Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses dimana terdapat

peningkatan kemampuan dari perekonomian suatu negara dalam

memproduksi output yaitu barang dan jasa yang diwujudkan dalam bentuk

peningkatan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah

satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang

pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara atau suatu daerah

dalam periode waktu tertentu sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat.

Menurut Sukirno (2006:9), pertumbuhan ekonomi adalah sebagai suatu

ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian

dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah biasanya ditunjukan dengan

meningkatkan produksi barang dan jasa yang diukur dengan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang

dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau sektor-sektor ekonomi dalam suatu

wilayah dan periode waktu tertentu. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi

disuatu wilayah itu sama dengan pertumbuhan PDRB di wilayah tersebut

(BPS, 2011:11).

PDRB yang dijadikan sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi didalam

sistem pemerintahan desentralisasi ternyata belum mampu dihasilkan dengan

1
baik oleh daerah-daerah di Indonesia meskipun sistem pemerintahan

desentralisasi sudah berjalan cukup lama, salah satunya di kabupaten/kota

provinsi Kalimantan Timur.

Provinsi Kalimantan Timur yang terdiri dari 10 kabupaten/kota,

mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional terutama terkait

dengan sektor industri minyak dan gas bumi. Meskipun kabupaten/kota di

provinsi Kalimanan Timur merupakan kabupaten/kota yang didukung potensi

daerah yang cukup besar seperti penghasil minyak bumi, gas bumi, batu

permata, dan kekayaan sumber daya alam lainnya yang melimpah tetapi

potensi-potensi ini belum dapat dioptimalkan secara baik. Hal ini dapat dilihat

dari laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur dalam kurun waktu 10

tahun, yaitu sebagai berikut:

Grafik 1.1

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Timur Tahun 2004-2013

Sumber: BPS, 2004-2013 (Data Diolah)

Grafik 1.1 menunjukan fluktuasi laju pertumbuhan ekonomi di


2
Kalimantan Timur pada tahun 2007 dan 2009 disebabkan karena

terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan adanya krisis

global yang menyebabkan ekspor mengalami kontraksi sehingga

pertumbuhan ekonomi turun cukup tajam. Pasca pemulihan krisis ekonomi

global tahun 2010, perekonomian Kalimantan Timur mampu tumbuh

sebesar 5.10%. pada tahun 2012 ke 2013 pertumbuhan ekonomi

Kalimantan Timur mengalami perlambatan yaitu sebesar 1.58%

dikarenakan bergejolaknya perekonomian dunia khususnya negara-negara

tujuan ekspor dan kenaikan harga BBM yang kembali terjadi.

Kondisi ini mendorong terus melemahnya harga-harga komoditas

dunia khususnya migas dan batubara serta bergejolaknya nilai tukar rupiah

Indonesia serta inflasi yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 2013

sebesar 9.65%. Hal ini berdampak terhadap lambatnya pertumbuhan

ekonomi Kalimantan Timur khususnya masing-masing kabupaten/kota

nya yang memiliki andil besar terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi

Kalimantan Timur. Hal ini dapat dilihat dari PDRB menurut harga kostan

2000 dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, yaitu sebagai berikut

3
Tabel 1.1

PDRB Atas Harga Dasar Konstan 2000 Kabupaten/Kota Provinsi


Kalimantan Timur Tahun 2004-2013 (Dalam Jutaan)

RATA- RATA-
Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 RATA RATA 2004-
2004-2013 2013 (%)
5,670, 6,285, 6,827, 7,281, 4,921,1
Paser 576 681 145 880 45.0 11.82
Kutai 29,169, 29,426, 30,428, 30,653, 28,389,3
Kartanegara 411 708 221 253 48.0 1.40
16,978, 18,919, 21,319, 22,050, 15,855,9
Kutai Timur 570 768 122 861 11.3 11.85
4,602, 4,967, 5,364, 5,761, 3,987,2
Berau 169 314 332 194 52.5 6.61
1,984, 2,216, 2,296, 2,382, 1,902,0
PPU 292 080 179 347 50.8 4.72
16,205, 17,410, 17,846, 18,779, 15,232,9
Balikpapan 278 846 455 454 02.4 5.04
11,754, 13,373, 13,721, 14,801, 11,312,3
Samarinda 186 036 721 018 46.9 6.31
22,957, 21,037, 19,519, 18,276, 23,299,9
Bontang 709 449 453 790 48.4 -3.78
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur (diolah)

Dari tabel 1.1 nilai PRDB pada masing-masing kabupaten/kota setiap

tahunnya meningkat kecuali Kota Bontang yang nilai PDRBnya menurun dari

tahun 2010-2013, walau begitu Kota Bontang menduduki daerah yang

memiliki rata-rata PDRB dari tahun 2004-2013 kedua tertinggi setelah

Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu sebesar Rp. 23,299,948,400,000. Namun,

tingginya angka PDRB ini tidak diikuti dengan laju pertumbuhan ekonominya

yang menduduki pringkat terbawah diantara kabupaten/kota lainnya yaitu

sebesar -3,75%. Hal ini disebabkan oleh terus menurunnya produksi gas alam

cair dari PT. Badak NGL.

Kabupaten yang memiliki rata-rata nilai PDRB tertinggi yaitu Kutai

Kartanegara sebesar Rp. 28,389,348,000,000 dengan laju pertumbuhan yaitu

4
sebesar 1.40%. Daerah yang memiliki nilai PDRB terendah terdapat di

Kabupaten Penajam Paser Utara sebesar Rp. 1,902,050,800,000 dengan rata-

rata laju pertumbuhannya sebesar 4.72%. Hal ini menunjukan bahwa Penajam

Paser Utara walaupun memiliki nilai PDRBnya terendah dibanding daerah

lain namun pertumbuhan ekonominya setiap tahun mengalami peningkatan

yang cukup baik. Fluktuasinya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing

kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Timur ini menunjukan kinerja

perekonomian yang cukup baik tetapi masih kurang optimal pemanfaatan

dalam pengelolaan penerimaan keuangan daerah. Hal ini menunjukan bahwa

era desentralisasi fiskal dimana daerah diberi wewenang dalam mengurus

keuangan daerahnya ternyata banyak kabupaten/kota yang belum mampu

menunjukan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonominya.

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagimana diatur dalam

Undang-undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi

Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan

Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang

tersebut telah memberikan angin segar kepada daerah untuk mengelola

keuangan sendiri dengan lebih otonom. Hal tersebut disebabkan yang lebih

mengerti persoalan daerah adalah daerah itu sendiri sehingga pertumbuhan

daerah diharapkan menjadi lebih optimal (Darise, 2009:2).

Peran yang lebih besar telah diberikan kepada daerah termasuk

perencanaan pembangunan disegala sektor. Sebelum diberlakukannya UU

No.22 dan No. 25 tahun 1999 ini, pola perencanaan pembangunan lebih
5
bersifat sentralis (top down), tetapi dengan diberlakukannya undang-undang

tersebut maka pola perencanaan pembangunan bersifat desentralisasi (buttom

up) yang memberikan peluang kepada daerah untuk menentukan arah

pembangunannya. Kedua perangkat hukum ini diharapkan dapat memacu

lebih pesat pembangunan di daerah sehingga pertumbuhan ekonomi dapat

dicapai (BPS, 2011:7).

Pengelolaan daerah yang dimaksud dalam sistem pemerintahan

desentralisasi, khususnya mengenai penerimaan dan pengeluaran daerah yang

mana hal ini didalam sistem pemerintahan dikenal dengan istilah desentralisasi

fiskal, desentalisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada

masing-masing daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber

pendapatan daerah. Daerah memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahannya dalam pengelolaan keuangan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan

pelayanan kepada publik. Keluluasaan pemerintah daerah untuk meningkatkan

penerimaan daerahnya sehingga nantinya dapat digunakan untuk mendanai

kegiatan pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi daerah akan

tercapai, sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang nomor 33 tahun 2004.

Menurut Iskandar (2012:1), desentralisasi fiskal diharapkan membuat

pembangunan didaerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan

prioritas daerah, serta memberikan dampak positif bagi perkembangan

ekonomi regional.

6
Dari sisi penerimaan daerah, pajak daerah dan retribusi daerah merupakan

salah satu komponen dari pendapatan asli daerah (PAD). Pajak daerah dan

retribusi juga merupakan indikator utama dalam proses peningkatan

pertumbuhan ekonomi daerah serta bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan

desentralisasi fiskal karena pajak daerah dan retribusi daerah merupakan

sumber penerimaan daerah yang asli berasal dari daerah itu sendiri. Pungutan

berupa pajak daerah dan retribusi daerah harus sesuai dengan peraturan

undang-undang sebagaimana tercantum dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang

pajak daerah dan retribusi daerah, sebagaimana telah dirubah menjadi UU No.

34 Tahun 2000 dan terakhir dirubah menjadi UU No. 28 Tahun 2009.

Menurut pasal 1 UU No. 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah kontribusi

wajib kepada daerah yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Menurut Fatimah (2005), dalam studinya menunjukan hasil bahwa

pemungutan pajak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

dikarenakan pemungutan pajak oleh daerah akan membebankan masyarakat

yang akhirnya menurunkan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada

pertumbuhan ekonomi (Tamtomo, 2010:24). Namun disisi lain, pajak

merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah. Artinya penerimaan

pajak daerah digunakan pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana

sektor publik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menunjang


7
kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi/PDRB (Widodo,2011:viii).

Tabel 1.2

RATA-
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 RATA 2004-
2013
1,959,5 3,573,0 14,755,52 14,683,8 11,916,0 5,171,530
Paser 08 50 7 32 00 .20
Kutai 13,524,25 9,793,2 13,970,52 36,821,7 26,250,0 13,021,210
Kartanegara 4 96 5 37 00 .50
7,679,4 4,772,0 22,904,54 26,395,6 23,420,0 9,514,594
Kutai Timur 97 08 8 06 00 .70
8,456,6 4,725,5 18,941,21 22,941,2 22,086,5 10,236,818
Berau 51 12 0 40 00 .20
511,7 775,4 839,1 3,127,7 2,548,6 1,008,731
PPU 58 49 83 33 31 .30
76,186,34 88,442,3 170,370,07 259,940,1 245,025,3 105,619,656
Balikpapan 7 40 1 82 71 .01
49,492,79 59,240,4 109,428,92 159,827,9 160,351,6 68,824,438
Samarinda 0 48 6 41 29 .10
16,000,40 15,126,0 27,908,40 36,145,5 37,459,0 19,877,073
Bontang 8 14 5 79 00 .28
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan
Timur Tahun 2004-2013 (Dalam Ribuan)

Sumber: BPS Kalimantan Timur (diolah)

Tabel 1.2 menunjukan realisasi penerimaan pajak daerah yang diperoleh

masing-masing kabupaten/kota selama pelaksanaan desentralisasi fiskal di

provinsi Kaliamantan Timur mengalami fluktuasi yang naik turun. Pada tahun

2010 di kabupaten Kutai Kartanegara penerimaan pajak menurun sebesar Rp.

9,793,296,000 dibanding tahun 2009 sebesar Rp. 13,524,254,000 atau terjadi

penurunan sebesar -27.59% dan pada tahun yang sama terjadi penerimaan

pajak yag menurun di Kabupaten Berau dari Rp. 8,456,651,000 tahun 2009

menjadi Rp. 4,725,512,000 pada tahun 2010.

8
Tahun 2013 beberapa kabupaten seperti Kabupaten Paser, Kutai

Kartanegara, Kutai Timur, Berau, Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan

mengalami penurunan. Pemungutan pajak daerah rata-rata terbesar terdapat di

Kota Balikpapan sebesar Rp 105,619,656,010 dan disusul oleh Kota

Samarinda dengan nilai rata-rata penerimaan pajak daerah sebesar Rp.

68,824,438,100 dikarenakan Balikpapan dan Samarinda menjadi sentral

pembangunan di Kalimantan Timur dan pada tahun 2012 kedua kota tersebut

sudah memberlakukan pungutan pajak bumi dan bangunan perkotaan dan

pedesaan (PBB-P2) sehingga menambah pendapatan penerimaan pajak daerah

kedua kota tersebut. Hal ini menunjukan pemungutan pajak daerah pada

masing-masing daerah cukup baik namun masih kurang optimal mengingat

pemungutan pajak di setiap daerah masih timpang.

Selain pajak daerah, retribusi juga merupakan komponen penting dalam

pendapatan asli daerah (PAD) yang diharapkan akan dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi

atau badan (Darise,2009:67).

9
Tabel 1.3

Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi


Kalimantan Timur Tahun 2004-2013 (Dalam Ribuan)

RATA-RATA
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013
2004-2013
13,302,86 14,105,65 15,891,87 13,482,49 13,985,0
Paser 7 5 3 3 61 11,995,856.60
Kutai 30,987,76 18,838,1 11,600,27 9,651,4
Kartanegara 1 64 3 8,948,295 95 11,867,703.10
7,643,81 6,454,70 3,131,0
Kutai Timur 9,490,554 2 7 8,640,081 00 4,852,592.50
15,697,13 16,432,13 38,511,61 7,786,8
Berau 2 9 2 8,241,142 65 13,191,876.80
2,797,37 7,801,51 2,791,9
PPU 4,258,978 3 5 2,864,353 39 2,888,361.80
27,713,51 29,083,29 27,442,31 43,788,37 45,597,3
Balikpapan 4 0 2 8 80 28,221,029.69
44,170,87 51,338,49 48,807,62 56,956,04 57,930,3
Samarinda 4 4 7 6 96 38,954,566.30
2,862,24 3,663,36 3,541,1
Bontang 3,686,696 5 7 4,512,255 00 3,007,518.32
Sumber, BPS Kalimantan Timur (diolah)

Tabel 1.4 menunjukan realisasi penerimaan retribusi daerah pada masing-

masing kabupaten/kota menunjukan angka yang naik turun, namun cenderung

menurun pada masing-masing daerah. Penerimaan rata-rata retribusi terbesar

terdapat di Ibu Kota Kalimantan Timur yaitu Kota Samarinda sebesar Rp.

38,954,566,300 dan rata-rata terendah ada di Kota Bontang sebesar Rp.

3,007,518,320. Keadaan yang fluktuasi ini menunjukan masih kurang optimal

pemungutan retribusi daerah di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Timur.

Keadaan yang fluktuatif ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada

masing-masing kabupaten/kota Kalimantan Timur ini juga berfluktuatif.

Faktor ketiga dalam penelitian ini dari sisi pengeluaran yang

mempengaruhi pertumbuhan regional adalah belanja modal. Belanja modal

10
digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan asset

tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 1 tahun untuk

digunakan dalam kegiatan pemerintahan (Darise, 2012:137).

Perhatian dan fokus pemerintah daerah dalam mempercepat realisasi

anggaran khususnya pos belanja modal menjadi semakin penting karena

belanja modal merupakan bagian dari komponen investasi pemerintah,

sehingga dapat meningkatkan multiplier effect yang lebih besar terhadap

pembangunan ekonomi regional. Pada dasarnya belanja modal bersifat

produktif dan bersentuhan langsung dengan kepentingan publik sehingga

dapat menstimulus perekonomian di daerah yang bersangkutan (KEKR,

2014:64).

Tabel 1.4
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013
Paser 406,874,116 492,431,265 529,697,621 971,425,000 964,628,814
Kutai
Kartanegara 1,598,744,475 1,835,494,703 1,257,633,074 1,818,512,586 3,399,514,907
Kutai Timur 677,632,244 821,314,587 755,981,516 1,159,301,426 1,459,327,707
Berau 544,666,372 588,518,218 607,846,931 727,916,904 691,192,213
PPU 393,010,939 512,701,144 526,278,081 683,859,351 816,099,284
Balikpapan 471,123,147 263,753,854 92,425,381 478,328,929 1,125,880,229
Samarinda 571,800,497 432,384,758 281,096,174 707,992,552 1,323,624,144
Bontang 334,341,057 271,902,373 266,211,083 410,146,744 578,041,460
Realisasi Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan
Timur Tahun 2004-2013 (Dalam Ribuan)
Sumber: BPS, Kalimantan Timur

11
Tabel 1.4 menunjukan realisasi belanja modal di kabupaten/kota

Kalimantan Timur berfluktuasi namun cenderung meningkat dibeberapa

kabupaten di Kalimantan Timur. Realisasi belanja modal rata-rata tertinggi

dari tahun 2004-2013 terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp.

1,7848,648,846,200. Tingginya realisasi belanja modal di Kabupaten Kutai

Kertanegara ini juga berdampak pada tingginya rata-rata nilai PDRB dari

tahun 2004-2013 di Kutai Kartanegara. Realisasi pengeluaran belanja modal

terendah terdapat di Kota Bontang dengan rata-rata Rp. 326,004,433,500

namun, nilai rata-rata PDRBnya berada diposisi tiga terbesar. Dengan kata

lain, belanja modal yang tepat sasaran dan berfokus pada kegunaan dan

manfaat akan berdampak nantinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berbicara mengenai perekonomian, tenaga kerja merupakan sumberdaya

manusia yang dibutuhkan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan

dimana tenaga kerja menjadi motor penggerak dalam berjalannya proses

kegiatan ekonomi. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan

faktor pendorong yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. TPAK adalah

perbandingan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk berumur 15 tahun ke

atas, biasanya dalam satuan persen (BPS, 2010:12).

12
Tabel 1.5

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten/Kota Provinsi


Kalimantan Timur Tahun 2004-2013 (Dalam Persen)

RATA-
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 RATA
2004-2013
Paser 64.06 61.97 68.64 72.01 62.03 65.99
Kutai Kertanegara 65.96 67.65 68.04 64.53 62.08 64.53
kutai Timur 61.07 68.66 70.45 65.64 65.51 65.95
Berau 65.03 68.36 68.77 64.67 63.81 65.35
PPU 64.08 67.91 66.54 65.46 62.73 63.96
Balikpapan 64.10 64.70 69.12 65.46 65.04 63.72
Samarinda 62.03 64.73 67.48 64.35 60.81 62.26
Bontang 61.20 62.15 71.09 73.28 66.06 63.55
Sumber: BPS, Kalimantan Timur (diolah)

Tabel 1.5 menunjukan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada

masing-masing kabupaten/kota mengalami keadaan yang naik turun selama

periode 2009-2013. Rata-rata TPAK terendah dari tahun 2004-2013 terdapat

di Kota Balikpapan yaitu sebesar 62.26% yang berarti terdapat 62.26%

penduduk yang berpotensi menggerakan roda perekonomian dan TPAK Kota

Balikpapan mengalami penurunan selama tahun 2011-2013. Rata-rata

tertinggi terdapat di Kabupaten Paser yaitu sebesar 65.99%, namun semua

kabupaten/kota di Kalimantan Timur pada tahun 2013 mengalami penurunan

dibanding tahun sebelumnya yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada

tahun 2013 juga mengalami penurunan dibeberapa kabupaten.

Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka pengaruh pajak daerah, retribusi

daerah, belanja modal dan TPAK terhadap pertumbuhan ekonomi regional

menarik untuk diteliti. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh setiap

13
variabel tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi regional rentang waktu yang

digunakan adalah dari tahun 2004-2013. Hal ini dikarena pada tahun 2007 dan

2009 terjadi kenaikan harga BBM dan adanya krisis ekonomi global serta

tahun 2013, adanya gejolak perekonomian dunia yang mengakibatkan

pertumbuhan ekonomi di provinsi Kalimantan Timur melesu. Oleh karena itu,

penulis melakukan penelitian dengan judul:

“Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Belanja Modal dan

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Regional Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur

Periode 2004-2013”.

B. Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi provinsi Kalimantan Timur, khususnya di

kabupaten/kotanya cenderung fluktuatif selama 10 tahun terakhir.

Perkembangan nilai PDRB di kabupaten/kota Kalimantan Timur terjadi

peningkatan yang besar setiap tahunnya. Namun, laju pertumbuhan PDRBnya

berfluktuasi namun cenderung menurun. Hal ini dikarena pada tahun 2007 dan

2009 terjadi kenaikan harga BBM dan adanya krisis ekonomi global serta

tahun 2013, adanya gejolak perekonomian dunia dan terjadinya inflasi sebesar

9,65 persen yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di provinsi

Kalimantan Timur melesu.

Masalah yang penting dalam hal penerimaan daerah melalui pajak daerah

dan retribusi daerah, serta dari sisi pengeluaran daerah melalui belanja modal

setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Dimana pengelolaan keuangan yang


14
kurang optimal serta relisasi belanja modal yang naik turun menjadi penyebab

pertumbuhan ekonomi daerah berfluktuatif. Keadaan tingkat partisipasi

angkatan kerja yang naik turun juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi naik turunnya pertumbuhan ekonomi regional di

kabupaten/kota Kalimantan Timur. Berdasarkan penjelasan yang sudah

peneliti kemukakan dalam latar belakang, maka dapat disusun rumusan

masalah penelitian sebagai berikut:

1. Berapa besar pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Belanja Modal

dan TPAK secara Parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2004-2013?

2. Berapa besar pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Belanja Modal

dan TPAK secara bersama-sama terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2004-

2013?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Belanja

Modal dan TPAK secara bersama-sama terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2004-

2013.

15
2. Untuk mengetahui Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Belanja Modal dan

TPAK secara parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2004-2013.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dalam

merumuskan kebijakan untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan

ekonomi di daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang

dicerminkan dari PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Timur.

2. Kegunaaan ilmiah dari penelitian ini sebagai sumbangan informasi,

pengetahuan, serta menambah wawasan untuk kemajuan ilmu

pengetahuan dengan menekankan pada pertumbuhan ekonomi melalui

indikator PDRB

3. Manfaat akademis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah

literature dan sumber informasi di lingkungan program sarjana di fakultas

ekonomi dan bisnis khususnya program studi ilmu ekonomi dan studi

pembangunan.

16

Anda mungkin juga menyukai