901,36 20 10 245
6 . Lahat Lahat 4.297,12 22 18 360
7 Musi Rawas Muara Beliti 6.330,53 14 13 186
8 Musi Banyuasin Sekayu 14.530,36 14 13 227
9 . Banyuasin Pangkalan Balai 12.361,43 19 16 288
10 Ogan Ilir Indralaya 2.411,24 16 14 224
11 Empat Lawang Tebing Tinggi 2.312,12 10 3 153
12 Panukal Abab Lematang Ilir Talang Ubi 1.844,71 5 6 65
13 Musi Rawas Utara Muara Rupit 5.836,70 7 7 82
14 Palembang Palembang 363,68 16 107 _
15 Prabumulih Prabumulih 458,11 6 22 15
16 Pagaralam Pagaralam 632,80 5 35 _
17 Lubuklinggau Lubuklinggau 365,49 8 72 _
Jumlah 87 421, 17 231 2.859 377

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sumatera-Selatan dalam angka, 2016

Setelah adanya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi,

wilayah administrasi provinsi Sumatera-Selatan terbagi menjadi 13 (tiga belas)

Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota. Kabupaten yang Memiliki

jumlah kecamatan dan desa terbanyak adalah Kabupaten Lahat dengan total

kecamatan berjumlah 22 kecamatan dan 360 desa. Kabupaten Ogan Komering ilir

adalah kabupaten yang mempunyai wilayah terluas di provinsi Sumatera selatan

dengan luas wilayah keseluruhan sebesar 17.086,39 Km 2


atau sebesar 19.54%

yang kemudian di ikuti oleh Kabupaten Musi Banyuasin dengan persentase 16.62

%, sedangkan wilayah yang terkecil adalah Kota Lubuklinggau yang hanya

sebesar 365,49 Km2 yang senilai dengan 0.42% dari keseluruhan wilayah provinsi

Sumatera-Selatan.

48
4.1.3 Perkembangan Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan

Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Umum diukur dari jumlah

penerimaan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dana Alokasi Umum

yang diterima oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera-Selatan setiap tahunya

mengalami fluktuasi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan keuangan

di masing-masing wilayah. Berikut ini adalah grafik yang menunjukan rata-rata

pertumbuhan Dana Alokasi Umum di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan

selama periode tahun 2007 hingga 2016:

Grafik 4.1.1 Rata-Rata Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Daerah


Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Rata-Rata Pertumbuhan (%)
16.47
9.81 9.05 8.76 9.23 9.13 8.82 10.1
6.63 5.5 7.21 8.55 7.87 6.96
4.57
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Musi Rawas

Empat lawang
Palembang
Musi Banyuasin

Lubuklinggau
Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Ogan Ilir

Oku Timur

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Grafik 4.1.1 Rata-Rata Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera-selatan 2007- 2016

Sumber: Sumsel Dalam Angka berbagai tahun , Diolah 2018

49
Rata-Rata pertumbuhan perkembangan Dana Alokasi Umum di Kabupaten/Kota

Provinsi Sumatera-Selatan terbesar adalah Kabupaten Empat Lawang, yaitu senilai 16.47

%. Hal ini dikarenakan Empat Lawang merupakan wilayah pemekaran yang terakhir

dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sehingga peningkatan penerimaan Dana Alokasi

Umum lebih besar dibandingan dengan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Sumatera-

Selatan, sedangkan daerah yang mempunyai pertumbuhan Dana Alokasi Umum terendah

adalah Kabupaten Musi Rawas yang hanya sebesar 4.57% .

4.1.4 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah

Prinsip yang mendasari pendapatan asli daerah adalah desentralisasi fiskal

yang didalamnya terdapat fungsi dan kewenangan daerah yang harus dijalankan

oleh Pemerintah daerah (Pemda). Pada prinsipnya harus memiliki kewenangan

dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritasnya, serta didukung oleh

penerimaan daerah yang memadai. Sesuai dengan asas desentralisasi, pemerintah

daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka

dari itu perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup dalam

melaksanakan tugas nasional dan asas dekonsentrasi serta tugas pembantuan.

setiap daerah diwajibkan menggali segala kemungkinan sumber-sumber keuangan

sendiri dan dengan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pendapatan Asli Daerah berbeda-beda disetiap wilayah karena sesuai

dengan kemajuan dibidang industri, pariwisata, dan kekayaan alam yang

melimpah di daerah tersebut. Untuk daerah yang memiliki Pendapatan Asli

Daerah rendah, disebabkan oleh karena daerah tersebut masih tertinggal dan

50
masih sedikitnya infrastruktur yang menunjang pendapatan atau penerimaan dana

dari wilayah yang bersangkutan. Berikut adalah data rata – rata persentase

Pendapatan Asli Daerah per Kabupaten/Kota di Sumatera-Selatan periode 2017 –

2016 :

Grafik. 4.1.2 Rata-Rata Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah per


Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Rata-Rata Pertumbuhan (%)
43.5

21.13 19.6 20.3 18.44 22.22 21.4425.3123.38


12.5111.6816.7413.55 16.27 13.5
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Musi Rawas

Palembang

Empat lawang
Musi Banyuasin

Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Lubuklinggau

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Oku Timur
Ogan Ilir

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Sumber: Sumatera Selatan Dalam Angka Berbagai Tahun *Diolah 2018

Rata-Rata perubahan persentase Pendapatan Asli Daerah terbesar selama

periode tahun 2007- 2016 adalah Kabupaten Empat Lawang dengan persentase

sebesar 43.50 %. Meskipun Kabupaten Empat Lawang mempunyai pendapatan

Asli Daerah yang cukup minim bahkan terendah dalam beberapa tahun periode,

namun Kabupaten Empat Lawang merupakan kabupaten yang mempunyai rata-

rata pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah tertinggi di Provinsi Sumatera-selatan.

Hal ini menunjukan adanya peningkatan diberbagai sektor sumber sumber

51
penghasil PAD di Kabupaten Empat lawang, seperti pajak dan dana dana

retribusi, rata-rata pertumbuhan pendapatan asli daerah terendah adalah

Kabupaten OKU Selatan dengan persentase sebesar 13.5 %.

4.1.5 Perkembangan Belanja Daerah

Belanja Daerah merupakan realisasi belanja yang tertuang dalam APBD

pemerintah daerah yang diarahkan untuk mendukung terciptanya penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Rata-rata pertumbuhan

Belanja daerah kabupaten kota di Provinsi Sumatera-Selatan adalah sebagai berikut:

Grafik. 4.1.3 Rata-Rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Kabupaten/Kota


di Sumatera Selatan Tahun 2007- 2016 :

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


25
20
15
10
5
0
Muara Enim

Pagar Alam
Lahat

Empat lawang
Musi Rawas

Palembang
Musi Banyuasin

Ogan Komering Ulu

Prabumulih

Lubuklinggau

Banyuasin

Oku Selatan
Ogan Komering Ilir

Ogan Ilir

Oku Timur

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Rata-Rata Pertumbuhan (%)


Sumber
: Sumatera Selatan Dalam Angka Berbagai Tahun *Diolah 2018

Tingkat rata rata pertumbuhan Belanja Daerah tertinggi yaitu Kabupaten

Empat Lawang yang mencapai 20.99%, sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja

Daerah terendah adalah Kabupaten Musi Banyuasin yang hanya senilai 4.33%.

Hal ini menunjukan bahwa kabupaten Empat Lawang yang dalam hal ini

52
merupakan kabupaten pemekaran terakhir mempunyai tingkat Belanja Daerah

yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena Kabupaten Empat Lawang sedang

dalam proses pembangunan, sehingga rata-rata pertumbuhan Belanja Daerah

sangat tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sumatera-Selatan.

4.2 Analisa Pembahasan

4.2.1 Hasil Estimasi

Hasil estimasi pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah

terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan secara

lengkap ditampilkan pada lampiran 5, sedangkan secara ringkas ditampilkan pada

tabel 4.2.1.1

Tabel 4.2. Hasil Pengujian Signifikasi

Dependent Variable: BD
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/27/18 Time: 18:54
Sample: 2007 2016
Periods included: 10
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 150
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD 1.679038 0.398060 4.218055 0.0000


DAU 1.712912 0.199072 8.604470 0.0000
C 144200.6 112617.3 1.280447 0.2024

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 318523.7 0.5662


Idiosyncratic random 278814.6 0.4338

Weighted Statistics

Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8

53
Berdasarkan hasil estimasi diatas, dapat dibentuk model persamaan untuk

melihat pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap

Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera-Selatan yang diperoleh

dari tabel 4.2.1.1 adalah sebagai berikut:

BD = 1.679038PAD + 1.712912DAU + 144200.6

(0.398060 ) (0.199072) (112617.3)


R2: 0.637084
F-statistik : 129.0261
DW : 2.006445

Sebelum hasil estimasi dianalisis lebih lanjut, maka akan dilakukan

pemilihan model terbaik, pemilihan model terbaik digunakan untuk memilih

model Commond effect, Fixed Effect, atau Random effect yang paling sesuai

dengan penelitian.

4.2.2 Pemilihan Model Terbaik

Didalam mengestimasi data panel, terdapat 3 pendekatan yang digunakan ,

yaitu model commond effect, fixed effect dan random effect. Setelah dilakukan

pengujian terhadap 3 model yang telah di estimasi tersebut, akan dipilih model

mana yang paling tepat atau sesuai dengan penelitian. Berdasarkan karakteristik

data yang dimiliki, ada 3 pengujian yang digunakan untuk memilih model regresi

data panel ( CE,FE,RE), yaitu: F test ( Chow test), Hausman Test dan Langrangge

Multiplier (LM) test.

54
4.2.2.1 Uji Chow (Chow Test)

Uji Chow ialah pengujian untuk menentukan model Fixed Effect atau

Common Effect yang lebih tepat digunakan dalam mengestimasi data panel.

Hipotesis dari uji chow adalah:

 Ho: Common Effect Model

 H1: Fixed effect model

 Jika Chi square > 0.05 maka terima Ho

 Jika Chi square < 0.05 maka tolak Ho.

Tabel 4.3 Hasil Pengujian dari uji chow menggunakan eviews 8 :


Uji Chow ( Chow Test ) :

Menentukan Model Terbaik antara Comman effect atau Fixed Effect

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 13.071880 (14,133) 0.0000


Cross-section Chi-square 129.811965 14 0.0000

*Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8

Pengujian ini berguna untuk menentukan model Fixed Effet atau Common

Effect yang lebih tepat digunakan dalam mengestimasi data panel, dari estimasi

output diatas dapat dinyatakan model FE lebih tepat dari CE Karena nilai Prob.

Cross section < 0.05 atau kurang dari alpha 5%. Karena nilai probabilitas cross

section F statistik 0,00000 < 0,05 maka dapat disimpulkan model FE lebih tepat

dibandingkan dengan model CE.

55
4.2.2.2 Uji Haustman (Haustman Test)

Setelah dilakukan uji Chow terhadap estimasi data panel, maka dilanjutkan

dengan uji haustman, uji Hausman adalah pengujian statistik untuk memilih

apakah model Fixed Effect atau Random Effect yang lebih tepat digunakan dalam

regresi data panel. Uji ini dikembangkan oleh Hausman dengan didasarkan pada

ide bahwa LSDV di dalam model Fixed Effect dan GLS adalah efesien sedangkan

model OLS adalah tidak efesien, di lain pihak alternatifnya metode OLS efesien

dan GLS tidak efesien.

4.4 Tabel Hasil Estimasi Uji Haustman

Correlated Random Effects - Hausman Test


Equation: Untitled
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 2.173667 2 0.3373

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

PAD 1.672003 1.679038 0.016274 0.9560


DAU 1.782821 1.712912 0.003136 0.2119

*Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8

Dari tampilan diatas, nilai probabilitas Cross section random sebesar

0.3373 , yang nilainya > dari 0,05 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa model

terbaik untuk mengestimasi penelitian ini adalah menggunakan estimasi Random

Effect ( RE). Hal ini dikarenakan hasil dari uji chow dan uji hausmant

56
menunjukan model Random Effect lebih baik daripada model Fixed Effect dan

Common Effect.

Setelah dilakukan pemilihan model terbaik, maka sebelum hasil estimasi

di analisis lebih lanjut, maka perlu dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji

multikolineritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi, serta dilanjutkan dengan

pengujian secara statistik.

4.2.3. Uji Asumsi Klasik

4.2.3.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang

baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel (Priyastama, 2017: 122).

Untuk dapat menentukan apakah terdapat multikolinearitas dalam model

regresi pada penelitian ini maka dapat dilihat dari nilai koefisien matrix korelasi

variabel-variabel bebas. Apabila koefisien > 0.80, maka di dalam model regresi

terjadi multikolinearitas.

Adapun nilai korelasi variabel dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Corellations Independent Variabel.

PAD DAU
 1.000000  0.723451
 0.723451  1.000000
Sumber: Eviews 8, Diolah.
Pada tabel 4.5 terlihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki nilai lebih besar
dari 0.80 yang berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.

57
4.2.3.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan varian dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain

(Priyastama, 2017: 125). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi

heteroskedastisitas pada model adalah dengan melakukan uji glejser. Uji glejser

meregresikan variabel-variabel bebas terhadap residual absolut. Berikut ini adalah

hasil uji glejser pada penelitian:

Tabel 4.6 Hasil Estimasi Uji Glejser

Dependent Variable: RESABS


Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 03/21/18 Time: 23:43
Sample: 2007 2016
Periods included: 10
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 150
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD -0.058861 0.132375 -0.444654 0.6572


DAU 0.028259 0.066861 0.422649 0.6732
C 131938.7 31947.07 4.129915 0.0001

Karena nilai probabilitas variabel variabel bebas pada uji glejser > 0.05 , maka
pada model penelitian tidak terdapat adanya gangguan heteroskedastisitas.

4.2.3.3 Uji Autokorelasi

Autokorelasi terjadi jika terdapat korelasi antara observasi satu dengan observasi

yang berlainan waktu (untuk data time series) dan runtut ruang( untuk data cross

section) . Untuk mengetahui adanya autokorelasi dalam model regresi dilakukan

melalui pengujian terhadap nilai uji Durbin Watson (DW) dengan ketentuan

sebagai berikut:

58
a. Tidak terjadi autokorelasi apabila D-W test berkisar 2, yaitu terletak antara

du dan 4-du, pada umumnya nilai D-w yang berkisar antara 1,5 – 2.5

adalah bebas autokorelasi

b. Terjadi masalah autokorelasi apabila D-W < DL, atau D-W mendekati 0

berarti pada model mengalami autokorelasi positif, dan apabila D-W >

DL, maka model mengalami autokorelasi negatif.

c. Ragu –ragu / tanpa keputusan, yaitu jika DL < D-Wtest < Du atau 4-du <

d-w test < 4-dl. Oleh karena itu kita harus membandingkan nilai Durbin

watson test dengan nilai tabelnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.2 , nilai Durbin Watson Statistik

adalah senilai 2.006445 dengan n sebesar 150 sampel, dan nilai k = 2. Nilai D L

pada tabel Durbin Watson untuk n=150 sampel dan k=2 adalah 17062,

sedangkan nilai Du adalah 17602, setelah dihitung nilai 4-Du adalah 2.2398 dan

4-DL adalah 2.2938. Maka Pengujian Autokorelasi dapat diliat pada gambar

dibawah ini.

Autokorelasi Autokorelasi
Ragu -ragu Tidak Ada Ragu -ragu
Postif Negatif
Autokorelasi
DL 1.760 2
Du 1 .7 602

4- Du 1.760 2
4- DL 1 .7 602

2.0064
0 1 .7 602 1.7062 1.7602 2.2398 2.2938 4

Gambar.4.2 Pengujian Daerah Autokorelasi, Data Diolah (2018)

Karena nilai Durbin–watson statistik senilai 2.0064 dan terletak diantara Du dan

4-Du, maka pada model penelitian dinyatakan bebas autokorelasi.

59
Dengan demikian, asumsi- asumsi klasik seperti multikolinearitas,

heteroskedastisitas, dan autokorelasi dalam model regresi dapat dipenuhi dari

model ini.

4.2.3.4 Uji F statistik ( Uji Simultan)

Uji F adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap dependen

variabel.Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai signifikansi

dengan nilai α yang ditetapkan sebesar (0,05) atau 5%.

Tabel 4.7 Hasil Pengujian F hitung statistik

R-squared 0.637084    Mean dependent var 281963.4


Adjusted R-squared 0.632146    S.D. dependent var 459975.1
S.E. of regression 278979.3    Sum squared resid 1.14E+13
F-statistic 129.0261    Durbin-Watson stat 2.006445
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.575425    Mean dependent var 1056940.


Sum squared resid 2.56E+13    Durbin-Watson stat 0.991841

*Sumber: Hasil olahan data dari Eviews 8


Uji F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam
model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

Hipotesis :

Ho : Tidak ada pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah

terhadap Belanja Daerah

Ha : Ada pengaruh DanaAlokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap

Belanja Daerah

60
Kriteria pengujian :

Ho diterima jika Fhitung < Ftabel

Ha diterima jika Fhitung > Ftabel α = 5%

Dari hasil regresi diatas diperoleh F-tabel sebesar 129.1 (α = 5%)

sedangkan F-statistik/F-hitung sebesar 3.06. Maka dapat disimpulkan bahwa

terima Ha yang berarti secara bersama-sama variabel PAD, dan DAU,berpengaruh

secara signifikan terhadap variabel BD atau Belanja Daerah (F-hitung < F-tabel).

4.2.3.5 Uji T statistik ( Uji parsial )

Uji T statistik yaitu pengujian yang digunakan untuk mengetahui apakah variabel

independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen. Berikut adalah hasil

uji T yang dilakukan dalam penelitian ini yang dianalisis menggunakan software

eviews 8:

Tabel 4.8 Hasil Pengujian T statistik

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD 1.679038 0.398060 4.218055 0.0000


DAU 1.712912 0.199072 8.604470 0.0000
C 144200.6 112617.3 1.280447 0.2024

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 318523.7 0.5662


Idiosyncratic random 278814.6 0.4338

Berdasarkan hasil pada tabel diatas uji regresi parsial (Uji t) menunjukkan

bahwa nilai koefisien regresi variabel PAD sebesar 1,6790 dengan t sebesar 4.218

61
dengan probabilitas 0,000 hal ini menunjukkan pengaruh PAD terhadap BD

positif dan signifikan karena diterima pada alpha atau taraf signifikasi < 5% .

Sedangkan, nilai koefisien regresi variabel DAU sebesar 1.712 dengan t sebesar

8.604 dan taraf signifikansi sebesar 0.00< 0.05, hal ini menunjukan bahwa

pengaruh DAU terhadap BD adalah positif dan signifikan.

4.2.2.6 Analisis Flypaper Effect

Untuk melihat apakah terjadi flypaper effect atau tidak dapat dilihat dari

perbandingan antara koefisien DAU dan koefisien PAD, atau dapat difungsikan

jika b1 > b2 berarti > 1 maka terjadi flypaper effect (Tresch, 2002:924).

Menurut Pentury (2011:143) untuk mengatahui apakah terjadi flypaper

effect atau tidak di suatu daerah, maka dapat dilakukan dengan dua (2) cara yaitu:

a. Dengan melihat pengaruh dari PAD. Jika PAD tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap belanja daerah maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi

flypaper effect.

b. Melihat nilai koefisien dari variabel independent, yaitu DAU dan PAD. Jika

nilai koefisien yang dimiliki oleh PAD lebih besar dari nilai koefisien yang

dimiliki oleh DAU maka dapat dikatakan tidak terjadi flypaper effect. Sedangkan

sebaliknya jika nilai koefisien yang dimiliki oleh salah satu yang berasal dari

transfer daerah yaitu DAU lebih besar daripada nilai koefisien dari PAD maka

dapat dikatakan telah terjadi flypaper effect.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel diatas, maka dapat

disimpulkan terjadi flypaper effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-selatan

selama periode 2007-2016. Hal ini dikarenakan koefiesien Dana Alokasi Umum

62
lebih besar daripada koefisien Pendapatan Asli Daerah , dengan nilai koefisien

Pendapatan Asli Daerah yang hanya sebesar 1,679038 atau lebih kecil 0.33874

apabila dibandingkan dengan nilai koefisien Dana Alokasi Umum.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Flypaper Effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-Selatan

Pengujian Flypaper effect dapat dilihat dari besarnya nilai Dana Alokasi

Umum yang diterima oleh daerah kabupaten/kota dibandingkan dengan nilai

Pendapatan Asli Daerah yang dihasilkan oleh kabupaten/kota itu sendiri.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel diatas, maka dapat disimpulkan

terjadi flypaper effect di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera-selatan selama

periode 2007-2016. Hal ini dikarenakan koefisien Dana Alokasi Umum lebih

besar daripada koefisien Pendapatan Asli Daerah , dengan nilai koefisien

Pendapatan Asli Daerah yang hanya sebesar 1,679038 atau lebih kecil 0.33874

apabila dibandingkan dengan nilai koefisien Dana Alokasi Umum. Hal ini berarti

tingkat ketergantungan tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

masih cukup tinggi terhadap dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat

dalam melakukan kegiatan Belanja Daerah yang digunakan untuk fasilitas publik

dan pembangunan infrastuktur di tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan. Maka dari itu, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Salawi dan Lapian (2015) dan Oktavia (2014) yang menyimpulkan bahwa

flypaper effect terjadi pada daerah-daerah yang belum mandiri dalam kemampuan

pembiayaan keuangan, hal ini dikarenakan saat ini Provinsi Sumatera-Selatan

sedang giat dalam melakukan pembangunan, namun Pendapatan Asli Daerah yang

63
diterima belum mampu untuk membiayai keselurahan program/kegiatan Belanja

Daerah Pemerintah, sehingga masih sangat bergantung dengan dan transfer yang

diberikan oleh Pemerintah pusat.

4.3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Daerah


Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, koefisien variabel Dana Alokasi

Umum sebesar 1.72919 dengan t sebesar 8.60447 dan probabilitas 0,000. Hal ini

menunjukkan pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah positif dan signifikan

karena diterima pada alpha atau taraf signifikasi < 5%. Nilai Koefisien Dana

Alokasi Umum adalah sebesar 1,712912, artinya apabila variabel lain tidak

berubah atau dianggap konstan, maka jika Dana Alokasi Umum meningkat

sebesar 1 %, hal ini akan mempengaruhi peningkatan belanja daerah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 1,71 %. Hal ini sejalan

dengan hasil uji parsial/uji statistik dimana dana alokasi umum berpengaruh

positif signifikan sebesar 8,604 terhadap belanja daerah kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan. Keadaan ini menunjukan bahwa semakin tinggi Dana

Alokasi Umum yang diterima oleh pemerintah daerah maka akan semakin

meningkatkan besarnya Belanja Daerah pemerintah kabupaten/kota di tahun

berjalan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afriza

(2012) bahwa Dana Alokasi Umum sangat mempengaruhi besarnya Belanja

Daerah, akan tetapi hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian

yang dilakukan oleh Widodo ( 2007) yang menyatakan bahwa besarnya pengaruh

DAU tidak signifikan terhadap perkembangan Belanja Daerah. Hal ini

64
dikarenakan wilayah yang menjadi penelitian Widodo merupakan wilayah yang

tergolong mandiri dalam hal kemampuan keuangan. Adanya perbedaan hasil

penelitian ini dikarenakan masing-masing wilayah mempunyai karakteristik yang

berbeda serta kemampuan yang berbeda dalam hal kemampuan pengelolaan

keuangan daerah.

4.3.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Hasil estimasi regresi data panel menunjukan variabel Pendapatan Asli

Daerah secara statistik mempengaruhi variabel Belanja Daerah secara positif

signifikan karena nilai probabilitas variabel PAD 0.0000 atau < 0.05 (alpha 5%).

Nilai koefisien Pendapatan Asli Daerah sebesar 1,679038, artinya apabila variabel

lain tidak berubah atau dianggap konstan, maka jika Pendapatan Asli Daerah

meningkat sebesar 1 % maka hal ini akan mempengaruhi peningkatan Belanja

Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-Selatan sebesar 1,67%. Kesimpulan

ini sejalan dengan hasil uji parsial/uji statistik dimana pendapatan asli daerah

berpengaruh positif signifikan sebesar 4,2180 terhadap Belanja Daerah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, hal ini disebabkan karena PAD di

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera-selatan adalah faktor yang cukup dominan

dalam menentukan penyusunan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

daerah, yang terwujud pada perkembangan anggaran daerah (APBD). Penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Argi (2011) yang menyatakan

bahwa pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah positif

signifikan.

65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Variabel Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah secara bersama-sama

berpengaruh signifikan terhadap besarnya Belanja Daerah, Dana Alokasi Umum

dan Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh positif signifikan secara parsial,

namun meskipun variabel Dana Alokasi umum dan Pendapatan Asli Daerah

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah, Flypaper Effect

tetap terjadi pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera selatan periode 2007 hingga tahun 2016 .

5.2 Saran

Adapun saran dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karena nilai PAD berpengaruh signifikan terhadap perkembangan Belanja


Daerah di Provinsi Sumatera Selatan, maka peningkatan efektivitas dan
efisiensi dalam perolehan sumber-sumber PAD harus lebih diintensifkan.

2. Tiap-Tiap Pemerintah Daerah diharapkan dapat terus menggali potensi


penerimaan daerah agar tidak bergantung dari dana transfer dari
pemerintah pusat untuk pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur.

3. Memahami bahwa DAU tersebut hanyalah sebagai pemicu untuk


kemandirian suatu daerah sebagai langkah awal keberhasilan otonomi.
Sehingga dari alokasi dana tersebut, Pemerintah dapat bergerak aktif
dalam menggali sumber-sumber PAD yang berpotensi dapat menaikkan
persentase penerimaan PAD dan menurunkan dana alokasi yang diterima.

66

Anda mungkin juga menyukai