Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN


KETIMPANGAN PENDAPATAN PADA WILAYAH
TAPANULI
TAHUN 2015-2020

OLEH :

NAMA : DWI ENJENIA TAMBUNAN

NIM : 7183520018

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah yang mulai diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2001
memberikan implikasi penyerahan kewenangan yang luas kepada daerah dalam
mengatur dan mengurus diri sendiri dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dalam kerangka pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan,
kebijakan alokasi atau transfer dana pusat ke daerah apapun sistem, bentuk dan
jenisnya diserahkan kepada daerah melalui otonomi daerah atau desentralisasi.
Umumnya, implementasi otonomi daerah dalam pelayanan publik melalui transfer
dana ke daerah diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai
instrumennya. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan dua hal yang
saling melengkapi dalam mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik. Oleh karenanya otonomi daerah membutuhkan kebijakan
desentralisasi fiskal (Saragih, 2003:11-12). Otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyakat melalui penyerahan
dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang
diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi fiskal lebih banyak bersinggungan dengan persoalan
kebijakan fiskal nasional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Namun demikian, kebijakan desentralisasi fiskal juga berpengaruh
langsung terhadap kondisi keuangan daerah khususnya APBD. Konsep
desentralisasi fiskal dalam kebijakan fiskal nasional mempunyai pengaruh
terhadap struktur dan fungsi dari keuangan daerah atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
merupakan bentuk pengelolaan keuangan pada otonomi daerah dengan
berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005. APBD merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang pelaksanaannya menggambarkan kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan daerah
yang dilakukan dengan baik sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, akan
meningkatkan kinerja pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, potensi fiskal pemerintah daerah
antara satu dengan daerah yang lain menjadi sangat beragam. Dan desentralisasi
fiskal menuntut kemampuan ekonomi setiap daerah agar mandiri dan dapat
bersaing dengan daerah yang lain. Oleh karena itu kebijakan yang diambil oleh
pemerintah daerah dalam menggali dan mengenali potensi dan mengidentifikasi
sumber-sumber daya yang dimilikinya menjadi sumber-sumber keuangan harus
kreativitas dan inisiatif. Daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan sebagai
pendanaan untuk membiayai kegiatan pemerintahan sehingga, kebijakan
desentralisasi fiskal sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian fiskal dalam
menopang keperluan kepemerintahan daerah dapat tercapai
Desentralisasi fiskal merupakan strategi yang tepat untuk mewujudkan
kemandirian keuangan daerah dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan
daerah sesuai dengan potensi, kondisi dan aspirasi yang berkembang dimasyarakat
setempat. Kemandirian daerah dapat diwujudkan lewat struktur PAD yang kuat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan daerah yang diperoleh dari
daerah sendiri.
Semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD maka semakin besar
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi.
Rasio kemandirian bisa dijadikan dasar dalam pengambilan masalah dalam
penelitian ini, karena rasio kemandirian mengindikasikan kemampuan pemerintah
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan. kemandirian keuangan
daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD)
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lainnya
misalnya bantuan pemerintah pusat. B

Hal ini mengindikasikan bahwa Pendapatan Asli daerah (PAD) yang tinggi
menunjukkan kemandirian keuangan yang tinggi. Suatu daerah dikatakan
semakin mandiri apabila daerah tersebut tidak bergantung pada bantuan
pemerintah pusat. Semakin tinggi kontribusi PAD dan semakin tinggi kemampuan
daerah untuk membiayai dirinya sendiri, maka hal tersebut akan berdampak pada
kinerja keuangan yang positif. Kinerja keuangan yang positif dapat diartikan
sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan
daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut (Pambudi,
2008).

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kemandirian keuangan


daerah berarti pemerintah daerah dapat melakukan pembiayaan dan
pertanggungjawaban keuangan sendiri dan dapat meningkatkan tingkat
kemandirian daerahnya dengan cara mengurangi ketergantungan fiskal pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat.. Menurut Desita (2015), suatu daerah dikatakan
otonom apabila PAD yang disumbangkan berkisar 30% dari total APBD. Menurut
hasil penelitian Muliana (2009) semakin besar PAD dibandingkan dengan bantuan
pemerintah pusat dan pinjaman maka Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut
dikatakan mandiri. Jika rasio kemandirian tinggi, berarti ketergantungan
pemerintah daerah terhadap bantuan eksternal (terutama pemerintah pusat dan
provinsi) rendah dan sebaliknya ( Nugraha, 2018 ).

Tabel 1.1
Realisasi PAD Kabupaten/kota di Wilayah Tapanuli
2015-2020
(000 rupiah)
Kabupaten
2015 2016 2017 2018 2019 2020
/Kota
Tapanuli
65.224.735 71.758.982 72.710.309 76.660.083 88.441.123 87.469.318
Tengah
Tapanuli
82.861.214 94.783.155 162.441.906 105.656.763 120.736.498 348.417.723
Utara
Toba
30.986.265 54.391.304 54.840.824 52.298.961 68.042.531 49.852.010
Samosir
Humbang
35.237.806 42.096.842 85.598.357 92.735.854 73.757.932 67.937.695
Hasundutan
Samosir 34.298.410 39.268.200 72.228.748 47.440.830 60.497.451 60.373.806
Sibolga 60.486.786 68.537.903 103.672.204 81.245.734 69.311.245 79.539.316
Sumber : BPS Sumut
Wilayah tapanuli terdiri dari Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba
Samosir, Humbang hasundutan, Samosir, Sibolga, Nias, Nias Selatan, Dairi dan
Pakpak Barat dengan fokus daerah penelitian yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli
Utara, Toba Samosir, Humbang hasundutan, Samosir, dan Sibolga. Pada tabel 1.1
dapat dilihat bahwa Pendapatan Asli Daerah wilayah tapanuli pada tahun 2015 –
2020 rata-rata mengalami peningkatan, untuk kabupaten Tapanuli Tengah pada
tahun 2015 sekitar Rp 65.224.735 meningkat menjadi Rp 71.758.982 dan terus
meningkat ditahun berikutnya. Begitu juga ke lima kabupaten/kota lainya yang
juga terus mengalami peningkatan. Sedangkan untuk kabupaten/kota dengan
perolehan terendah dari ke 6 kabupaten/kota pada tahun 2015 adalah kabupaten
Toba Samosir. Pada tahun 2016-2020. Hal ini tentunya banyak upaya–upaya yang
dilakukan oleh pemerintah daerahnya dalam menggali sumber penerimaan.
Kenaikan pendapatan asli daerah ciri utama yang menunjukkan suatu daerah
otonom mampu berotonomi, karena daerah memiliki kemampuan untuk mengurus
rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerahnya
sendiri. Semakin banyak pendapatan yang dihasilkan daerah akan mampu
melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini mencerminkan
masih tergantungnya pemerintah daerah terhadap bantuan dana dari pemerintah
pusat atau dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak diiringi dengan mandirinya
keuangan suatu daerah tersebut. Oleh karena itu fenomena dalam penelitian ini
yaitu mengenai kemandirian keuangan daerah di wilayah Tapanuli.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa setiap tahun selama periode 2013-
2016 pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara
mengalami kenaikan. Namun pendapatan asli daerah yang tidak diikuti
pertumbuhan ekonomi menyebabkan meningkatnya tingkat
pengangguran ,kemiskinan dan ketimpangan antar daerah. Peningkatan
pendapatan seharusnya menghasilkan kinerja pembangunan daerah yang semakin
baik, yang diukur dari pertumbuhan ekonomi. Kebijakan desentralisasi oleh
pemerintah pusat memiliki tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dalam
pengelolaan rumah. Dengan adanya kebijakan desentralisasi, daerah mendapat
kesempatan untuk mengelola rumah tangganya sendiri untuk mencapai
kemandirian daerah. Dengan wewenang yang dimiliki, pemerintah daerah
diharapkan akan mampu mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada di
setiap daerah karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kondisi serta
apa yang dibutuhkan daerah. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah
dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam
ekonomi secara lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat
Desentralisasi fiskal adalah salah satu program kebijakan dengan
mempertimbangkan kondisi daerah, kekayaan SDA di daerah serta SDM yang
berada di daerah. Daerah yang memilliki sumber daya yang melimpah akan
mempunyai modal yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonominya,
sementara daerah yang memiliki sumber daya terbatas harus bisa memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya agar lebih efektif yang pada akhirnya hal ini
menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun hasilnya, yakni
pendapatan antar daerah. Ketimpangan antar daerah akan terus terjadi bahkan
meningkat apabila tidak adanya implikasi atau kebijakan dari pemerintah dalam
menurunkan ketimpangan tersebut, baik dari sisi fiskal maupun distribusi
pendapatan. Dalam hal ini, diperlukan campur tangan pemerintah dalam
memecahkan permasalahan. Pemerintah berusaha untuk menurunkan ketimpangan
pendapatan salah satunya dengan melalui penyelenggaraan desentralisasi fiskal
(Nurman, 2013). Merujuk pada penelitian Rosmeli (2010), diketahui bahwa
semenjak diimplementasikannya desentralisasi fiskal berdampak pada semakin
meluasnya ketimpangan antar wilayah di Indonesia bila dibandingkan dengan
sebelum diberlakukannya desentralisasi fiskal.
Sebagian peneliti berpendapat bahwa desentralisasi fiskal merupakan alat
yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi sektor publik serta mengurangi
kesenjangan antar daerah (Akai dan Sakata, 2005). Dengan adanya desentralisasi,
maka pemerintah daerah dapat menyediakan pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan masyarakat daerah secara efisien (Siburian, 2020). Hasil penelitian
Ezcurra & Pascual (2008) menemukan bahwa desentralisasi fiskal dapat
mengurangi ketimpangan pendapatan, hal ini sejalan dengan penelitian Tselios et
al., (2012) bahwa desentralisasi fiskal dapat menurunkan ketimpangan pendapatan
regional seiring meningkatnya pendapatan regional.
Berdasarkan studi-studi terdahulu, desentralisasi fiskal merupakan salah
satu kebijakan yang dapat mempengaruhi kemandirian keuangan daerah dan
efektivitas distribusi pendapatan sehingga akan lebih memeratakan pembangunan
sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi
masing-masing. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui
hubungan antara desentralisasi fiskal terhadap kemandirian keuangan daerah dan
ketimpangan pendapatan di Wilayah Tapanuli.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh kemandirian keuangan daerah di
Wilayah Tapanuli periode 2015 -2020?
2. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap dan ketimpangan pendapatan
di Wilayah Tapanuli periode 2015 -2020?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kemandirian
keuangan daerah di Wilayah Tapanuli periode 2015 -2020
2. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan
pendapatan di Wilayah Tapanuli periode 2015 -2020

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan terutama bagi peneliti sendiri, bagi pemerintah daerah, dan
bagi peneliti selanjutnya.
1. Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam memperluas
pengetahuan serta memperluas kajian mengenai pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah dan ketimpangan pendapatan
daerah.
2. Bagi Peneliti
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
meningkatkan pengetahuan serta wawasan peneliti mengenai pengaruh
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah
dan ketimpangan pendapatan daerah serta salah satu syarat bagi peneliti dalam
menyelesaikan perkuliahan.
3. Bagi Pemerintah Daerah
Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan tambahan informasi bagi pemerintah daerah
mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemandirian
keuangan daerah dan ketimpangan pendapatan daerah.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan penelitian ini menjadi referensi atau
diharapkan sebagai bahan kajian peneliti-peneliti lain untuk menulis topik yang
sama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemandirian Keuangan Daerah


Menurut Halim (2014), Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004, kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah
dapat melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri,
melaksanakan sendiri dalam rangka asas desentralisasi. Tangkilisan (2007)
mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
keuangan daerah, antara lain:
(1) Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur
potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); dan
(2) Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan daerah
dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau
lembaga yang inovotif dan pemanfaatan lembaga Dispenda untk meningkatkan
penerimaan daerah.
Menurut Madiasmo (2002), ada beberapa referensi yang digunakan untuk mengukur
kemandirian keuangan daerah, yaitu:
(i) rasio kemandirian keuangan daerah menjelaskan bahwa ketergantungan
pemerintah daerah terhadap sumber dana luar atau eksternal;
(ii) kemampuan keuangan daerah, bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh
kondisi keuangan dapat mendukung otonomi daerah;
(iii) rasio efektivitas, bertujuan untuk mengukur sejauh mana kemampuan
pemerintah dalam memobilisasi penerimaan pendapatan sesuai dengan
yang ditargetkan; dan
(iv) derajat desentralisasi fiskal, menunjukkan seberapa besar kemandirian fiskal
suatu daerah yang dihitung berdasarkan rasio Pendapatan Asli Daerah
terhadap Total Penerimaan Daerah.
Astuti & Haryanto (2006) menyatakan bahwa otonomi daerah memiliki
filosofi untuk mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan yang
diukur menggunakan unsur Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kemandirian
keuangan daerah dapat dilihat besarnya PAD dibandingkan dengan penerimaan
transfer dari pusat. Menurut Halim (2007) kemandirian keuangan daerah dapat
diukur dengan menggunakan rasio pendapatan asli daerah dibagi dengan total
pendapatan daerah. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Rasio kemandirian = PAD/ Total pendapatan daerah x 100%
Kemandirian keuangan daerah dapat menunjukkan local taxing power suatu
daerah, serta kemampuan PAD dalam mendanai belanja daerah yang dianggarkan
untuk memberikan pelayanan publik kepada bmasyarakat. Apabila hasil rasio
kemandirain keuangan daerah tinggi maka daerah mampu memenuhi
kebutuhannya tanpa melibatkan campur tangan pemerintah pusat singkatnya
angka ketergantungan daerah terhadap pihak lain (pemerintah pusat khususnya)
semakin kecil dan berlaku sebaliknya.
Tabel 1.1
Pola Hubungan Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Kemampuan Pola Hubungan
(%) Keuangan
0-25 Rendah Sekali Instruktif
>25-50 Rendah Konsultatif
>50-75 Sedang Partisipatif
>75-100 Tinggi Delegatif
Sumber : Halim (2007)

2.2 Ketimpangan Pendapatan


Pengukuran Ketimpangan
a. Kurva Lorenz Kurva Lorenz
mengggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-
lapisan penduduk secara kumulatif pula.
b. Koefisien Gini
Koefisien gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, yang
menjelaskan kadar kemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0
berarti distribusi pendapatan semakin merata, sebaliknya koefisien yang semakin
mendekati 1 berarti distribusi pendapatan semakin timpang.
c. Indeks Williamson
CVW =
dimana:
CVw = Indeks ketimpangan pendapatan wilayah
Fi = Jumlah penduduk di propinsi i
n = Jumlah penduduk nasional
Yi = Pendapatan perkapita di propinsi i
Y = Rata-rata pendapatan perkapita untuk seluruh propinsi

Tabel Patokan Nilai Koefiseien Gini


Nilai Koefisien Distribusi Pendapatan

< 0,4 Tingkat ketimpangan rendah

0,4 – 0,5 Tingkat ketimpangan sedang

> 0,5 Tingkat ketimpangan tinggi


Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Per.25/MEN/IX/2009

2.3 Desentralisasi Fiskal


Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, desentralisasi sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Singkatnya, pemerintah daerah
diberikan kesempatan untuk menentukan regulasi terhadap anggaran. Dengan
adanya kebijakan desentralisasi, daerah mendapat kesempatan untuk mengelola
rumah tangganya sendiri untuk mencapai kemandirian daerah. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal adalah agar pemerintah daerah dapat meningkatkan tingkat
kemandirian daerahnya dengan cara mengurangi ketergantungan fiskal pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat.
Tabel
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
DDF (%) Keterangan
0,00 – 10,00 % Sangat kurang
10,01 – 20,00 % Kurang
20,01 -30,00 % Sedang
30,01 -40,00 % Cukup
40,01 – 50,01 % Baik
>50,00 % Sangat baik
Sumber: Hanafi dan Mugroho (2005:80)

Peneliti Terdahulu
Berikut adalah penelitian terdahulu terkait Tingkat Kemandirian Keuangan
Daerah:
1. Neneng (2018)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PAD dan dana
Perimbangan terhadap kemandirian keuangan daerah pada pemerintahan
kota Tasikmalaya tahun 2006-2015. Metode yang digunakan metode
deskriptif dengan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PAD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
kemandirian keuangan daerah. Jika PAD meningkat, maka tingkat
kemandirian keuangan daerah juga akan meningkat , dan sebaliknya. Dana
perimbangan secara parsial berpengaruh signifikan, Hal ini menunjukkan
dana perimbangan yang diterima lebih kecil dari PAD akan meningkatkan
kemandirian keuangan daerah, dan sebaliknya.
2. Afarahim (2013)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PAD dan Dana
perimbangan terhadap Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten
Indragiri Universitas Sumatera Utara 21 Hilir periode 2005-2010. Hasil
penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan antara PAD
terhadap kemandirian Keuangan Daerah Indragiri Hilir. PAD memiliki
kontribusi yang sangat rendah dalam meningkatkan Kemandirian
Keuangan Daerah dan tidak terdapat pengaruh signifikan antara Dana
Perimbangan terhadap tingkat Kemandirian Keuangan daerah. Dana
Perimbangan juga memiliki kontribusi yang sangat rendah dalam
meningkatkan Kemandirian Keuangan Daerah.
3. Sultan dan Jamzani Sodik (2010)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketimpangan regional antar
kabupaten di DIY dan Jawa Tengah serta pengaruh penanaman modal asing dan
ekspor terhadap ketimpangan tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah
analisis dengan mengaplikasikan metode OLS (Ordinary Least Squared), dan
menggunakan data time series dalam kurun waktu 5 tahun (time series)mulai
tahun 2000-2004. Tahun 2000 dipilih sebagai tahun awal penelitian karena tahun
tersebut telah terjadi pemulihan (recovery) perekonomianIndonesia setelah
terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 - 1998. Sedangkan variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ketimpangan pendapatan
regional, pertumbuhan penanaman modal asing, pertumbuhan ekspor,
pertumbuhan PDRB. Model regresi dalam penelitian ini sebagai berikut: = + + +
+ ......................... (2.7)
Keterangan:
Y = Ketimpangan
β = Konstanta = Koefisien
i = Cross section (35 kabupaten/kota)
t = Time series (tahun 2000-2004)
X1= Pertumbuhan penanaman modal asing (FDI)
X2= Pertumbuhan eksport
X3= Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis ini dapat diperoleh bahwa: terdapat
ketimpangan pendapatan regional di DIY dan Jawa Tengah dalam tahun 2000
sampai dengan tahun 2004. Pertumbuhan penanaman modal asing mempunyai
pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan regional.
Pertumbuhan ekspor mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan regional. Pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan.

Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Nama Variabel Penelitian Hasil Penelitan
Tahun Judul Penelitian Independen Dependen
1. Afarahim Pengaruh Pendapatan Kemandirian Hasil penelitian
(2013) Pendapatan Asli Asli daerah Keuangan menunjukkan
Daerah dan dana dan Dana daerah bahwa tidak
Perimbangan perimbangan terdapat
terhadap pengaruh
kemandirian signifikan antara
keuangan daerah Pendapatan Asli
Daerah di Daerah terhadap
Kabupaten Kemandirian
Indragiri Hilir Keuangan
periode 2005- Daerah Indragiri
2010. Hilir. Dan Tidak
terdapat
pengaruh
signifikan antara
Dana
Perimbangan
terhadap
kemandirian
Keuangan
Daerah Indragiri
Hilir.
2. Neneng Pengaruh Pendapatan Kemandirian Pendapatan asli
(2018) Pendapatan Asli Asli Daerah, Keuangan daerah secara
Daerah dan dana Dana daerah parsial
Perimbangan Perimbangan berpengaruh
terhadap signifikan
kemandiria n terhadap
keuangan daerah kemandirian
(Studi kasus pada keuangan
pemerintah an daerah. Dana
kota Tasikmalay perimbangan
a tahun 2006- secara parsial
2015) berpengaruh
signifikan
terhadap
kemandirian
keuangan
daerah.
3. Sultan Analisis Ketimpa pertumbuhan Ketimpangan Terdapat
dan ngan Pendapatan penanaman pendapatan ketimpangan
pendapatan
Jamzani Regional di DIY- modal asing, regional regional di DIY
Sodik Jawa Tengah serta pertumbuhan dan Jawa
(2010) faktor-faktor yang ekspor, dan
Tengah pada
tahun 2000-
Mempengaruhi pertumbuhan 2004.
periode 2000- 2004 PDRB Pertumbuhan
penanaman
modal asing
mempunyai
pengaruh negatif
dan signifikan
terhadap
ketimpangan
pendapatan
regional.
Pertumbuhan
ekspor
mempunyai
pengaruh negatif
dan signifikan
terhadap
ketimpangan
pendapatan
regional.
Pertumbuhan
Produk
Domestik
Regional Bruto
(PDRB)
mempunyai
pengaruh negatif
dan signifikan
terhadap
ketimpangan
pendapatan
4. Ezcurra
&
Pascual
(2008)
5.
Akai dan
Sakata
(2005
6.
Rosmeli
(2010)

2.3 Kerangka Konseptual


Kerangka konseptual menjelaskan bagaimana keterkaitan teori-teori yang
berhubungan dengan variabel yang akan diteliti, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan teoritis yang telah
dijelaskan sebelumnya, peneliti membuat kerangka konseptual sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kemandirian Keuangan
Daerah

Desentralisasi Fiskal
Ketimpangan
Pendapatan

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap suatu masalah dan masih harus
dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual,
maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan
Daerah
Desentralisasi Fiskal merupakan
Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah yaitu
semakin tinggi Desentralisasi Fiskal yang menunjukkan derajat kemandirian suatu
daerah semakin mampu membiayai pembangunan daerah tersebut maka kinerja
keuangan pemerintah daerah meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada pengaruh
yang signifikan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula
diskresi daerah untuk menggunakan PAD sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan Penelitian terdahulu Neneng (2018)
menjelaskan bahwa Kemandirian keuangan daerah dapat dilihat dari besarnya pendapatan
asli daerah yang diperoleh oleh tiap pemerintahan kabupaten/ kota.
H1: Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif terhadap Tingkat Kemandirian
Keuangan Daerah

2. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Ketimpangan Pendapatan

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitan


Dalam melakukan penelitian dibutuhkan adanya suatu metode. Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh Desentalisasi
Fiskal terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dan Ketimpangan Pendapatan di
Wilayah Tapanuli. Hubungan yang akan di uji adalah hubungan secara parsial atau
simultan terhadap variabel dependen.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penulis mengumpulkan dan menganalisis data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini. Penelitian ini dilakukan pada pemerintahan kabupaten dan kota di
wilayah Tapanuli dalam jangka waktu 2015-2020. Penelitian ini dilakukan dengan cara
meneliti dan mempelajari data sekunder yakni dokumen dari situs BPS SUMUT sesuai
dengan data yang dibutuhkan.

3.3 Jenis Data dan Sumber Data


3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan dan disatukan oleh studi studi sebelumnya. Biasanya
sumber tidak langsung berupa data dokumentasi dan arsip – arsip resmi.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data Pendaapatan Asli
Darah dan realisasi APBD tahun 2015-2020.

3.3.2 Sumber Data

Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini diperoleh melalui situs
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Republik Indonesia
(http://www.djpk.kemenkeu.go.id) untuk data realisasi APBD, dan situs resmi
Badan Pusat Statistik (https://www.bps.go.id) untuk data pertumbuhan ekonomi.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi
Menurut Erlina (2011 : 81), ‟Populasi adalah sekelompok entitas yang lengkap yang
dapat berupa orang, kejadian, atau benda yang mempunyai karakteristik tertentu yan
berkaitan dengan masalah penelitian‟. Populasi bisa berupa orang, benda, objek,
peristiwa atau apapun yang menjadi objek dari survei. Populasi penelitian ini adalah
Realisasi APBD dan Pendapatan Asli Daerah dari 5 Kabupaten dan 1 Kota yang ada di
wilayah Tapanuli untuk tahun 2015 – 2020.

3.3.2 Sampel

Menurut Erlina (2011 : 82), ‟Sampel adalah bagian populasi yang digunakan untuk
memperkirakan karakteristik populasi‟‟. Metode pengambilan sampel dilakukan
purposive sampling yang dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan
kriteria tertentu. Adapun kriteria yang ditentukan oleh peneliti dalam pengambilan
sampel adalah sebagai berikut:

1. Tersedianya data Pendapatan Asli Daerah masing – masing kabupaten/kota


diWilayah Tapanuli pada Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2015-2020.
2. Daerah Kabupaten/ Kota diWilayah Tapanuli yang mempublikasi laporan
Realisasi APBD dalam situs Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan www.djpk.menkeu.go.id selama
2012 – 2015. Berdasarkan kriteria sampel tersebut, didapatkan sebanyak 6
sampel yang memenuhi kriteria yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kota di
Wilayah Tapanuli, sehingga jumlahnya 36 sampel (6 dikali 6 tahun ).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa Laporan


Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Laporan Realisasi APBD dengan runtut waktu
(time series) 6 tahun berturut-turut dari tahun 2015 sampai dengan 2020, dan data
cross section yang terdiri atas 6 kabupaten/kota, sehingga merupakan pooled the
data yaitu kombinasi antara data time series (tahun 2015-2021 : 6 tahun) dengan
data cross section 6 kabupaten/kota. Sumber data dari penelitian ini dari publikasi
BPS Sumut .

3.6 Defenisi Operasional


Operasional variabel adalah cara untuk mengukur suatu konsep dan bagaimana konsep
harus di ukur sehingga terdapat variabel - variabel yang saling mempengaruhi dan di
pengaruhi. Berikut Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
3.6.1 Variabel Independen (X)
Variabel independen atau yang disebut juga variabel bebas adalah variabel yang dianggap
berpengaruh terhadap variabel lain (variabel terikat) dan mempunyai pengaruh positif
ataupun negatif bagi variabel terikat nantinya. Variabel independen dalam penelitian ini
adalah Desentalisasi Fiskal.
3.6.2 Variabel dependen (Y)
Variabel dependen disebut juga variabel terikat merupakan variabel yang tergantung atau
dapat dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel dependen dalam penelitian ini akan
diuraikan dalam pernyataan dibawah ini.
3.6.2.1 Kemandirian Keuangan Daerah (Y1)
Tingkat kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber yang diperlukan
daerah (Muliana, 2009).
Rasio tingkat kemandirian keuangan daerah sesuai dengan dihitung dengan menggunakan
formula :
Realisasi PAD
Kemandiriankeuangan = x 100 % 3.6.2.2
Realisasi Total Pendapatan Daerah
Ketimpangan Pendapatan (Y2)
Ketimpangan Pendapatan adalah kesenjangan yang terjadi diantara kelompok
kecamatan berpendapatan rendah dan kelompok kecamatan berpendapatan tinggi
yang terjadi karena ketidakmerataan distribusi pendapatan di Wilayah Tapanuli

3.7 Skala Pengukuran


Skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio. Skala rasio merupakan skala
interval yang memiliki nilai nol mutlak, sehingga dapat dibuat dalam perkalian ataupun
pembagian. Skala ini menunjukkan jenis pengukuran yang jelas dan akuraBerdasarkan
definisi operasional yang telah dijelaskan sebelumnya, maka skala pengukuran variabel
dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 3.1
Skala Pengukuran Variabel
Variabel Pengukuran Skala
Independen
1.Desentralisasi RASIO
Fiskal
Dependen
2. Tingkat Realisasi PAD RASIO
x 100 %
Kemandirian Realisasi Total Pendapatan Daerah
Keuangan
Daerah
3. Ketimpangan GR = 1 - ∑fi [Yi + Y i-1] RASIO
Pendapatan

3.8 Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan teknik
perhitungan statistik. Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini akan
menggunakan bantuan aplikasi pengolahan
3.8.4 Uji Koefisien Determinasi (R2 )
Koefisien determinasi atau R2 digunakan untuk mengetahui apakah besarnya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai R Square (R2 ) memiliki nilai antara 0-1,
semakin mendekati satu menunjukkan pengaruh yang semakin kuat sedangkan semakin
mendekati 0 berarti pengaruh variabel bebas terhadap variable terikat lemah. (Kleinbaum,
1998:89).
3.8.5 Uji Statistik F (F-test
Uji F ini dilakukan untuk menguji secara serentak variabel independen mempunyai
pengaruh terhadap variabel dependen (Priyatno, 2009: 48). Kriteria pengujiannya (Uji-F)
adalah seperti berikut ini:
1) Ho diterima dan Ha ditolak, yaitu apabila value > 0.05 atau bila nilai signifikansi lebih
dari nilai α = 0,05 berarti model regresi dalam penelitian ini tidak layak (fit) untuk
digunakan dalam penelitian.
2) Ho ditolak dan Ha diterima, yaitu apabila value ≤ 0.05 atau bila nilai signifikansi
kurang dari atau sama dengan nilai α = 0,05 berarti model regresi dalam penelitian ini
layak (fit) untuk digunakan dalam penelitian.
3.8.6 Uji Statistik t (t-test)
Uji statistik t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen dalam menerangkan variasi variable dependen (Ghozali, 2011). Dasar
pengarnbilan keputusannya adalah: a. Bila nilai signifikansi > 0,05, maka variabel
independen secara individual tidak berpengaruh terhadap variabel dependen atau dalam
hal ini hipotesis ditolak. b. Bila nilai signifikansi < 0,05, maka variabel independen secara
individual berpengaruh terhadap variabel dependen atau dalam hal ini hipotesis diterima.

Anda mungkin juga menyukai