Anda di halaman 1dari 5

Nama : Intan Insani Haq

Contoh Program yang Didanai oleh Dana Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan

1. Dekosentrasi

Menurut UU nomor 23 tahun 2014, Dekosentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penangung jawab urusan pemerintah umum.

Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam
rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah. Dana Dekonsentrasi merupakan bagian dari anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan Gubernur.
Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan Dekonsentrasi.

Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik,


yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap. Dapat
ditunjang dengan subkegiatan bersifat fisik, dan tidak melebihi 25% dari total anggaran
kegiatan yang bersangkutan.Kegiatan yang bersifat non-fisik antara lain berupa sinkronisasi
dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi,
penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.

Contoh kegiatan: Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Triwulan I


Tahun Anggaran 2015, yang dilaksanakan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
(http://perbendaharaansulbar.org/). Sinergi untuk Meningkatkan Kinerja Pelaksanaan
Anggaran Satker DK/TP/UB dan Pelaksana Program Strategis Nawacita di Provinsi Sulawesi
Barat. dihadiri oleh para Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen satuan kerja
DK/TP/UB dan Satuan Kerja Pelaksana Program Strategis Program Nawacita lingkup Provinsi
Sulawesi Barat.

2. Tugas Pembantuan

Menurut UU nomor 23 tahun 2014, Tugas pembantuan adalah penugasan dari


pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenagan daerah provinsi.

Dana Tugas Pembantuan merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan
oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan. Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan
dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota. Tugas
Pembantuan adalah penugasan pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain,
dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang
menugaskan. Pemerintah Daerah memberitahukan adanya Tugas Pembantuan kepada DPRD.

Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik,
yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah aset tetap. Dapat
ditunjang dengan subkegiatan bersifat non-fisik, dan tidak melebihi 10% dari total anggaran
kegiatan yang bersangkutan. Kegiatan yang bersifat fisik antara lain pengadaan tanah,
bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta dapat berupa kegiatan yang
bersifat fisik lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik lainnya antara lain pengadaan barang habis
pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau sejenisnya, termasuk
barang bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat.

Tugas 2

Analisis Pendapatan Daerah 3 Tahun Terakhir Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisis pendapatan daerah ini melihat bagaimana desentralisasi fiskal dilakukan oleh
daerah-daerah di indoensia. Seperti yang kita tahu bahwa desentralisasi fiskal ini dimaksudkan
agar derah bisa menggali sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) sendiri, mengelola keuangan
sendiri dan mempergunakannya sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh
karena itu disini akan dianalisis desentralisasi fiskal pendapatan daerahnya pada tahun
anggaran tiga tahun terakhir yaitu 2014, 2015, 2016, yang meliputi self financing/cost recovery
dalam pelayanan publik, partisipasi publik dalam bentuk pembayaran jasa (co-financing), dan
peningkatan PAD tiga tahun terakhir. Pada tulisan ini yang dianalisis adalah pendapatan daerah
pada APBD DI Yogyakarta.

1. Self Financing/Cost Recovery Dalam Pelayanan Publik


Untuk bisa mengetahui self financing/cost recovery dalam pelayanan publik, maka bisa
dilakukan dengan cara perhitungan presentasi PAD terhadap PD (Pendapatan daerah)
rumusnya menjadi % PAD/PD. Berikut tabel PAD dan PD pada tahun anggaran tiga tahun
terakhir pada APBD DIY.

Tahun Anggaran PAD (Rp) PD (Rp) Presentase (%)


2014 404.272.607.099 1.210.102.185.890 33,4%
2015 1.453.213.230.863 3.424.276.009.601 42,4%
2016 1.827.196.828.389 5.203.526.015.404 35,1%

Terlihat bahwa presentase PAD terhadap PD pada anggaran DIY cukup besar. Rata-
rata lebih dari 30 % dari pendapatan daerah DIY tertutup oleh dana pendapatan asli daerah
setiap tahunnya. Walaupun memang tidak sampai 50 % atau setengahnya tapi ini sudah cukup
bagus, karena pendapatan dari sumber PAD ini memang paling besar dibandingkan
pendapatannya seperti dana perimbangan dan pendapatan lainnya yang sah. Hal ini juga
konsisten terjadi setiap tahun anggaran, PAD menjadi dominan dan cukup besar menyumbang
pada pendapatan daerah walaupun terjadi fluktuasi tapi rata-rata lebih dari 30 %. jika dikaitkan
dengan analisis self financing/cost recovery dalam pelayanan publik yaitu bagaimana
kemandirian daerah tersebut dalam membiayai kebutuhan daerahnya, DIY sudah cukup
mandiri dalam hal keuangan daerah, memang daerah ini dari segi potensi daerah pun
menjanjikan karena merupakan daerah wisata. Selain itu, pemerintahannya pun sudah cukup
baik untuk bisa mengoptimalisasikan potensi daerahnya.

2. Partisipasi Publik Dalam Bentuk Pembayaran Jasa (Co-Financing)

Untuk mengetahui partisipasi publik dalam bentuk pembayaran jasa (co-financing),


maka bisa dilihat dari besarnya presentase sumber pendapatan asli daerah dari pajak daerah
dan retribusi daerah dengan rumus % Pajak Daerah/PAD dan % Retribusi Daerah/PAD.
Berikut tabel presentase pajak daerah dan retribusi terhadap PAD tahun anggaran tiga tahun
terakhir pada APBD DIY.

Tahun Anggaran Pajak daerah (Rp) PAD (Rp) Presentase (%)


2014 260.582.494.000 404.272.607.099 64,4%
2015 1.296.531.743.697 1.453.213.230.863 89,2%
2016 1.316.127.546.952 1.827.196.828.389 72%
Retribusi daerah
Tahun Anggaran PAD (Rp) Presentase (%)
(Rp)
2014 42.446.339.370 404.272.607.099 10,4%
2015 40.376.417.845 1.453.213.230.863 2,7%
2016 184.415.400.000 1.827.196.828.389 10%

Terlihat bahwa presentase pajak daerah terhadap PAD di DIY sangat tinggi sudah lebih
dari 50 % bahkan rata-rata 70 % PAD merupakan dana dari pajak daerah, pajak daerah memang
penyumbang dana terbesar pada pendapatan asli daerah DIY dibandingkan sumber dana
lainnya. lain halnya dengan retribusi daerah yang hanya menyumbangkan 10 % saja PAD.
Hasil dari retribusi daerah pada PAD DIY memang terbilang paling kecil. Tapi jika berbicara
mengenai partisipasi publik dalam bentuk pembayaran jasa (co-financing), maka DIY
termasuk kedalam daerah yang masyarakatnya memiliki tingkat partisipasi tinggi dalam hal
pembayaran jasa. Hal ini memang dipengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dan keadaan perekonomian DIY yang mengalami pertumbuhan tiap tahunnya. Pertumbuhan
ekonomi ini terutama ditopang oleh sektor wisatanya. Hal ini memperlihatkan bahwa daerah
ini mapan secara anggaran. Artinya, desentralisasi fiskal pun berhasil. Bahkan terlihat bahwa
presentase mengalami kenaikan walaupun terjadi fluktuasi.

3. Peningkatan PAD

Tahun Anggaran PAD (Rp)


2014 404.272.607.099
2015 1.453.213.230.863
2016 1.827.196.828.389

Terlihat bahwa PAD tiga tahun terakhir pada APBD DIY mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pergerakan mengalami perkembangan atau ekonomi DIY
mengalami pertumbuhan. Hal ini tidak terlepas dari pembangunan-pembangunan dan
pengoptimalisasian potensi daerah yang dilakukan oleh daerah DIY. Arah kebijakan
pemerintahnya lebih mendukung pada sektor pariwisata. Karena memang DIY merupakan
daerah yang strategis untuk daerah pariwisata. Selain itu, secara SDM pun mereka sanggup dan
mau untuk mengembangkannya. Bahkan dalam salah satu penelitian pemerintah dan
masyarakat salin bekerjasama untuk membangun pariwisata DIY.

Daerah lstimewa Yogyakarta merupakan KOTA WISATA kedua setelah Pulau Bali.
Daerah Wisata Yogyakarta memiliki potensi pariwisata yang cukup besar sehingga diharapkan
mampu menjadi salah satu kekuatan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kepariwisataan
Daerah lstimewa Yogyakarta mempunyai ciri khas tersendiri yang secara ekonomi mempunyai
efek ganda yang luas dan secara sosial dapat meningkatkan kegiatan masyarakat serta memiliki
kemampuan untuk melestarikan alam dan lingkungan. Daerah wisata Yogyakarta merupakan
salah satu kawasan daerah tujuan wisata yang sangat menarik dan setiap saat penuh dengan
para pengunjung, serta mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah untuk dapat digunakan sebagai
dana untuk pembangunan akan tempat wisata yang ada di Daerah lstimewa Yogyakarta. Itulah
sebabnya mengapa PAD DIY terbilang cukup besar terutama pada pajak daerah dan retribusi
daerah. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa DIY memang sudah mumpuni untuk
otonomi daerah dari segi desentralisasi fiskalnya.

Anda mungkin juga menyukai